‘Astaga! Apa yang terjadi semalam?’ Liora memekik dalam hati.
Jeritan tertahan di tenggorokannya saat ia menegakkan punggungnya dan menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.
Maniknya terasa panas saat ia mengamati Kayden yang masih terlelap di atas ranjang hotel.
Tak ada yang melindungi tubuh Liora selain selimut yang saat ini tengah mereka kenakan. Saat Liora memberanikan diri untuk melihat bagian tubuh pria itu—yang tertutup oleh selimut—ia pun memiliki situasi yang tak jauh beda dengan Liora.
Dress burgundy yang semalam dikenakannya saat pergi ke bar telah tercecer di lantai. Tertumpuk dengan kemeja, vest, jas dan celana panjang milik Kayden yang tergeletak di sana.
Liora mencoba meraba apa yang terjadi semalam. Ia meremas rambutnya saat mendapati ingatan tentang dirinya yang mabuk dan melarikan dari beberapa preman yang mengejarnya setelah membuat kekacauan di bar.
Ingatan tentang wajah kebingungan Kayden yang bertanya ‘Apa yang kau lakukan’ saat Liora tiba-tiba masuk ke dalam mobilnya membuatnya tahu seperti itulah cara mereka berakhir di sini.
‘Tapi bukankah yang semalam itu sangat aneh?’ gumamnya dalam hati, jemarinya meremas selimut yang menutupi tubuhnya hingga ke dada.
Tak mungkin whisky yang ia minum akan membuat tubuhnya kepanasan dan kacau seperti tadi malam. Liora baru saja memiliki pikiran buruk bahwa ada sesuatu yang dimasukkan ke dalam minumannya tanpa ia tahu.
Ia terjaga saat Kayden menggerakkan tangannya. Batinnya kembali penuh tanya, ‘Dan sejak kapan Kayden ada di sini?’
Seingatnya, pria itu ada di luar negeri.
Pantas saja semalam rasanya wajahnya itu tidak asing.
Tapi terserahlah … ‘Aku harus pergi dari sini,’ putusnya.
Liora tak ingin berurusan dengan keluarga Adrian, termasuk juga dengan Kayden meski ….
Sepasang matanya terpejam tak berdaya, ‘Meski dia adalah pria pertama bagiku.’
Liora ingat semalam pria itu menanyakan apakah ini yang pertama kali baginya dan Liora menjawab bahwa ia memang pertama kali melakukannya dan tak akan menyesalinya.
Dan memang tak perlu ada yang disesali karena semuanya sudah terlanjur terjadi, bukan?
Liora dengan pelan menurunkan kedua kakinya ke lantai yang terasa dingin. Ia memunguti pakaiannya dan mengenakannya. Ia harap tak akan pernah bertemu dengan Kayden lagi dalam kebetulan manapun.
Agar cukup pertemuan mereka sampai di sini, dan akan ia jadikan ini sebagai rahasianya saja.
‘Karena jika sampai orang lain tahu, terutama Adrian dan Irina, maka aku yang akan disebut sebagai murahan karena tidur dengan paman mantanku.’
Setelah pakaiannya kembali ia kenakan, Liora bergegas keluar dari kamar hotel presidential suite itu.
Sejak ia telah diusir oleh ibu tirinya pergi dari rumahnya, Liora sementara ini tinggal di rumah manajernya.
Gadis itu dijumpainya ada di rumah dan menyambut kedatangannya dengan penuh kekhawatiran.
“Liora! Dari mana saja kamu?” tegurnya dengan nada bicara yang sedikit meninggi. “Aku mencarimu di bar semalam tapi orang-orang bilang kalau ada keributan di sana jadi bar ditutup. Kamu tidur di mana, kamu baik-baik saja?”
Manajernya—Freya—terlihat cemas, gadis itu meraih lengan Liora, memutar tubuhnya, memeriksa bagian depan dan belakang, seolah memastikan ia kembali dalam keadaan utuh.
“Iya, aku baik-baik saja,” jawab Liora akhirnya, tak ingin membuat keresahan sahabat dan manajernya itu berlarut.
Ia membalas genggaman tangan Freya, mencoba menunjukkan senyumnya meski hatinya masih terasa sangat sakit.
