Share

05. It's Me Hayden!

Darline tergopoh-gopoh meletakkan sapu dan memasuki rumah, menuju kamar. Ketika tiba di dalam kamar, tatapan nyalang Willson sudah menunggunya dengan raut teramat marah.

“Iya, Will?”

“Kamu tuh ngapain sajiin makan malam sebanyak itu? Kamu mau hambur-hamburin uang atau memang kamu menutupi sesuatu dengan makanan sebanyak itu?”

Darline terkejut. Dia tak menyangka niatnya yang hanya ingin terhindar dari kemarahan Willson malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

“Nggak, Will. Aku sajiin itu semua karena tadi pas mau pesan gofood, ternyata ada banyak promo. Tapi promonya itu hanya untuk pembelian di atas 150 ribu. Jadi, aku pesan banyak supaya capai 150 ribu. Dan aku bayar pake uangku sendiri kok, Will.”

Bukannya mereda, Willson semakin marah. “Heh! Kamu pikir karena pake uangmu sendiri kamu boleh pamer?”

“Bukan begitu, Will! Nggak ada maksudku buat pamer sedikit pun! Aku hanya menjelaskan!”

“Halaaah! Muak aku dengerin alesanmu itu!” seru Willson lagi sambil melempar handuk putih kecil yang baru saja dipakainya untuk mandi ke wajah Darline. “Sana jemurin handuk itu! Aku mau nongkrong dengan teman-teman di warung ronde!”

Wanita itu gelagapan mengambil handuk itu agar tidak menutupi wajah.

“Kamu nggak makan dulu?”

“Nggak! Nanti malam aja!”

Darline mengangguk. Jika Willson sudah berkata seperti itu, itu tandanya dia harus menyisakan lauk makan malam mereka dengan porsi yang masih cukup banyak untuk suaminya itu.

Menghela napas dalam lagi, Darline pun menuju jemuran handuk di belakang rumah dan menggantungkan handuk yang dipakai Willson tadi di sana.

Ketika dia memasuki rumah lagi, terlihat Bu Mira dan Lisa sedang makan dengan enaknya. Untuk sejenak, mereka mendelik sinis pada Darline lalu bersikap seakan-akan Darline tidak ada di sana.

Darline pun tak ambil pusing. Wanita berusia 25 tahun itu pun segera berlalu dari sana, membiarkan saja mereka makan dengan lahapnya, lalu memasuki kamarnya kembali.

Sesampainya di depan kamar, Darline mendengar suara suaminya berdendang riang lagu yang lagi hits di internet.

Bukankah tadi Willson sedang marah padanya? Kenapa baru satu menit suaminya itu sudah berdendang riang lagi?

Darline terus melangkah dengan amat perlahan hingga berada di ambang pintu kamar yang terbuka lebar. Dia memandangi Willson dari belakang.

Namun, dia malah terperangah melihat tampilan Willson. Suaminya itu mengenakan baju kaos dan celana pendek jeans yang bermerk mahal.

Setelan itu merupakan setelan yang Darline belikan dua minggu lalu. Belum satu kali pun dipakai Willson. Lalu sekarang, suaminya itu memakainya lagi demi nongkrong bersama teman-temannya di warung ronde? Apa tidak terlalu berlebihan?

Pasalnya, warung ronde yang dimaksud terletak di ujung gang rumah saja, di samping poskamling. Dan para lelaki yang nongkrong di sana pun biasanya hanya kutangan dan celana pendek rumahan.

'Sudah, Darline, tidak perlu meributkan hal kecil,' bisik hati kecil Darline dan melanjutkan langkah kakinya melewati pintu kamar.

Tiba di dalam, Darline ternyata lebih terkejut lagi melihat apa yang dilakukan suaminya. Willson yang tidak menyadari keberadaannya, terlihat sedang menata rambutnya agar bergaya spiky dengan gell rambut, lalu menyemprotkan parfum ke tubuh. 

Parfum yang dipakai suaminya itu pun merupakan parfum mahal. Darline tahu jelas berapa harga parfum itu. Dia juga yang membelikannya sekitar tiga bulan lalu sebagai hadiah ulang tahun. Itu pun Mas Willson yang memilihnya sendiri. Dan karena harganya di luar kemampuan Darline, dia harus membayarnya dengan kartu kredit.

Sampai detik ini, cicilan parfum itu saja belum terlunasi, tapi Willson sudah memakai parfum itu hanya untuk pergi nongkrong ke warung ronde?

Ini aneh!

Padahal suaminya itu sendiri sempat berkata bahwa dia hanya akan menggunakan parfum yang itu untuk menghadiri acara-acara istimewa.

Tapi lalu kenapa Willson memakainya saat ini?

Tak tahan lagi dengan keanehan itu, Darline pun bertanya, “Lho, Will, mau ke mana?”

Wajar rasanya jika Darline mengira Willson berdandan necis dan harum begitu karena hendak pergi ke kondangan atau ke pertemuan penting dengan petinggi di kantor.

Apalagi sambil berdandan, Willson sambil berdendang ria. Suaminya itu terlihat amat sangat girang dan antusias. Istri mana yang tak heran melihat tingkah laku aneh suaminya jika sudah seperti ini?

Namun, bukannya menjawab dengan baik, Willson malah menyolot dan mendelik tajam pada Darline.

