“Rafael, ayo kita berpisah.”“Tania, aku minta maaf.”Suara Tania dan Rafael menggema bersamaan. Mereka saling tatap. Rafael mendekat. Tangannya menyeka sudut mata Tania yang basah. Tania melangkah mundur. Ia menjauh dari Rafael. Tania tak ingin disentuh. “Aku enggak mau punya suami yang tidur sama wanita lain. Orang tua kamu juga pasti lebih senang kalau kita pisah,” sambung Tania. Rafael menggeleng. Ia langsung berlutut di kaki Tania. “Apa yang kamu lakukan?!” Tania mendesis keberatan. Kedua kaki Tania terus melangkah mundur. Tania mencoba menghindar. Namun, Rafael terus mendekat. “Aku bersalah. Kamu bisa menghukum aku sebanyak yang kamu mau, tapi jangan pergi dariku.” Rafael memohon. Suara Rafael tercekik. Pria itu seperti menahan dirinya sendiri untuk tidak meraung. Sudut hati Tania terasa nyeri. Tak bisa dipungkiri, ia tidak tega melihat suaminya memohon sambil berlutut di depannya sampai seperti itu. Tania menegakkan punggung. Semua ini menyakitkan, tapi Tania harus me
Brak! Sesampainya di apartemen, Tania langsung berlari ke kamar mandi. Ia muntah berkali-kali sampai perutnya benar-benar kosong. Ia merasa jijik. Otaknya terus memberikan bayangan tentang Rafael yang tidur dengan wanita lain. “Hoek!” Tania akhirnya kehabisan tenaga. Ia terduduk lemas di atas lantai keramik yang dingin. Wajah, rambut, pakaian, semuanya berantakan. Tania tertunduk di samping toilet. “Boleh enggak kalau aku pergi aja, tinggalin ini semua? Aku capek,” bisiknya. “Aku mungkin enggak cocok di lingkungan ini. Aku terlalu memaksakan diri,” keluh Tania. Tania memegang kepalanya yang berdenyut menyakitkan. Tubuhnya bersandar pasrah pada dinding di sampingnya. Ia menghela pelan. “Kalau pernikahan ini selesai, apa semuanya akan lebih mudah buatku?” Tania menarik napas dalam sebelum berusaha bangkit. Kakinya melangkah pelan menuju kamar. Tania berganti pakaian. Ia kemudian mengambil obat yang diberikan oleh dokter.“Aku ke dokter dua kali berturut-turut.” Tania tersenyum
“Ap–Apa?” Tania tergagap. Tangannya bergetar hebat. Ia langsung mengakhiri panggilan dari Fera. Jarinya menekan tombol kotak masuk. Di grup kerjanya, ada pesan yang bertumpuk. Tania melihat pesan yang paling atas. Ada gambar yang belum terunduh.‘Jangan dibuka, Tania.’ Suara hatinya memperingatkan, seolah tahu akan tersakiti. Namun, Tania abai. Ia tetap membuka gambar itu. “Aku percaya pada suamiku ….” lirih Tania. Ia berdoa keras dalam hati. Semoga semuanya hanya kebohongan. “Enggak.” Tania terduduk lemas. Sekali lihat saja ia sudah tahu jika itu adalah Rafael. Suaminya, tertidur dalam pelukan wanita lain. Air mata mengalir di pipi Tania. Ia tidak bisa menahannya sama sekali. “Padahal, aku percaya,” lirih Tania. “Kenapa? Salahku apa?” Tania tak sanggup melihatnya lagi.Handphone di tangannya terlepas begitu saja. Rangkaian janji yang diucapkan oleh Rafael menggema dalam kepala Tania. Ingatan akan kebersamaan mereka membanjir bagai air bah dalam benaknya. Napas Tania terhen
“Kakak enggak tau,” lirih Tania. “Kakak udah panggil dia, tapi dia tetep di samping cewek itu.” Tyo menggigit bibir. Wajahnya kebingungan. Bibirnya berulang kali terbuka, lalu tertutup lagi. Terlampau ragu untuk berucap. “Kalau menurut kamu gimana? Dia lebih pilih cewek itu daripada Kakak, kan?” Tania melempar bom pada Tyo. Adiknya itu gelagapan luar biasa. Mulutnya sudah komat-kamit tidak jelas. “Kakak serius nanya ke aku?” Tyo menunjuk dirinya sendiri. “Aku belum nikah, Kak. Aku bahkan belum pernah pacaran,” bisik Tyo, pelan.Tani menunduk dalam. Ia menggeleng. Bibirnya berucap perih. “Bagus kalau begitu. Mungkin melajang juga enggak buruk,” sahut Tania. Tyo jadi serba salah. Ia menepuk lengan Tania pelan. “Coba bicara dulu sama Kak Rafael. Nanti aku temani. Kalau Kak Rafael berani nyakitin Kakak, aku bakal pukulin dia sampai bonyok.” ujar Tyo.Tania mengangkat wajah. Ia melihat Tyo yang mengacungkan tinju. Tyo tidak berbadan besar. Ia jarang berolahraga. Tubuhnya bahkan ham
“Cepat!” Tania berseru panik. Keenan segera menyetop taksi yang melintas. Ia mengantar Tania ke rumah sakit terdekat. Di rumah sakit, dokter langsung memeriksa. Tania bersyukur saat dokter mengatakan jika ia dan bayinya baik-baik saja. Tania hanya mendapatkan beberapa luka gores yang tidak fatal. Luka-luka itu sudah diobati. “Kalau Ibu berniat untuk beristirahat di sini malam ini akan lebih baik,” ucap sang dokter. Tania mengangguk mengiyakan. “Terima kasih, Dokter.”Dokter berpamitan setelahnya, meninggalkan Tania berdua dengan Keenan. Suasana canggung menyergap, sampai akhirnya Tania memulai pembicaraan.“Makasih udah anterin aku.” Tania melihat Keenan yang mengernyit. Keenan tampak ragu sesaat, tapi akhirnya ia bertanya. “Yang di cafe tadi, itu suami kamu?”Tania tersentak. Ia tak ingin mengiyakan, tapi Tania tak mau berbohong. “Iya.” Tania tersenyum pahit. Itu suaminya. Yang ia kira sempurna, tapi ternyata sanggup berselingkuh juga. “Dia—”“Kamu enggak mau pulang?” Tania
Tania mengelak keras. “Tapi ini bukan urusan romantisme. Dia itu teman saya!” Gaby mengibaskan tangannya tidak peduli. Ia melipat kedua lengan di depan dada. “Bertemannya jangan di tempat kerja, di jam kerja.”Tania akhirnya menutup mulut. Ia tidak bisa membantah apa yang Gaby katakan. Saat jam kerjanya selesai, Tania mengabari Keenan. Mereka kemudian berjanji untuk bertemu di cafe. Kebetulan sekali Rafael juga sedang ada urusan. Dika pun tak bisa mengantar Tania hari itu. “Iya, aku naik taksi. Nanti aku kabari kalau udah sampe.” Tania mengakhiri panggilan telepon dari Rafael. Ia berpamitan pada Fera dan staf resepsionis lain sebelum berjalan keluar. Di depan Grand Velora, Tania naik taksi.Di cafe, Keenan sudah menunggunya. “Tania!” Keenan melambaikan tangan dari tempat duduk yang ada di sudut. Tania langsung berjalan ke arah Keenan. Ia duduk di depan sang teman. “Kamu sudah lama? Maaf jalan agak macet tadi,” ucap Tania. Keenan menggeleng pelan. “Aku yang minta maaf. Harusnya