Setidaknya … ia masih harus berterima kasih bahwa di dunia yang jahat dan tidak adil ini ia masih memiliki Freya, seorang sahabat yang selalu menerimanya dengan tangan terbuka.
“Yang membuat keributan semalam itu aku, Frey,” aku Liora dengan suara yang gemetar
“Kamu?” ulang Freya dengan kedua alisnya yang terangkat sedang Liora mengangguk lebih dulu sebagai jawaban.
“Iya.”
“Kenapa kamu membuat keributan, Ra?” Hela napasnya terdengar tak puas. “Harusnya aku pergi denganmu kalau ujungnya seperti ini.”
“Ada alasannya,” jawab Liora membela diri. “Aku begitu biar bisa melarikan diri dari preman bayarannya Adrian. Mereka menyerangku dan memaksaku ikut.”
Untuk beberapa saat bibir Freya hanya bergerak-gerak tanpa kata. “L-lalu bagaimana caramu bisa selamat, Liora?”
Liora menggigit bibirnya. Tak mungkin bukan baginya mengatakan bahwa ia meminta Kayden menyelamatkannya—meski itu tidak gratis karena Liora harus kehilangan keperawanannya.
“Panjang ceritanya,” jawab Liora. “Nanti aku akan memberitahumu.”
Ia menatap manajernya itu dengan matanya yang sedikit menyipit. “Tolong antar aku ke kantor agensi setelah ini. Aku harus melaporkan ke mereka kalau Adrian menyewa preman bayaran untuk menyerangku semalam.”
Dengan begitu, Liora yakin pria itu akan mendapatkan peringatan!
Akan lebih bagus kalau pemuda itu didepak dari agensi.
Sekitar satu jam kemudian mereka tiba di sana, Evermore.
Sebuah agensi yang menaungi karir ratusan pekerja seni dari aktris, aktor, penyanyi bahkan model dari yang terkenal hingga yang underrated seperti Liora.
Pandangan orang-orang yang ada di lobi menyambut Liora yang masuk bersama Freya.
Dirinya yang memang tak memiliki pengaruh besar mendadak menjadi buah bibir pagi hari ini. Bukan karena prestasi, tapi karena skandal perselingkuhan Adrian.
“Wah … dia masih memiliki keberanian untuk datang ke sini setelah membuat reputasi Adrian jatuh?” celetuk sebuah suara yang datang dari sebelah kanan Liora.
“Tidak tahu malu!” ucap salah seorang wanita yang duduk di sisi lain lobi, yang suara lantangnya seolah sengaja agar Liora mendengarnya. “Aku yakin Adrian tidak seburuk itu.”
“Liora pasti hanya ingin menghancurkan karir Adrian mengingat selama ini Adrian lebih unggul darinya. Lagi pula apa salahnya memilih calon istri yang memang baik? Mereka juga masih berpacaran ‘kan selama ini?”
“Aku juga mendengar kalau selingkuhan Adrian itu jauh lebih cantik dari Liora.”
Di depan lift, langkah kaki Liora terhenti. Jika Freya tak menahan tangannya, ia pasti lebih memilih untuk mendatangi mereka dan menjawab omongan-omongan itu.
“Biarkan saja,” ucap Freya sembari mengguncang lembut tangannya. “Mereka bicara seperti itu karena belum pernah ada di posisimu.”
Pintu lift terbuka dan mereka masuk ke dalam sana.
“Aku akan mengatakan pada sekretaris presdir kalau kamu mau bertemu langsung dengan beliau, Liora,” ucap Freya saat mereka baru saja melewati lantai lima. “Kamu tunggulah sebentar nanti di ruang tunggu, kita masuk sama-sama dan jelaskan seperti apa situasinya.”
Liora mengangguk menyetujui Freya.
Lift berhenti di lantai lima belas, pintunya terbuka setelah dentingnya terdengar.
Seperti yang dikatakan oleh Freya, Liora duduk di kursi tunggu yang ada di sudut ruangan.
Gadis itu kembali setelah beberapa saat dan memintanya untuk masuk ke dalam ruang presdir.
Liora bangun dari duduknya seraya menyeringai penuh kemenangan.
