Darline tergopoh-gopoh meletakkan sapu dan memasuki rumah, menuju kamar. Ketika tiba di dalam kamar, tatapan nyalang Willson sudah menunggunya dengan raut teramat marah.
“Iya, Will?”
“Kamu tuh ngapain sajiin makan malam sebanyak itu? Kamu mau hambur-hamburin uang atau memang kamu menutupi sesuatu dengan makanan sebanyak itu?”
Darline terkejut. Dia tak menyangka niatnya yang hanya ingin terhindar dari kemarahan Willson malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
“Nggak, Will. Aku sajiin itu semua karena tadi pas mau pesan gofood, ternyata ada banyak promo. Tapi promonya itu hanya untuk pembelian di atas 150 ribu. Jadi, aku pesan banyak supaya capai 150 ribu. Dan aku bayar pake uangku sendiri kok, Will.”
Bukannya mereda, Willson semakin marah. “Heh! Kamu pikir karena pake uangmu sendiri kamu boleh pamer?”
“Bukan begitu, Will! Nggak ada maksudku buat pamer sedikit pun! Aku hanya menjelaskan!”
“Halaaah! Muak aku dengerin alesanmu itu!” seru Willson lagi sambil melempar handuk putih kecil yang baru saja dipakainya untuk mandi ke wajah Darline. “Sana jemurin handuk itu! Aku mau nongkrong dengan teman-teman di warung ronde!”
Wanita itu gelagapan mengambil handuk itu agar tidak menutupi wajah.
“Kamu nggak makan dulu?”
“Nggak! Nanti malam aja!”
Darline mengangguk. Jika Willson sudah berkata seperti itu, itu tandanya dia harus menyisakan lauk makan malam mereka dengan porsi yang masih cukup banyak untuk suaminya itu.
Menghela napas dalam lagi, Darline pun menuju jemuran handuk di belakang rumah dan menggantungkan handuk yang dipakai Willson tadi di sana.
Ketika dia memasuki rumah lagi, terlihat Bu Mira dan Lisa sedang makan dengan enaknya. Untuk sejenak, mereka mendelik sinis pada Darline lalu bersikap seakan-akan Darline tidak ada di sana.
Darline pun tak ambil pusing. Wanita berusia 25 tahun itu pun segera berlalu dari sana, membiarkan saja mereka makan dengan lahapnya, lalu memasuki kamarnya kembali.
Sesampainya di depan kamar, Darline mendengar suara suaminya berdendang riang lagu yang lagi hits di internet.
Bukankah tadi Willson sedang marah padanya? Kenapa baru satu menit suaminya itu sudah berdendang riang lagi?
Darline terus melangkah dengan amat perlahan hingga berada di ambang pintu kamar yang terbuka lebar. Dia memandangi Willson dari belakang.
Namun, dia malah terperangah melihat tampilan Willson. Suaminya itu mengenakan baju kaos dan celana pendek jeans yang bermerk mahal.
Setelan itu merupakan setelan yang Darline belikan dua minggu lalu. Belum satu kali pun dipakai Willson. Lalu sekarang, suaminya itu memakainya lagi demi nongkrong bersama teman-temannya di warung ronde? Apa tidak terlalu berlebihan?
Pasalnya, warung ronde yang dimaksud terletak di ujung gang rumah saja, di samping poskamling. Dan para lelaki yang nongkrong di sana pun biasanya hanya kutangan dan celana pendek rumahan.
'Sudah, Darline, tidak perlu meributkan hal kecil,' bisik hati kecil Darline dan melanjutkan langkah kakinya melewati pintu kamar.
Tiba di dalam, Darline ternyata lebih terkejut lagi melihat apa yang dilakukan suaminya. Willson yang tidak menyadari keberadaannya, terlihat sedang menata rambutnya agar bergaya spiky dengan gell rambut, lalu menyemprotkan parfum ke tubuh.
Parfum yang dipakai suaminya itu pun merupakan parfum mahal. Darline tahu jelas berapa harga parfum itu. Dia juga yang membelikannya sekitar tiga bulan lalu sebagai hadiah ulang tahun. Itu pun Mas Willson yang memilihnya sendiri. Dan karena harganya di luar kemampuan Darline, dia harus membayarnya dengan kartu kredit.
Sampai detik ini, cicilan parfum itu saja belum terlunasi, tapi Willson sudah memakai parfum itu hanya untuk pergi nongkrong ke warung ronde?
Ini aneh!
