"Mau ngapain memangnya?" tanya Kenzie tampak bingung.
"Ya mau ketemu, Om mau bicara. Lagian, kalau memang kita harus pergi ke Korea ... Om harus minta izin sama orang tuamu atau keluargamu dulu, nggak sembarangan main ajak aja, Dek. Nanti dikira Om nyulik kamu lagi." Aku berusaha menjelaskan dan sedikit membujuk, semoga saja Kenzie setuju."Aah nanti yang ada Bunda ngelalang, Om. Bunda 'kan ngeselin olangnya," keluh Kenzie dengan bibir yang mengerucut."Nggak mungkin Bundamu melarang." Aku menggeleng yakin sambil mengelus rambut Kenzie. "Kan kamu yang bilang sendiri alasan Bundamu nggak mau mencari Ayahmu itu karena nggak ada ongkos pergi ke Korea. Naaahhh ... nanti biar Om yang ongkosin. Bila perlu... kamu, Bundamu sama Kakekmu juga sekalian. Kita pergi mencari Ayahmu bersama-sama dengan Om ke Korea." Aku memberikan tawaran dengan harapan Kenzie setuju.Mata Kenzie seketika berbinar, kedua pipinya memerah."Iihh mau, Om!!" seru Kenzie,"Kita ke kantor polisi di mana Jamal melaporkan kasus ini, Yah, lalu setelah itu kita sogok polisi supaya menutup kasus itu." Kenzie memberikan saran yang menurutnya cepat dan tepat.Dia tahu, atau setidaknya begitu keyakinannya, bahwa polisi di Indonesia—seringkali bisa ditundukkan oleh uang. Sebuah realita pahit yang telah terpatri dalam benaknya."Ayah sudah melakukan itu, Ken. Tapi polisinya menolak." Suara Ayah Calvin terdengar lesu, menunjukkan kegagalannya dalam upaya tersebut."Kurang banyak mungkin Ayah ngasihnya. Berikan nominal dengan jumlah yang besar, Yah.""Ayah justru menawarkan berapapun yang mereka inginkan, tapi mereka tetap menolak dan menerima laporan dari Jamal, Ken," jawab Ayah Calvin sedih, suaranya dipenuhi keputusasaan."Kok bisa sih mereka nolak? Biasanya polisi 'kan ijo kalau sama duit." Kenzie tampak tidak percaya."Iya, Ayah juga heran." Ayah Calvin hanya bisa menggelengkan kepala, menunjukkan
Hari sudah mulai gelap, menjelang magrib.Langit Jakarta berubah warna menjadi oranye kemerahan, namun Ayah Calvin dan Keiko belum juga kembali.Kecemasan mulai menggerogoti Kenzie. Berkali-kali dia mencoba menghubungi mereka, namun tak ada respon.Akhirnya, Kenzie memutuskan untuk pergi ke UGD terdekat. Dia harus mencari tahu sendiri apa yang terjadi.Setibanya di sana, suasana UGD yang ramai dan sedikit berisik malah membuat Kenzie semakin panik. Ditambah dia juga tak menemukan keberadaan orang tuanya di antara orang-orang di sana."Sus... mau nanya, korban anak kecil yang ditabrak mobil itu ke mana ya, sekarang?" Kenzie bertanya pada salah seorang suster yang tak sengaja lewat, suaranya sedikit gemetar. Langkah perempuan berseragam putih itu langsung terhenti."Atas nama siapa ya, Pak? Soalnya hari ini banyak pasien anak kecil yang tertabrak mobil," jawab suster itu dengan nada sopan, namun tetap profesional."Aduh, k
