Ada yang tau yang datang siapa?
Setelah berhasil mengecek rekaman CCTV, Kenzie menarik napas panjang. Di layar monitor, terlihat jelas saat Papa Bahri turun dari mobilnya di parkiran, Papa Darman tiba-tiba muncul dan melayangkan pukulan tepat mengenai wajahnya. Sebuah serangan yang tiba-tiba dan tanpa peringatan. Namun, yang mengejutkan Kenzie, Papa Bahri tidak langsung membalas. Mereka sempat beradu mulut sebentar, jarak mereka cukup dekat sehingga bibir mereka terlihat bergerak, namun suara tidak terekam. Barulah setelah beberapa saat, Papa Bahri membalas serangan, dan perkelahian pun dimulai. Rekaman hanya menampilkan gambar, tanpa suara, sehingga Kenzie tak tahu isi percakapan mereka. Kekecewaan memenuhi hatinya. Bukti visual memang menunjukkan siapa yang memulai perkelahian, tetapi motivasi di baliknya masih menjadi misteri. "Waktu kamu lihat mereka berkelahi, kamu sempat dengar mereka ada ngomong tentang
“Iya, Pak. Benar,” sahut salah satu dari mereka. Tatapannya mengamati Jamal dengan seksama, mencari kepastian. “Apakah Bapak keluarga dari Nena?” Pertanyaan itu diutarakan dengan nada yang penuh perhatian. “Yaa… aku keluarganya, aku Papanya Nena.” Suara Jamal sedikit bergetar, menunjukkan kecemasan dan kepanikan yang dia rasakan. Dia tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya terhadap kondisi putrinya. “Papanya?!” Ayah Calvin reflek menyeru, suaranya meninggi karena terkejut. Dia tersentak kaget, tak mampu membayangkan skenario ini. Wajahnya menunjukkan campuran rasa kaget, tak percaya, dan sedikit simpati. Dia tidak pernah menduga bahwa bocah yang ditabrak Keiko adalah anaknya Jamal, sebuah fakta yang mengejutkan dan tak terduga. Selama ini, dia hanya tahu status Jamal yang menduda, itu pun informasi yang diperoleh dari Kenzie, tanpa detail lebih lanjut tentang kehidupan pribadi Jamal. “Bapak ikut saya untuk menemui Suster, dia meminta tanda tangan Bapak segera untuk proses operasi
(POV Author)“APA?! Berkelahi?!” Pekik Zea dan Kenzie serempak, mata mereka melebar tak percaya. Kaget bukan main, mereka sama sekali tak mampu membayangkan apa yang menyebabkan pertengkaran itu.“Iya, Pak. Sebaiknya Bapak ikut saya sebentar,” pinta Akmal, suaranya terdengar sedikit tegang.Opa Andre berdiri dengan sigap, wajahnya mencerminkan kekhawatiran. Tak lama, Oma Dinda, yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk masih melilit rambutnya, mendekati mereka.“Cepat ke sana, Ken. Biar Opa saja yang meneruskan menyuapi Zea,” ucap Opa Andre, suaranya lembut namun tegas. Ada keprihatinan yang tersirat di balik kata-katanya.“Iya, Opa.” Kenzie mengangguk, tatapannya tertuju pada Zea sejenak, seolah ingin menyampaikan ketenangan sebelum pergi. “Aku pergi dulu sebentar ya, Zea. Kamu habiskan makanmu.”Zea mengangguk cepat, matanya masih terpaku pada Kenzie yang bergegas pergi. Kenzie bersama Akmal menuju parkiran rumah sakit, langkahnya terasa berat.Di sana, dua sat
"Kenapa kamu bengong?" Suara Kak Kenzie, lembut namun sedikit khawatir, membuatku tersentak.Pandanganku masih terpaku pada makhluk mungil itu, bayi kecil yang baru saja hadir ke dunia.Benar kata Bunda, dia mirip sekali dengan Kak Kenzie, hidung mancung, mata sipit yang indah, dan senyum tipis yang samar-samar terlihat saat dia tertidur. Bahkan, ada sedikit kemiripan dengan Ayah Calvin."Kamu nggak senang, ya, kalau anak kita lebih mirip ke aku, bukan ke kamu?" Pertanyaannya kali ini, walaupun masih lembut, menunjukkan sedikit kecemburuan, membuatku menoleh padanya. Tatapannya penuh harap, mencari jawaban yang bisa menenangkan hatinya."Senang. Aku senang kok, Kak," jawabku cepat, suaraku terdengar serak."Kenapa harus pakai 'kok' segala sih, Zea? Kayak kepaksa gitu." Kak Kenzie mengerucutkan bibir, ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan, bahkan sedikit kekesalan.Dia tampak tidak senang dengan jawabanku, atau mungkin dia curiga jika aku benar-benar tidak senang melih
(POV Kenzie)"Suster! Tolong istriku, dia sakit perut dan pendarahan!" Jeritku memecah kesunyian lorong rumah sakit, suaraku bergetar tak terkendali.Zea terkulai lemas dalam gendonganku, wajahnya pucat pasi. Rasa cemas menggerogoti, mencekik tenggorokanku hingga sesak.Aku takut… takut kehilangan Zea, takut kehilangan calon buah hati kami. Bayangan kehilangan mereka berdua menghantuiku, membuat langkahku terasa berat."Bawa istri Anda ke UGD, Pak. Mari ikuti saya," ucap Suster. Aku langsung mengikuti langkahnya. Di UGD, seorang dokter wanita sudah menunggu. Tatapannya tajam, menilai kondisiku dan Zea sekilas. Aku segera membaringkan Zea di atas tempat tidur, tubuhnya terasa dingin."Tolong istriku, Dok! Dia pendarahan dan sakit perut. Di jalan tadi pingsan karena mengeluh sakit kepala." Aku mencurahkan semua yang terjadi, kata-kataku terburu-buru, didorong oleh rasa panik yang membuncah. Aku ingin Zea segera ditangani, aku tak sanggup melihatnya menderita."Baik, b
"Bagaimana? Apa kata Ibu Panti?"Pertanyaan Bunda Viona terlontar setibanya kami di rumah.Aku ingin sekali bercerita, menuangkan semua yang kurasakan hari ini, tapi tubuhku terasa remuk, berat sekali. Hanya satu yang kupikirkan: kasur yang empuk dan selimut yang hangat. Aku ingin segera berbaring."Ceritanya nanti saja, Bun, biar Zea istirahat dulu." Suara Kak Kenzie, lembut dan penuh pengertian, menyelamatkanku dari pertanyaan Bunda. Dia seolah mengerti kelelahan yang kurasakan."Oh ya sudah, istirahatlah dulu." Bunda mengangguk, suaranya penuh kelembutan.Kami pun melangkah meninggalkan Bunda, langkah kakiku terasa berat, menarik setiap serat tenagaku. Menuju lantai atas."Kamu kepengen apa? Biar aku ambilkan," tawar Kak Kenzie, suaranya terdengar begitu dekat dan hangat. Selimut dia tarik hingga menutupi tubuhku, sentuhannya lembut, menenangkan. Rambutku dia elus penuh kasih sayang"Enggak usah, Kak. Aku nggak kepengen apa-apa." Aku menggeleng lemah, suaraku serak, mencerminkan k