Share

7. Ingin cari m*ti

Author: Rossy Dildara
last update Last Updated: 2024-11-09 18:50:18

"Di mana Kenzie, Vio?" tanya Papa yang berlari mendekatiku, tangan kanannya masih memegang inti tubuh.

"Kenzie ... dia hilang, Pa. Nggak tau ke mana," jawabku dengan suara penuh frustrasi. Rasanya hatiku hancur, ingin rasanya menangis.

"Kok bisa hilang sih? Gimana ceritanya?" Papa langsung berlari mencari, dan aku segera menyusulnya, berharap dapat menemukan Kenzie dengan segera. Semoga Kenzie ditemukan dalam keadaan selamat.

***

Pov Calvin.

Aku benar-benar kecewa dengan jawaban Viona, karena dengan mudahnya dia mengatakan ingin berdamai denganku, setelah apa yang telah terjadi di antara kita.

Apakah dia sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan suaminya, jika hal ini diketahui?

Viona, kukira kamu sudah berubah sekarang.

Tapi nyatanya, kamu masih sama seperti dulu. Masih suka menyakiti hati suamimu.

Padahal, bukankah kamu sendiri yang bilang, bahwa rasa cintamu terhadap Yogi begitu dalam hingga kamu tidak pernah bisa menerima pernikahan kita? Tak pernah mau mencoba mencintaiku?

Aneh sekali kamu ini, Vio.

Memang, ini bukan sepenuhnya kesalahanmu. Tapi setidaknya kamu bisa menghukumku. Mengadukanku kepada pihak polisi, Yogi, atau Papa Tatang supaya aku mendapatkan hukuman.

Aku tidak masalah, Vio, jika harus dihukum dan masuk penjara lagi. Lagian, hidupku sedari dulu memang sudah berantakan. Saat dimana kamu lebih memilih Yogi daripada aku.

Ayah maafkan aku, padahal aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk menjadi pria yang lebih baik lagi.

Namun nyatanya, setelah lima tahun berlalu, aku tetap menjadi Calvin yang dulu. Yang selalu membuat masalah, yang selalu membuat Ayah kesal. Tapi aku beruntung, karena meski sekacau apapun hidupku, Ayah tetap menyayangiku.

Apa mungkin apa yang aku alami dalam hidupku adalah karma dari Mama, yang dulu pernah mengkhianati Ayah? Aku sih berharap bukan, karena aku juga ingin bahagia, Ayah.

Aku ingin dicintai, dicintai oleh seorang perempuan yang juga aku cintai.

*

*

Setelah meninggalkan hotel, aku memutuskan untuk pergi ke restoran semalam.

Aku ingat Viona mengatakan bahwa dia yang mengantarkanku, yang berarti mobilku tertinggal di restoran. Aku tahu Viona tidak bisa mengendarai mobil.

Benar, mobilku tertinggal di restoran. Setelah membayar ongkos taksi, aku pulang ke rumah menggunakan mobilku.

Siang ini aku ada meeting, tidak mungkin aku pergi ke kantor dalam keadaan belum mandi dan mengenakan pakaian kemarin. Ditambah lagi, hapeku lowbet, chargernya ada di rumah.

"Selamat pagi Pak Calvin," sapa satpam rumahku begitu aku turun dari mobil.

Kupandang sejenak, mobil berwarna merah milik Agnes terparkir rapih di halaman. Aneh, mengapa dia datang ke rumahku pagi-pagi seperti ini? Apa dia tidak memiliki jadwal pemotretan?

Bagi yang belum mengetahui pekerjaan Agnes, dia adalah seorang model pada salah satu perusahaan kosmetik.

Kami pertama kali bertemu di Korea ketika dia tengah melakukan sesi pemotretan. Saat itu, kami saling berkenalan dan bertukar nomor hape, hingga akhirnya kami menjalin hubungan.

Namun, yang menarik, bukan aku yang menyatakan cinta padanya, melainkan Agnes sendiri yang mengaku bahwa itu adalah cinta pada pandangan pertama.

Tidak bermaksud untuk bersikap sombong, namun pada saat itu, aku memang belum mempertimbangkan untuk menjalin hubungan. Baik pacaran maupun menikah, itu tidak ada dalam pikiranku.

Aku sejujurnya masih nyaman sendiri, bahkan sekarang pun tidak masalah bagiku jika harus hidup tanpa pendamping.

Bagiku, untuk apa memiliki pasangan, jika dia tidak mencintai kita. Rasanya pasti sangat sakit.

Itulah sebabnya aku belum merasa siap untuk hubungan serius dengan Agnes, karena hingga saat ini, aku belum melihat tanda-tanda bahwa cintanya padaku tulus.

