“Dika sudah ada di depanmu, kan?” Rafael memastikan dari seberang panggilan.
Tania melengos. Asisten Rafael itu memang sudah berdiri di lobi.“Ada,” jawab Tania singkat.Ia langsung menutup telepon setelahnya. Tania meminta Dika menunggu. Ia kembali ke ruang staf untuk mengambil barang-barangnya.Begitu Tania kembali ke lobi, ia mendapati Gaby sedang berbincang dengan Dika.“Sampaikan salamku pada Pak Rafael,” ucap Gaby sambil mengedip.Tania mengerutkan dahi, merasa geli sekaligus ngeri. Manajernya ini ternyata genit, berkali-kali lipat jauh lebih berbahaya dibandingkan sikap sinis Fera saat mereka pertama kali bertemu.‘Apa Bu Gaby belum menikah?’ Tania bertanya-tanya dalam hati.Fera kemudian menoleh. Seolah mengetahui isi hati Tania, ia mengangguk.Tak menyangka akan mendapatkan jawaban, Tania tersenyum sekilas. Lalu, ia berjalan ke arah Dika, mengajaknya pergi.“Saya duluan ya, Bu M“Selamat pagi!” Tania menyapa ramah.Ia sampai di Grand Velora lebih awal. Lalu lintas sedang tidak macet, dan taksi yang dikemudikan oleh Sumarno melesat cepat ke Grand Velora. “Pagi,” sahut Fera. Kebetulan hari ini Fera datang lebih dulu. Mereka saling tersenyum sesaat sebelum mulai bekerja. Hari itu berjalan sangat lancar. Tak banyak yang terjadi. Sampai di jam istirahat, sebuah pesan masuk ke handphone Tania. Lia: Kamu lagi sibuk gak? Ada waktu hari ini?Tania tersentak sesaat. Sebuah senyum mengembang di bibirnya. Ia segera membalas pesan itu. “Ada.” Tania menekan tombol kirim. Balasan lainnya muncul tak sampai semenit. Tania yang masih beristirahat di ruang staf langsung membacanya. Lia: Jalan ke mal, yuk. Sama Keisha juga. Tania mengangguk pelan. “Oke.”Ia memandang handphone di tangannya yang masih menyala. Semalam, Tania banyak berpikir. Ia tidak bisa tenang karena terus mempertimbangkan banyak hal.Tania mencoba melihat dari sudut pandang Rafael, juga Anggi. Ia sungg
“Ke sini?” Tania terduduk. Ia sempat oleng sedikit karena baru bangun tidur. Rafael mengulurkan tangan membantu. “Pelan-pelan.” Rafael mengingatkan. Tania menepis tangan Rafael. Ia terdiam saat menyadari jika mungkin ia melakukannya terlalu keras. “Tanganmu enggak apa-apa?” Tania menatap lengan Rafael. Ia terkadang lupa jika Rafael masih terluka. “Kenapa gips kamu udah dilepas, sih?”Rafael tersenyum miring. “Mengkhawatirkan aku?” Tania seketika berpaling. “Enggak!” sahutnya ketus. Tania peduli karena luka itu disebabkan oleh dirinya. Cuma itu alasannya untuk khawatir, tidak lebih. “Aku melepasnya karena sulit untuk bekerja … dan mandi.” Rafael menjelaskan. Entah sengaja atau tidak, pria itu mengingatkan tentang bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama di apartemen. Waktu yang membawa Tania pada takdirnya sekarang. Tania mengelus perutnya pelan. “Kalau begitu, hati-hati dengan tanganmu!” ketus Tania. Tania menolak untuk terbawa ke masa lalu. Ia memilih untuk memasang waj
“Baterai handphoneku habis. Aku terpisah dari teman-teman. Aku cuma ingat kembali ke sini.” Gadis di depan Tania menjawab. Tania mengangguk di balik meja resepsionis. Ia tersenyum lembut, berusaha menenangkan.“Boleh saya lihat paspornya?” tanya Tania. Gadis itu menggeleng. “Tertinggal di kamar. Saya lupa nomor kamar saya.”Tania melihat gadis itu menunduk murung. Ia mencoba untuk menghibur sebentar. “Tenang saja! Katakan pada saya siapa namamu, saya akan mengantarmu ke kamar.” Tania membuat senyum lebar. “Nanami Takeda,” jawab gadis itu pelan. “Boleh saya tahu nama teman sekamarmu?” Tania bertanya ramah. Saat gadis itu menjawab, tangan Tania bergerak cepat. Ia mengecek nama yang disebutkan Nanami di layar. Semua nama yang disebutkan Nanami benar. “Lantai 20.” ucap Tania pelan. Ia beranjak dari meja resepsionis. Tangannya memegang kunci cadangan. “Biar saya antar,” ucap Tania seraya mempersilakan Nanami berjalan lebih dulu. Nanami mengucapkan terima kasih. Berulang kali ia m