“Kamu budek atau apa, sih? Kan sudah kubilang tadi, mau ke warung ronde, nongkrong!”

“Iya, Will, tapi kalo ke sana kok pake baju rapi dan bermerk seperti ini? Biasa juga pakai kutangan dan celana tidur doang. Trus ini lagi, pake gel rambut, parfum yang dari hadiahku itu pula. Padahal kamu sendiri yang bilang parfum itu hanya akan kamu pake untuk acara-acara penting di kantor. Dan kamu sendiri tahu, cicilannya baru dua kali aku bayar. Lah, kenapa sekarang cuma nongkrong aja, di warung pula, malah pake parfum mahal ini?”

Plak!

Sedetik setelah Darline mengatakan itu, Willson melayangkan tamparan yang cepat ke bibir Darline.

“Will!” protes Darline dengan air mata sudah menggenang.

“Dasar istri sialan! Kamu mau suamimu ini dicibir tetangga karena pake kutangan doang terus-terusan? Kamu senang ya kalau aku tampil gembel begitu?

Dasar istri nggak ngotak! Sudah bagus aku nggak permasalahin kejadian kemarin dan hari ini, yang mana kamu pulang lebih dulu dan sendirian. Masih juga banyak cerewet!”

Telunjuk Willson begitu tajam menekan di dahi Darline hingga kepala Darline terayun ke belakang.

Setelahnya, pria itu berlalu pergi dari kamar, meninggalkan Darline meredam segala emosi dan pahit rasa hatinya seorang diri.

Dengan menahan segala rasa sesak di dadanya, Darline beringsut duduk di pinggiran ranjang. Air matanya mengalir perlahan. 

Darline menghapusnya tapi malah air bening itu mengalir semakin deras.

Pernikahannya dengan Willson sudah berjalan selama tiga tahun tapi hubungan mereka bukannya semakin mesra, tapi malah makin memburuk bulan demi bulan, tahun demi tahun.

Semua karena Darline tak kunjung hamil. Lalu Willson akhirnya menyarankan Darline untuk berhenti bekerja demi bisa cepat mendapatkan momongan. 

Darline pun menuruti keinginan suaminya. Dia berhenti kerja dan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya.

Darlien mengira dengan begitu dia bisa cepat mendapatkan momongan dan kebahagiaan akan segera berada dalam genggaman tangannya.

Namun yang terjadi justru kebalikannya. Bu Mira malah menjadi sosok yang jauh berbeda dari sebelumnya. Ibu mertuanya itu menjadi cepat marah, juga ketus penuh sindiran dalam bicaranya. 

Segala macam pekerjaan rumah tangga dibebankan pada Darline. 

Sindiran demi sindiran menjadi makanan sehari-hari Darline, seolah dia hanyalah seseorang yang ditampung Willson dari bawah kolong jembatan dan menumpang hidup pada keluarga ini. 

Memikirkan itu semua, terutama tamparan Willson barusan, tanpa sadar Darline merebahkan diri dengan melipat kedua kakinya lalu menangis tersedu-sedu di sana.

Isak tangisnya tak mampu ditahannya lagi hingga menghambur keluar.

Herannya, di tengah-tengah kesedihannya yang semakin menumpuk itu, kilasan rasa nikmat hasil pergulatannya bersama Paman Hayden terkenang-kenang di benak Darline.

Rasa itu masih bersemayam begitu kuat di relung hatinya. Bahkan masih mampu menimbulkan gelenyar desiran yang menggetarkan sekujur denyut nadinya.

Darline masih bisa mengingat bagaimana darahnya bergejolak membara saat Paman Hayden membelai dan menyentuh setiap titip sensitive-nya. Bahkan hatinya langsung terasa berdesir saat ini juga ketika dia mengingat rasa nikmat hujaman Paman Hayden yang terlarang itu.

Gegas Darline bangun dan duduk. Dia menyeka air matanya lalu berusaha meredakan debar jantungnya. Kenapa rasa itu masih melekat begitu kuat di ingatannya? Bahkan saraf-saraf di tubuhnya seakan masih mampu mengulangi lagi buaian rasa nikmat sentuhan Paman Hayden.

Darline tak mengerti. Lebih tak mengerti lagi ketika ponselnya tiba-tiba bergetar dan sederet nomor asing menghias di posisi teratas kolom pesannya.

Dengan rasa penasaran bercokol dalam pikirannya, Darline menge-klik pesan tak dikenal itu. 

Seketika muncul sederet kalimat yang membuat hatinya langsung berdegup gugup tak karuan. 

Pesan itu tertulis: [Hai, Darline, bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja, kan? Aku harap aku tidak mengganggumu. By the way, ini aku, Hayden. Aku menghubungimu karena aku tidak bisa berhenti memikirkan kejadian itu. Maksudku, kalau-kalau Willson akhirnya mengetahui hal itu, kamu jangan pernah ragu datang padaku. Aku akan memberikan perlindungan dan membereskan semua kekacauan semalam itu untukmu.]

Seketika itu juga, jantung Darline terasa mau copot! Ponsel pun tergelincir jatuh dari tangannya.

Kenapa Paman Hayden menghubunginya dan malah membahas kejadian malam itu lewat pesan chat? Dari mana pula pria itu mendapatkan nomornya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Arini Ifrinda
ini novel jiplakan ya, nama2ny uda keren, cerita jg seru ehh mlh nongkrong d warung ronde
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status