Hiraya menatap ke arah depan, dimana sepupunya berada. Dia dapat menebak beberapa dugaan tentang kenapa Helena hendak menemuinya. Kemarahan. Kedengkian. Dia dapat melihatnya berjalan ke arahnya, langkahnya lambat, seolah dia menahan untuk tidak melukainya.“Apa ada sesuatu yang ingin kau beritahukan padaku?”Mata Helena berkedut. Dari jarak seperti ini, begitu mustahil bagi sepupunya itu untuk tidak menjambak rambutnya. Namun mereka tengah berada di luar sekarang, dan Hiraya kini telah menggenggam perlindungan sang putra mahkota.Helena adalah seorang yang cerdas, dia takkan dengan mudah melukainya jika itu akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri.“Bagaimana perasaanmu, sepupuku?” dia bertanya pada akhirnya. Dan sebelum Hiraya dapat menjawab, dia kembali memotong. “Bagaimana perasaanmu setelah mencuri priaku?”Gadis itu terdiam. Dan dari sudut matanya, dia dapat melihat Eloise yang menutup mulut dengan telapak tangannya, mata membulat. Dia tak yakin jika dia bisa menceritakan
Hiraya menatapnya, tepat ketika Alaric mengulurkan tangan padanya. Sang pangeran membantunya turun, sementara gadis itu membiarkan Eloise membantunya dengan roknya — dia sendiri memfokuskan diri untuk turun di tanjakan.“Hai,” sapanya, membuatnya menundukkan kepala. Dia dapat merasakan mata yang menelusurinya dari atas ke bawah. “Kau mengenakan gaun yang kuberikan.”Gadis itu memperhatikan gaunnya sendiri. “Itu pantas dipakai,” ucapnya, beralasan. “Dan aku harap kau tak keberatan jika aku tak membawa pakaian lamaku — aku tak yakin akan ada tempat yang tepat untukku menggunakan mereka.”Alaric tertawa, membawanya berjalan masuk ke dalam istana. Mereka yang membawa barangnya mengikuti kereta dan kuda untuk mengangkutnya, sementara Eloise mengikutinya dengan s
Agatha Fireheart telah menjadi seorang ratu sejak dirinya masih berusia delapan belas tahun, ketika dia menarik hati sang raja di tahun debutnya. Dia masih dapat mengingat rasa sedihnya ketika dia harus menunda debutnya — Agatha tak ingin menjalani tahun debut yang sama dengan kakaknya.Lucu sekali jika dia mengingat bahwa sang raja — yang saat itu masihlah seorang putra mahkota, baru saja kembali dari studinya di kerajaan lain. Adalah suatu kebetulan ketika dia baru saja debut dan ayahnya, yang memiliki koneksi dengan sang ratu, mengundang mendiang mengunjungi rumahnya. Dengan itu, sang putra mahkota terdahulu menemaninya datang.Phillip Fireheart telah melihatnya bermain di taman dengan coreng-moreng lumpur di wajah, satu tangan menggenggam seonggok tanah basah itu dan bersiap melemparnya pada satu anak pelayan laki-laki yang seumuran dengannya. Dan Agatha harus terdiam ketika dia tanpa sengaja melontarkan lumpur tersebut ke wajah sang pangeran.Itu bukanlah cinta pada pandangan per
Hiraya berjalan ke arah ruang tengahnya, dimana seorang laki-laki berdiri dan menunggunya. Dia berpakaian seperti pamannya, seperti ayahnya, seperti laki-laki dewasa yang selalu mengenakan jas dan kemejanya. Walaupun dia dapat melihat jam saku yang dia genggam, juga kacamatanya.Laki-laki itu tersenyum padanya, mengangguk. “Nona Hiraya.”Gadis itu menganggukkan kepala, membungkuk padanya. Dia masih mengenakan hitam, pakaian berkabungnya begitu kentara bahkan ketika keluarga pamannya datang.Dia menoleh pada bibinya, yang menatapnya tak jauh dari sofa. “Dia adalah pengacara ayahmu,” dia menjelaskan. “Dia akan menjelaskan apa yang akan terjadi padamu.”Hiraya mengerutkan dahi. Bahkan dengan dirinya yang masih kecil, dia memahami bagaimana ayahnya akan mewariskan banyak untuknya — sang mendiang viscount tak memiliki pilihan, dia hanya memiliki satu orang anak.Lalu kenapa ada ketentuan tentang bagaimana jadinya hidupnya?“Mendiang viscount memberikan ini padaku,” mulainya, mengeluarkan s
