Share

Bab 9

Author: Dania Zahra
Raut wajah Preston jadi lebih rileks dan suaranya juga jadi lebih lembut saat bertanya, "Perlu suruh Bendy untuk jemput kamu nggak?"

Livy merasa terkejut dengan perhatian Preston. Dia jadi lupa dengan masalah Stanley dan buru-buru memanggil sebuah taksi. "Nggak usah, aku bisa pulang sendiri, kok." Setelah memeriksa waktu sejenak, dia kembali menimpali, "Jalanan agak macet, mungkin masih butuh sekitar satu jam."

Khawatir bahwa Preston mungkin akan membutuhkan bantuannya, Livy terus mendesak sopir taksi untuk mempercepat laju kendaraan sepanjang perjalanan. Akhirnya, dia tiba di Harmony Residence sesuai waktu yang diperkirakan.

Lampu di ruang tamu sedang menyala dan tercium aroma kopi yang khas memenuhi udara. Pencahayaan dan aroma ini membawa nuansa yang hangat dalam apartemen yang didekorasi dengan indah tersebut.

Livy melangkah masuk dengan hati-hati dan menemukan Preston sedang berdiri di dekat bar dapur. Berbeda dengan penampilannya di kantor, saat ini Preston sedang mengenakan pakaian santai berwarna abu-abu. Rambutnya masih agak basah, mungkin dia baru saja selesai mandi. Aura di sekujur tubuhnya terlihat jauh lebih lembut dari biasanya.

Namun, satu hal yang tidak berubah adalah postur tubuhnya yang sempurna. Pakaian rumah yang lembut dan nyaman itu menempel pas di tubuhnya, menonjolkan otot-otot punggung dan pinggangnya yang jelas terlihat dari belakang.

Livy berpikir, 'Pantas saja tubuhnya terasa keras setiap kali aku memeluknya.'

"Cakep ya?"

Livy mengangguk secara refleks dan menjawab, "Iya."

Begitu ucapan itu dilontarkan, Livy baru menyadari bahwa Preston sedang menatapnya dengan mata intens. Seketika, Livy terdiam sejenak.

Tebersit senyuman yang samar dari sorot mata Preston. Kemudian, dia menyodorkan gelas putih di tangannya kepada Livy. "Susu hangat."

Livy menerima gelas itu dengan wajah yang merona dan menjawab dengan suara pelan, "Terima kasih."

Dalam hati, Livy merasa bahwa Preston ternyata bisa begitu perhatian dan lembut. Citra ini jauh berbeda dengan sosoknya yang dingin dan menakutkan di kantor. Namun, hal yang paling ingin dia jelaskan adalah, "Tadi, maksudku ... gelasnya cakep."

Pandangan Preston terfokus pada pipi Livy yang semakin merona. Tenggorokannya tiba-tiba terasa sangat kering. Kemudian, dia menyeruput kopinya dengan perlahan. Kopi yang lembut dan wangi itu tidak berhasil meredakan kehausannya.

Preston meredupkan tatapannya untuk menyembunyikan emosinya. Kemudian, dia bertanya dengan suara yang berat dan tegas, "Bukannya tadi kamu bilang kamu lembur? Tapi sepertinya aku nggak melihatmu."

'Kenapa dia bisa tahu aku nggak ada di kantor?' batin Livy.

Livy tertegun sejenak, sebuah pikiran konyol melintas di benaknya. Apakah mungkin Preston sengaja menunggunya setelah tahu dia lembur?

Pikiran itu hanya muncul sekejap sebelum Livy buru-buru menepisnya. Setelah kejadian dengan Stanley, Livy belajar satu hal. Jangan terlalu banyak berimajinasi tentang pria dan jangan membuat diri sendiri tersentuh secara emosional.

Livy menenangkan dirinya. Setelah ragu-ragu sejenak, dia memutuskan untuk menjawab dengan jujur, "Aku pergi menjenguk nenekku."

Sebelumnya, dia menyembunyikan hal ini karena merasa hubungan mereka hanyalah kerja sama belaka, bukan pernikahan yang sebenarnya. Oleh karena itu, dia juga tidak perlu membicarakan urusan pribadinya terlalu banyak.

Sambil memegang gelas putih tersebut, Livy merasakan kehangatan yang mengalir dari ujung jarinya hingga menyebar ke seluruh tubuhnya. Dia merasa sedikit lebih rileks, lalu menjelaskan, "Nenekku lagi nggak sehat. Dia pernah menjalani operasi besar dan sekarang tinggal di sanatorium."

"Biasanya aku selalu mengunjunginya kalau ada waktu. Karena belum sempat ke sana setelah pulang dari dinas, jadi sore ini aku menyempatkan diri untuk menemuinya."

