[Pagi, Sayang. Gimana malam pertamanya? AKU TEBAK PASTI HAMBAR, YA😆😆]Lysandra menghela napas dalam ketika tanpa sengaja matanya menatap layar ponsel Rayyan yang menyala dan menampilkan balon chat. Wanita itu tengah membereskan tempat tidur dan ponsel Rayyan tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Sementara pemiliknya tengah membersihkan diri di kamar mandi.Rayyan keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Hanya dengan lilitan handuk sebatas pusar. Jelas dada bidangnya terekspos semua. Lysandra membuang pandang ke lantai, tetapi terlambat. Pipinya sudah terlanjur memanas. Tanpa sadar ia menelan ludahnya sendiri. Ini pertama kali dalam seumur hidup Lysandra melihat pemandangan seperti itu. Rayyan kemudian mengambil dan mengenakan setelan rumahan yang Lysandra siapkan di atas tempat tidur saat Rayyan di kamar mandi."Kita ke bawah, Ly. Papa sama pasti udah nunggu untuk sarapan." Rayyan menggandeng tangan Lysandra. Lysandra mengangguk, kemudian mengikuti langkah sang suami u
Rayyan menatap mata Aira. Dalam-dalam. Tapi yang dia lihat hanya pantulan dirinya sendiri yang tak lagi sama. Dia sudah jadi suami orang.“Maaf, Ai. Aku harap kamu paham, aku baru saja menjadi suami orang,” ucapnya pelan.Aira tersenyum tipis, lebih sebagai cara menahan air mata. “Selamat atas pernikahannya, tapi kamu masih milikku, Ray,” ucapnya kemudian memutar tubuh dan meninggal kekasihnya yang sudah menjadi suami orang itu.Rayyan bergeming. Memandang kepergian Aira, kemudian membuang pandang begitu suara heels Aira menghilang di antara keramaian.Dan dari sudut lain, Lysandra memperhatikan semuanya. Tak sepatah kata pun. Ia hanya diam, lalu menunduk, pura-pura sibuk merapikan kerudung yang tak kusut.***Malam menjelang. Kediaman keluarga Kaivan masih menyisakan sisa-sisa tawa tamu, bunga-bunga pesta, dan kursi-kursi lipat yang belum dirapikan seluruhnya. Pernikahan memang digelar di kediaman Kaivan. Tentu saja atas permintaan Kaivan.Kamar pengantin Rayyan dan Lysandra dipenuh
Di Atas Plaminan[Pagi, Sayang. Semoga hari ini menyenangkan. Tapi maaf, aku tidak akan berdoa pernikahanmu bahagia. AKU TUNGGU DUDAMU TAHUN DEPAN]Pesan itu muncul ketika Rayyan membuka ponsel untuk melihat jam. Ternyata sebentar lagi masuk waktu subuh. Rayyan bangkit untuk bersiap.Sebelum beranjak, ia sempat menatap lama pada jas silver yang tergantung di pintu lemari. Jas itu akan ia kenakan hari ini. Ya, hari ini adalah hari pernikahannya dengan Lysandra. Tinggal menghitung menit statusnya akan berubah menjadi seorang suami.Rayyan memegang dadanya yang masih bergemuruh. Segera menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu untuk bersiap salat di masjid dekat rumah. Papanya pasti sudah menunggu di bawah seperti biasa. "Lihat, Ma. Aura calon pengantin emang beda, ya," canda Kaivan begitu Rayyan sudah turun mengenakan koko dan kain sarung lengkap dengan peci. Ia hanya tersenyum tipis menanggapi godaan sang papa. Debaran itu hadir meski samar. Kaivan merangkul putra sulungnya kemud
"Ray, udah malam, makan dulu Nak!" suara Alya menggema dari bawah, tetapi Rayyan hanya mengangkat tangan tanpa menoleh."Ciee yang bentar lagi nikah, jadi gak nafsu makan, ya," ejek Aisy sambil mendongak ke atas."Bawel.""Dih, Mama dikatain bawel tuh sama jagoan Mama." Aisyahra bersuara lagi. Kali ini menoleh pada Alya, mamanya.Alya hanya bergeming, menatap sang putra hingga tubuhnya menghilang."Udahlah, Rayyan gak akan kurus cuma karena gak makan malam satu kali." Kaivan kini menimpali, ia berjalan gontai menuju meja makan. Hatinya masih diliputi rasa bahagia yang tak terkira. Membayangkan putra sulungnya akhirnya menikah dengan putri sahabat karibnya. Meski sudah berumur, Kaivan masih tampak gagah, senyumnya juga masih menawan. Tak jarang masih membuat Alya berbunga-bunga saat menatapnya, seperti saat masih muda dulu.Sementara itu, Rayyan segera masuk ke kamar dan mengunci pintu. Napasnya tak beraturan, seolah sedang dikejar waktu. Ditariknya ponsel dari saku lalu membaca pesan
