Liza yang dipaksa melayani tujuh pria itu hanya bisa menangis pasrah. Wajah wanita itu membengkak sebagai akibat dari pemukulan mereka. Tubuhnya tanpa balutan dan terletak di atas tanah.
"Kenapa...Kalian melakukan ini padaku?" tanya Liza yang terisak.
"Kian Salveston sudah bosan denganmu, Oleh karena itu dia ingin menggunakan cara ini untuk menyingkirkanmu," ketus pria itu yang sedang mengenakan celananya.
"Tidak mungkin...," teriak Liza yang histeris. Ia menangis tanpa henti.
"Liza Ocyman, Kian Salveston memiliki banyak wanita, Kamu hanya salah satu saja. Setelah dia merasakan tubuhmu...dia akan bosan dan mengincar yang lain."
"Aku tidak percaya! Aku tidak percaya!" teriak Liza yang bangkit dan menahan sakit.
"Saat dirimu dalam bahaya, dia sama sekali tidak peduli, bukan? Pria kaya seperti dia mana mungkin peduli dengan mantan yang tidak memiliki kelebihan apa pun!"
"Kalian adalah ba.jin.gan...," teriak Liza.
"Lihatlah dirimu sekarang, hanya seorang wanita yang tertidur." ucap pria itu tersenyum sinis.
"Aaahhh! Aku tidak akan melepaskan kalian...," teriak Liza yang menarik kaki salah satu pria itu.
"Kalau ingin melapor polisi, Lebih baik kamu lapor saja dalang utamanya," ketus pria itu yang menjambak rambut Liza.
"Aaahhh...."
Mari kita pergi! ujar pria itu yang melepaskan tangannya. Mereka pergi begitu saja dan membiarkan wanita itu berada di sana. Liza berteriak dengan histeris atas kejadian yang dia alami.
"Aaahhh...."
Liza kemudian mengambil ponselnya yang terletak di sana dan menekan nomor tujuan.
"Kenapa tidak ingin menjawab panggilanku." Liza mencoba berulang kali menghubungi calon suami yang tak kunjung menjawab panggilanya.
“Kian Salveston, Aku tidak percaya kamu yang melakukannya,” ujar Liza yang segugukan.
Di malam itu Liza berusaha bergerak meski tubuhnya sangat kesakitan. Ia mengambil pakaiannya yang telah robek dan mengenakannya kembali.
"Aku tidak akan mati di sini, Aku harus bangkit untuk membalas perbuatan mereka. Aku yakin Kian tidak akan melakukan hal ini padaku. Dia sangat mencintaiku dan kami akan menikah. Aku harus...aku harus menyembunyikan masalah ini darinya," ucap Liza.
Rumah Salveston.
Kian baru kembali ke rumahnya dengan wajahnya yang begitu bersemangat. Ia melihat ponselnya yang tercantum lima panggilan tidak terjawab.
“Malam-malam begini untuk apa dia menghubungiku lagi,” gumam Kian. Pria itu memanggul anak tangga dan mengabaikan panggilan yang tidak dia jawab tadi.
"Mony adalah gadis yang hebat. Bahkan memiliki bakat yang luar biasa. Model terkenal dan ratu kecantikan asal Brazil. Kalau kami menikah...Maka, nama keluarga Salveston akan semakin terkenal," ucap Kian yang berharap.
"Lalu, bagaimana dengan Liza? Apakah aku bisa meninggalkan begitu saja atau jadikan sebagai simpanan? Kalau begitu, aku harus mencari cara agar bisa membohonginya. Wanita itu tidak akan mudah dibohongi. Demi tidak ingin dia merusak hubunganku dengan Mony. Aku harus bisa berpura-pura- pura di hadapannya,” gumam Kian.
Saat Kian memasuki kamarnya, Ia menerima pesan dari seseorang. Putra tunggal Kane itu langsung membuka pesan tersebut.
Mata terbelalak kaget saat melihat isi pesan tersebut. Handphonenya terlepas dari pegangannya hingga jatuh ke lantai.
“Kenapa bisa begini,” ucap Kian yang melihat rekaman Liza yang digilir tujuh pria. Wajah dan tubuh Liza terlihat sangat jelas. Sementara para pelaku tidak terlihat wajahnya sama sekali.
