LOGINDi luar, hujan mulai turun membasahi kaca mobil Devon.Udara di dalam kabin sekarang terasa pengap karena mesin mobil dalam keadaan mati.Devon bersandar dalam diam. Pandangannya mengarah ke luar dan nampak kosong. Namun, pikirannya berkecamuk. Dia masih coba mencerna cerita masa lalu Claire.“Lantas, di mana anakmu sekarang?” Suara Devon mengalun tenang tapi juga terdengar dingin.Claire terdiam, membiarkan keheningan menyeruak di antara mereka, membiarkan suara hujan yang mengisi kekosongan.“Claire…” sahut Devon pada akhirnya. “Kamu bisa jujur padaku. Apapun yang terjadi aku akan menerimamu dan anakmu...”Bibir Claire bergetar dan tangis perempuan itu kembali pecah. Kepalanya tenggelam pada kedua telapak tangan, terisak.Devon beringsut, membelai pundak Claire. Claire yang nampak ceria dan liar, ternyata menyimpan luka yang dalam.“Menurutmu, apa aku jahat?” Tanya Claire. Suaranya terdengar parau.“Tidak, kamu melakukan tindakan yang tepat dengan mempertahankan bayi itu, Sayang…” b
“Jadi… lo mau aborsi?” Pupil Marsha melebar setelah mengetahui apa yang terjadi pada sahabatnya.Claire mengangguk dalam diam. Wajahnya nampak begitu kuyu dengan kantung mata hitam yang menggantung.“Nggak ada jalan lain. Ini demi masa depan gue dan Rian…”“Tapi ini sama aja dengan pembunuhan,” tandas Marsha.“Lo bisa bilang begitu karena lo nggak mengalaminya,” balas Claire sedikit emosi. Dia pikir sahabatnya itu tak akan menghakiminya seperti ini. “Itu konsekuensi dari apa yang lo lakukan sama Rian. Memangnya apa yang mau lo harapkan setelah tidur bareng? Keluar mobil? Ya pasti bayi-lah,” Marsha melempar kedua tangannya ke udara.Claire hanya bisa terdiam. Rasanya dia ingin menangis sekarang.“Claire, sorrry,” ucap Marsha kemudian, menghampiri sahabatnya begitu menyadari raut Claire yang berubah sendu. “Gue cuma kesel aja lo nggak berhati-hati seperti ini. Maksud gue, kita baru aja mulai perkuliahan, tapi lo malah hamil. Ini seperti mengubur masa depan lo, Claire…”“Gue tau…” Clair
“Ha-hamil?” Ulang Devon, berharap itu lelucon belaka. Tapi wajah perempuan itu tak menunjukkan tanda-tanda kalau dia sedang bercanda. “Lalu… bagaimana dengan bayinya?” Tiba-tiba bahu Claire berguncang dan dia mulai terisak.“Claire, kalau memang terasa berat, kamu nggak harus menceritakannya sekarang….” Devon membelai pundak Claire.Namun Claire menggeleng lemah. “Kurasa kamu harus mengetahuinya. Aku mencintaimu. Aku nggak mau bohong soal masa laluku. Tapi… kamu janji nggak akan ninggalin aku setelah tahu semuanya?”Claire menatapnya dengan sorot yang begitu memohon.Devon mengangguk pelan. “Aku nggak akan meninggalkanmu.”Claire tersenyum tipis, merasa lega mendengarnya. Selama ini, dirinya terbebani dengan rahasia masa lalunya yang kelam.Dan firasat Claire benar, Devon memang mencintainya!Lantas, Claire menatap lurus ke depan, membuka kembali ingatannya yang menyakitkan.***“Uh, Claire…” erang Rian.Pria itu terbuai dalam kenikmatan yang dalam. Napas mereka saling memburu di
Tok, tok, tok.Setiap ketukan itu membuat jantung Claire berpacu dua kali lebih cepat.“Apa yang harus kita lakukan?” Bisik Claire lagi.Sementara, satpam itu menyipitkan matanya dari luar jendela. Lehernya menjulur, mendekatkan ujung hidungnya ke permukaan kaca mobil yang gelap. Kepalanya bergerak-gerak curiga.“Tenang, kaca mobil ini gelap. Mustahil dia bisa lihat ke dalam,” suara Devon nyaris tak terdengar. “Sekarang, bersembunyilah di jok belakang.”Claire bergerak pelan ke jok belakang. Lantas, Devon membenarkan pakaiannya. Setelah mengembuskan napas panjang, dia tersenyum sambil menurunkan jendela mobil.“Ada apa, Pak?”“Oh, Pak Devon. Maaf, Pak. Saya menyadari sedari tadi mesin mobil Bapak nyala, tapi mobilnya nggak jalan-jalan. Saya takutnya kenapa-napa,” terang satpam itu.Namun Devon tahu bola mata satpam itu menelusuri bagian dalam mobilnya dengan curiga.“Saya sedang mengerjakan sesuatu, mendadak,” Devon mengangkat ponselnya.“Baik, Pak. Takutnya Bapak keracunan CO2,” satp
“Well, essaimu cukup menarik, Marsha,” Devon menyerahkan kembali lembaran kertas itu ke Marsha. Mendengar pujian itu senyum langsung membingkai di wajahnya.Sementara, Claire diam-diam mendengus kesal. “Pokoknya, gue harus dapat A di mata kuliah ini!” Marsha mengepalkan satu tangannya penuh tekad. “Karena hanya dengan cara inilah Pak Devon menyadari keberadaan gue,” lanjut Marsha, berjalan di selasar.“Memangnya lo yakin Pak Devon masih sendiri?” Nada suara Claire terdengar sinis. “Karena semata-mata dia nggak pakai cincin, bukan berarti dia single.”Marsha mengedikkan bahunya santai. “Lagian, siapa yang peduli sih kalau ternyata dia udah punya pasangan?”“Astaga…” Claire geleng-geleng kepala, membiarkan Marsha berjalan mendahuluinya ke perpustakaan.Mereka menempati meja yang ada di sudut ruangan di lantai tiga. Claire langsung membuka laptopnya.Tiba-tiba saja, Marsha berujar dengan nada rendah. “Ada gosip, Claire…”“Apa?” Balas Claire tanpa mengalihkan pandangannya dari layar lapt
Lenguhan Claire menggema ke setiap sudut kamar. Tangan perempuan itu mencengkram erat permukaan sprei, seiring dengan hentakan pinggul Devon yang semakin cepat dari belakang.Kedua tubuh polos yang berkeringat itu menyatu dalam gejolak nafsu yang membara. Ranjang kayu yang nampak kokoh itu bahkan sampai berdecit, menandakan betapa panasnya pergumulan mereka kali ini.Begitu akhirnya lolongan penuh kenikmatan keluar dari mulut Claire, tubuhnya telungkup di atas ranjang, lemas dan puas. Rasa menggelitik dan hangat itu masih menyeruak dalam diri Claire.“Shit…” desis Devon dengan napas terengah. “Kamu nggak dalam masa subur kan?” Tanyanya cemas.“Hm… entahlah. Nggak tahu…” balas Claire. Dirinya masih mengawang di atas sana.“Sorry, aku nggak bisa mengeluarkannya tepat waktu,” Devon memutar tubuh Claire.Claire nampak terdiam sesaat. Raut cemas merebak di wajahnya, sampai akhirnya dia tersenyum tipis. “Aku bisa minum pil.”Lalu dia beringsut, merebahkan kepalanya di atas dada bidang Devon







