Ruangan itu hanya dihuni oleh bunyi mesin pemantau yang stabil, juga detak lemah dari layar kecil di samping ranjang.Lysandra masih terbaring dalam posisi miring. Selang infus menempel di tangan kanan, dan alat kecil melekat di sisi perut—memantau denyut yang masih terlalu rapuh untuk dikatakan pasti. Dokter menyebut ruangan ini monitoring room, ruang semi-isolasi di salah satu rumah sakit ibu dan anak terbaik di Jakarta.Rayyan duduk di kursi yang disediakan khusus untuk pendamping pasien. Sweater gelap yang ia kenakan sejak malam belum diganti. Tatapannya belum berubah sejak pukul empat pagi—penuh tanya yang belum menemukan jawaban.Jam di dinding menunjukkan pukul 08.04.Alya datang membawa nampan kecil berisi termos dan dua cangkir. Wajahnya lelah, tetapi senyumnya tetap hangat. Setidaknya ia harus memberikan semangat untuk putranya.“Kamu belum makan, Nak?” tanyanya, meletakkan teh hangat di meja kecil.Rayyan menggeleng. “Nanti aja, Ma.”“Lysandra belum bangun?”“Tidurnya geli
Lysandra sudah tidak bisa merasakan apa pun saat tubuhnya terguling. Kemampuan untuk menolong tubuhnya sendiri benar-benar habis.“Lysandra!”Alya menjerit begitu tubuh menantunya terguling menuruni tiga anak tangga terakhir—sampai terhenti dengan suara berat di dasar tangga. Kepalanya membentur lantai, lengannya tertekuk dalam posisi aneh.Rayyan tiba dalam dua lompatan, lututnya menghantam lantai keras saat tubuhnya menyentuh Lysandra yang sudah tak sadarkan diri.“Sayang ... Sayang, bangun ...,” napasnya tercekat. Suaranya pecah di ujung kalimat.Alya sudah berjongkok di sisi lain. Tangannya gemetar saat mencoba memegang pergelangan tangan Lysandra. Ada sedikit kelegaan di sana. Hanya sedikit. Kaivan yang berada di teras samping setengah berlari masuk karena mendengar keributan. Begitu pula dengan Haura dan Hilya.Rayyan meraba pipi Lysandra yang pucat. Darah di pelipis sang membuatnya makin cemas. Rayyan segera mengangkat tubuh istrinya ke pelukannya. Namun, ada yang lebih menge
Lysandra kini duduk di tepi tempat tidur setelah aktivitas yang cukup menguras keringat dan perasaan. Bukan perasaan kesal, tapi rasa cinta yang menggebu dan tak terlukiskan.Ada sesuatu yang hangat menggelayut di dada. Setelah semua yang mereka lewati, kini dia melihat Rayyan tidur begitu damai. Menatap wajah tampan Rayyan yang begitu tenang cukup menyejukkan hatinya.Ia bangkit pelan, hendak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tetapi tangan Rayyan bergerak cepat memeluk pinggangnya."Mau ke mana, Sayang?" tanya Rayyan dengan suara parau. "Mau mandi, Mas.""Nanti aja dulu, Ly. Zuhurnya masih lama. Aku masih kangen.""Tapi, Mas. Ak–."“Kalau gak weekend, kita gak bisa gini, kan?" sela Rayyan sambil mengeratkan pelukannya di pinggang Lysandra.Lysandra mengalah. Memilih kembali berbaring. Namun, baru akan menggerakkan tubuhnya sedikit, tiba-tiba perutnya bergolak. Seakan ada yang mendorong naik isi lambungnya. Mual.Lysandra buru-buru menutup mulut dan ....Uuggghk! Rayyan bang
"Ray, coba cicip sendiri, deh."Mendengar kata mamanya, Rayyan mengambil sendok di tangan Lysandra, kemudian mencicipinya. Rayyan bergeming, menyesap rasa di lidahnya. Kemudian menoleh pada Lysandra. "Sayang, ini gak layak makan, aku beliin aja ya di luar." Rayyan mengambil piring di depan Lysandra.Akan tetapi, Lysandra buru-buru menjauhkan piringnya. "Ini enak kok, Mas. Aku suka," sanggahnya kemudian. Wanita itu buru-buru merebut sendok di tangan sang suami kemudian kembali melahap gado-gado spesial buatan Rayyan. Memang benar-benar spesial, karena hanya Lysandra yang bisa memakannya.Sementara itu, Kaivan dan Alya saling menatap. Alya kemudian mengulas senyum dan menghampiri Lysandra, menyentuh bahunya dengan sedikit elusan.Sementara Rayyan masih dengan wajah yang ditekuk sambil memegang perut yang sudah keroncongan."Mama sama Papa izin makan di luar, ya," pamit Alya kemudian dengan suara pelan.Rayyan mendongak, seakan tak rela. "Iya, Ma. Hati-hati, ya." Lysandra menjawan san