Padahal suaminya itu sendiri sempat berkata bahwa dia hanya akan menggunakan parfum yang itu untuk menghadiri acara-acara istimewa.
Tapi lalu kenapa Willson memakainya saat ini?
Tak tahan lagi dengan keanehan itu, Darline pun bertanya, “Lho, Will, mau ke mana?”
Wajar rasanya jika Darline mengira Willson berdandan necis dan harum begitu karena hendak pergi ke kondangan atau ke pertemuan penting dengan petinggi di kantor.
Apalagi sambil berdandan, Willson sambil berdendang ria. Suaminya itu terlihat amat sangat girang dan antusias. Istri mana yang tak heran melihat tingkah laku aneh suaminya jika sudah seperti ini?
Namun, bukannya menjawab dengan baik, Willson malah menyolot dan mendelik tajam pada Darline.
“Kamu budek atau apa, sih? Kan sudah kubilang tadi, mau ke warung ronde, nongkrong!”
“Iya, Will, tapi kalo ke sana kok pake baju rapi dan bermerk seperti ini? Biasa juga pakai kutangan dan celana tidur doang. Trus ini lagi, pake gel rambut, parfum yang dari hadiahku itu pula. Padahal kamu sendiri yang bilang parfum itu hanya akan kamu pake untuk acara-acara penting di kantor. Dan kamu sendiri tahu, cicilannya baru dua kali aku bayar. Lah, kenapa sekarang cuma nongkrong aja, di warung pula, malah pake parfum mahal ini?”
Plak!
Sedetik setelah Darline mengatakan itu, Willson melayangkan tamparan yang cepat ke bibir Darline.
“Will!” protes Darline dengan air mata sudah menggenang.
“Dasar istri sialan! Kamu mau suamimu ini dicibir tetangga karena pake kutangan doang terus-terusan? Kamu senang ya kalau aku tampil gembel begitu?
Dasar istri nggak ngotak! Sudah bagus aku nggak permasalahin kejadian kemarin dan hari ini, yang mana kamu pulang lebih dulu dan sendirian. Masih juga banyak cerewet!”
Telunjuk Willson begitu tajam menekan di dahi Darline hingga kepala Darline terayun ke belakang.
Setelahnya, pria itu berlalu pergi dari kamar, meninggalkan Darline meredam segala emosi dan pahit rasa hatinya seorang diri.
Dengan menahan segala rasa sesak di dadanya, Darline beringsut duduk di pinggiran ranjang. Air matanya mengalir perlahan.
Darline menghapusnya tapi malah air bening itu mengalir semakin deras.
Pernikahannya dengan Willson sudah berjalan selama tiga tahun tapi hubungan mereka bukannya semakin mesra, tapi malah makin memburuk bulan demi bulan, tahun demi tahun.
Semua karena Darline tak kunjung hamil. Lalu Willson akhirnya menyarankan Darline untuk berhenti bekerja demi bisa cepat mendapatkan momongan.
Darline pun menuruti keinginan suaminya. Dia berhenti kerja dan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya.
Darlien mengira dengan begitu dia bisa cepat mendapatkan momongan dan kebahagiaan akan segera berada dalam genggaman tangannya.
Namun yang terjadi justru kebalikannya. Bu Mira malah menjadi sosok yang jauh berbeda dari sebelumnya. Ibu mertuanya itu menjadi cepat marah, juga ketus penuh sindiran dalam bicaranya.
Segala macam pekerjaan rumah tangga dibebankan pada Darline.
Sindiran demi sindiran menjadi makanan sehari-hari Darline, seolah dia hanyalah seseorang yang ditampung Willson dari bawah kolong jembatan dan menumpang hidup pada keluarga ini.
Memikirkan itu semua, terutama tamparan Willson barusan, tanpa sadar Darline merebahkan diri dengan melipat kedua kakinya lalu menangis tersedu-sedu di sana.
Isak tangisnya tak mampu ditahannya lagi hingga menghambur keluar.
Herannya, di tengah-tengah kesedihannya yang semakin menumpuk itu, kilasan rasa nikmat hasil pergulatannya bersama Paman Hayden terkenang-kenang di benak Darline.
Rasa itu masih bersemayam begitu kuat di relung hatinya. Bahkan masih mampu menimbulkan gelenyar desiran yang menggetarkan sekujur denyut nadinya.
Darline masih bisa mengingat bagaimana darahnya bergejolak membara saat Paman Hayden membelai dan menyentuh setiap titip sensitive-nya. Bahkan hatinya langsung terasa berdesir saat ini juga ketika dia mengingat rasa nikmat hujaman Paman Hayden yang terlarang itu.