Ayah Calvin, dengan wajah pucat pasi dan mata yang berkaca-kaca, akhirnya bisa menghentikan langkah Jamal. Lengan kekarnya menggenggam erat lengan Jamal."Jamal, jangan laporkan masalah ini ke polisi! Anakmu pasti akan sembuh dan semua biaya aku yang tanggung!" Suaranya bergetar, penuh keputusasaan.Belum sempat Jamal bereaksi, seorang polisi, tinggi besar dengan seragam rapi, tiba-tiba datang menghampiri mereka. Sorot matanya tajam, mengamati situasi dengan tenang."Maaf, ada yang bisa saya bantu, Pak?" suara polisi itu terdengar datar, profesional."Saya mau melaporkan seorang perempuan yang telah menabrak anak saya hingga membuatnya lumpuh, Pak," jawab Jamal cepat, suaranya masih bergetar, namun tekadnya bulat."Baik, kalau begitu Bapak bisa ikuti saya." Polisi itu menunjuk ke arah ruang pengaduan, langkahnya pasti. Namun, sebelum Jamal melangkah, Ayah Calvin kembali menghalangi, tubuhnya bergetar hebat. Dia masih berusaha men
Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Sebuah celah sempit yang menjanjikan jawaban, namun juga menyimpan ketakutan. Seorang dokter pria, muncul dari baliknya. Pakaiannya serba biru dan tertutup rapat, hanya kedua matanya yang terlihat. Jamal, wajahnya pucat pasi, segera mendekat dengan kepanikan yang tak terbendung. "Bagaimana kondisi anak saya, Dok? Bagaimana operasinya?" Suaranya bergetar, penuh harap dan cemas. "Operasinya berjalan lancar, Pak. Namun, ada hal yang perlu saya sampaikan ...." "Apa itu, Dok?" tanya Jamal penasaran. Ayah Calvin langsung berdiri dari duduknya, begitu pun dengan Keiko dan Bunda Viona. "Sebelumnya, apakah Anda semua keluarga pasien?" Dokter itu bertanya, tatapannya menyapu wajah Jamal, Ayah Calvin, dan Keiko yang berdiri di sana, terpaku. Dua orang asing yang sebelumnya bersama Keiko telah pergi, karena mereka sudah tak ada urusan
Setelah berhasil mengecek rekaman CCTV, Kenzie menarik napas panjang. Di layar monitor, terlihat jelas saat Papa Bahri turun dari mobilnya di parkiran, Papa Darman tiba-tiba muncul dan melayangkan pukulan tepat mengenai wajahnya. Sebuah serangan yang tiba-tiba dan tanpa peringatan. Namun, yang mengejutkan Kenzie, Papa Bahri tidak langsung membalas. Mereka sempat beradu mulut sebentar, jarak mereka cukup dekat sehingga bibir mereka terlihat bergerak, namun suara tidak terekam. Barulah setelah beberapa saat, Papa Bahri membalas serangan, dan perkelahian pun dimulai. Rekaman hanya menampilkan gambar, tanpa suara, sehingga Kenzie tak tahu isi percakapan mereka. Kekecewaan memenuhi hatinya. Bukti visual memang menunjukkan siapa yang memulai perkelahian, tetapi motivasi di baliknya masih menjadi misteri. "Waktu kamu lihat mereka berkelahi, kamu sempat dengar mereka ada ngomong tentang
“Iya, Pak. Benar,” sahut salah satu dari mereka. Tatapannya mengamati Jamal dengan seksama, mencari kepastian. “Apakah Bapak keluarga dari Nena?” Pertanyaan itu diutarakan dengan nada yang penuh perhatian. “Yaa… aku keluarganya, aku Papanya Nena.” Suara Jamal sedikit bergetar, menunjukkan kecemasan dan kepanikan yang dia rasakan. Dia tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya terhadap kondisi putrinya. “Papanya?!” Ayah Calvin reflek menyeru, suaranya meninggi karena terkejut. Dia tersentak kaget, tak mampu membayangkan skenario ini. Wajahnya menunjukkan campuran rasa kaget, tak percaya, dan sedikit simpati. Dia tidak pernah menduga bahwa bocah yang ditabrak Keiko adalah anaknya Jamal, sebuah fakta yang mengejutkan dan tak terduga. Selama ini, dia hanya tahu status Jamal yang menduda, itu pun informasi yang diperoleh dari Kenzie, tanpa detail lebih lanjut tentang kehidupan pribadi Jamal. “Bapak ikut saya untuk menemui Suster, dia meminta tanda tangan Bapak segera untuk proses operasi