Usai bicara, Livy menundukkan kepala untuk menyembunyikan kesedihan yang samar di matanya. Livy sebenarnya jarang membicarakan tentang neneknya kepada orang lain. Dia tidak ingin membuka kembali luka-lukanya sendiri.

Namun, mengingat bahwa dia dan Preston sudah menikah secara hukum dan harus terus berpura-pura dalam hubungan ini, Livy memutuskan untuk tidak menyembunyikan fakta ini dari Preston.

Meski demikian, memikirkan kemungkinan bahwa Preston akan menatapnya dengan penuh belas kasihan seperti orang lain, membuat dada Livy terasa sesak. Secara refleks, dia mencengkeram gelasnya dengan erat.

Saat Livy sedang hanyut dalam pikirannya sendiri, terlihat sebuah bayangan yang menjulang di hadapannya. Jarinya yang pucat tiba-tiba digenggam oleh sebuah tangan yang besar. Pinggangnya dirangkul erat dan dia ditarik ke dalam dekapan hangat Preston.

"Di sanatorium mana?" tanya Preston dengan suara lembut.

"Sanatorium Dharmawangsa," jawab Livy.

Preston mengerutkan alisnya. "Jauh juga. Kamu ke sana naik apa?"

Livy menjawab dengan jujur bahwa dia naik kereta bawah tanah dan bus saat pergi. Lalu karena terburu-buru saat pulang, dia pun memanggil taksi.

"Kalau repot ke mana-mana, lain kali minta Bendy untuk antarin saja." Suara Preston yang rendah bergema di telinga Livy. Napas hangatnya membuat bulu kuduk Livy merinding seketika. Pikirannya tiba-tiba menjadi kosong. Dia bahkan tidak sadar entah sejak kapan gelas di tangannya telah diambil oleh Preston.

Barulah saat dia dibawa ke sofa, ingatan memalukan dari malam sebelumnya muncul kembali dan membuat Livy tersadar seketika.

"Pak Preston, tunggu!" serunya panik. Pria ini mau melakukannya lagi? Tiga malam berturut-turut ... apa dia tidak lelah?

Jarak mereka terasa begitu dekat. Bahan pakaian yang tipis membuat tubuh Livy menempel erat pada Preston, hingga dia bisa merasakan setiap otot di perut Preston. Detak jantungnya juga berpacu semakin kencang.

Melihat wajah Livy yang memerah dan tampak panik, tebersit kilatan usil pada tatapan Preston. Dia sengaja bertanya, "Mau tunggu apa?"

Livy membuka mulutnya sejenak. Namun, dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu dalam waktu yang cukup lama. Meskipun mereka sudah menikah secara hukum dan melaksanakan "kewajiban suami istri" adalah bagian dari perjanjian mereka. Hanya saja ... dengan frekuensi seintens ini, Livy merasa agak ketakutan.

"Nggak mau di sofa?" Preston sengaja menyalahartikan keheningan Livy. "Kalau begitu di tempat tidur saja." Preston memang sudah tergoda sejak tadi siang. Sekarang ini, dia tidak berniat melepaskan Livy begitu saja.

"Bukan itu maksudku!" bantah Livy langsung tanpa berpikir panjang.

Setelah menjawab demikian, Livy baru menyadari betapa ambigunya jawaban yang diberikannya. Sebelum dia sempat menjelaskan, bibirnya sudah dicium oleh Preston secara paksa. Napas mereka saling bersatu dan suara desahan mereka terdengar jelas di udara.

Livy merasa udara di sekitarnya semakin tipis dan penglihatannya seakan-akan semakin kabur.

....

Keesokan paginya, Livy terbangun karena sinar matahari yang terik.

Hari ini cuaca sangat cerah. Cahaya matahari menembus jendela yang menjulang hingga ke langit-langit dan jatuh tepat di atas ranjang yang berantakan.

Livy masih sangat mengantuk. Dia berusaha memalingkan kepalanya untuk menghindari cahaya yang mengganggu itu agar bisa melanjutkan tidurnya. Namun, tidak peduli seberapa kerasnya dia berusaha, Livy tetap tidak bisa menghindarinya.

Dengan kesal, dia menggerutu pelan dan mencoba menarik selimut untuk menutupi wajahnya. Namun, gerakannya tiba-tiba terhenti.

Tangan Livy merasakan sesuatu yang hangat di bawah telapak tangannya dan membuatnya sadar bahwa ada sesuatu yang berbeda. Dia baru menyadari bahwa ranjang ini bukanlah kasur keras di apartemen sewaannya.