"Jadi, gimana? Kamu terima tawaran Papa atau bawa gadis itu ke rumah? Bukan hanya sebagai pacar, tapi sebagai calon istri," tegas Kaivan yang kini tengah berhadapan dengan putra sulungnya di ruang keluarga. "Papa pikir sudah cukup Papa memberikan waktu enam bulan untukmu mengambil keputusan dan juga tindakan."Rayyan menunduk, kemudian menghela napas dalam. Mulai menyusun kalimat untuk menjawab pertanyaan sang papa."Iya, Pa. Ray sudah ambil keputusan. Ray siap terima perjodohan ini.""Kamu yakin? Papa tekankan sekali lagi, Papa tidak memaksa, Papa cuma mau kamu nikah tahun ini."Rayyan mengangguk. Tanpa kata dan suara. "Oke, kalau gitu, besok kita ke rumah Om Azzam untuk melamar anak bungsunya, Lysandra," tambah Kaivan lagi sarat akan ketegasan. Rayyan menatap Kaivan lagi. "Besok, Pa?"Kaivan mengangguk. "Lebih cepat lebih baik. Niat baik tidak boleh ditunda, kan?"Rayyan terpaku. Ia tidak menyangka jika papanya akan bergerak secepat itu. "Emang gak perkenalan dulu gitu?" tanya Ra
"Nikah? Sekarang? Gak mungkin Ray. Aku belum siap untuk nikah," ucap seorang gadis berambut hitam setengah ikal menatap tak percaya. "Kamu tahu sendiri, perjalanan karirku masih panjang.""Sampe kapan, Ai? Kamu udah jadi dokter yang hebat," ucap pria beralis tebal itu.Wajah pria itu menampilkan garis kegusaran. Namun, tak mengurangi aura kehampanan yang terpancar. Membuat gadis cantik di hadapannya tak bosan menatap pada satu objek di hadapannya. Ya, dialah Rayyan Putra Satria—putra sulung Kaivan dan Alya."Tapi aku gak bisa menunggu lagi, Ai. Papa sudah mendesak untuk menikah tahun ini. Aku udah lelah debat sama Papa. Kalau dalam waktu dekat aku gak kenalin calon istri, Papa bakal jodohin aku sama anak sahabatnya," jelas Rayyan dengan kemudian.Tak sebanding dengan wajah Rayyan yang gusar, gadis di hadapannya tidak terkejut sama sekali. Jauh dari ekspektasi Rayyan sebelum bertemu kekasihnya."Ya udah nikah aja, Ray. Ikutin aja dulu kemauan papamu." Gadis itu berucap dengan santai.
Alya pun mengambil bingkai foto kecil di meja samping tempat tidur Haura. Dia kemudian menata bantal agar mereka dalam posisi duduk. Haura ia letakkan di atas pangkuannya."Haura, Sayang. Lihat ini deh," ucap Alya, memperlihatkan potret mereka berdua empat tahun lalu. Saat Haura berusia berusia enam bulan dalam pangkuan Alya yang sedang hamil besar. "Haura tahu ini siapa?" tunjuk Alya pada foto bayi Haura."Iya, itu Haura waktu bayi, kan, Ma?" jawab Haura dengan sangat yakin. Ia jelas tahu. Bingkai foto itu selalu di meja dekat tempat tidurnya. Ada tiga bingkai foto yang terpajang di sana. Foto Haura bayi bersama Alya, foto mereka berlima yang saat Rayyan baru masuk TK, dan foto Kinan bersama Haura satu tahun lalu."Kalau yang perut Mama ini siapa?" tanya Alya lagi."Itu adek Aisy masih di dalam perut Mama," jawab Haura yakin. "Kan Haura udah lahir, adek Aisy belum.""Pinter anak, Mama." Alya mencium rambut keriwil milik Haura."Hehehe," cengir Haura menunjukkan gigi susu yang teraw
"Cara apa, Mbak?"Kinan menunduk. "Aku harus mulai dari awal untuk mengambi hatinya, dan selama itu aku minta tolong sama kamu, Al. Kamu tolong jaga jarak dengan Haura."Kalimat itu Kinan ucapkan dengan perlahan dan suara rendah, tetapi sukses membuatkan Kaivan meninggikan suaranya."Kinan!" sentaknya tanpa bisa dikontrol. "Ternyata kamu masih belum berubah, Ki!"Sementara Alya tidak menjawab. Ia kehabisan kata-kata untuk merespons kalimat Kinan. Baginya permintaan Kinan cukup sulit. Ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Haura bila orang yang selama ini ia panggil mama, tiba-tiba menjauhinya."Tapi, Mas. Kalau gak seperti itu, Haura akan terus-terusan gak mau pisa–" Kinan mencoba berkeras meski nada bicaranya tidak setinggi Kaivan. Akan tetapi, Kaivan memotongnya dengan cepat. "Kalau itu yang kamu mau, kita ketemu di pengadilan saja. Biar hakim yang menentukan siapa yang paling berhak atas hak asuh Haura."Kinan mengerutkan dahi, mendadak wajahnya berubah cemas. "Mas, tolong
Bukan Kaivan dan Alya saja, Haura yang sejak tadi tengah asyik bersama Barbie-nya segera berlari dan bersembunyi di belakang punggung Alya.Ya, wanita itu adalah wanita yang empat tahun lalu menitipkan bayinya pada Alya untuk dibesarkan."Hanya sementara, beberapa tahun saja. Setelah aku bisa keluar dari sini, aku akan menjemputnya." Itu yang dia ucapkan saat Alya menyempatkan diri menjenguk Kinan di lapas setelah satu bulan Haura tinggal bersamanya. Butuh kesiapan mental khusus untuk menjenguk wanita yang selama ini begitu ingin menghancurkannya. Namun, Alya sudah berusaha berdamai dengan masa lalu.Pada akhirnya Kinan pun meminta maaf pada Alya. Tidak ada ada lagi tatapan kebencian atau dendam seperti dulu. "Saya tidak akan mungkin datang ke sini jika belum memaafkan Bu Kinan," ucap Alya kali itu. "Kamu masih memanggil saya ibu?" Alya menunduk. Sementara itu, Kaivan hanya berdiri sambil bersedekap menyaksikan interaksi keduanya. "Apa aku datang di waktu yang tidak tepat?" Suar