‘Tamat riwayatmu setelah ini, Adrian,’ gumamnya dalam hati dengan geram.
Jika ia mengadu pada Presdir yang tak lain adalah kakeknya Adrian, beliau yang memiliki pribadi tegas pasti akan mengambil tindakan yang adil. Liora tahu bahwa beliau adalah harapan terakhirnya, seseorang yang tak akan membuatnya tertindas.
Ia mengayunkan kakinya yang terbalut dalam heels itu untuk menuju ke ruang Presdir. Saat Liora menggapai gagang pintunya, sebuah wangi yang tak asing mencemari indera pembaunya.
“Selamat pagi,” sapa Liora kemudian mengangkat wajahnya untuk bertatap muka dengan Presdir Evermore.
Tapi ….
Alangkah terkejutnya ia saat melihat pria yang duduk di balik meja Presdir dan menunggu kedatangannya itu adalah ….
‘KAYDEN?!’
Bagaimana bisa?!
Setelah selesai mendapatkan asi mereka untuk pertama kali, si kecil Lysander dan Elmora dibawa oleh perawat untuk ditidurkan di dalam boks bayi milik mereka. Perawat menariknya untuk berada di dekat Liora karena ia tadi mengatakan ingin melihat wajah anak-anaknya. Sedangkan di tepi ranjangnya, Liora baru saja menyelesaikan makan. Kudapan yang dibawa masuk oleh perawat yang mengatakan bahwa ia perlu makan dan mendapat asupan setelah berjuang di antara hidup dan mati. Kayden yang menyuapinya hingga tandas tak bersisa, dan membawa trolinya pergi ke sudut ruangan. Liora meneguk minumannya sebelum bertanya pada Kayden yang kembali mendekat padanya. “Kayden?” “Yes, Love?” “Bisakah kamu memastikan kalau Lucca dan Elea sudah sampai rumah?” pintanya pada Kayden yang mengangguk tak keberatan. “Bisa, Sayang.” Tapi sebelum Kayden sempat meraih ponsel yang tadi ia letakkan di atas meja, mereka lebih dulu menoleh ke arah pintu yang terbuka dan muncullah Lucca serta Elea yang baru s
Dulu, pada Minggu ke empat belas yang disebutkan oleh Liora, mereka benar pergi untuk jadwal USG. Dokter yang memeriksa mengatakan bahwa kali ini kehamilan Liora adalah .... Kembar untuk kali ke dua. Anugerah dihadiahkan pada Liora dengan cara yang tak terduga. Menunggu dengan sabar dan penuh persiapan, serta melewati banyak waktu untuk tiba pada hari perkiraan lahir, rupanya air ketubannya sudah lebih dulu pecah tiga hari sebelum yang dikatakan oleh dokter. Pagi ini Liora masih beraktivitas seperti biasa. Ia masih sempat ikut Han untuk mengantar si kembar Lucca dan Elea serta pulang dan merangkai bunga bersama dengan Annie. Siang hari saat ia membuatkan smoothies seraya menunggu si kembar yang sedang dijemput, Liora merasa sakit di perutnya sudah semakin sering. Ia hendak meminta Annie untuk memasukkan smoothies itu ke dalam lemari pendingin sebelum ia merasakan kakinya yang basah. Saat Liora menunduk, ia tahu bahwa rasa sakit yang sedari tadi dirasakannya itu karena bayinya a
.... Waktu berjalan teramat cepat. Terhitung di kalender kehamilan Liora: Minggu ke sepuluh, lalu minggu ke empat belas. Minggu ke dua puluh, lalu minggu ke dua puluh empat. Minggu demi minggu berlalu ... dan tiba di Minggu ke tiga puluh sembilan. Waktu sempurna dan matang bagi bayi untuk melihat dunia. Hari perkiraan lahir anak ketiga Liora dan Kayden telah tiba. Mereka hanya sedang menunggu, jika bukan hari ini, maka besok, atau lusa. Siang ini, di dalam ruang meeting Evermore, Kayden sedang berdiri berkacak pinggang. Pandangannya terarah pada layar putih—interactive whiteboard—yang menunjukkan foto-foto Valency—salah satu artis milik Evermore—bersama dengan aktor seusia gadis itu yang tertangkap kamera paparazzi tengah melakukan dating. “Agensi harus memberi pernyataan,” kata Kayden, menoleh pada Valency dan Jason Park—nama aktor tersebut. “Jadi kalian harus jujur apakah ini benar atau salah, fakta atau sebatas rumor?” Mulanya tak ada yang menjawab, tapi tatapan Evan Lee
