ini bab selanjutnya yaaa... masih ada bab 1 lagi 179 ☺️ siap-siap sama manisnya yahhh. awas diabetes ✨✨
"Tidak," jawab Liora dengan cepat. Ia semakin kuat menahan dada Kayden. Kepalanya menggeleng, memberi penolakan. "Tidak," katanya sekali lagi. "Benar-benar tidak boleh. Bagaimana kamu bisa meminta hal seperti itu saat aku baru saja melahirkan—" "Aku tidak meminta hal sejauh itu," sela Kayden. Sepasang mata Liora mengerjap, lebih dari satu kali. Sedang kedua sudut bibir Kayden terangkat, memberikan senyuman. "Kamu berpikir terlalu jauh," lanjut Kayden, memperdengarkan tawa lirihnya. "Aku juga tahu itu. Dan aku tidak sejahat itu, Nona Liora Baldwin." Jari Kayden menyentuh pipi Liora, seperti sebuah godaan. "J-jadi apa?" tanya Liora, menatap Kayden, menahan napas yang memacu detak jantungnya lebih cepat. "Hm ... aku tidak akan mengatakannya di sini," jawab Kayden. "Naiklah ke kamar atas. Biar aku simpan susunya di lemari pendingin." Kayden menarik dirinya dari Liora. Berdiri dengan punggung tegak. Meraih beberapa kantong ASIP yang ada di atas meja dan membawanya keluar. Meni
“Papa!” panggil Julia pada sang Ayah. “Meeting soal apa?” Julia berusaha mengejarnya. Di teras, Tuan Carlos tidak menoleh. Hanya suaranya saja yang terdengar menjawab, “Apa lagi memangnya selain bisnis? Bagus ‘kan kalau kita mendapat modal lainnya?” “Biar aku saja yang pergi, Pa!” pinta Julia. “Papa bisa—“ “Papa akan datang, siapkan saja materi yang mungkin mereka minta kalau kita bebas dari utang.” Kata tertahan di bibir Julia, berhenti di lidahnya yang kaku tak bisa membalas. Ia gemetar di tempatnya berdiri, lantai teras rumahnya berubah dingin. Atau sebenarnya ... yang dingin itu adalah keringat yang menetes di punggungnya? Jika pertemuan itu terjadi, ayahnya bisa tahu kalau Julia menggunakan DN Construction sebagai jaminan utangnya. Dan ia masih belum melunasi pinjaman setengah dari yang telah ia pakai. Lima puluh miliar, apakah mungkin mendapatkan itu dalam semalam? ‘Apa ada cara agar orang bank tidak mengatakan apapun soal utang itu?’ Nasibnya di ujung tanduk, di tepi jur
Dengan langkah kaki yang menghentak berirama kemarahan, Julia meninggalkan mobil yang baru saja ia hentikan di halaman rumahnya. Ia masuk dengan kebencian yang menggebu, panas bekas tamparan Liora masih terasa membakar di pipinya sewaktu ia berjalan melewati ruang tamu dan tidak sengaja bertemu dengan ayahnya, Carlos Dean. “Dari mana kamu?” tanya Tuan Carlos yang membuat Julia melambatkan kakinya kemudian menghadapi pria paruh baya itu. “Dari rumah sakit,” jawab Julia, menundukkan kepalanya. “Untuk apa pergi ke rumah sakit?” beliau terlihat mendengus. Kedua tangannya berada di pinggang. “Sudah tidak perlu berpura-pura sakit lagi karena itu tidak berhasil, ‘kan?” Kalimat sang Ayah membuat Julia menggertakkan rahang kecilnya. Matanya terpejam penuh ketidakberdayaan yang dipenuhi oleh rasa malu sebab apa yang ia lakukan di masa lalu telah diendus kejanggalannya oleh ayahnya sendiri. Sudah sejak Julia kembali dari Berlin, sang Ayah tahu bahwa ‘sakit’ yang dikatakannya ke sana ke mar
Lorong kembali senyap, isak tangis lirih Julia terdengar sebelum kakinya yang ditopang oleh kitten heels itu melangkah menjauh. Semakin lama menjadi samar, dan lenyap tak lagi terdengar. Evan dan Mark menjauh dari Liora, sedang Kayden menoleh ke arahnya. Iris gelapnya memindai secara cepat, seolah memastikan apakah Liora baik-baik saja. “Jangan berkelahi lain kali, biar aku saja,” ucap Kayden dengan lembut, jauh berbeda dari yang ia lakukan pada Julia. “Maaf.” “Kamu tidak bersalah,” jawabnya. “Dia melakukan apa padamu?” tanya Kayden, meraih tangannya dengan wajah yang penuh kekhawatiran. “Tidak ada,” jawab Liora. “Aku yang menamparnya.” Helaan napasnya terlihat lega, “Kita pulang sekarang, Pak Royan dan Bu Jessie sudah ada di kamarmu sekarang.” Liora mengangguk, ia berjalan lebih dulu dengan didampingi oleh Mark sementara Kayden masih tertinggal di sana dengan Evan. Liora tak tahu apa yang ia lakukan. Tetapi saat sekilas menoleh ke belakang sebelum berbelok di tikungan tadi, L
“Kenapa kamu menamparku, wanita sialan!” jerit Julia sekeras-kerasnya setelah tamparan kedua dari Liora terjadi. “Apa kamu belatung?” tanya Liora balik. “Menggerogoti luka orang lain dan bersenang-senang atas sesuatu yang sudah mati?!” Julia menggeram, ekspresinya yang mengeras seperti gadis itu akan melakukan apapun agar Liora hancur di depan matanya. “Liora—“ “Tunjukkan seperti apa aslimu, Julia!” tantang Liora, sepasang maniknya mengarah lurus pada Julia yang meraba wajah sebelah kirinya. Samar Liora bisa melihat kemerahan di kulitnya, benturan antara telapak tangan Liora yang dilayangkan sekuat tenaga ke sana. Sekali pun ia meringis kesakitan, Liora tidak peduli dengan itu. Tamparan itu masih tidak sebanding dengan yang terjadi pada Ibunya, pada Nyonya Marry yang tewas mengenaskan atas keinginan Julia. “Kamu yang sudah menunjukkan wajah aslimu!” balas Julia lebih lantang. “Kamu—lihat!” tunjuknya pada Liora. “Kamu bersikap manis selama ini di depan semua orang, menunjukkan wa
Liora tergemap untuk beberapa saat. Ia hanya berdiri di sana saat Julia mengayunkan kakinya untuk mendekat. Sudut mata gadis itu mengarah ke jendela NICU, seakan ingin melihat apa yang baru saja Liora saksikan di dalam sana. Dan itu membuat Liora sedikit-banyak memiliki ketakutan. Berhadapan dengannya yang dengan dinginnya bisa mengatur rencana menghabisi nyawa ibunya, bukankah ia juga bisa saja melakukan hal yang sama pada bayi-bayinya? Dan bukankah untuk alasan itu Liora menghilang dari peredaran? Agar keberadaannya tak diketahui oleh siapapun demi menjaga buah hatinya? Tapi, sosok yang dihindarinya itu malah berdiri di hadapannya sekarang. Membawa langkahnya yang menyertakan kegelapan dan kesumat untuk mendekat. Benar ternyata ... seseorang tak mungkin selamanya menghindar. Cepat atau lambat, mereka akan berhadapan dengan rasa takut mereka, dalam keadaan siap maupun tidak. “Kita bertemu lagi, Nona Liora,” ujar Julia setelah gadis itu berhenti dari langkahnya. Liora e