Malam itu, langit tampak gelap dan mendung. Angin berhembus kencang, menambah ketegangan suasana. Di tengah kegelapan, terdengar suara sekelompok pembunuh yang mengejek Charlie Parkitson. "Charlie Parkitson, Malam ini hari kematianmu!" teriak salah satu pembunuh dengan nada sinis, sambil mengepalkan tangannya. "Tunjukan kehebatan kalian," balas Charlie dengan tenang, tak terpengaruh oleh cemoohan mereka. Wajahnya penuh keteguhan dan keberanian. "Aku penasaran, Apakah Jenderal kita sangat tangguh seperti yang dikatakan orang," ujar pembunuh itu sambil tersenyum licik, kemudian mengeluarkan senjata tajam dari balik jubahnya. Melihat itu, Charlie menghela nafas, lalu membuang pistol yang ada di tangannya. Ia memilih untuk menggunakan pisau belati sebagai alat senjata melawan musuh-musuhnya. Kilatan tajam belati itu terlihat mengancam di balik kegelapan malam. "Tuan..." ucap Andrew, anak buah Charlie yang melihat aksi atasannya. Wajahnya tampak cemas, namun tak berani untuk mencegah.
Masih belum puas dengan pembalasan yang telah ia berikan, Charlie mengeluarkan pisau lipat dari saku celananya dan menikamnya tepat di jantung pembunuh ke-4, memastikan tak ada lagi nyawa yang tersisa di tubuh pria itu. Seketika itu juga, pembunuh ke-4 terkapar tak berdaya."Aahh!" Sesaat kemudian lawannya tewas dengan satu tikaman yang menembus jantungnya."Serang dia!" perintah Pembunuh 7 dengan suara keras dan tegas. Segera, Pembunuh 6, 7, 8, serta Pembunuh 9 dan 10 bahu-membahu melancarkan serangan mematikan kepada lawan mereka, Charlie. Charlie, dengan sigap dan lincah, berusaha menghadapi serangan dari kelima pembunuh itu. Di tengah pertarungan sengit, keringat mengucur deras membasahi wajah dan leher Charlie. Penglihatannya mulai buram, namun dengan tekad kuat, ia berusaha berdiri tegap dan menyembunyikan kelemahannya dari lawan-lawannya. Sepuluh pembunuh itu melancarkan serangan bersamaan kepada Charlie. Mereka mengayunkan senjata tajam mereka, berusaha menancapkan ujung-uju
Pembunuh itu semakin ketakutan saat melihat senyuman lawannya. Tidak terlihat sedikit pun ia sedang menahan sakit."Sudah ku katakan, kalian bukan siapa-siapa bagiku," ujar Charlie mencabut pisau itu. Semakin deras darah yang keluar dari tubuhnya tidak membuat sang Jenderal menjadi lemah.Charlie membuang pisau itu ke jalan, "Berapa tikaman lagi yang ingin kamu lakukan?" tanya Charlie."Jangan bunuh aku! Aku hanya menerima bayaran dan ikut perintahnya saja," ujar pembunuh itu yang memundurkan langkahnya."Baiklah, Sampaikan pesanku padanya! Lain kali kalau masih ingin membunuhku kirim pembunuh yang lebih tangguh. Kalian hanya seekor semut di mataku," kata Charlie yang melempar pisau itu ke jalan.Pembunuh itu gugup dan berdiri dengan kedua kakinya yang lemas,"A-aku boleh pergi?""Tidak berguna aku membunuhmu, Hanya membuang waktuku. yang aku inginkan adalah kepala bosmu itu," jawab Charlie dengan santai dan masuk kembali ke dalam mobilnya.Beberapa saat kemudian mereka meninggalkan lo
Malam itu pukul 23.00, suasana di kediaman Jenderal Charlie terasa sepi dan sunyi. Setelah bertarung mati-matian dengan para musuhnya, Charlie akhirnya baru kembali ke rumahnya yang megah. Ia menghela nafas panjang, melepas penat sejenak, lalu melangkah menuju kamar tidurnya. Di dalam kamar, istrinya Vivian telah terlelap dalam tidur yang pulas. Rambut panjangnya terurai di atas bantal, wajahnya tampak damai dan tenang. Charlie tersenyum tipis melihat istrinya, kemudian menghampirinya dengan langkah perlahan. Mendengar suara pintu, Vivian langsung terjaga dari tidurnya. Kedua matanya terbuka lebar, menatap suaminya dengan ekspresi kaget sekaligus senang. "Kamu baru pulang? Aku akan menyiapkan makanan ringan untukmu," ujar Vivian yang ingin bangkit, namun ditahan oleh suaminya yang duduk di tepi kasur. "Aku tidak butuh makanan ringan," jawab Charlie dengan suara lembut, mencoba menenangkan istrinya. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Vivian, menatapnya dengan penuh kasih sayang. Tangan