Gegas Darline bangun dan duduk. Dia menyeka air matanya lalu berusaha meredakan debar jantungnya. Kenapa rasa itu masih melekat begitu kuat di ingatannya? Bahkan saraf-saraf di tubuhnya seakan masih mampu mengulangi lagi buaian rasa nikmat sentuhan Paman Hayden.
Darline tak mengerti. Lebih tak mengerti lagi ketika ponselnya tiba-tiba bergetar dan sederet nomor asing menghias di posisi teratas kolom pesannya.
Dengan rasa penasaran bercokol dalam pikirannya, Darline menge-klik pesan tak dikenal itu.
Seketika muncul sederet kalimat yang membuat hatinya langsung berdegup gugup tak karuan.
Pesan itu tertulis: [Hai, Darline, bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja, kan? Aku harap aku tidak mengganggumu. By the way, ini aku, Hayden. Aku menghubungimu karena aku tidak bisa berhenti memikirkan kejadian itu. Maksudku, kalau-kalau Willson akhirnya mengetahui hal itu, kamu jangan pernah ragu datang padaku. Aku akan memberikan perlindungan dan membereskan semua kekacauan semalam itu untukmu.]
Seketika itu juga, jantung Darline terasa mau copot! Ponsel pun tergelincir jatuh dari tangannya.
Kenapa Paman Hayden menghubunginya dan malah membahas kejadian malam itu lewat pesan chat? Dari mana pula pria itu mendapatkan nomornya?
Di hari H, mereka serombongan melakukan perjalanan udara dan saat tiba di bandara Soekarno Hatta, Hayden dan Darline menjemput bersama.Perut Darline sudah terlihat buncit meski tubuhnya masih langsing seperti dulu.Melihat Heaven yang terlebih dahulu keluar dari exit door, Hayden melambaikan tangannya.Heaven memimpin rombongan menghampiri Hayden.Satu demi satu mereka berpelukan.Hanya saat tiba giliran Darline, Oma Jenny merasa canggung, tapi akhirnya dia memeluk lebih dulu.“Maafkan Mom yang dulu sempat menuduh kamu mandul, Sayang. Maafkan ya.” Oma Jenny berbisik di telinga Darline.Tentu saja dia malu jika Hayden mendengar permintaan maafnya.Ketika pelukan mereka terurai, Darline tersenyum pada ibu suaminya itu. “Nggak pa-pa, Mom. Itu juga kesalahan kami, lupa memberitahu Mom tentang kehamilan ini.”Mendengar itu, Hayden langsung menimbrung, “Iya, Mom. Aku yang lupa. Terlalu banyak pekerjaan.”“Ya, ya, sekarang istrimu sudah mengandung, kau harus kurangi kerjamu, jaga dia baik-b
Hailley pulang dengan hati hancur. Sehabis dari apartemen baru mommy-nya, dia nongkrong di dermaga dengan ditemani Mike.Driver dimintanya menjemput di sore hari dengan alasan dia memiliki pelajaran tambahan.Jadi, Hailley nongkrong hingga sore, ditemani Mike. Meski begitu, gadis itu tidak banyak curhat pada Mike.Mereka hanya duduk diam, merenung sendiri-sendiri. Angin kencang menerpa wajah Hailley membuat gadis itu kembali teringat kata-kata ibunya sebelum dia disuruh pulang sesegera mungkin.“Hailley, dengarkan Mommy. Mommy terpaksa melakukan ini semua! Mommy tidak punya uang lagi. Untuk kembali pada daddy-mu itu tidak mungkin. Kita sudah berakhir lama sekali. Itupun juga karena mommy yang salah sudah meninggalkan daddy-mu.Lalu ada pria ini, yang melamar mommy. Dia bisa menunjang hidup mommy. Hanya saja, dia hanya bersedia menerima seorang istri, tidak dengan anak-anaknya. Jadi, karena inilah, Mommy terpaksa memintamu tinggal bersama Daddy-mu.”“Ck! Sudah kuduga! Mommy tega! Kau m