“Hari ini Ibu masak apa?” Tania basa-basi bertanya. Saat keluar dari kamar, di meja makan sudah ada seluruh keluarganya. Tania melirik Anggi yang masih berwajah masam.Yah, reaksi Anggi sesuai dugaan Tania. Anggi mengabaikan Tania. “Emang Kakak enggak liat? Itu kan ada sup ayam!” Malah Tyo yang menyahut. Tania mencibir keras. Ia menunjuk ke wajah Tyo. “Balikin uang Kakak yang beli puding kemarin. Pudingnya kan Rafael yang beliin!” Tyo tidak menjawab. Adik Tania itu menyelesaikan sarapan dalam sekali suap, lalu menghilang dari meja makan. Tania hanya bisa mendengus. Sekarang, ia terpaksa harus menghadapi dinginnya sikap Anggi sendirian. Karena sang ayah jelas ada di pihak ibunya. Suapan pertama sarapan, Tania masih baik-baik saja. Namun, di suapan kedua, Tania terbatuk. “Uhuk!” Ia tiba-tiba merasa mual. Tania langsung berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan lagi apa yang baru saja ia telan.“Ck!” Tania memukul wastafel kesal. Setelah semalam perutnya terasa nyaman, sekarang j
“Kamu janji?” Tania tiba-tiba saja bertanya. Rafael menatap Tania, tampak bingung. Tania menghampirinya tanpa peringatan dan bertanya. Padahal sebelum ini Tania mengabaikannya. “Semua ucapanmu tadi. Kamu enggak akan tarik lagi, kan?” Tania menatap Rafael lekat. Tangan Rafael tersentak sesaat. Pria itu baru menyadari apa yang Tania tanyakan. “Mana mungkin?” Rafael berbalik. Kedua tangan Rafael menarik Tania ke dalam pelukan. Pria itu mengecup sekilas puncak kepala Tania. “Apa belum cukup semua yang aku tunjukkan selama ini? Katakan saja apa yang kamu mau,” ujar Rafael. Tania menarik tubuhnya mundur. Ia baru bertanya, bukan siap menerima Rafael. “Aku mau anakku punya keluarga,” sahut Tania. Tujuan Tania hanya itu, setidaknya untuk sekarang. Masalah yang lain bisa nanti. Rafael mengangguk mantap. “Tentu. Akan aku berikan keluarga yang terbaik untuk kalian,” sahut Rafael. Tania berusaha keras untuk menahan senyum. Ia tak mau bahagia terlalu awal. Tania hanya merasa jika perjal
“Oh begitu ….” Tania menghela. Suaranya terdengar penuh kecewa. Padahal, sebelumnya Tania selalu bersikeras pada Anggi jika orang tua Rafael tidak akan datang. Sekarang, saat hal itu benar-benar terjadi, Tania malah berubah murung. ‘Kan memang udah jelas!’ Tania mengingatkan dirinya sendiri. Kenyataan memang kadang menyebalkan. Sayangnya, tetap harus dihadapi. “Ya udah!” Nada bicara Tania berubah ketus. Ia memutar handle pintu dan langsung masuk ke dalam rumah tanpa mengetuk. Di ruang tamu, sudah ada Rafael yang duduk di depan kedua orang tuanya. “Tania, kamu sudah pulang?” tanya Anggi berbasa-basi. Tania hanya mengangguk, bersalaman pada kedua orang tuanya. Lalu, langsung masuk ke dalam kamar. Tania sepenuhnya mengabaikan Rafael. “Sebentar.” Anggi tersenyum canggung. Anggi segera beranjak, menyusul Tania. Tanpa mengetuk, Anggi langsung masuk ke kamar Tania. “Tania, temui Rafael dulu.