"Itu bukan urusanmu!" Aku berteriak, kali ini lebih kencang. Aku sudah kehilangan kesabaranku. "Menyingkirlah, atau aku panggil satpam untuk menghentikanmu!" ancamku.Helen terdiam sejenak, matanya masih menatap Zea dengan tatapan yang sulit diartikan. Setelah beberapa saat, dia akhirnya mundur, membiarkan kami pergi.Aku menghela napas lega, merasakan beban yang baru saja terangkat dari pundakku. Jika boleh diminta, aku ingin tidak bertemu dengannya lagi. Karena dengan melihat wajahnya, itu akan membuka luka lamaku.Aku sudah membuka lembaran baru di hidupku, dan aku hanya ingin memikirkan Zea saja. Dia adalah masa depanku sekarang, istriku, dan ibu dari anakku. Dia adalah segalanya bagiku.Di perjalanan menuju makam ibunya, Zea terlihat diam saja. Tidak berkomentar apa-apa tentang kejadian yang baru saja terjadi. Suasana mendadak menjadi tegang."Kamu kenapa? Kok diem aja?" tanyaku khawatir, mencuri pandang sebentar sambil mengemudi, mencoba untuk mencairkan s
"E-eh??" Aku terkejut mendengar ide dari Opa. Padahal aku sudah serius mendengarkan penjelasan panjang lebar tentang bagaimana caranya membuat wanita tertawa, ternyata jawabannya… se-absurd itu. Aku menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang."Maksudku, bukan tertawa yang seperti itu, Opa," kataku menjelaskan, suaraku terdengar sedikit putus asa. Mungkin Opa memang tidak mengerti maksudku. Aku harus lebih spesifik."Terus, yang seperti apa?" Opa bertanya balik, suaranya masih terdengar riang."Tertawa tanda bahagia, ikhlas, dari lubuk hatinya. Itu yang aku inginkan," jelasku, mencoba untuk memilih kata-kata yang tepat."Oohh… ngomong dong dari tadi." Opa terdengar sedikit mengerti, suaranya sedikit lebih serius sekarang."Iya, mungkin salahku tadi tidak menjelaskannya dengan detail.""Kalau begitu ajak saja dia nonton film favoritnya, atau bisa juga film komedi. Pasti nanti dia tertawa." Opa memberikan saran, namun, saran itu terasa hambar bagiku.Aku ingin Z
“Kamu kenapa? Apa ada masalah?" tanyaku penasaran, seraya menangkup kedua pipinya dengan lembut. "Enggak." Zea menggeleng cepat. "Aku cuma nggak sabar ingin cepat melihat anak kita lahir, Kak.” “Oh. Sama ... aku juga nggak sabar. Tapi kamu nggak perlu sedih begitu dong. Bagaimana kalau makan rendangnya sekarang? Nanti keburu dingin nggak enak.” Aku mencoba mengalihkan perhatiannya pada makanan, berharap dengan begitu Zea tak lagi larut dalam kesedihannya. Aku mencoba mencari cara untuk menghiburnya. Sepertinya dia sedih karena sedang hamil. Mungkin, kondisi kehamilannya yang semakin berat membuatnya tidak nyaman. Perutnya yang semakin membuncit juga membuatnya tidak bisa bergerak bebas seperti biasanya. Aku harus lebih peka. “Iya, Kak.” Zea mengangguk, lalu tiba-tiba mencium bibirku. Sentuhannya terasa begitu lembut. Meskipun hanya sebentar, tapi itu mampu membuat jantungku berdebar kencang. Ini... Pertama kali Zea menciumku. Rasanya menakjubkan sekali. Aku juga merasakan ad
Tidak! Rasanya itu tak mungkin terjadi. Aku menepis jauh-jauh pikiran mengerikan itu.Hubunganku dengan Zea baik-baik saja, bahkan lebih baik dari sebelumnya. Kehangatan sentuhannya masih terasa di pipiku. Tidak mungkin dia pergi meninggalkanku tanpa sebab seperti ini. Pikiran itu terlalu menyakitkan untuk dibayangkan. Dia sedang hamil, aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika sesuatu terjadi padanya.Kecemasan semakin menggerogoti. Aku butuh bantuan. Langkah kakiku terasa berat, namun aku memaksa diri untuk tetap tegar. Dengan napas tersengal-sengal, aku akhirnya turun ke lantai dasar, mencari bantuan. Dua orang satpam berdiri tegap di pintu keluar masuk hotel, mengawasi lalu lalang tamu. Aku menghampiri mereka, suaraku terdengar gemetar.“Pak, tolong bantu aku.” Aku memohon, kata-kata itu terasa tercekat di tenggorokanku.“Bantu apa ya, Pak?” Salah satu dari satpam itu menjawab, tatapannya mengamatiku dengan penuh tanya. Wajahnya tampak serius.“Istrik
"Aku kepengen makan rendang, Kak. Aku laper.""Laper?!" Mendengar jawaban Zea, sebuah gelombang lega menyapu ketegangan yang mencengkeramku. Aku pikir dia kenapa, ternyata hanya lapar. "Memangnya ini jam berapa?" Aku segera mencari-cari ponselku di antara bantal dan selimut yang berantakan, dan Zea segera memberikannya.Di layar, angka-angka digital menunjukkan pukul 02.00. Rasanya masih terlalu pagi untuk sarapan, tapi melihat wajah Zea yang pucat, rasa kantukku sirna seketika."Kamu kepengen apa tadi?" tanyaku sambil mengucek mata, mencoba mengingat permintaannya yang sempat membuatku panik."Rendang, Kak. Tapi aku kepengennya rendang kuku ayam dan dimasak oleh Bunda.""Rendang kuku ayam?" Dahiku berkerut bingung. Aku baru mendengar nama makanan itu. "Mana enak rendang kuku ayam, Zea? Nggak ada dagingnya, udah gitu pasti kotor.""Kan bisa dicuci dulu sebelum dimasak, Kak. Nggak tau juga aku lagi kepengen banget nyobain kuku ayam dibikin rendang." Zea mengusap perutnya,
(POV Zea)"Zea... mulai sekarang kamu harus berhati-hati pada Pak Bahri," bisik Kak Kenzie, suaranya hampir tak terdengar di antara desiran bisikan penonton dan alunan musik latar film romantis yang baru saja dimulai.Kami berdua terkurung dalam kegelapan semi-nyaman bioskop, cahaya layar raksasa menerangi wajah kami silih berganti. Aroma popcorn dan minuman soda memenuhi udara, tapi aroma ketegangan terasa lebih kuat di antara kami."Kenapa memangnya? Kakak nggak boleh su'uzon terus sama Pak Bahri, dia orang baik, Kak," kataku, berusaha terdengar santai, meski jantungku berdebar-debar. Kak Kenzie memang seperti itu, selalu curiga tanpa alasan yang jelas bagiku."Justru karena dia terlihat baik, kamu harus curiga!" tegas Kak Kenzie, suaranya sedikit meninggi, membuatku melirik ke sekeliling, memastikan tak ada yang memperhatikan.Dahiku berkerut bingung. Cahaya redup bioskop membuat ekspresi wajahnya sulit terbaca, tapi kekhawatirannya terasa nyata."Apalagi tadi, dia sampai bera