Lysandra tersenyum tipis, menatap Rayyan cukup lama, kemudian berkata, "Mas."Rayyan menoleh sesaat sambil terus fokus mengemudi. "Hemmm?""Kamu makin romantis aja sih sekarang."Rayyan mengulum senyum, matanya masih terus menatap ke depan. "Itu adalah salah satu cara aku untuk buat kamu makin betah di sisiku, Ly. Karena aku ga mau kamu pergi lagi. Jadi, sebisa mungkin aku gak akan izinkan kamu untuk mengeluh.""Duh, Maaas, meleleh hayati. Bisaaa aja kamu jawabnya," ucap Lysandra sambil kemudian membuang muka ke kaca jendela dan menyembunyikan senyum malunya."Gak usah disembunyiin gitu mukanya. Aku udah sering lihat mukamu yang tiba-tiba jadi pink, Ly. Manis banget tahu." Rayyan kembali berucap, seakan tak rela jika harus berhenti menggoda sang istri."Jangan-jangan jauh-jauh, ya. Jangan lepasin gandengan," ucap Rayyan setelah mereka akhirnya sampai di mal dan keluar dari mobil."Ih, Mas. Aku bukan anak kecil yang ke mana-mana harus digandeng," ucap Lysandra Manja, meski sebenarnya d
“Terima kasih kamu sudah datang memenuhi undangan saya." Kaivan mulai membuka percakapan dengan tenang. Menatap lawan bicaranya yang pernah dia lihat bersama putranya beberapa kali dulu. Aira."Saya harap kamu datang bukan karena merasa masih bisa mengendalikan semuanya?” lanjutnya lagi pelan. Namun, matanya tak pernah benar-benar menatap wajah perempuan yang duduk di seberangnya. Ia lebih sering menatap meja, cangkir kopinya, atau meja kasir kafe yang sering kosong.Kafe itu sepi, hanya ada dua pelanggan lain di sudut ruangan. Aira duduk kaku, mengenakan hoodie hitam dan celana longgar, berbeda dari tampilannya di media sosial yang glamor dan penuh percaya diri.“Bukan urusan Om deh kayaknya,” jawab Aira cuek dan cepat. Matanya menantang, berlawanan dengan suaranya yang gemetar.“Rayyan anak saya. Tentu jadi urusan saya kalau kamu terus menghancurkan hidupnya.”“Dia yang hancurin aku duluan, Om.” Aira menyandarkan punggung, menyilangkan tangan. "Jangan lupa."“Benarkah?” Kaivan menco
Waktu sudah lewat tengah malam. Layar laptop Azzam masih menyala, menampilkan halaman laporan yang baru masuk lagi sore tadi dari kontak lamanya—seseorang yang dulu ia bantu lepas dari kasus investasi ilegal. Kini, orang itu bekerja sebagai private intelligence freelance, dan Azzam hanya butuh satu panggilan untuk menurunkan dinding privasi siapa pun.Di layar, wajah Aira tertangkap dari sudut sebuah ruangan tua—kemungkinan coworking space—di mana ia tampak mengetik dengan wajah kosong.Azzam menggeser ke laporan teks. Paragraf-paragraf berisi data keuangan, log klinik, dan tangkapan pesan pribadi terbuka satu demi satu. Ia membaca perlahan, dan berhenti ketika sampai di satu bagian: [.… catatan medis menyebutkan Aira mengalami keguguran pada tahun enam tahun yang lalu, namun di-entry ulang dengan diagnosis pasca-trauma kelahiran. Tidak diketahui di mana anak tersebut berada saat ini.]Di sisi lain, bagian donasi ke panti asuhan mencantumkan nama pengirim: A.R.S. Frekuensi bulanan.
“Aku tahu kamu ngintip aku tadi malam, Mas.”Rayyan yang sedang memilih dasi langsung menoleh cepat. Lysandra duduk di meja rias sambil menyisir rambutnya. Matanya menatap tajam melalui pantulan cermin—seperti detektif yang baru saja menangkap basah tersangka di tempat kejadian.“Apa? Ngintip apa?” Rayyan berusaha tenang, tetapi sepertinya gagal.Lysandra menyipitkan mata. “Ngira aku tidur? Padahal aku cuma pura-pura merem.”Rayyan mengangkat tangan, menyerah. “Siapa suruh kamu cantik dan mempesona luar biasa walau pas lagi tidur?”Lysandra mencibir. “Masih pagi, udah mulai modus.” Rayyan tertawa pelan. Ia mendekat, mengambil dasi, dan menyodorkannya. “Kalau kamu gak bantu pasangin, aku bisa telat ngantor, nih.”Lysandra berdiri lalu mengambil dasi itu dan mulai mengikatkannya ke leher Rayyan dengan gerakan cekatan.“Bisa telat cuma gara-gara dasi? Enggak mungkin,” ucapnya lirih sekali, tetapi Rayyan tetap mendengar.Rayyan menunduk sedikit agar sejajar. “Kalau alasannya karena kamu,
“Sayang, kamu mau sarapan sekarang atau nanti?”Rayyan bersuara pelan dari ambang pintu, tangannya masih memegang nampan kecil berisi dua piring nasi goreng, dua gelas air putih, dan sendok yang ia tata dengan serius. Matahari belum tinggi, tapi aroma minyak wijen dan telur dadar tipis sudah memenuhi ruangan.Lysandra, yang masih menggulung diri di balik selimut, mengerjap pelan. Rayyan tadi meminta ia tidur lagi setelah salat subuh. Wanita itu memang terlihat sangat lelah setelah semalam dipaksa 'lembur' bersama Rayyan.Matanya menemukan suaminya yang kini berdiri di sana dengan ekspresi nyaris canggung. Ia tak menjawab. Hanya menatap. Lalu akhirnya mengangguk.“Sekarang aja.”Rayyan tersenyun lega. Meski mereka masih terlihat canggung, tetapi bahagia tak dapat ditampik. Ia meletakkan nampan di meja kecil, lalu duduk di ujung ranjang, sedikit berjarak.“Gak banyak, tapi aku pastikan rasanya gak memalukan,” ucapnya separuh menggoda, tetapi sedikit gugup.Lysandra duduk dengan malas. I
Suara sendok bersentuhan dengan cangkir berbunyi pelan saat Rayyan menuangkan teh melati. Aroma khasnya menguar, menenangkan. Balkon kamar mereka tidak terlalu besar, tapi cukup untuk dua kursi malas, sebuah meja kecil, dan percakapan yang hanya perlu didengar oleh angin.Rayyan baru saja selesai mandi, rambutnya masih sedikit basah. Ia mengenakan kaus rumahan dan celana cino selutut. Wajahnya belum sepenuhnya pulih dari lelah, tetapi matanya terlihat lebih hidup dibanding beberapa hari terakhir.Masih dengan senyum yang seakan enggan lepas dari bibirnya, ia meletakkan cangkir jumbo berisi teh melati di tengah meja—di dekat kursi malah di balkon. Sengaja hanya satu dengan cangkir yang jumbo, agar mereka bisa minum dari cangkir yang sama.“Teh ini harusnya bisa lebih enak kalau kamu yang racik.” Ia membuka suara.“Masih tetap enak,” balas Lysandra sambil duduk. “Karena kamu yang bikinin.”Rayyan melirik cepat ke arahnya, tapi tidak berkomentar. Hanya senyum kecil yang menggantung di uj