Setelah memastikan benar tentang dugaan Rafael dan Wilson, mereka segera mengambil sikap inti menyelesaikan masalah ini.
Rafael pun mulai mengaktifkan koneksi yang ia miliki. Ia menghubungi beberapa rekan kepercayaannya di bidang intelijen dan keamanan digital. Dengan informasi terbatas yang ia miliki dari panggilan video dan lalu lintas data komunikasi Jordan, ia meminta pencarian berbasis lokasi IP serta aktivitas login terakhir. Beberapa hari kemudian, salah satu rekannya mengirimkan laporan ringkas. “Ada pola menarik. Beberapa koneksi ke sistem perusahaan online milik Jordan berasal dari satu wilayah pinggiran kota negara ‘Z’. Lokasinya konsisten dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir. Kemungkinan besar, tempat tinggal tetap.” Rafael membaca laporan itu dengan seksama. Lokasi itu tidak mencolok, berada di kawasan permukiman dengan aktivitas yang pastinya tenang. Sangat cocok untuk seseorang yang sedang menyembunyikan identitas atauVeronica berdiri di balik rak-rak panjang boneka di pusat perbelanjaan itu, memegang kotak mainan yang seharusnya ia beli untuk Nathan dan Nathania, namun kini lupa untuk apa ia datang. Matanya tidak bisa lepas dari sosok wanita muda yang berjalan beberapa meter di depannya, Juliet. Senyap, penuh beban. Langkahnya terhenti di tengah lorong, sementara Juliet tampak sibuk memilih kebutuhan rumah tangga. Dia terlihat dewasa, kalem, dan anggun… tidak lagi seperti anak kecil yang dulu memeluk erat tubuh Veronica sambil menangis histeris, memohon agar tidak dipisahkan. Kilasan masa lalu menyerbu benak Veronica. Juliet kecil, menangis dan meronta. Jeritan pilu yang memohon agar jangan pergi, jangan ditinggalkan. Tapi saat itu… Veronica memilih meninggalkan. Sekarang anak itu sudah menjadi ibu. Sudah melahirkan dua anak kembar yang manis. Dan Veronica? Dia tidak ada di sana. Tidak saat Juliet pertama kali belajar berjalan lagi setelah jatuh. Tidak saat Juliet tumbuh remaja, mencari pega
Hari itu, langit cerah dan suasana akhir pekan terasa hangat di rumah Wilson dan Juliet. Suara tawa kecil Nathan dan Nathania sudah terdengar dari dalam halaman rumah, sementara Juliet sedang menyiram tanaman di taman belakang. Wilson baru saja selesai memanggang roti khusus untuk anak-anak, aroma harum memenuhi rumah. Saat bel pintu berbunyi, Juliet melirik ke arah Wilson, dan pria itu segera berjalan ke depan. Begitu pintu terbuka, tampak Reiner berdiri di sana bersama Karina. Keduanya mengenakan pakaian santai namun rapi. Karina membawa kotak kue buatan sendiri, sementara Reiner menggenggam boneka kecil, oleh-oleh untuk si kembar. “Selamat pagi,” sapa Reiner dengan nada sopan dan tulus. “Kami tidak datang terlalu pagi, kan?” Juliet tersenyum, kali ini lebih lepas. “Tidak. Kalian datang tepat waktu. Masuklah.” Karina dan Reiner pun masuk, sedikit tegang namun berusaha tetap santai. Nathan dan Nathania yang semula bermain, kini berlari kecil menghampiri ibunya. “Nak,
