Darline tidak membalas pesan dari Paman Hayden. Jarinya pun bergerak cepat hendak menghapus pesan itu.
Detak jantungnya seakan berpacu cepat. Dia sungguh takut jika Willson mengetahui dosa besarnya bersama Paman Hayden. Pesan dari pria itu saat ini malah memperbesar resiko kebersamaan terlarang mereka jadi ketahuan Willson.
Namun tiba-tiba Darline merasa teramat sayang jika nomor Paman Hayden tidak disimpannya. Biar bagaimana pun, nomor itu satu-satunya penghubung dirinya dengan Hayden saat ini.
Darline pun urung menghapus pesan itu. Wanita itu malah mengarsipkan pesan dari Paman Hayden agar tidak terlihat oleh Willson tapi tetap bisa dia simpan.
Mereka jarang saling melihat isi ponsel satu sama lain. Di saat seperti ini, kebiasaan itu membuat Darline lega.
Setelah menyimpan pesan itu, Darline pun mulai bangkit. Dia tidak boleh mengisi waktunya dengan menangis karena menangis saja tidak akan membeirkan solusi apapun.
***
Pukul 20.30 malam, Bu Mira dan Lisa sudah selesai menonton sinetron di televisi dan mereka mulai masuk ke kamar masing-masing.
Willson belum pulang dan karena itu juga, Darline pun keluar kamar dan menuju dapur.
Niatnya adalah menyimpankan beberapa lauk pauk untuk menu makan malam Willson saat dia pulang dari nongkrong bersama teman-temannya.
Dia sendiri pun juga belum makan malam.
Namun, alangkah terkejutnya Darline ketika dia tiba di meja makan, ternyata semua menu yang disajikannya tadi sudah habis ludes tak bersisa. Hanya tertinggal semangkuk soto, itu pun berisikan kuah kecambah saja.
Kehilangan kata-katanya, Darline semakin shock saat melihat piring-piring kotor yang berhamburan di meja makan, tidak ada yang membereskan, apalagi mencucikannya.
Kalau begini, bagaimana dengan permintaan Willson tadi agar disimpankan lauk untuk makan malam sepulangnya dari warung ronde?
Berusaha sabar, Darline pun membereskan semua piring-piring itu dan menaruhnya di wastafel cuci piring.
Setelahnya, dia mengirimkan pesan untuk suaminya itu.
Darline: [Wiill, maaf. Lauk pauk yang tersaji tadi sore sudah habis. Kamu bisa beli sendiri aja makan malam untukmu?]
Darline mengirim pesan itu lalu duduk menunggu. Dia tahu dia harus mencuci piring-piring kotor itu karena Bu Mira dan Lisa tidak akan mau mencuci piring. Seluruh pekerjaan rumah merupakan tugas Darline setiap hari. Lisa yang berusia lebih muda darinya pun tak terlihat niat hatinya untuk membantu sekalipun.
Darline sudah tidak mengharapkan bantuan dari ibu mertua dan adik iparnya itu lagi. Dia sudah menerima kenyataan pahit itu. Namun, untuk saat ini Darline benar-benar tidak ingin mencuci piring.
Moodnya anjlok, sementara hatinya gelisah. Juga, perutnya sudah ikut keroncongan karena Darline tidak berselera makan sedari pagi akibat dari dirinya yang terlalu gelisah.
Darline pun menuju dapur untuk memasak mie. Dia mencari kardus mie instan yang selalu dia belikan setiap bulan sebagai stock jika uang belanja tidak cukup di akhir bulan, atau jika ada yang sudah terlalu lapar sehingga tidak sanggup untuk memasak lagi.
Mie instan bisa menjadi pilihan terbaik untuk mengganjal perut.
Namun lagi-lagi Darline dibuat ternganga saat melongok ke dalam kardus mie instan itu.
Tidak ada satu bungkus mie instan pun di dalam sana!
Rasanya benak Darline seperti oleng. Dia baru membeli satu kardus mie itu dua minggu lalu, kenapa sekarang tiba-tiba sudah habis?
Terpaksa, Darline pun mengambil lagi ponselnya dan menghubungi suaminya.
Darline: [Maaf, Will, gimana dengan membeli makan malam di luar? Kalau jadi, tolong satu bungkus juga buat aku ya. Tadi aku nggak kebagian. Trims, Willson.]
Selesai mengirimkan pesan, Darline menunggu dan menunggu. Namun tidak ada pesan balasan yang singgah di ponselnya.
Hingga jarum jam terus berputar dan Darline akhirnya tertidur di ranjang.
Wanita itu baru terbangun ketika mendengar bunyi pintu kamar yang dibuka.
Kreeeet!