Saat kesadarannya mulai pulih, ingatan-ingatan dari malam sebelumnya seolah-olah terlintas kembali dalam benaknya bagaikan sebuah film. Namun, film ini lebih mirip seperti jenis film romantis yang tidak senonoh!

Livy melirik ke sampingnya dengan hati-hati. Mata pria itu masih terpejam. Garis wajahnya yang tegas dan fitur wajahnya yang sempurna membuatnya tampak seperti mahakarya dari Tuhan.

Selama tiga tahun bekerja di perusahaan, Livy tidak pernah berniat lain terhadap Preston. Saat itu, seluruh perhatiannya hanya tertuju pada Stanley.

Bahkan ketika rekan-rekannya berkumpul untuk menggosipkan tentang Preston, Livy tidak pernah tertarik untuk mendengarkannya. Baginya, Preston adalah sosok yang tampak sangat jauh darinya. Meskipun bekerja di perusahaan yang sama dan sering bertemu, Livy tidak pernah membayangkan akan ada sesuatu di antara mereka.

Namun sekarang, siapa yang mengira hubungan mereka akan berkembang sampai sejauh ini?

Selain itu, jika tidak salah ingat, sepertinya tadi malam Livy bahkan ... memohon padanya ....

Wajah Livy mendadak memerah.

Tepat pada saat itu, pria di sampingnya tiba-tiba membuka matanya dan pandangan mereka bertemu.
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sasuwuhe Mardianti
novel x bgs
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Malam Penuh Gelora Bersama Bosku   Bab 430

    Astaga, situasi macam apa ini?Telinga Livy terasa panas membara. Tanpa bisa dikendalikan, pikirannya mulai dipenuhi gambaran-gambaran yang tidak senonoh.Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak membalas pesan mesum dari Preston. Dia mengalihkan perhatiannya kembali ke pekerjaan dan mulai mencari informasi tentang Mathias.Informasi tentang pria itu cukup terbatas di internet. Katanya, dia adalah pria paruh baya yang merintis usahanya dari nol dan dikenal memiliki cara bicara yang baik.Namun, ada juga beberapa rumor negatif yang menyebutkan bahwa selama bertahun-tahun, dia diam-diam berselingkuh dari istrinya dan memiliki banyak wanita di luar.Livy tidak tahu mana yang benar dan mana yang tidak. Yang bisa dilakukan hanya mempersiapkan diri, mempelajari berbagai hal tentang musik, catur, kaligrafi, dan lukisan.Meskipun dia tahu usahanya mungkin tidak terlalu berpengaruh, setidaknya itu lebih baik daripada tidak mempersiapkan apa pun.Setelah sibuk sepanjang sore, Livy akhirnya tiba di r

  • Malam Penuh Gelora Bersama Bosku   Bab 429

    "Livy, ke mana saja tadi? Kenapa lama sekali tanpa bilang apa-apa ke kami? Jangan-jangan kamu malas-malasan?"Pria paruh baya itu berdiri dengan perut buncitnya. Meskipun gemuk, dia tetap berusaha memakai jas seperti orang lain. Namun, penampilannya malah seperti agen asuransi yang sedang mengalami krisis paruh baya.Livy mengerutkan keningnya sedikit dan menjelaskan, "Pak Preston mencariku, ada beberapa hal yang harus disampaikan.""Oh, ternyata Pak Preston ...." Umay menyipitkan matanya, tampak sedikit mengejek. "Ya, wajar saja Pak Preston masih memperhatikanmu. Bagaimanapun, dulu kamu bekerja di bawahnya.""Tapi, aku harap wanita sepertimu nggak langsung berpikir macam-macam hanya karena seorang pria bersikap baik sedikit kepadamu. Ingat, Pak Preston sudah punya istri. Lebih baik kamu realistis saja dan pertimbangkan untuk ....""Kak Umay, sebenarnya ada urusan apa mencariku?" Melihat pria menyebalkan di depan berbicara semakin tidak sopan, Livy buru-buru memotong ucapannya."Nggak

