“Tania! Aku enggak bermaksud begitu! Dengarkan aku dulu!” Rafael keras kepala ingin Tania mendengar.
Tangan Tania ditarik, sampai Tania hampir terjatuh. Karena sikap Rafael yang berlebihan, Tania jadi semakin geram.“Cukup!”Tania mengangkat tangan. Terdengar sebuah tamparan keras. Rafael terkejut bukan main.“Tania?” Rafael tergagap. Tangannya mengusap pipi yang memerah.Tania sama terkejutnya. Ia menarik mundur tangannya yang gemetar. Panik, Tania cepat melangkah pergi. Ia menyetop taksi dan langsung masuk ke dalam.“Aku … enggak bermaksud begitu.” Tania menyesali apa yang akan lakukan.Namun, taksi tetap melaju. Sesampainya di rumah, Tania masih tak percaya apa yang baru saja terjadi.“Apa yang aku lakukan?” Tania terduduk di atas ranjang di dalam kamarnya dalam keadaan bingung.Ia menatap jendela lama sampai akhirnya memilih untuk mengambil handphone dari dalam tas. Tania membaca pesan terak“Pak Rafael!” Viola datang dengan beberapa petugas keamanan. Suara berisik membuat mereka menerobos masuk. Saat pintu dibuka, Romi sudah terbaring di lantai dengan Rafael yang menindihnya. Tangan Rafael terangkat, hendak memberi pukulan entah yang keberapa.“Berhenti!”Para petugas keamanan itu bergerak cepat. Mereka menjauhkan Rafael dari Romi. “Apa-apaan?!”Rafael memberontak. Ia masih belum puas memukul Romi.Merebut Tania? Ha! Sampai mati pun Rafael tidak akan membiarkannya. “Bantu Pak Romi!” Viola meminta para petugas keamanan itu memapah Romi. Sementara dirinya sibuk memegangi Rafael.Romi pun dibawa keluar ruangan secepatnya, sebelum Rafael kembali mengamuk. Beberapa pegawai membantu Romi untuk mengobati luka-lukanya. Sementara itu, di dalam ruangan, Viola sedang sibuk menenangkan Rafael yang masih murka. Meski sudah memukul Romi habis-habisan, Rafael tidak terlihat puas sama sekali. “Pak, duduk dulu. Saya obati luka Pak Rafael juga.” Viola menarik Rafael ke sofa. Rafael
“Pagi, Pak Rafael!” Viola menyapa Rafael ramah, lalu menyiapkan kopi. Sebuah senyum terukir di bibir Viola. Wajahnya yang ceria membuat Rafael sempat terkesima sesaat. “Ehm!” Rafael berdehem canggung. Ia memaki dirinya sendiri karena sempat berpikir sembarangan. Rafael membiarkan Viola mampir ke dalam otaknya!“Bawakan laporan yang aku pinta kemarin,” ucap Rafael dingin. Ia harusnya tetap bersikap profesional, semenarik apapun Viola. Viola hanya seorang sekretaris, dan dirinya sudah memiliki seorang istri yang jauh lebih cantik di rumah. Viola terlihat cemberut, tapi ia menurut. Dengan langkah kecil, Viola mengambil dokumen, lalu kembali pada Rafael. “Ini dokumennya, Pak.” Viola meletakkan beberapa map di atas meja kerja Rafael. Gadis itu berdiri tepat di samping Rafael. “Aku juga sudah siapkan jadwal Bapak hari ini,” ucap Viola dengan suaranya yang riang. Rafael mengutuk dirinya karena sempat menatap Viola lama. Ia seolah terpana dengan wajah polos sekretarisnya itu. “Pak?” V
“Tenanglah, Tania.” Romi mencoba mengendalikan situasi. Di sampingnya, ada Lily yang memegang ujung bajunya erat. Gadis kecil itu memasang tampang bingung, juga takut. “Jangan berani kamu menyentuhnya!” Rafael menepis tangan Romi dari Tania. Ia sama sekali tidak peka dengan situasi. Fokus Rafael hanya tertuju pada kecemburuan. Matanya tertutup. Ia tidak melihat sama sekali ke arah Lily yang sudah mengkerut di sudut. “Jangan berteriak!” Tania menegur Rafael. Tania ingin Rafael bersikap lebih masuk akal, tapi Rafael menganggap Tania membela Romi. Dan Rafael sangat tidak menyukai itu. “Kita pulang!” Rafael menarik tangan Tania paksa. Tania tentu saja memberontak, tapi Rafael tidak menerima penolakan. Ia menatap Tania tajam. “Aku masih suamimu, Tania!” Geram rendah dan emosi tertahan Rafael, membuat Tania mengalah. Ia merasa tidak akan ada hal baik yang terjadi jika dirinya tetap tinggal. Romi yang terluka, atau Lily yang menangis. Tania hanya bisa melihat dua kemungkinan itu.