“Apakah dia menghubungiku untuk aku menyelamatkan dia? dan aku malah mengejar wanita lain sehingga mengabaikan panggilannya,” gumam Kian.
"Apa yang harus aku lakukan?" Kian duduk semalaman sambil memikirkan kejadian yang baru menimpa kekasihnya itu.
***
Di sisi lain Vivian sedang bertengkar dengan kedua orang tuanya karena dirinya akan segera dinikahi oleh pemilik pabrik roti.
"Pa, Ma, kenapa kalian sangat kejam terhadap putri sendiri? Kenapa memaksaku menikah dengan pria yang sudah beristri? Dia sudah berusia enam puluh tahun." Vivian sangat kecewa terhadap dua orang tuanya itu.
"Sampai saat ini kamu masih egois dan tidak ingin berubah, Demi apa? Apakah kamu masih menunggu pria kaya lainnya yang datang melamarmu?" bentak Ryan.
"Kamu harus sadar diri dan tahu malu, Jangan merasa dirimu masih berharga di hadapan pria kaya. Seperti levelmu sekarang kau hanya cocok dengan pria tua itu. Jangan meringkuk kami lagi," hina Ruby yang mengiris hati remaja hingga berkeping-keping.
"Ma, aku tidak menyangka seorang ibu teganya mengeluarkan ucapan seperti itu pada anak sendiri. Aku sudah menyatakan aku adalah korban. Bukan Kian...," teriak Vivian dengan kesal.
papan...
Tamparan langsung dilayangkan ke wajah gadis itu.
"Aaah!"
"Kenapa menamparku lagi? Apa salahku?" teriak Vivian.
"Apa salahmu? Kau masih belum sadar? Lihatlah dirimu mirip apa? Ratu cantik? Bidadari? Nona besar? Atau wanita karier? Semuanya bukan. Kau hanya seorang gadis desa yang sudah tercemar," bentak Ryan.
Vivian berdiri di depan kedua orang tuanya, menahan air mata yang hendak jatuh. Tangannya bergetar di samping tubuhnya, mencoba menenangkan hati yang hancur. Ia merasa seperti terjungkal dalam jurang yang dalam dan gelap, ketika mendengar cacian dan hinaan yang keluar dari mulut ayah dan ibunya sendiri. "Dengar, Vivian. Kamu sungguh mengecewakan kami. Tak ada gunanya punya anak seperti kamu!" ucap ayahnya dengan nada tegas dan sinis. Ibu Vivian ikut menyemprotkan kata-kata yang pedih, "Kamu hanya memberikan malu pada keluarga ini. Seharusnya, kamu bisa berbuat lebih baik. Jangan hanya jadi beban bagi kami!" Kedua kaki Vivian mulai terasa lemas, seperti tak bisa menopang tubuhnya lagi. Hatinya remuk redam, bagaikan disambar petir yang menyakitkan. Ia merasa tak ada lagi tempat untuk berlindung, bahkan di tengah keluarga sendiri.
"Apakah di matamu aku adalah perempuan yang kotor? Apakah itu maksudmu? Kalian adalah keluargaku. Tapi, malah ingin memberi garam pada bekas lukaku. Kenapa? Kenapa...?" teriak Vivian yang mengeluarkan air mata.
"Tidak buruk kalau kamu menjadi istri pria tua itu, Kau masih bisa mendapatkan rumah dan mobil. Setidaknya kau harus melakukan sesuatu untuk mempromosikan nama baik kita. Ini adalah tanggung jawabmu sebagai anak kealuarga Alexander," bentak Ryan.
"Tanggung jawab dengan cara menikah dengan pria itu? Kalian melakukannya hanya demi diri sendiri. Aku bukannya tidak tahu sifat kalian yang selama ini selalu memaksaku menikah dengan orang kaya. Kalian mendukung hubunganku dengan Kian hanya karena uangnya. Sekarang ingin aku menikah dengan seorang pria yang sudah enam puluh tahun. Lebih baik aku mati saja," jawab Vivian dengan kesal.
"Jangan melawan lagi! Besok Carlos akan datang melamarmu," ujar Ruby.