Ada baiknya jika Hiraya sebaiknya mengabari keluarga pamannya terlebih dahulu, terutama jika dia menggunakan kereta kerajaan untuk mengantarnya. Dia tak bisa menahan tawa ketika melihat Anthony membulatkan mata, menatap dirinya yang bahkan masih tertutup jubah.Namun gadis itu begitu sadar ketika menyadari kalung dan anting yang dia kenakan, walaupun rambutnya hanya dijepit dengan sebuah pita. Dia tersenyum pada laki-laki itu, yang masih menatapnya.“Kau takkan mengumumkanku?” dia menunggu.Temannya itu menghela nafas. “Aku takkan terbiasa dengan ini.”Hiraya menunduk, sementara Eloise menahan senyumnya, berbisik padanya ketika Anthony pergi untuk mengumumkannya ke ruang tamu. “Kau dekat dengannya?”“Pelayan-pelayan rumah ini,” mulainya, berbisik. “Lebih seperti keluargaku dibandingkan mereka. Mereka setia padaku, aku terus merasa bersalah ketika gaji mereka berkurang untuk membantuku makan ketika aku masih kecil.”Dia dapat menduga reaksi pelayannya itu, merangkul tangannya sedikit.
Tidak ada.Tidak ada sama sekali.Hiraya beralih pada laci lainnya, nafasnya mulai memberat ketika dia menyadari bahwa ada yang salah dengan ruang kerja ayahnya. Meja dan lacinya telah berubah, hanya rak buku yang tak tersentuh. Namun bahkan ketika dia membuka buku dan laci disana satu persatu, dia tak bisa menemukan apapun.Seharusnya ada. Namun dia bahkan tak bisa menemukan akta pernikahan orang tuanya. Dia selalu mengingat bahwa orang tuanya menyimpan itu dalam satu tempat yang disatukan.“Agar tak hilang,” ucap ibunya saat itu.Namun kemana–Hiraya terduduk di atas karpet, menarik nafasnya. Mereka tak mungkin benar-benar membuangnya. Sampai kapan kekejian mereka berakhir? Menghapuskan dirinya dari masyarakat tidaklah cukup, mereka ternyata harus benar-benar mutlak menghancurkan identitasnya.Tak mungkin. Dia harus terus mencari. Mereka takkan menyembunyikannya di tempat yang terpencil — mereka tak mungkin begitu berusaha dalam melakukan itu. Namun sesuatu dalam diri Hiraya mengata
Mereka mengatakan bahwa ada satu titik di hidup ini dimana seseorang akan membutuhkan sebuah dukungan untuk diri mereka sendiri.Entah itu dari teman mereka, keluarga yang menemani, atau bahkan seorang pasangan jika mereka cukup beruntung untuk mendapatkan itu.Namun Hiraya tak bisa mengatakan dengan jelas di titik mana Alaric datang dan dia berhenti. Jelas sekali bahwa dia bukan temannya — tak sulit untuk mengatakan bahwa mereka tak memiliki dinamik itu. Bahkan di awal mereka bertemu, Alaric telah menunjukkan ketertarikannya.Mungkin dia dapat mengatakan bahwa dia adalah pasangannya, namun sedikit meragukan ketika mereka tak pernah memiliki prosesi apapun.Walaupun begitu, dia memahami bahwa Alaric dapat dengan bangga mengatakan bahwa dia adalah selirnya, lalu apa yang
“Aku harus pergi,” Hiraya berbisik, sementara dia dapat merasakan sebuah ciuman di lehernya.Saat dia membuka matanya, dia menduga bahwa Alaric akan telah pergi, seperti hari kemarin. Namun ketika dia berbalik, dia dapat melihatnya, masih mendengkur sementara satu tangannya berada di pinggang, mendekapnya erat.Hiraya telah menghabiskan waktu beberapa menit untuk menatapnya, menelusuri wajahnya yang masih begitu damai dalam tidur. Dia telah memperhatikan hidung dan bibirnya terlalu lama.Hidung dan bibir yang sama dengan yang telah menyentuhnya berkali-kali penuh perasaan. Gadis itu tak mampu menghitung kembali seberapa banyak dia telah menghirup aroma dan mengecup kulitnya menggunakan mereka.Dan mata tertutupnya memiliki bulu mata yang panjang, dan jika ter