Hailley semakin sakit hati.Kenapa ibunya menikah tapi tidak memberitahunya?Dan benarkah perkiraan oma-nya tadi?“Tidak! Aku harus mencaritahu!”Hailley menekan nomor Mike dan menghubunginya.Suara di ujung sana menjawab, “Hei, kenapa telpon malam-malam begini? Hpku perlu dicas.”“Aku hanya ingin menanyakan alamat apartemen tempat ibumu bekerja. Bisa berikan padaku?”“Maksudmu, tempat tinggal baru ibumu?”“Iya.”Hailley teramat sesak rasanya ektika menjawab pertanyaan Mike. Dia sendiri tak pernah menyangka akan menanyakan alamat ibunya pada orang lain.Di sisi lain, hati kecil Hailley masih tak percaya.Setelah Mike mengirimkannya alamat, Hailley memaksa diri untuk tidur, meski itu sulit sekali. Di benaknya sudah terukir rencananya untuk esok hari. ***Hailley memang berangkat ke sekolah dengan mobil dari Opa. Tiba di sekolah, dia turun dan menunggu di gerbang dalam, sampai mobil pergi, Hailley pun keluar lagi.Tapi tepukan di bahunya membuatnya terkejut. Saat dia men
Sudah berminggu-minggu berlalu dengan Hailley dibawa pulang Oma ke Singapura.Sekalipun terasa melegakan karena tidak ada lagi tekanan dari gadis itu, tetap saja rumah yang sempat dihuni 3 orang, lalu berkurang satu, terasa sepi.Sedikit banyak Darline juga merindukan Hailley. Andai Hailley tidak bermasalah, dia pasti dengan senang hati menjadi ibu sambungnya.“Hei, perutmu seperti tidak bulat.”Suara Hayden tiba-tiba membuyarkan lamunan Darline ketika malam itu mereka menonton TV bersama sambil berpelukan.“Eh, iya ya, Mas. Terasa seperti kram. Oh, ini baby nya lagi bergerak kali. Kayak ada yang mendorong dari dalam.”Hayden gegas bangun untuk melihat apa yang terjadi.Di bagian bawah perut Darline terlihat sesuatu yang kecil tercetak di permukaan perut.Benar kata Darline, baby sepertinya sedang mendorong dari dalam. “Sepertinya dia pegal, jadi sekarang sedang stretching,” canda Hayden sambil memeragakan stretching ala baby yang di bayangkannya sendiri. Darline sampai tertawa dibuat
“Halo, Mom, ada apa yang terjadi?” Hayden tidak merasa perlu berbasa basi lagi. Dia langsung menunjukkan bahwa dia sudah mengetahui semuanya. “Oh, berarti kamu sudah tahu bahwa Mom membawa Hailley ke Singapura?” “Iya, Darline baru saja menelpon.” “Oh, bagus kalau begitu. Mom mengambil keputusan ini karena istri kamu itu tidak terlihat keinginannya untuk mengurus cucuku. Dia seringkali menindas Hailley!” “Menindas bagaimana, Mom? Setahuku justru Darline sudah sangat bersabar dalam menghadapi Hailley. Sikap Hailley sering kasar. Bukan saja pada Darline, tapi pada siapa saja. Tapi Darline dengan sabar mendidiknya. Dia memang tidak mengabulkan semua keingingan Hailley, tapi aku tahu Darline melakukan semua itu untuk kebaikan Hailley.” “Omong kosong, Hayden! Itu sih hanya akal-akalannya saja agar kau tidak mengira dia menindas Hailley. Mana mungkin dia bisa seperti itu karena Hailley kan bukan darah dagingnya. Maka dari itu, mom membawa Hailley pulang ke Singapura. Mom tidak rela ji
Brak!!!Hailley bangkit dari duduknya dengan mendorong kursi sekuat tenaga.Gadis itu tak jadi makan dan kembali ke kamarnya.Tiba di kamar, Hailley mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan pada Hayden.[Daddy, aku nggak mau tinggal sama-sama istrimu lagi! Dia keterlaluan! Dia sering mengejekku! Dia itu nggak pantas jadi istri daddy. Lebih nggak pantas lagi jadi penggantinya mommy!Aku benci dia! Kalau daddy benaran sayang padaku, kalau daddy benaran ingin menjadi ayah yang baik untukku, daddy harus meninggalkannya! Aku nggak mau tinggal di sini lagi, selama dia masih di sini!!!]Setelah mengirim pesan, Hailley terduduk dengan wajah cemberut. Kedua matanya basah akan air mata dengan pinggiran matanya menjadi merah.Dia benar-benar marah dan membenci Darline.Diliriknya lagi ponsel di tangan. Kenapa daddy nggak balas-balas, sih?Hailley semakin kesal.Tepat saat dia melempar ponsel itu, balasan dari ayahnya masuk.[Maafkan istriku kalau dia sering mengejekmu. Tapi aku yakin Darline hanya