"Maaf Pak Calvin, di dalam ada Nona Agnes. Menunggu Bapak dari sejam yang lalu," ucap Pak Satpam dengan sopan.

"Iya," aku mengangguk, lalu melangkah masuk ke dalam rumah.

"Mas!!"

Agnes yang duduk di sofa ruang tamu langsung berdiri dan berlari mendekat, memeluk tubuhku.

"Mas ke mana saja, sih? Kok nomornya nggak aktif? Kata Pak Satpam juga Mas belum pulang dari semalam," ucapnya penuh kekhawatiran.

Meskipun sudah dua tahun pacaran, entah mengapa, aku tetap merasa tidak nyaman saat dipeluk olehnya. Rasanya ada rasa risih yang sulit dijelaskan.

"Hapeku lowbet, aku juga ada lembur di kantor," jawabku sambil mendorong pelan tubuh Agnes untuk menjauh. Lagipula, aku juga belum mandi, pasti bau.

"Bener lembur? Bukannya kata Mas ... Mas semalam pergi ke restoran, ya, mau ketemu sama rekan bisnis, Mas?" Agnes menatapku dengan raut tidak percaya.

"Itu benar. Tapi aku langsung balik ke kantor karena ada kerjaan," jawabku dengan mantap.

Aku tidak bermaksud untuk membohongi Agnes, namun aku hanya menghormati permintaan dari Viona. Aku siap menghadapi konsekuensi jika suatu saat kebohonganku terungkap.

"Oohh ... tapi Mas sempat ketemu Viona nggak, pas di restoran?" tanya Agnes.

"Viona?!" Aku menatap pacarku dengan bingung, mengapa dia jadi bawa-bawa Viona segala?

Dan jujur saja aku juga tidak menyangka jika Viona bekerja dengan Agnes, karena selama kami pacaran, Agnes tidak pernah menyebut-nyebut namanya.

"Iya, Viona itu asisten pribadiku, Mas."

"Terus kenapa?"

Agnes menggeleng. "Ya enggak apa-apa. Dia hanya bicara kalau semalam ketemu sama Mas."

"Oohh... ya udahlah nggak penting," ucapku acuh, lalu menunjuk ke arah tangga. "Aku mau mandi dulu, ya. Kamu mending pulang aja, Yang. Soalnya habis ini aku mau berangkat ke kantor."

"Mas libur aja hari ini!" pintanya sambil mendekap tubuhku dari belakang. Aku merasa bingung, mengapa dia melarangku pergi bekerja?

"Mending kita ke rumah orang tua Mas aja, yuk! Aku juga kepengen dong, Mas, dikenalin. Aku belum pernah lho ketemu sama orang tua Mas apalagi Ayah Mas," ajaknya antusias.

"Nanti saja kalau ada waktu, Ayahku sibuk orangnya," jawabku singkat sambil menarik tangan Agnes dari pinggangku, lalu berlari pergi tanpa mempedulikan teriakan Agnes memanggil-manggilku.

*

Seusai mandi dan bersiap, aku langsung turun kembali ke lantai bawah. Namun, rupanya Agnes belum juga pulang. Dia kini berada di ruang keluarga tengah menonton televisi.

Apa sebenarnya maunya? Kok ngeselin si Agnes lama-lama.

"Kamu mau di sini terus, Yang? Ya kalau masih ingin di sini sih nggak apa-apa. Kalau begitu aku berangkat deh, ya?" Mending kutinggal saja sekalian deh, daripada terus meladeninya. Yang ada aku telat.

"Aku minta nomor Ayah Mas dulu, baru aku pulang, Mas," pinta Agnes seraya berdiri dan menghampiriku. Aku merasa semakin tidak nyaman dengan kehadirannya.

"Mau ngapain minta nomor Ayah? Dia sibuk orangnya, Yang," tegasku.

"Aku ingin bersilaturahmi, Mas. Nanti aku hubungi dia kalau dia nggak sibuk," jawab Agnes mantap.

"Silaturahmi itu secara langsung aja, nggak perlu lewat hape. Nggak sopan," tegasku lagi.

"Ya habis Masnya lama, kapan dong ngajak aku buat ketemu Ayah?" Agnes tiba-tiba merengut dan bergelayut manja di pundakku sambil mengelus-elus dadaku.

Ah, betapa menyebalkannya dia ini. Sudah kujelaskan tadi, tapi tetap saja tidak ada yang bisa dimengerti.

"Kan sudah kubilang, nanti kalau ada waktu, Yang. Kamu nggak denger aku, ya?" Suaraku sedikit meninggi, aku mulai merasa emosi. Aku tidak suka dengan perempuan yang sulit diajak berbicara.

"Nanti malam, ya, Mas. Habis Mas pulang kerja. Pokoknya nggak ada alasan lagi, nanti malam habis magrib aku ke sini lagi, oke?" Agnes tiba-tiba berjinjit dan mencium bibirku, lalu pergi dengan cepat sambil melambaikan tangan.

Padahal belum sempat aku menjawabnya, tapi sudah oke-oke saja dia.

Aku menghela napas dengan berat, lalu geleng-geleng kepala. "Ya sudahlah, toh hanya bertemu saja. Sepertinya tidak masalah," gumamku.

Aku segera masuk ke dalam mobil, lalu memulai perjalanan menuju kantor.

Setengah dari perjalanan, aku tiba-tiba teringat. "Oh ya, aku lupa untuk bertanya kepada asistenku tentang persiapan meetingnya nanti. Jangan sampai ada yang dia lupakan, karena aku tidak enak. Orang-orang yang ikut meeting adalah orang-orang yang sangat penting untuk kelangsungan bisnisku," pikirku sambil fokus mengemudi.

Perlahan, aku merogoh hape di dalam kantong celana, yang sudah terisi penuh baterainya setelah sempat aku charger tadi.

Namun, tiba-tiba...

"Aakkkhh!!"

Seorang anak kecil yang entah darimana asalnya menjerit histeris tepat di depan mobilku.

Ah, sialan ini bocah! Benar-benar ingin cari mati! Kenapa dia justru diam ditengah jalan begini? Kenapa dia tidak langsung berlari menghindari mobilku?

Waduuuhhh 😣

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Panas Dengan Mantan Suami   (S2) 103. Aku malu

    Ayah Calvin, dengan wajah pucat pasi dan mata yang berkaca-kaca, akhirnya bisa menghentikan langkah Jamal. Lengan kekarnya menggenggam erat lengan Jamal."Jamal, jangan laporkan masalah ini ke polisi! Anakmu pasti akan sembuh dan semua biaya aku yang tanggung!" Suaranya bergetar, penuh keputusasaan.Belum sempat Jamal bereaksi, seorang polisi, tinggi besar dengan seragam rapi, tiba-tiba datang menghampiri mereka. Sorot matanya tajam, mengamati situasi dengan tenang."Maaf, ada yang bisa saya bantu, Pak?" suara polisi itu terdengar datar, profesional."Saya mau melaporkan seorang perempuan yang telah menabrak anak saya hingga membuatnya lumpuh, Pak," jawab Jamal cepat, suaranya masih bergetar, namun tekadnya bulat."Baik, kalau begitu Bapak bisa ikuti saya." Polisi itu menunjuk ke arah ruang pengaduan, langkahnya pasti. Namun, sebelum Jamal melangkah, Ayah Calvin kembali menghalangi, tubuhnya bergetar hebat. Dia masih berusaha men

  • Malam Panas Dengan Mantan Suami   (S2) 102. Masa depannya masih panjang

    Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Sebuah celah sempit yang menjanjikan jawaban, namun juga menyimpan ketakutan. Seorang dokter pria, muncul dari baliknya. Pakaiannya serba biru dan tertutup rapat, hanya kedua matanya yang terlihat. Jamal, wajahnya pucat pasi, segera mendekat dengan kepanikan yang tak terbendung. "Bagaimana kondisi anak saya, Dok? Bagaimana operasinya?" Suaranya bergetar, penuh harap dan cemas. "Operasinya berjalan lancar, Pak. Namun, ada hal yang perlu saya sampaikan ...." "Apa itu, Dok?" tanya Jamal penasaran. Ayah Calvin langsung berdiri dari duduknya, begitu pun dengan Keiko dan Bunda Viona. "Sebelumnya, apakah Anda semua keluarga pasien?" Dokter itu bertanya, tatapannya menyapu wajah Jamal, Ayah Calvin, dan Keiko yang berdiri di sana, terpaku. Dua orang asing yang sebelumnya bersama Keiko telah pergi, karena mereka sudah tak ada urusan

  • Malam Panas Dengan Mantan Suami   (S2) 101. Bukanlah orang baik

    Setelah berhasil mengecek rekaman CCTV, Kenzie menarik napas panjang. Di layar monitor, terlihat jelas saat Papa Bahri turun dari mobilnya di parkiran, Papa Darman tiba-tiba muncul dan melayangkan pukulan tepat mengenai wajahnya. Sebuah serangan yang tiba-tiba dan tanpa peringatan. Namun, yang mengejutkan Kenzie, Papa Bahri tidak langsung membalas. Mereka sempat beradu mulut sebentar, jarak mereka cukup dekat sehingga bibir mereka terlihat bergerak, namun suara tidak terekam. Barulah setelah beberapa saat, Papa Bahri membalas serangan, dan perkelahian pun dimulai. Rekaman hanya menampilkan gambar, tanpa suara, sehingga Kenzie tak tahu isi percakapan mereka. Kekecewaan memenuhi hatinya. Bukti visual memang menunjukkan siapa yang memulai perkelahian, tetapi motivasi di baliknya masih menjadi misteri. "Waktu kamu lihat mereka berkelahi, kamu sempat dengar mereka ada ngomong tentang

  • Malam Panas Dengan Mantan Suami   (S2) 100. Simpan saja maafmu!

    “Iya, Pak. Benar,” sahut salah satu dari mereka. Tatapannya mengamati Jamal dengan seksama, mencari kepastian. “Apakah Bapak keluarga dari Nena?” Pertanyaan itu diutarakan dengan nada yang penuh perhatian. “Yaa… aku keluarganya, aku Papanya Nena.” Suara Jamal sedikit bergetar, menunjukkan kecemasan dan kepanikan yang dia rasakan. Dia tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya terhadap kondisi putrinya. “Papanya?!” Ayah Calvin reflek menyeru, suaranya meninggi karena terkejut. Dia tersentak kaget, tak mampu membayangkan skenario ini. Wajahnya menunjukkan campuran rasa kaget, tak percaya, dan sedikit simpati. Dia tidak pernah menduga bahwa bocah yang ditabrak Keiko adalah anaknya Jamal, sebuah fakta yang mengejutkan dan tak terduga. Selama ini, dia hanya tahu status Jamal yang menduda, itu pun informasi yang diperoleh dari Kenzie, tanpa detail lebih lanjut tentang kehidupan pribadi Jamal. “Bapak ikut saya untuk menemui Suster, dia meminta tanda tangan Bapak segera untuk proses operasi

  • Malam Panas Dengan Mantan Suami   (S2) 99. Kronologinya

    (POV Author)“APA?! Berkelahi?!” Pekik Zea dan Kenzie serempak, mata mereka melebar tak percaya. Kaget bukan main, mereka sama sekali tak mampu membayangkan apa yang menyebabkan pertengkaran itu.“Iya, Pak. Sebaiknya Bapak ikut saya sebentar,” pinta Akmal, suaranya terdengar sedikit tegang.Opa Andre berdiri dengan sigap, wajahnya mencerminkan kekhawatiran. Tak lama, Oma Dinda, yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk masih melilit rambutnya, mendekati mereka.“Cepat ke sana, Ken. Biar Opa saja yang meneruskan menyuapi Zea,” ucap Opa Andre, suaranya lembut namun tegas. Ada keprihatinan yang tersirat di balik kata-katanya.“Iya, Opa.” Kenzie mengangguk, tatapannya tertuju pada Zea sejenak, seolah ingin menyampaikan ketenangan sebelum pergi. “Aku pergi dulu sebentar ya, Zea. Kamu habiskan makanmu.”Zea mengangguk cepat, matanya masih terpaku pada Kenzie yang bergegas pergi. Kenzie bersama Akmal menuju parkiran rumah sakit, langkahnya terasa berat.Di sana, dua sat

  • Malam Panas Dengan Mantan Suami   (S2) 98. Gala Sky Prawira

    "Kenapa kamu bengong?" Suara Kak Kenzie, lembut namun sedikit khawatir, membuatku tersentak.Pandanganku masih terpaku pada makhluk mungil itu, bayi kecil yang baru saja hadir ke dunia.Benar kata Bunda, dia mirip sekali dengan Kak Kenzie, hidung mancung, mata sipit yang indah, dan senyum tipis yang samar-samar terlihat saat dia tertidur. Bahkan, ada sedikit kemiripan dengan Ayah Calvin."Kamu nggak senang, ya, kalau anak kita lebih mirip ke aku, bukan ke kamu?" Pertanyaannya kali ini, walaupun masih lembut, menunjukkan sedikit kecemburuan, membuatku menoleh padanya. Tatapannya penuh harap, mencari jawaban yang bisa menenangkan hatinya."Senang. Aku senang kok, Kak," jawabku cepat, suaraku terdengar serak."Kenapa harus pakai 'kok' segala sih, Zea? Kayak kepaksa gitu." Kak Kenzie mengerucutkan bibir, ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan, bahkan sedikit kekesalan.Dia tampak tidak senang dengan jawabanku, atau mungkin dia curiga jika aku benar-benar tidak senang melih

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status