“Dokter bilang, keadaan Ayahmu memburuk,” ucap Sonya pilu. Tangannya bergerak ke pipi, berusaha menghapus air mata yang terus membanjir. Rafael menarik napas dalam. Ia menatap tubuh Julian yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Keadaannya jauh lebih buruk dari terakhir kali mereka bertemu. “Ayahmu terkejut dengan keadaan perusahaan yang terus memburuk. Ayahmu bahkan sudah menuliskan surat wasiat. Ia akan memberikan GHG padamu.”Rafael menarik napas panjang. Ia tidak pernah mengharapkan akhir yang seperti ini. “Rafael, tolonglah.” Sonya terus memohon. “Setidaknya, temani Ayahmu sekali saja. Penuhi apa yang ia inginkan. Mungkin, ini akan menjadi yang terakhir.”Rafael terdiam lama, sebelum akhirnya menggeleng. Ia tak bisa. Rafael tak mungkin meninggalkan Tania. “Aku harap Ayah cepat sembuh. Aku bisa menjenguk, dan aku akan selalu mendoakan. Tapi aku tak akan kembali.” Rafael menolak tegas. “Aku tak akan kembali kecuali kalian menerima Tania, tanpa syarat.” Sonya mengge
“Pasti Ibu Lily juga senang bersama Lily,” sahut Tania lembut. “Mungkin, Ibu Lily masih sedikit sibuk. Jadi, Lily harus bersabar sedikit lagi saja.” Tania membuat simbol kecil dengan ibu jari dan telunjuk. Ia mengintip dari celah sempit di antara kedua jari itu. “Sambil nunggu, Lily sama Tante Tania dulu. Mau, enggak?”Lily mulai menarik bibirnya untuk tersenyum. Gadis kecil itu mengangguk kemudian. “Mau!” Tania mendekat pada Lily. Ia memeluk Lily erat, lalu menepuk punggung gadis kecil itu lembut. Lily mulai bercerita tentang apa yang ia lakukan di sekolah, tentang teman-temannya, juga tentang mainan yang baru dibelikan oleh Romi. Tania tersenyum lebar, dan beberapa kali mencubit pipi Lily gemas. Mereka tertawa bersama sampai akhirnya Lily tertidur karena lelah berbicara. “Maaf, malah membuatmu tak bisa beristirahat,” ucap Romi saat menyelimuti Lily. Saat Tania mulai mengobrol dengan Lily, Romi tidak menyela sama sekali. Ia membiarkan Lily dan Tania berbincang tanpa menggangg
“Bagaimana rasanya sendirian, Tania?” Tania meringis menahan sakit. Pertanyaan Sonya memperparah kondisinya. “Hubungan darah tidak akan kalah dengan cinta semalam. Aku akan mengambil kembali Rafael darimu!” Tania tidak mau mendengar lagi. Ia mengakhiri panggilan sepihak. Tubuhnya meluruh ke lantai. Nyeri di perutnya semakin menjadi. Merasa tak tahan, Tania akhirnya memesan taksi online. Ia bersiap seadanya, lalu menunggu di depan pintu rumah. “Tolong cepat ya, Pak.” Tania memohon sambil mengelus perutnya. “Astaga, Mbak!” Supir online itu memekik heboh. Wajahnya terlihat takut saat melihat perut Tania yang buncit. “Mbak enggak mau lahiran sekarang, kan?” Kepanikan supir itu membuat Tania semakin merasa sakit. Ia menggeleng cepat. “Jalan saja!” bentaknya. Supir itu terkejut sesaat sebelum akhirnya menurut. Mobil berjalan perlahan. Beruntung tidak ada kemacetan, jadi Tania bisa sampai cepat di rum