Setelah menimbang-nimbang selama berhari-hari, Karina akhirnya memutuskan untuk menghubungi Juliet. Tangan Karina sempat gemetar saat hendak menekan tombol panggil di layar ponselnya. Ia tahu, hubungannya dengan Juliet tidak pernah benar-benar akur setelah fakta besar itu terungkap, selalu ada jarak, selalu ada rasa asing yang diam-diam menekan sejak lama. Telepon berdering beberapa kali, namun masih tidak diangkat. Karina menatap layar kosong dengan napas berat. Tapi ia tidak menyerah. Kali ini, ia tidak bisa mundur lagi. Maka Karina pun menulis pesan singkat. “Juliet, ini aku Karina. Aku tahu mungkin kau tidak ingin bicara denganku. Tapi aku ingin bertemu, bicara langsung. Aku minta izin… bukan untuk membela diri, tapi untuk membuka lembaran baru. Aku tidak mau semuanya tetap begini terus.” Pesan itu dikirim. Lalu... sunyi. Beberapa jam berlalu. Karina sempat berpikir Juliet mungkin akan mengabaikannya, dan ia tidak b
Hari itu, suasana bandara terasa berbeda bagi Karina dan Reiner. Bukan hanya karena mereka baru saja menyelesaikan bulan madu selama sebulan penuh yang penuh dengan kenangan manis dan pengalaman pertama sebagai pasangan suami istri, tapi juga karena mereka tahu benar setibanya di negara mereka, ujian sebenarnya akan segera dimulai. Di dalam pesawat, Karina menggenggam tangan Reiner erat. Ia melirik suaminya dan berbisik pelan, “Apa pun yang terjadi nanti… aku pasti siap.” Reiner menoleh dan tersenyum kecil, menatap wajah Karina yang kini jauh lebih kuat dari sebelumnya. “Aku juga. Ini bukan soal melawan mereka, tapi menunjukkan bahwa kita benar-benar serius. Semoga kesungguhan yang kita miliki dapat meluluhkan hati kedua orang tuaku.”Karina menganggukkan kepalanya. Sesampainya di bandara, mereka langsung dijemput oleh sopir kepercayaan keluarga Reiner. Tidak banyak bicara selama perjalanan, tapi atmosfer dalam mobil begitu penuh
Thom menutup laptopnya dengan senyum lega. Hari itu terasa panjang dan melelahkan, tapi begitu ia melihat desain terakhirnya selesai dan terkirim ke klien tepat waktu, rasa lelahnya seakan telah terbayar lunas. Usaha desain grafis daring yang ia rintis dari nol bersama Wilson kini berkembang pesat. Klien terus berdatangan, bahkan dari luar negeri. Ia masih ingat betul bagaimana awalnya ia hanya bekerja dari kamar kecilnya dengan satu laptop tua milik Wilson dulu. Kini, ia memiliki tim kecil yang solid dan jaringan klien yang terus bertambah. Setiap hari Minggu sore, Thom rutin mengirimkan laporan mingguan kepada Wilson, pria itu masih menjadi mentor dalam bisnis. Wilson memang bukan tipe yang banyak bicara manis. Dia tegas, teliti, dan kadang komentarnya terasa menusuk. Tapi Thom tahu betul, di balik ketegasan itu, Wilson benar-benar menyayanginya. Bukan hanya sebagai adik ipar, tapi juga sebagai rekan bisnis yang ia banggakan.
Luis menatap wajah Chaterine yang kini jauh lebih tenang daripada dulu, tidak lagi tegang, tidak lagi haus pengakuan ataupun sebuah status. Wanita itu kini punya caranya sendiri untuk bahagia, dan itulah yang membuat Luis mulai sadar bahwa untuk bisa mendekatinya lagi, ia harus berhenti memaksakan cinta dan mulai menawarkan persahabatan yang tulus. Walaupun berat, nyatanya lebih berat jika hubungannya dengan Chaterine memburuk dan saling menjauhi. Sejak hari di mana keputusan itu diambil, setiap akhir pekan, Luis datang. Bukan dengan setelan jas seperti dulu, tapi dengan kemeja santai dan sebungkus camilan dari toko favorit Chaterine. Kadang membawa roti manis, kadang sekadar teh yang dia tahu disukai Chaterine. Mereka duduk di kursi kayu di teras, mengobrol seperti dua teman lama yang sedang menikmati sisa waktu di hari yang lambat. Tidak ada pembicaraan soal masa lalu yang menyakitkan untuk mere