done 2 bab ya akak semuanya 🤗 terimakasih sudah membaca 🤭 apakah Kayden berhasil membuat Julia masuk ke rumah sakit jiwa nanti? xixixixi....
Malam hari saat memasuki rumahnya, Evan melepas sepatu yang ia kenakan dan meletakkannya di rak depan. Ia mendengar suara seseorang yang berlarian mendekat dan wajahnya terlihat menunjukkan senyuman. Leah, gadis itu terlihat manis dengan rambut yang diikat menggunakan pita warna merah. “Sudah pulang?” sapa Leah seraya meraih jas Evan yang ada di lengan sebelah kirinya, dan sebuah paper bag berukuran besar yang ia tenteng. “Baru saja,” jawab Evan. “Aku membawakanmu makanan dari restoran, tadi aku bertemu dengan partner.” “Terima kasih.” “Apa yang kamu lakukan di rumah?” Evan melingkari pinggangnya sekilas dan menjatuhkan bibirnya di puncak kepala Leah selama beberapa detik sebelum mereka melanjutkan langkah. “Hanya membaca bukti tambahan yang didapatkan korban untuk menuntut pelaku.” “Kasus apa yang kamu tangani?” “Penggelapan dana.” “Hm ...” Evan sekilas memiringkan kepalanya, mereka tiba di ruang makan, tempat di mana laptop milik Leah terbuka dengan beberapa lembar kertas di
Seperginya Emrys, Julia hanya bergeming di tempat ia duduk. Jarinya berpindah ke atas meja, membolak-balik lembaran kertas tanpa tujuan, hanya untuk mengendalikan dirinya yang tampak terlalu senang. ‘Aku benar-benar bisa bebas dari utang itu,’ gumamnya dalam hati kala memikirkan kembali ucapan Emrys soal debitur terakhirnya yang tak perlu membayar utang sebab dia mengalami gangguan kejiwaan kronis. Ia sudah pernah melakukan percobaan bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya menggunakan pisau cutter. Hal itu membantunya, memberinya dukungan bahwa memang mentalnya sedang tidak stabil sehingga ia melukai dirinya sendiri. Maka, akan seperti ini rencana Julia: pertama-tama ia akan kembali melakukan hal yang sama yakni melukai dirinya sendiri. Kedua, saat ia dibawa ke rumah sakit nanti, ia akan mengakui bahwa hal yang membuatnya berusaha bunuh diri itu sebab ia menghadapi tekanan yang besar karena menggunakan DN Construction sebagai jaminan utang. Ia juga akan jujur ke mana larin
Adrian menatap Kayden dengan matanya yang memerah. Jari-jarinya terlihat merapat, mengepal di samping kanan dan kiri tubuhnya. Rahangnya menggertak sebelum ia memalingkan wajah dan pergi dari hadapan Kayden. “Jangan kembali, Brengsek!” Dari tempatnya berdiri, Liora sangat lega karena pemuda itu pergi, yang artinya tidak akan ada pertikaian buruk di teras rumah Kayden. Kayden menoleh, menghadapkan tubuhnya pada Liora yang berdiri di dekat Evan. Manik mereka bersirobok di udara, semakin lama semakin dekat. Liora memejamkan matanya penuh rasa syukur saat Kayden meraih tangannya. “Kamu takut?” tanya Kayden. “Ya,” jawab Liora. “Kamu takut aku menyakiti Adrian?” “Tidak!” bantahnya. “Aku takut kalian bertengkar di sini. Ada Papa di dalam, beliau tidak akan suka kalau anak dan cucunya seperti itu, ‘kan?” Kayden menunjukkan sekilas senyumnya sementara Evan dengan tanpa rasa bersalahnya justru mengatakan, “Padahal saya tadi sudah berharap Tuan Kayden menendang kakinya sampai anak itu ti
‘Memulai ... dari awal?’ Dalam hati, Liora seperti tak sanggup untuk mengatakannya. Itu disampaikan oleh seseorang yang dulu dengan sangat mudahnya berkhianat? Liora menarik tangannya sekali lagi dari Adrian, “Lepas!” pintanya, tak peduli jika nada bicaranya meninggi. Ia hanya tak ingin disentuh oleh pria ini lagi. “Jawab dulu,” desak Adrian. Bukannya melonggarkan cengkeramannya, ia justru menggenggam tangan Liora semakin erat. “Tidak,” jawab Liora. Maniknya mengarah pada Adrian yang sepertinya tak begitu saja menerima jawaban tersebut. “Tidak bisa kamu pertimbangkan lagi?” “Apa yang harus aku pertimbangkan? Kamu sudah melihatnya dengan jelas, aku memiliki hidupku sendiri, jadi kamu juga hiduplah di jalanmu sendiri, Adrian!” “Tapi bagaimana kalau jalan yang aku pilih ternyata salah dan yang benar itu adalah kamu?” Alis Liora berkerut mendengarnya. Hanya sesaat saja, sebab selanjutnya ia tak ingin mendengarnya. “Aku tidak peduli dengan apa yang akan kamu katakan, lepaskan a
“Papa ....” panggil Liora, mencoba menghentikan perdebatan yang terjadi diantara ayah dan ibu mertuanya. Karena didengar dari manapun ... Liora tahu hal ini tak akan begitu saja berakhir. “Owen, kamu bilang apa barusan? Menceraikanku?” tanya Nyonya Rose, matanya memerah menatap pada sang suami yang sepertinya sudah sangat muak. “Karena kamu tidak pernah sadar diri, Rose,” jawab beliau. “Aku benar-benar tidak ingin mengungkitnya, jadi jangan bersikap seperti ini!” “Kamu—“ “Tidak selamanya gelandangan akan terus menjadi gelandangan. Mereka berhak mendapatkan hidup yang lebih baik. Dan kamu tahu salah satunya itu adalah kamu. Tidak pernah terpikir ‘kan kalau kamu yang dulu dalam keterbatasan bisa memiliki semua ini? Sepertinya hidup berkecukupan yang sudah kuberikan padamu membuatmu semakin lama semakin arogan.” Seisi ruang makan membeku mendengar kalimat panjang Tuan Owen. Selama ini Liora tahu bahwa beliau dikenal sebagai pribadi yang bijak dan mengayomi. Tapi sepertinya sore ini
Sore hari itu, Tuan Owen dijumpai Liora sedang ada di teras belakang rumah yang berbatasan langsung dengan taman bunga milik Kayden. Pria paruh baya itu bersenandung bahagia saat berdiri dengan bantuan tongkat sikunya, menyiangi daun-daun kering Juniper yang tadi dibawa oleh Annie ke atas meja. Benar, Juniper yang hari itu dihadiahkan oleh Liora yang bunga-bunga kecilnya masih terlihat tetapi beberapa tangkai buahnya sudah tiada. “Papa,” panggil Liora dengan hati-hati, berjalan dari arah pintu dan menghampiri Tuan Owen yang menoleh pada kedatangannya dengan senyumnya yang menampakkan garis tua. “Liora,” balas Tuan Owen. “Papa terlihat sangat senang?” “Setiap kali melihat tanaman ini Papa sangat senang, Liora. Kamu benar saat mengatakan kalau dia akan memberi kegiatan yang bisa Papa lakukan dalam masa pemulihan.” “Terima kasih karena Papa mau merawatnya,” ucap Liora sekali lagi. “Ini adalah kegiatan yang tidak pernah Papa lakukan. Jadi Papa yang harusnya berterima kasih padamu k