Keesokan harinya.Kediaman Jenderal.Charlie berdiri di hadapan cermin dengan telanjang dada. Ia memandang tubuhnya yang dipenuhi oleh perban.Charlie mengingat kejadian semalam, dirinya yang harus melawan belasan pembunuh, "Astone Villare, kau Ingin membunuhku? Kau belum layak. Lihat saja sampai akhir...siapa yang mati. Suatu hari kau akan mati di tanganku," ucap Charlie.Vivian membuka pintu ruangan itu dan melangkah masuk ke dalam, "Charlie, Makanan sudah siap!" seru Vivian yang terdiam sejenak. Mata wanita itu terbelalak kaget saat melihat tubuh suaminya yang penuh dengan balutan."Kamu terluka?" tanya Vivian.Charlie tersenyum melihat istrinya,"Masuklah!" titah Charlie yang masih berdiri di sana.Vivian menghampiri pria itu yang sedang menatapnya, Ia dikejutkan oleh pemandangan yang ada di hadapannya itu."Sejak kapan kamu terluka?" tanya Vivian."Semalam, hanya luka kecil," jawab Charlie."Begitu banyak perban, Kamu menganggapnya luka kecil?" "Kamu takut? Luka ini tidak seband
Charlie mendekati ayahnya yang terdiam tanpa sepatah kata pun," Kenapa? Apakah Papa sedang memikirkan sesuatu?" Ronald langsung tersadar dan menatap putranya itu," Tidak ada, Aku hanya memikirkan tentang adikmu. Mungkin dia cocok ikut denganmu!" jawabnya dengan alasan."Dia tidak layak ikut denganku," jawab Charlie."Kamu hanya membencinya sehingga mengunakan alasan ini, bukankah begitu? Kenapa kalian tidak bisa bekerja sama?""Bagaimana bisa bekerja sama dengan seorang pengecut? Menjadi dokter Militer harus profesional. Sedangkan dia baru melihat mayat saja sudah ketakutan. Bagaimana aku bisa percayakan dia," jawab Charlie."Hendy sudah berusaha selama ini, Walau mereka sering mempersulitkan dia...Akan tetapi, dia tetap bisa melakukannya dengan baik.""Semua dokter pemula harus mengikuti sesuai aturan, Kalau tidak bekerja lebih keras mana mungkin bisa ada kemajuan. Bimbingan senior pasti lebih tegas. Tergantung pada Hendy saja...Apakah dia sanggup atau tidak," ujar Charlie.Ronald d
Rekaman Charlie yang diserang sekelompok pembunuh yang disebarkan oleh Astone Villare telah ditonton oleh jutaan warga Los Angeles.Para reporter sedang berkumpul di depan kantor Ronald Parkitson dan juga kediaman Charlie yang dijaga ketat oleh puluhan pengawal.Kejadian tersebut membuat Ronald semakin emosi. "Pak, Saya akan mengusir mereka," ujar Stone."Kenapa rekaman itu bisa tersebar? Apakah ada yang sengaja ingin menjatuhkan Charlie?" tanya Ronald yang berdiri dekat jendela."Sepertinya, Iya. Sebarnya rekaman itu sudah bagian dari rencana musuh." jawab Stone.Sejuta pasang mata di Los Angeles menyaksikan rekaman mengerikan yang menampilkan Charlie diserang oleh sekelompok pembunuh. Rekaman tersebut tersebar luas, seperti racun yang menginfeksi tubuh kota. Astone Villare, yang diketahui sebagai pelakunya, membuat kehebohan di masyarakat. Para reporter berkerumun di depan kantor Perdana Menteri, Ronald Parkitson. dan kediaman Charlie yang dijaga ketat oleh puluhan pengawal. Merek
"Kasus hilangnya mantan Perdana Menteri sungguh mengemparkan saat itu. Tidak ada yang tahu beliau ada di mana. Akan tetapi, mungkin saja tidak ada hubungan sama sekali dengan Pak Perdana Menteri sekarang," ujar Andrew."Tidak ada yang tahu soal ini, Saat itu papaku menjadi panglima yang selalu berada di sisinya untuk melindunginya. Siapa yang tahu dia terlibat atau tidak," jawab Charlie."Pernah dengar informasi, Bahwa beliau memiliki seorang anak laki-laki. Tapi, tidak ada yang tahu di mana anak itu berada. Apakah dia menghilang di waktu yang sama atau dibunuh," ujar Andrew."Banyak bukti yang kita butuhkan, Hingga saat ini kita masih belum menemukannya," kata Charlie."Tuan, Jangan khawatir! Kita pasti bisa. Hanya saja...setelah kita berhasil menemukan bukti kesalahan Pak Perdana Menteri. Apa tindakan Anda?" tanya Andrew.Charlie dengan tegas menjawab,"Kalau bersangkutan dengan ibuku, Aku tidak akan diam saja."Tuk...tuk... Suara ketukan pintu dari seseorang yang berada di luar kama