Pintu tripleks kamar mereka sudah sedikit karatan di bagian engselnya, sehingga setiap kali dibuka atau ditutup, pintu akan berbunyi.
Saat itulah Darline terbangun. Dengan mengerjap, Darline mengumpulkan fokusnya untuk melihat jarum jam di dinding.
Pukul 03.38?
Gegas Darline bangkit dan duduk untuk melihat semuanya dengan lebih jelas. Perihal perutnya yang keroncongan belum makan sudah tak diingat Darline lagi.
Yang ada di pikirannya sekarang kenapa dia tertidur hingga subuh dan Willson belum pulang?
Namun tiba-tiba saja, di ranjang bagian sebelahnya, ada sesuatu yang jatuh.
Bruk!
Begitu Darline menoleh, dia melihat tubuh Willson yang sudah ambruk di sana, tepat di sebelahnya.
"Will? Willson? Kok baru pulang jam segini?" tanya Darline sambil mengguncang tubuh suaminya.
Namun pria itu tampak tetap memejamkan mata.
Malahan aroma bir murahan tercium dari tubuh Willson dan merasuki indera penciuman Darline.
"Will! Kok malah mabuk, sih? Kenapa pulang selarut ini? Katanya hanya nongkrong di warung ronde saja. Aku sampai kelaparan menunggu makan malam yang aku titipin kamu untuk belikan."
Yang diajak bicara malah menepis tangan Darline dan bergumam dongkol, "Jangan sentuh aku! Istri sialan! Kerjanya hanya di rumah saja! Sudah tidak bisa membantu pekerjaan suami, malah selalu merongrong uang belanja! Mending kalau normal, ini mandul pula!"
Meskipun diucapkan dalam gumaman mabuk, tapi Darline bisa mendengar dan memahami dengan jelas apa yang diucapkan Willson.
Air matanya kembali jatuh seiring rasa sakitnya yang kembali terukir, terlebih lagi pada ucapan Willson bahwa dia mandul.
Padahal sudah beberapa kali dia memeriksakan diri dan hasilnya selalu menyatakan bahwa dirinya subur. Tega-teganya Willson mengatainya mandul.
Ingin rasanya dia pergi begitu saja dari rumah ini, meninggalkan rumah tangga yang terasa pahit ini. Namun, Darline tidak memiliki arah tujuan. Sejak dua tahun lalu, dia menjadi yatim piatu. Warisan dari orang tuanya sudah dipakai Willson untuk membeli mobil. Sisa tabungannya pun hanya tersisa sedikit saja.
Hanya ada Tante Mia, adik ibunya, yang merupakan satu-satunya keluarga saat ini. Tapi Tante Mia dalam keadaan sakit-sakitan. Darline tak tega membebani tantenya itu dengan segala kepahitan rumah tangganya.
'Biar bagaimana pun dia suamiku,' batin Darline lagi.
Sudah sedari dulu Darline selalu menanamkan dalam hatinya bahwa pernikahan adalah hal yang sakral, bukan sesuatu yang bisa langsung dibuang ketika ditemukan sedikit keretakan.
Dengan nilai seperti itu yang tertanam dalam hatinya, Darline pun menabahkan dirinya dan mulai mendekat ke arah Willson yang sudah tertidur.
Darline mulai melepaskan baju dari tubuh Willson. Darline juga menyeka tubuh suaminya itu dengan handuk yang dicelupkan air hangat. Setelahnya, dia mulai melepas celana jeans pendek yang dipakai suaminya.
Sudah menjadi kebiasaan Darline untuk mengibas-ngibaskan celana yang akan dicuci sebelum diletakkan ke dalam mesin cuci.
Di saat itulah, sesuatu terjatuh dari saku celana Willson.
Darline menatap ke lantai, lalu mendekati benda itu.
Benda yang terlihat lengket itu terbuat dari karet tipis.
Masalahnya, Darline bisa melihat jelas cairan lengket yang menempel di sana.
'Kondom? Ap- Apakah ini baru saja digunakan Willson?'
Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00. Darline tahu seharusnya dia membangunkan Willson dari pukul 06.00 tadi agar bisa bersiap ke kantor. Pekerjaan Willson sebagai seorang staff keuangan senior di sebuah perusahaan swasta membuat Willson tak seharusnya terlambat. Seharusnya juga Darline mempersiapkan sarapan yang bergizi ditambah minuman hangat yang bisa meredakan sakit kepala yang dirasakan suaminya karena telah mabuk-mabukan semalam. Bahkan jika bisa, seharusnya juga Darline menyiapkan sebutir paracetamol agar tubuh Willson kembali segar dan siap menghadapi pekerjaannya. Seharusnya seperti itu. Namun, rasa sakit dan penasaran yang menusuk hati Darline akibat penemuan kondom bekas pakai tadi membuat Darline tak sanggup melakukan semua kebaikan itu. Dia bukan malaikat. “Darliiiiiine!!! Darline sialan!” teriak Willson dari arah kamar. Darline sudah memperkirakan ini semua. Saat Willson bangun dari tidur, pria itu pasti akan menyadari dirinya terlambat pergi ke kantor dan pada akh
Darline tak bisa berkata-kata lagi saat menghadapi Willson yang malah menyecar dan menuduhnya telah melakukan sesuatu yang tidak benar. Bahkan dia dituduh sengaja menjebak dan memfitnah Willson. Jika bukan karena Darline takut kebersamaannya dengan Paman Hayden terungkap, Darline tidak akan berdiam diri saat dicecar seperti itu. Biar bagaimana pun sebagian dirinya merasa bersalah, tapi juga sebagian lainnya merasa Willson jauh lebih salah daripadanya. Darline hanya tidak bisa menekan Willson untuk mengakui kesalahannya. Dalam tangis dan rasa perih yang mengukungnya itu, Darline mendengar deru mesin mobil Willson meraung pergi meninggalkan pekarangan rumah. Tidak ada rasa yang merayap di hatinya. Darline hanya merasakan kekosongan. *** “Aku butuh pekerjaan nih, Fen. Ada nggak ya yang bisa menerima karyawan sepertiku ini, yang sudah lama vakum bekerja. Sudah 2,5 tahun aku vakum, Fen.” Dalam gelisahnya tadi, Darline pun mengajak Fenny, salah satu teman dekatnya saat
Antusias dan kegugupan melebur menjadi satu dalam diri Darline. Ketika tiba di kantor untuk hari pertama kerjanya tadi, selama lebih dari lima belas menit Darline mendapatkan pengarahan dari Bu Alma apa saja yang menjadi tugasnya sebagai sekretaris.Darline mempelajari dengan seksama dan bertekad untuk bekerja dengan baik.Namun, tetap saja dia merasa gugup.3L’s Empires Motor merupakan perusahaan besar. Ini bisa terlihat dari segala segi. Iklan dan marketing mereka yang teramat gencar. Produk otomotif yang inovatif dan seringkali menjadi trend setter baru di kalangan pecinta otomotif.Selain itu juga, jajaran direksi dan hierarkie manajemen yang berlapis-lapis dalam perusahaan ini menunjukkan kredibilitas 3L’s Empires Motor tidaklah main-main.Terakhir, fisik kantor yang sangat modern dan elegan.Begitu menginjakkan kaki di sini, Darline langsung jatuh cinta berharap dia bisa menjadi staff tetap dan berkarier di 3L’s Empires Motor.Saat dia sudah mampu hidup mandiri nantinya, Darline
Huuuufftt ... fiuuuuuuh ...Darline menyempatkan diri menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya, lalu mengembuskannya, ketika dia telah tiba di pintu ruang CEO dan hendak mengetuknya.Setelah tiga kali tarik dan hela napas panjang, Darline pun akhirnya mengetuk.“Masuk!” titah suara bariton dari dalam ruangan.Hanya mendengar suara itu saja degup jantung Darline meningkat drastis lagi.Darline membuka pintu, berusaha agar tangannya tidak terlihat gemetar, lalu melangkah masuk, dengan setenang mungkin.‘Apa yang Paman Hayden pikirkan tentang diriku ini? Jangan-jangan, Paman Hayden mengira aku sengaja melamar pekerjaan di kantornya ini demi berdekatan dengannya!’Darline tanpa sengaja sibuk berpikir sementara tubuhnya berbalik dari pintu untuk menuju meja kerja Hayden.Untungnya, pria itu masih menatap layar laptop dengan teramat serius. Darline jadi tak sengaja malah mengamati Paman Hayden yang begitu seriusnya.Dari pengamatannya ini Darline baru menyadari bahwa Paman Hayden sebenarny
Darline merasa tak enak hati karena ketahuan berbohong. Dia pun hanya menundukkan wajah. Melihat Darline menunduk, Hayden menaikkan wajah itu dengan jari di dagu Darline. “Jawab aku. Darline, sejujur-jujurnya. Kamu sekarang sekretarisku, Darline. Jika kau berbohong, aku akan langsung memecatmu sekarang juga!” Tiba-tiba suara dominasi itu bercampur kuasa yang tak bisa ditampik Darline. Wanita itu cukup terkejut mendengar Hayden sampai menuntut kejujuran darinya dengan sekeras ini. Darline yang tadinya bertekad menutupi prahara rumah tangganya dengan Willson erat-erat dari Hayden, kini tak berani membantah lagi. