"Iya, Kak. Aku sungguh-sungguh!" Tanpa banyak berpikir, aku langsung menjawabnya dengan mantap. Kupikir ini adalah hal yang benar untuk dilakukan.
"Baiklah." Kak Calvin langsung memundurkan langkah, menjauh dariku lalu memakai kembali jas biru navy-nya. Namun, kulihat wajahnya menjadi masam sekarang. Ada apa lagi dengannya? Kenapa seolah-olah jawaban yang aku berikan terdengar tidak mengenakan untuknya? Apa memang ini merugikannya? Padahal 'kan tidak, karena jelas-jelas aku yang telah diperkosa di sini. Kak Calvin ini benar-benar aneh sekali. Aku jadi bingung sendiri. "Aku minta maaf ya, Kak." Bingung ingin berbuat apa, jadi kuputuskan untuk meminta maaf saja. "Ngapain minta maaf, kan sudah jelas kamu korban di sini," sahut Kak Calvin dengan ketus, tanpa menatapku dia berjalan ke arah pintu. Handle pintu itu sudah dia pegang, dapat kulihat tubuhnya dari belakang. Namun, gerakan tangannya tiba-tiba terhenti. "Aku mau pulang. Kamu cepat pakai pakaianmu lalu segera pulang, karena kamar ini bukan aku yang sewa." "Iya, Kak." Tanpa menanggapi ucapanku, Kak Calvin langsung pergi begitu saja. Meninggalkanku yang masih bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah. Sepertinya dia marah padaku. Ah... aku jadi makin merasa bersalah. Tapi ya sudahlah, biarkan saja. Lebih baik aku segera pergi dari sini, karena sepertinya aku salah masuk kamar. Setelah membersihkan tubuh dan bersiap-siap memakai kembali pakaian, aku lantas keluar dari kamar lalu menutup pintu. Kuperhatikan nomor kamarnya lebih dulu sebelum meninggalkan tempat ini, untuk memastikan apakah benar aku salah kamar. Lalu kucocokkan dengan chat dari Nona Agnes. Bodohnya aku, ternyata memang benar-benar salah kamar. Pada chat tertulis nomor 1006 lantai 4. Sementara lantai dimana aku berpijak sekarang adalah lantai 3 dan nomor kamarnya pun 106. Kurang 0 dan kurang satu lantai. Ini sih gila namanya, aku mencari penyakitku sendiri. Viona, Viona, kenapa selalu saja kamu ceroboh! Aku mengacak rambut dengan frustasi. Ah tapi ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Daripada terus menggerutuki diri sendiri dan itu tidak ada gunanya, lebih baik aku pulang saja. Papa dan Kenzie pasti sudah menungguku di rumah, dan sepertinya Papa akan memarahiku. Kulihat selain Nona Agnes, ada banyak chat serta panggilan tidak terjawab dari Papa juga. Tapi chat tersebut sengaja tidak aku buka, karena toh aku juga mau pulang sekarang. * * * Setibanya di rumah, baru turun dari ojek online, aku langsung disambut oleh tatapan tajam dari Papa yang berada di teras depan. Pria bergelar duda itu semula tengah duduk, kemudian berdiri seraya melangkah mendekat ke arahku. "Assalamualaikum, Pa." Sebelum dia bicara, bahkan sudah sempat kulihat mulutnya menganga, aku lebih dulu mengucapkan salam lalu mencium punggung tangannya dengan penuh rasa hormat. "Walaikum salam. Ke mana saja kamu dari semalam? Kenapa nggak pulang?" tanyanya dengan nada menginterogasi, matanya langsung melotot, menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. "Aku lembur, Pa," jawabku berbohong. Tapi tidak juga sih, aku memang semalam lembur kurang tidur. Bercinta dengan mantan menantunya. "Lembur sampai pagi? Tapi kok nggak bilang dulu kamu sama Papa? Kenapa?" cecarnya lagi, suara penuh kekecewaan dan ketidakpercayaan, menciptakan ketegangan di udara antara kami. "Iya, soalnya aku-" Ucapanku seketika terhenti, saat melihat Kenzie tiba-tiba berlari keluar dari rumah dan memanggilku dengan girang. "Bundaaaaaa!!" Kedua tangannya terbuka lebar, segera aku sambut karena pastinya dia akan memelukku dengan penuh kegembiraan. "Bunda kemana saja?? Kok nggak pulang dali semalaman? Telus ... Di mana Ayah?" tanyanya dengan polos, lalu menoleh ke kanan dan kiri, seperti mencari-cari seseorang. Ya Allah ... baru juga sampai rumah, tapi kamu sudah menanyakan Ayahmu. Harusnya biarkan dulu Bundamu ini masuk lalu mandi, Bunda belum mandi dari kemarin sore, Nak. "Bunda lembur, Sayang," jawabku sambil menghela napas dengan berat, lalu mengelus pucuk rambutnya penuh kasih sayang. "Kita masuk dulu, yuk, Bunda mau mandi." Suara penuh kelembutan dan perhatian terdengar dalam jawabanku, mencerminkan rasa sayang yang mendalam kepada Kenzie. "Habis mandi kita cali Ayah, ya?" pintanya merengek, bahkan saat ingin kugendong dia menolak. Aku langsung berjongkok, lalu menangkup kedua pipinya yang terlihat memerah. Wajahnya juga mendadak cemberut. "Kenzie ... Bunda 'kan udah bilang, kalau Ayah itu ada di Korea. Jauh, Nak. Kita nggak ada ongkos buat ke sana." Sedari dulu, hanya alasan itu yang aku punya. Ayahnya Kenzie berada diluar negeri, sedang bekerja. "Bunda 'kan kelja telus, masa dali dulu duitnya nggak kumpul-kumpul buat kita pelgi ke Kolea?" tanyanya dengan nada kesal, jemari kecilnya terlihat meremmas ujung baju. "Bukan enggak kumpul-kumpul, tapi biayanya memang mahal, Nak. Lagian, kamu juga nggak perlu terus mencari Ayah. Nanti kalau sudah waktunya ... Ayah pasti akan pulang sendiri, kamu sabar aja." Semoga dia tidak bosan, karena hampir sering kalimat seperti itu yang kuutarakan setiap kali melihat Kenzie marah. "Enggak maauuu!!" teriak Kenzie tiba-tiba, kedua kakinya terhentak keras. "Pokoknya Kenzie mau ketemu Ayah sekalang juga, nggak mau nanti-nanti!! Kalau Bunda atau Kakek nggak mau antal Kenzie buat ketemu dengan Ayah ... Kenzie mau cali sendili!" tambahnya sambil meneteskan air mata, lalu tiba-tiba berlari. "Kenzie!" Aku dan Papa terkejut melihatnya, segera kami berlari untuk mengejar. Bocah berumur 5 tahun itu terlihat berlari cepat menelusuri jalan kecil, melewati beberapa rumah warga. Wajahnya penuh dengan ekspresi kebingungan dan keinginan yang kuat. Larinya begitu cepat seperti kelinci. Ya Allah, sesak sekali napasku rasanya. Ditambah selangkaanganku masih terasa sakit bekas semalam, namun aku tak bisa membiarkannya pergi begitu saja. Karena selama ini, semarah apa pun Kenzie, dia tidak pernah sampai lari-lari pergi dari rumah. Paling hanya mengurung diri di kamar dan tidak mau membuka pintu. "Jangan marah, Nak! Maafin Bunda!" teriakku sambil meringis, mencoba menahan sakit dan masih berusaha berlari. "Kenzie berhenti!! Ayok sama Kakek! Kita pergi cari Ayaaah!" teriak Papa dengan suara gemetar, lalu melompat dan akhirnya berhasil meraih tubuh kecil Kenzie dalam dekapannya. "Alhamdulillah ...." Aku langsung menghentikan langkah kakiku dan terduduk dijalan, kuatur napas yang terengah-engah sembari mengusap keringat yang bercucuran di dahi, merasakan kelelahan dan kekhawatiran yang mendalam. "Aaawww!!" Baru saja aku bernapas lega dan berucap syukur, tiba-tiba, Papa berteriak dan saat kulihat tangan Kenzie tengah meremmas inti tubuhnya. Mataku sontak membulat sempurna. Ya ampun, apa yang bocah itu lakukan? Kenapa dia menyakiti Kakeknya sendiri? Papa menurunkan tubuh Kenzie dan segera menyentuh kantong menyannya sambil meringis kesakitan. Disaat itu, Kenzie berlari kabur berbelok ke pertigaan sebelah kanan, meninggalkan kami dalam kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam. Aku langsung berdiri, lalu dengan tenaga yang tersisa berlari mengejarnya. Dasar bocah, apa-apaan coba dia, kenapa pakai segala ngambek dan kabur segala sih? Saat kususul dan kucari-cari, sepertinya aku kehilangan jejak anakku. Bocah lucu itu tidak ada dimana-mana. Apakah ini artinya dia hilang? Ya Allah! "Kenzieeee!! Ke mana kamu, Nak?!" teriakku panik, suara gemetar dan penuh kekhawatiran, mencari-cari dengan penuh harapan namun juga kegelisahan yang mendalam, merasakan kehilangan yang tak terbayangkan sebelumnya. Kirain cuma si Sony Wakwaw aja yang nyari bapaknya, ternyata Kenzie Wakwaw juga 🤣🤣Ayah Calvin, dengan wajah pucat pasi dan mata yang berkaca-kaca, akhirnya bisa menghentikan langkah Jamal. Lengan kekarnya menggenggam erat lengan Jamal."Jamal, jangan laporkan masalah ini ke polisi! Anakmu pasti akan sembuh dan semua biaya aku yang tanggung!" Suaranya bergetar, penuh keputusasaan.Belum sempat Jamal bereaksi, seorang polisi, tinggi besar dengan seragam rapi, tiba-tiba datang menghampiri mereka. Sorot matanya tajam, mengamati situasi dengan tenang."Maaf, ada yang bisa saya bantu, Pak?" suara polisi itu terdengar datar, profesional."Saya mau melaporkan seorang perempuan yang telah menabrak anak saya hingga membuatnya lumpuh, Pak," jawab Jamal cepat, suaranya masih bergetar, namun tekadnya bulat."Baik, kalau begitu Bapak bisa ikuti saya." Polisi itu menunjuk ke arah ruang pengaduan, langkahnya pasti. Namun, sebelum Jamal melangkah, Ayah Calvin kembali menghalangi, tubuhnya bergetar hebat. Dia masih berusaha men
Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Sebuah celah sempit yang menjanjikan jawaban, namun juga menyimpan ketakutan. Seorang dokter pria, muncul dari baliknya. Pakaiannya serba biru dan tertutup rapat, hanya kedua matanya yang terlihat. Jamal, wajahnya pucat pasi, segera mendekat dengan kepanikan yang tak terbendung. "Bagaimana kondisi anak saya, Dok? Bagaimana operasinya?" Suaranya bergetar, penuh harap dan cemas. "Operasinya berjalan lancar, Pak. Namun, ada hal yang perlu saya sampaikan ...." "Apa itu, Dok?" tanya Jamal penasaran. Ayah Calvin langsung berdiri dari duduknya, begitu pun dengan Keiko dan Bunda Viona. "Sebelumnya, apakah Anda semua keluarga pasien?" Dokter itu bertanya, tatapannya menyapu wajah Jamal, Ayah Calvin, dan Keiko yang berdiri di sana, terpaku. Dua orang asing yang sebelumnya bersama Keiko telah pergi, karena mereka sudah tak ada urusan
Setelah berhasil mengecek rekaman CCTV, Kenzie menarik napas panjang. Di layar monitor, terlihat jelas saat Papa Bahri turun dari mobilnya di parkiran, Papa Darman tiba-tiba muncul dan melayangkan pukulan tepat mengenai wajahnya. Sebuah serangan yang tiba-tiba dan tanpa peringatan. Namun, yang mengejutkan Kenzie, Papa Bahri tidak langsung membalas. Mereka sempat beradu mulut sebentar, jarak mereka cukup dekat sehingga bibir mereka terlihat bergerak, namun suara tidak terekam. Barulah setelah beberapa saat, Papa Bahri membalas serangan, dan perkelahian pun dimulai. Rekaman hanya menampilkan gambar, tanpa suara, sehingga Kenzie tak tahu isi percakapan mereka. Kekecewaan memenuhi hatinya. Bukti visual memang menunjukkan siapa yang memulai perkelahian, tetapi motivasi di baliknya masih menjadi misteri. "Waktu kamu lihat mereka berkelahi, kamu sempat dengar mereka ada ngomong tentang
“Iya, Pak. Benar,” sahut salah satu dari mereka. Tatapannya mengamati Jamal dengan seksama, mencari kepastian. “Apakah Bapak keluarga dari Nena?” Pertanyaan itu diutarakan dengan nada yang penuh perhatian. “Yaa… aku keluarganya, aku Papanya Nena.” Suara Jamal sedikit bergetar, menunjukkan kecemasan dan kepanikan yang dia rasakan. Dia tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya terhadap kondisi putrinya. “Papanya?!” Ayah Calvin reflek menyeru, suaranya meninggi karena terkejut. Dia tersentak kaget, tak mampu membayangkan skenario ini. Wajahnya menunjukkan campuran rasa kaget, tak percaya, dan sedikit simpati. Dia tidak pernah menduga bahwa bocah yang ditabrak Keiko adalah anaknya Jamal, sebuah fakta yang mengejutkan dan tak terduga. Selama ini, dia hanya tahu status Jamal yang menduda, itu pun informasi yang diperoleh dari Kenzie, tanpa detail lebih lanjut tentang kehidupan pribadi Jamal. “Bapak ikut saya untuk menemui Suster, dia meminta tanda tangan Bapak segera untuk proses operasi
(POV Author)“APA?! Berkelahi?!” Pekik Zea dan Kenzie serempak, mata mereka melebar tak percaya. Kaget bukan main, mereka sama sekali tak mampu membayangkan apa yang menyebabkan pertengkaran itu.“Iya, Pak. Sebaiknya Bapak ikut saya sebentar,” pinta Akmal, suaranya terdengar sedikit tegang.Opa Andre berdiri dengan sigap, wajahnya mencerminkan kekhawatiran. Tak lama, Oma Dinda, yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk masih melilit rambutnya, mendekati mereka.“Cepat ke sana, Ken. Biar Opa saja yang meneruskan menyuapi Zea,” ucap Opa Andre, suaranya lembut namun tegas. Ada keprihatinan yang tersirat di balik kata-katanya.“Iya, Opa.” Kenzie mengangguk, tatapannya tertuju pada Zea sejenak, seolah ingin menyampaikan ketenangan sebelum pergi. “Aku pergi dulu sebentar ya, Zea. Kamu habiskan makanmu.”Zea mengangguk cepat, matanya masih terpaku pada Kenzie yang bergegas pergi. Kenzie bersama Akmal menuju parkiran rumah sakit, langkahnya terasa berat.Di sana, dua sat
"Kenapa kamu bengong?" Suara Kak Kenzie, lembut namun sedikit khawatir, membuatku tersentak.Pandanganku masih terpaku pada makhluk mungil itu, bayi kecil yang baru saja hadir ke dunia.Benar kata Bunda, dia mirip sekali dengan Kak Kenzie, hidung mancung, mata sipit yang indah, dan senyum tipis yang samar-samar terlihat saat dia tertidur. Bahkan, ada sedikit kemiripan dengan Ayah Calvin."Kamu nggak senang, ya, kalau anak kita lebih mirip ke aku, bukan ke kamu?" Pertanyaannya kali ini, walaupun masih lembut, menunjukkan sedikit kecemburuan, membuatku menoleh padanya. Tatapannya penuh harap, mencari jawaban yang bisa menenangkan hatinya."Senang. Aku senang kok, Kak," jawabku cepat, suaraku terdengar serak."Kenapa harus pakai 'kok' segala sih, Zea? Kayak kepaksa gitu." Kak Kenzie mengerucutkan bibir, ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan, bahkan sedikit kekesalan.Dia tampak tidak senang dengan jawabanku, atau mungkin dia curiga jika aku benar-benar tidak senang melih