Rayyan menatap batang pisau yang tertata pada sarangnya. Rayyan memegang tengkuknya yang sudah mulai berkeringat. Bukan hanya tengkuknya, tangannya juga mulai berkeringat dingin.Sambil memejamkan mata, Rayyan mulai mengulurkan tangan perlahan, menggenggam gagang pisau. Namun, tubuhnya diam. Napasnya mulai tak beraturan. Dalam sekejap, bayangan samar itu mulai melintas. Rayyan mundur setengah langkah. Tangannya bergetar dengan pisau di tangannya.Alya memperhatikan dari jauh. Ia meletakkan gelas dan berjalan mendekat.“Ray, sini Mama bantuin aja motong timunnya, ya?”Rayyan terkesiap. Ia refleks melepaskan pisau itu dengan setengah melempar.Rayyan pikir tidak apa-apa hanya memotong timun saja dibantu Alya. Lagipula Lysandra masih berada di kamar. Dia tidak akan tahu.Rayyan baru saja akan memutar tubuh—menghindar dari pemandangan yang baginya menyakitkan itu. Namun, ia urung dan memutar tubuh lagi, kembali ke posisi awal."Ma, jangan deh. Ray gak mau ambil risiko menghadapi kemaraha
Lysandra masih berdiri di depan laci yang terbuka, tangan kanannya menggenggam benda kecil ituIa menatapnya lama. Mata hitamnya memantulkan berbagai rasa yang bertumpuk: cemas, harap, dan ragu.Rayyan menunggu di ambang pintu kamar mandi. Tubuhnya tegak, tapi sorot matanya penuh kelembutan. Ia tidak bicara. Menanti dengan sabar.Lysandra akhirnya menarik napas. Ia menatap Rayyan, lalu perlahan meletakkan test pack itu kembali ke dalam laci. Menutupnya perlahan.“Aku gak mau coba, Mas,” suaranya nyaris seperti bisikan. Namun, beratnya cukup untuk mengguncang udara di ruangan itu.Rayyan melangkah mendekat. “Kenapa?”Lysandra duduk di tepi ranjang. “Aku takut.” Ia menggenggam jemarinya sendiri. “Takut kecewa. Takut ternyata semua yang aku rasakan cuma sugesti.”Rayyan berjongkok di hadapannya, menatap wajah istrinya dari bawah. “Iya, kamu gak harus buru-buru tahu, kok. Kita bisa jalanin ini pelan-pelan.”Lysandra mengangguk pelan, menatap mata Rayyan yang terasa seperti tempat paling a
Lysandra bersandar di pinggiran tempat tidur, mengenakan gamis santai dan jilbab tipis yang belum sempat dilepas sepenuhnya. Matanya menatap ke bawah, menekuri jari-jari yang sejak tadi saling menggenggam—yang seperti sedang bercengkrama diam-diam.Alya berdiri di ambang pintu kamar Lysandra. Ia memandangi menantunya itu dengan sorot mata setengah ragu. Sejak pagi ia merasa ada yang berbeda dengan Lysandra. Dan, itu terjadi setiap hari selama beberapa hari ini.Alya mengamati setiap detail dari perubahan menantunya itu. Wajahnya terlihat lebih pucat. Napasnya pendek-pendek. Bahkan saat sarapan tadi, baru mencium aroma roti panggang saja Lysandra sudah menutup hidung dan memilih keluar dari dapur.“Nak, mau Mama buatin air madu?” tawar Alya dengan suara lembut. Lysandra hanya menggeleng lemah.Alya mengangguk pelan, lalu berjalan menuju kamar mandi di dalam kamar itu. Beberapa menit kemudian, suara laci dibuka. Tak lama setelah itu, Alya kembali dengan langkah ringan. Sebelum keluar k
Lysandra menyunggingkan senyum kecil. "Mau pinjam bahu Papa buat senderan," ucapnya sambil malu-malu.Alya tidak dapat menahan tawa, begitu pula dengan Kaivan. Namun, itu hanya sesaat karena berikutnya Lysandra sedikit cemberut."Boleh, Sayang. Tapi jangan cemberut gitu, nanti kami bisa kena teror sama Rayyan kalau tahu," ucap Alya kemudian.Alya dan Kaivan saling pandang, saling melempar senyum."Beneran boleh, Ma?" tanya Lysandra meyakinkan. Alya mengangguk. Disambut dengan senyum lebar sang menantu. Lysandra kemudian mulai bersandar di bahu Kaivan seperti anak kecil.Kaivan mengusap puncak kepala menantunya itu. “Kamu manja banget hari ini. Ada apa sih, hm?”Lysandra tersenyum kecil. “Gak tahu, Pa. Rasanya pengin dekat terus sama Papa hari ini. Nyaman aja.”Kaivan tertawa kecil. “Papa senang sih. Tapi Ray bisa cemburu nanti.”Lysandra tertawa pelan. Tapi pipinya mulai menghangat.Ia sendiri tidak tahu kenapa akhir-akhir ini ia sering ingin menangis tanpa sebab. Atau ingin memeluk
Suara wedges Haura menyentuh lantai menggema pelan di dalam ruang pertemuan firma hukum yang didominasi warna abu-abu hangat. Dindingnya penuh rak buku hukum dan lukisan abstrak bertema keseimbangan. Rayyan berjalan di sampingnya, tak banyak bicara, tapi matanya tak pernah benar-benar lepas dari wajah Haura—berusaha membaca kekuatan dan keraguan yang silih berganti.Seorang pria berkemeja putih dengan setelan abu gelap berdiri menyambut mereka. Perawakannya tegap, wajahnya serius, tetapi masih meninggalkan kesan hangat. Umurnya mungkin sekitar empat puluhan.“Selamat siang. Saya Reinaldi Prasetya. Silakan duduk,” katanya sambil menyilakan mereka duduk di kursi kulit hitam yang menghadap meja kayu jati besar di hadapan mereka.Haura duduk terlebih dahulu, merapikan sedikit hijab segi empat panjangnya dengan gugup. Rayyan menyesuaikan posisi duduk di sebelahnya, lalu membuka suara.“Pak Rei, saya sudah menjelaskan ringkas lewat telepon. Hari ini kami harap bisa langsung membicarakan sk