"A-apa?" tanya Vivian yang langsung berubah pucat wajahnya.
"Besok adalah hari pernikahanmu, dia datang melamar dan kamu akan langsung ikut dia pergi. Semua penduduk desa sudah tahu kabar ini. Jangan melingkari kami!" bentak Ruby dengan tegas.
"Tidak...tidak...aku tidak mau!" jawab Vivian yang ingin lari menuju ke pintu dan ditahan oleh Ruby.
"Kau ingin lari? Jangan berharap," bentak Ruby yang memegang lengan putrinya. Vivian berusaha melepaskan tangan sang ibunya.
"Lepaskan aku! Sampai mati pun aku tidak akan menikah dengannya," ketus Vivian yang mendorong ibunya hingga tersungkur.
"Aaahhh!"
"Kurang terbuka!" bentak Ryan yang ingin melayangkan tangannya ke arah Vivian. dan di saat yang sama seorang pria muncul dan menahan tangannya
"Kau siapa?" tanya Ryan pada pria asing yang tidak tahu datang dari mana.
"Aku adalah warga baru di sini," jawab pria itu.
"Ini urusan keluarga kami, ikut campur!" ketus Ryan.
"Tuan, Anda melakukan kekerasan terhadap putri sendiri dan memaksa dia menikah, tindakan ini akan menjadi masalah bagi Anda. Jangan lupa! Undang-undang melarang seorang ayah melakukan tindakan kekerasan. Terutama terhadap putri sendiri," kecam pria itu.
Justin yang melihat dirinya dikepung semakin yakin akan segera ditahan oleh mereka.Justin berdiri tegak di hadapan Bryan, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Seluruh tubuhnya gemetar, namun ia tetap bersikeras untuk menuntut balas. "Kau membunuhnya sama saja membunuhku, Bryan Anderson," bisik Justin dengan suara parau. "Di saat itu juga, aku ingin mati bersamamu." Para prajurit mengarahkan senjata ke arah Justin, namun tiba-tiba Bryan mengangkat tangannya dan memberi perintah. "Kalian semua tahan! Jangan menembak tanpa perintah dariku!" Semua prajurit segera menurunkan senjata mereka, tak berani melawan perintah dari pemimpin mereka. Bryan menatap Justin dengan tatapan tajam, Bryan mengangkat senjatanya dan menodongkannya ke arah Justin. "Bukankah ini yang kau inginkan, Justin?" tantang Bryan, suaranya terdengar tenang namun tajam. "Kita akan saling menembak dan menguji kecepatan. Siapa yang kalah, dia yang mati!" Mereka saling menatap, matanya beradu, menunggu siapa yang akan
Salah satu anggota Justin, melangkah cepat menuju ruangan Justin dan memberi laporan dengan nafas terengah-engah, "Tuan, berita buruk. Bryan Anderson memimpin sekelompok prajuritnya mengepung kawasan kita. Bukan hanya dari dekat, mereka juga mengawasi dari jauh. Teman-teman kita tidak bisa berkutik." Justin tersentak kaget, wajahnya memerah oleh kegemasan yang mulai memuncak. Ia segera membuka jendela ruangannya dan melihat ke arah luar sana. Matanya melihat banyak prajurit yang mengelilingi kawasan tempat tinggalnya, mereka bersiap dengan senjata di tangan dan tatapan yang tajam. "Sialan, Bryan Anderson, aku belum bertindak. Mereka sudah menyerang dulu," desis Justin dengan marah, mengepal tangan hingga knuckle-nya memutih. "Lawan mati-matian! Walau tidak ada jalan keluar, kita harus tetap lawan hingga pertumpahan darah!" perintah Justin.Anggotanya mengangguk, kemudian berlari keluar ruangan untuk mengumpulkan anggota lainnya. Sementara itu, Justin berdiri tegak, menatap luar jen
