Ada yang tau yang datang siapa?
"Emm ...," aku menggantung kalimatku, mencari kata-kata yang tepat. "Belum kepikiran, Bun." jawabku akhirnya, sedikit canggung."Ya udah, nggak perlu dipikirkan sekarang. Santai saja." Bunda mengelus pundakku penuh perhatian. Aku hanya mengangguk.***"Bundaaa!!"Jeritan bahagia itu memecah hiruk pikuk Bandara Soekarno-Hatta. Gelombang manusia berlalu-lalang, arus deras yang tak pernah berhenti.Suara roda koper beradu dengan derap langkah kaki terburu-buru. Di tengah keramaian itu, seorang perempuan yang kuyakini adalah Keiko berlari menghamburkan pelukan kepada Bunda.Rambut pirangnya yang tergerai berkilauan, kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Dua koper besar tergeletak di lantai, tak dihiraukannya.Bunda menyambut pelukan itu dengan erat, tangis haru tertahan di balik senyumnya yang merekah."Alhamdulillah, akhirnya kamu sudah sampai Indonesia. Bagaimana kabarmu, Sayang? Baik?" Suara Bunda bergetar, penuh kelembutan. Jemarinya yang lembut menyentuh kedua pipi Keiko,
"Tapi masalahnya masa Ayank sih, Pak? Menurutku itu panggilan alay." Zea masih ragu, menunjukkan keraguannya terhadap pilihan panggilan tersebut. "Alay apanya? Justru itu biar kelihatan kita adalah pasangan romantis. Ah pokoknya mulai sekarang... aku mau kamu memanggilku dengan sebutan itu!" "Nggak ada yang lain apa, Pak, selain Ayank?" Zea bertanya sambil meringis geli. Menurutku, yang alay justru ekspresi dia yang seperti itu. "Kalau nggak mau Ayank, berarti Bebeb." "Ih apalagi kalau Bebeb! Lebih alay, Pak!" Zea menolak dengan tegas, menunjukkan ketidaksukaannya. "Aku nggak peduli mau kamu anggap alay atau apa, intinya aku mau dipanggil Ayank atau Bebeb sama kamu, titik!" tegasku tanpa penolakan. Zea ini kenapa sih, suka sekali membantah. Padahal seharusnya seorang istri itu nurut apa kata suaminya. Sebuah rasa kesal mulai muncul dalam hatiku. "Ya ampun ada apa sih? Kok malam-malam ribut?" Ayah tampak sudah duduk dan memerhatikan kami berdua. Sepertinya perdebatan kami tadi m
"Benar, Ayah. Aku ingin ikut menginap saja menemani Pak Kenzie," jawab Zea.Ribuan kupu-kupu berdansa di perutku. Rasa senang yang luar biasa membuncah, memenuhi seluruh rongga dada. Aku merasa puas, puas sekali dengan jawabannya. Sebuah beban seolah terangkat dari pundakku."Kamu yakin bakal bisa tidur? Tidur di rumah sakit itu 'kan nggak enak." Ayah tampak ragu, menunjukkan kekhawatirannya yang tulus. Dia menatap Zea dengan tatapan penuh tanya, mencari kepastian. Sorot matanya terpancar kekhawatiran yang dalam.Sejak tahu Zea hamil, aku merasa bukan hanya Ayah, tapi juga Bunda, jauh lebih menyayangi Zea ketimbang aku."Kalau memang Zea kepengen menemaniku ya biarkan saja, Ayah. Lagian Zea ini 'kan calon istriku, wajarlah kalau dia menemani." Suaraku terdengar sedikit menantang, mencoba menegaskan posisiku."Bukan masalah itu, Ayah tahu Zea memang calon istrimu. Tapi ... Ayah cuma khawatir nantinya dia tidak bisa tidur." Ayah mencoba menjelaskan, suaranya lembut, namun
"Bagaimana keadaan Pak Kenzie, Dok? Dia kenapa?" tanyaku begitu Dokter keluar dari ruang pemeriksaan. Pak Kenzie masih di dalam. "Pak Kenzie mengalami alergi obat, Nona." Jawaban Dokter itu membuatku terkejut. "Alergi obat?" Dahiku berkerut bingung. "Tapi Pak Kenzie sempat BAB terus, Dok." Aku menjelaskan gejalanya yang sebelumnya kupikir diare biasa. "Alergi obat memang bisa menyebabkan diare, Nona," jawabnya terlihat sabar. "Tadi saya sudah sampaikan padanya di dalam, kalau dia harus berhenti mengkonsumsi obat yang diminumnya tadi pagi." Penjelasan Dokter itu sedikit melegakan, namun juga membuatku penasaran. "Memangnya obat apa yang dia konsumsi, Dok?" "Nona bisa tanya langsung padanya." Dokter itu merogoh kantong celananya, lalu memberikan selembar kertas. "Ini resep obatnya, bisa diambil di bagian farmasi." "Biar saya saja yang ambil, Zea," tawar Pak Akmal yang sedari tadi berdiri di sampingku. Aku menyerahkan kertas itu padanya dengan lega, lalu Pak Akmal berlalu meninggalk