“Demam?” gumam Kayden, nyaris tak percaya. Tangan Liora mengarah kepadanya, menunjukkan termometer di mana angkanya cukup tinggi. “Ayo bangun, kamu harus ke rumah sakit,” pinta Liora sekali lagi dengan cemas. “Tidak perlu, Sayang,” balasnya. “Aku akan minum obat saja, kalau memang besok panasnya tidak turun baru aku akan pergi ke rumah sakit, bagaimana menurutmu?” Semula, Kayden berpikir idenya akan diterima. Tapi itu sebelum ia melihat bibir Liora tiada menunjukkan senyumnya. “Tidak ada kompromi, Tuan Kayden Baldwin!” pertegas Liora seraya menarik lengan Kayden agar ia bangun dari berbaringnya. “Kamu menggigil dan mengigau terus memanggilku. Kamu membuatku takut!” “Aku mimpi buruk,” akunya. “Mimpi buruk?” Liora yang sudah berjalan menjauh sekilas menoleh pada Kayden yang mengangguk sebagai jawaban. “Mimpi kamu meninggalkan aku, Sayang.” “Itu efek dari yang kita bicarakan sebelum tidur tadi,” kata Liora yang sudah tiba di ruang ganti. Mengambilkan coat panjang milik Kayden,
....Setelah mengantar si kembar kembali ke dalam kamarnya, Kayden memasuki kamar.Liora sudah mengganti pencahayaan di dalam sana menjadi yang nyaman di mata selagi Kayden turun tadi.“Terima kasih sudah mengantar anak-anak kembali ke kamar, Kayden,” ucap Liora pada prianya yang kemudian naik ke atas ranjang, duduk di samping Liora dan menggunakan selimut yang sama untuk menutupi kakinya.“Sama-sama, Sayangku,” jawabnya tak keberatan.“Harusnya aku saja. Aku tidak apa-apa, itu hanya sekadar mengantar tidur, 'kan ....”“Tapi jadinya kamu harus naik turun tangga, Sayangku, dan aku tidak tega melihatmu.”“Padahal aku menganggapnya sebagai olahraga.”“Nanti setelah USG, kita pindah ke kamar bawah biar kamu tidak perlu naik turun,” kata Kayden, mengusap pipi Liora sebelum memberinya kecupan.“Baiklah.”“Atau ... sebaiknya aku memasang lift? Biar kamu mudah naik turun tangga?”Liora menggeleng menjawabnya, seolah mencegah.“Aku suka dengan rumah kita yang memang seperti ini. Kalau kamu mem
Kayden terdiam di belakang kedua anak kembarnya, ia berusaha sekuat tenaga menahan air mata kala Elea kembali berucap, “Daddy akan selalu menjadi superhero kami sejak dulu, hari ini, besok dan selama-lama-lama-lamanya .....” “Terima kasih Daddy untuk semua yang sudah Daddy lakukan untuk Lucca, Elea, Mommy dan sebentar lagi adik kami,” imbuh Lucca, menoleh pada Kayden. Anak lelakinya itu meraih tangannya yang terasa dingin, menariknya ke depan, membuatnya berdiri di antara ia dan Elea. “Terima kasih untuk sudah menjadi Daddy yang paaaaling baik di dunia ini.” “Kami sayang Daddy.” Si kembar Lucca dan Elea memeluk Kayden saat ia menekuk kakinya sehingga bisa berlutut di antara keduanya. Kali ini, Kayden tak bisa membendung air matanya. Kejutan dari Lucca dan Elea sangat spesial hingga tak ada yang bisa dikatakannya selain, “Terima kasih, Sayang.” Kalimat singkat yang sampai ke hati semua orang yang ada di sana. Setelah jawaban yang diberikan oleh Lucca dan Elea atas tanya dari Ms