  • Malam Penuh Gelora Bersama Bosku   Bab 428

    Livy tertegun. Preston ... apa maksudnya?Preston kembali berkata, "Dia cuma keponakanku, sedangkan kamu adalah istriku."Oh, jadi begitu. Livy mengerti sekarang. Bagi Preston, statusnya sebagai istri memang sedikit lebih tinggi daripada status seorang keponakan. Namun, hanya sebatas itu. Hanya karena saat ini, dia masih menjadi istri Preston."Lebih baik nggak usah," ujar Livy setelah berpikir sejenak. "Aku juga jarang punya waktu untuk memakai tas seperti ini. Kalau cuma disimpan di rumah, rasanya akan terbuang sia-sia.""Biarkan saja terbuang sia-sia," kata Preston dengan tidak acuh. Baginya, uang seperti ini hanyalah jumlah kecil. Jika istrinya menyukai sesuatu, dia akan membelinya tanpa peduli apakah benda itu akan terpakai atau tidak."Tapi ...." Livy masih ingin berkata sesuatu, tetapi Preston sudah menariknya ke dalam pelukan."Aku memberikan hadiah untuk istriku, tapi kamu malah menolaknya berulang kali? Kamu pikir aku miskin sampai nggak sanggup membelikanmu sesuatu sekecil i

  • Malam Penuh Gelora Bersama Bosku   Bab 427

    "Mana mungkin!" Livy buru-buru melambaikan tangannya. "Di departemen sekretaris masih ada banyak senior. Kamu juga termasuk salah satu senior buatku. Jangan bicara seperti itu.""Ya, ya, aku paham." Ivana buru-buru menutup mulutnya, lalu melanjutkan, "Aku serius kali ini. Pak Preston mencarimu, dia suruh kamu ke atas.""Kenapa kamu yang mencariku?" Livy sedikit terkejut. Biasanya kalau ada urusan seperti ini, Bendy yang datang menemuinya.Ivana menjawab, "Sepertinya Pak Bendy ada urusan mendadak. Dia cuma sempat mampir sebentar ke departemen sekretaris untuk menyampaikan pesan. Sudahlah, Livy, cepat naik ke atas. Siapa tahu Pak Preston berubah pikiran dan mau memindahkanmu kembali ke departemen sekretaris!"Tidak mungkin, 'kan? Semalam Preston sudah mengatakan bahwa dia tidak akan memindahkannya kembali sebelum misinya selesai.Dengan penuh rasa penasaran, Livy segera mengetuk pintu kantor Preston."Masuk."Saat mendorong pintu, Livy melihat Preston sedang tidak bekerja. Pria itu memeg

  • Malam Penuh Gelora Bersama Bosku   Bab 426

    "Hah?" Livy sempat mengira dirinya salah dengar. Namun, saat melihat Preston menunggu dengan ekspresi seperti ingin dilayani, dia yakin bahwa dirinya tidak salah dengar.Membantu dia mandi? Dia menatap laki-laki di hadapannya dengan mata membelalak.Sebagian besar pakaiannya sudah terlepas, memperlihatkan tubuh ramping dengan garis otot yang tegas. Di bawah cahaya lampu, sosok itu terlihat begitu mencolok hingga membuat jantungnya berdebar.Ditambah lagi dengan wajah Preston yang dingin, tegas, dan sempurna, semuanya memberikan dampak visual yang sangat kuat.Sejak kejadian itu, sebenarnya sudah beberapa hari berlalu sejak terakhir kali mereka melakukannya. Seorang wanita ... juga memiliki kebutuhannya sendiri.Livy berdeham, mencoba menahan rasa malu yang merayap di hatinya. Dia terus mengingatkan diri sendiri bahwa dia masih membutuhkan bantuan pria ini.Sambil menggigit bibirnya, dia mulai membuka kancing kemeja Preston. Sesudah itu, dia bergerak turun ke celana. Ketika tiba giliran

  • Malam Penuh Gelora Bersama Bosku   Bab 425

    Preston masih punya sedikit kendali atas dirinya sendiri. Lagi pula, setelah 2 hari berturut-turut, tubuh Livy pasti masih butuh waktu untuk beristirahat dengan baik."Kalau begitu ... 6 juta?" Dengan berat hati, Livy menambahkan 2 juta lagi. Wajahnya pun terlihat tegang. "Benaran nggak bisa lebih lagi? Bonusku sedikit banget."Terakhir kali, dia hanya mendapat 1 juta. Itu bahkan tidak cukup untuk membayar satu hidangan Preston."Beberapa hari lagi, bagian keuangan akan mentransfer sisa bonusmu yang sebelumnya. Jadi, kamu nggak bakal sampai kekurangan uang. Lagi pula, bukannya aku sudah kasih kamu kartu? Punya uang tapi nggak dipakai. Kamu bodoh ya?" Nada suara Preston terdengar agak pasrah.Bonus sebelumnya? Livy kaget dan baru teringat. Dia buru-buru bertanya, "Masalah dengan Sherly itu ulahmu ya?"Meskipun kemungkinan besar jawabannya adalah iya, dia tetap ingin memastikan. "Hmm, aku menyuruh Bendy menyelidikinya.""Bonusmu ternyata disalahgunakan oleh Sherly, jadi aku meminta bagia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status