Sebelum aku sempat melawan, dengan gerakan cepat dan tiba-tiba, bibirnya sudah menempel di bibirku.Ciumannya kasar, penuh paksaan, menghantamku dengan brutal. Aku tersentak kaget, mataku membulat sempurna.Tanganku secara naluriah menyentuh dadanya, ingin mendorongnya menjauh. Namun, aku terlalu lambat. Dia lebih kuat, lebih cepat, gerakannya seperti kilat. Dan sebelum aku bisa bereaksi lebih lanjut, pakaianku sudah setengah terlepas, tubuhku terpapar di hadapannya.Aku pun akhirnya pasrah. Rasa tak berdaya mencengkeramku. Aku menutup mata, menunggu hal yang tak ingin kuhadapi. Mungkin, ini sudah saatnya… aku dan Pak Kenzie...."Aaaww!!" Tiba-tiba dia meringis kesakitan, suaranya tertahan. Ciumannya terhenti dengan mendadak."Kenapa, Pak?" tanyaku bingung. Aku sama sekali tidak menggigit bibirnya atau melakukan tindakan kasar yang lain, tapi kenapa dia justru kesakitan?"Keluarlah dulu, Zea, dan pakai lagi pakaianmu." Pak Kenzie membukakan pintu
“Zea, kamu dengar aku, kan?” suara Pak Kenzie meninggi, membuatku tersentak. Degupan jantungku semakin cepat."Enggak, Pak." Aku menggeleng cepat, berusaha agar suaraku terdengar tenang. "Aku nggak pakai pakaian kurang bahan itu. Dan ini juga masih terlalu pagi untuk… untuk itu, Pak. Menurutku lebih baik malam saja."Aku tahu persis ke mana arah pembicaraan ini menuju. Rasa takut mulai merayap di hatiku."Dalam bercinta itu nggak ada aturannya, Zea. Mau pagi, siang, atau malam… asalkan kita sudah sah, kapan pun bisa dilakukan."Lagi-lagi kata 'sah' ditekankan, seolah itu menjadi satu-satunya alasan yang membenarkan semua ini.Memang benar, kami sudah sah, tapi aku belum siap. Belum siap secara mental dan emosional.Hening… hanya deru mobil yang memecah kesunyian. Aku tak menjawab, bingung harus berkata apa. Kata-kata seakan macet di tenggorokan.Akhirnya, kami sampai di tujuan. Sebuah tempat pemakaman umum yang rapi dan elite. Kuburan orang-orang kaya, kurasa.Sebelum ke pusar
“Bunda… Ayah,” panggilku lirih, suara sedikit bergetar. Ayah segera menutup pintu kamar, lalu menunjuk ke arah sofa—isyarat untuk kami duduk bersama. Aku menurut, jantungku berdebar-debar, tak berani bertanya. “Ken… Mana obat yang kamu dapat dari Bunda?” tanya Ayah, suaranya tenang namun tegas, menusuk kalbuku. Dengan tangan gemetar, aku mengambil obat di atas nakas, memberikannya pada Ayah. “Maaf, Yah. Sebenarnya obat itu milikku,” aku langsung mengakui. Lebih baik jujur daripada diinterogasi. Beban berat terasa menindih pundakku. Aku yakin Bunda sudah bicara dengan Ayah, menuduhnya selingkuh, padahal akulah penyebabnya. “Milikmu?” Dahi Ayah berkerut, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. “Apa maksudmu, Ken? Ayah dapat obat ini dari Akmal, tapi dia bilang kamu yang memintanya. Tapi masalahnya …” Ayah menjeda, menoleh ke Bunda yang menatapku dengan tatapan penuh tanya. “Ayah tidak pernah memintamu membelikan obat seperti itu, Kenzie. Ayah yakin.” “Memang tidak pernah, Ya
(POV Kenzie) "Tunggu dulu, Pak!" Zea menahan langkahku, saat bibirku hampir menyentuh bibirnya. Detik-detik yang seharusnya penuh gairah, kini terasa menggantung. Ah, kebiasaan dia ini, selalu jual mahal. "Apa lagi? Kamu nggak boleh menolak lho, Zea. Ini kan sudah kesepakatan kita." Tanpa menunggu jawaban, aku menggendongnya, membawanya ke ranjang. Namun, saat tubuhnya terbaring lembut di kasur, mataku membulat tak percaya. Bunda terbaring di sana, matanya terpejam dalam tidur lelap. "Lho, kok Bunda ada di sini, Zea?" Rasa kecewa memenuhi dada. Jika Bunda ada di sini, rencana indahku pasti gagal. Aku tak mau! "Iya, Pak. Itulah yang ingin kusampaikan tadi. Bunda ada di sini." "Tapi kenapa bisa?" Aku butuh penjelasan, jawaban yang masuk akal. "Jangan bilang kamu sengaja meminta Bunda ke kamarmu, supaya kita nggak jadi bercinta, kan??" Ini pasti strategi Zea, memanfaatkan kebaikan Bunda untuk menggagalkan niatku. Aku tahu itu, tapi aku tak mudah menyerah. "Bapak jangan
Ceklek…Pintu kamar mandi terbuka perlahan, memperlihatkan Ayah Calvin yang baru saja selesai mandi. Hanya berbalut handuk, langkahnya menuju lemari. Namun, pandangannya terhenti. Di ranjang, terhampar tubuh Bunda Viona yang tertidur pulas membelakangi dirinya. Cahaya lampu tidur remang-remang menerangi rambut istrinya yang terurai."Tumben Bunda udah tiduran di kasur?" tanyanya sembari memakai pakaian, suaranya pelan, penuh perhatian.Hening...Tak ada jawaban dari istrinya. Tubuh Bunda Viona juga tak merespon.Merasa penasaran, dan sedikit khawatir, Ayah Calvin pun mendekati kasur. Dia naik ke kasur dengan hati-hati, menatap wajah Bunda Viona yang tenang dalam tidur.Dengkurannya samar-samar terdengar, menandakan lelapnya tidur sang istri. Namun, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatnya sedikit cemas."Bunda pasti capek, ya, hari ini, mangkanya Ayah ditinggal tidur." Ayah Calvin mendekatkan wajahnya, lalu mencium lembut kening istrinya penuh kasih. "Ya sudah, Ayah mak