Bryan mencium bibir istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya memeluk tubuh ramping Vivian dengan penuh perhatian. Di tengah kehangatan pelukan itu, Bryan menatap dalam-dalam mata istrinya dan berkata dengan suara lembut, "Aku ingin mengandeng tanganmu hingga akhir hayatku! Tidak peduli dalam kondisi apa pun. Aku akan tetap menjadi suami yang baik dan setia. biarkan aku yang menjadi kakimu di saat kamu ingin berjalan!" Mendengar ucapan tulus Bryan, hati Vivian terenyuh. Seulas senyum bahagia menghiasi bibirnya dan ia merasa semangat hidupnya kembali membara. "Terima kasih!" ucap Vivian sambil memeluk Bryan balik, merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuh suaminya. Bryan kemudian melepaskan pelukan mereka dan menatap istrinya dengan tatapan penuh harapan. "Vivian, setelah urusan di sini selesai, kita akan ke China menjumpai tabib untuk menyembuhkan kakimu," kata Bryan dengan penuh keyakinan. Mendengar kata 'tabib', Vivian terkejut dan penasaran. "Tabib?" tanyanya
Rysa berdiri dengan gemetar, menatap Bryan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa terpojok, tak tahu harus berkata apa untuk membela diri. "Tuan, Aku tidak mengerti maksudmu, Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ujar Rysa yang ketakutan dan berusaha membela diri. Bryan menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin. Ia melempar foto dan data ke wajah Rysa sehingga berterbangan dan jatuh berserakan di lantai. Rysa menunduk, merasa terhina, dan memungut foto-foto tersebut dengan tangan gemetar. "Kalau bukan karena kau pergi ke rumah mewah itu, Aku masih tidak tahu ternyata kamu adalah utusan Lion, yang sebelumnya menyamar sebagai pekerja di toko bunga. Apa kau masih tidak mengaku?" tanya Bryan dengan suara keras dan penuh kemarahan. "Tuan, aku...," ucap Rysa terdiam, ketakutan. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya terus gemetar. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meyakinkan Bryan bahwa ia tidak bersalah, namun terasa sulit. Bryan melangkah mendekat, membuat Rysa mu
Vivian menatap Bryan dengan mata berkaca-kaca, lalu mengeluarkan lembaran laporan medis milik Bryan dari amplop besar itu. Dia membacanya dengan seksama, dan hampir tidak percaya dengan laporan tersebut. Menurut laporan itu, Bryan telah melakukan vesektomi, prosedur pembedahan yang dilakukan untuk membuatnya mandul secara permanen.Bryan melihat kebingungan di wajah Vivian dan menghela napas sebelum berbicara, "Sebelum Hanz meninggal, aku meminta bantuannya. Aku tahu...melakukan ini tanpa sepengatahuanmu adalah salahku. Saat itu kamu baru keguguran. Aku tidak ingin kamu semakin tertekan." Mata Vivian membelalak, tak menyangka suaminya menyembunyikan rahasia sebesar ini darinya. "Kamu selalu berharap bisa memiliki seorang anak denganku. Tapi aku bukan tidak mau. Aku tidak ingin anak kita sama menderitanya denganku. Cukup aku saja yang menderita!" ungkap Bryan dengan suara bergetar."Lalu, untuk apa kamu memberitahu aku sekarang?" tanya Vivian yang memasukan kembali laporan tersebut.
Malam itu, langit diliputi awan tebal dan rembulan menyembunyikan diri. Bryan terbaring di atas kasurnya dengan pikiran yang kalut, merenung tentang permasalahan dalam rumah tangganya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan dan sosok Rysa muncul dari baliknya. Dalam diam, Rysa menghampiri Bryan yang tampak lelah dan terlelap. Setiap langkahnya begitu hati-hati, tak ingin membangunkan pria itu. Begitu dekat dengannya, Rysa mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, menampakkan tubuh putih mulusnya yang begitu menggoda. Dua gundukan besar di dada Rysa terlihat menonjol, dan bagian bawah tubuhnya juga terbuka lebar, memancarkan aura yang memikat. Rysa menatap Bryan dengan tatapan penuh nafsu, lalu berbisik dalam hati, "Bryan Anderson, malam ini juga aku akan membuatmu melupakan istrimu itu." Perlahan, Rysa mencium wajah Bryan yang masih terlelap, namun tiba-tiba pria itu terbangun dan menatap Rysa dengan ekspresi terkejut. Dia segera menahan tangan wanita itu dan bertanya dengan nada ke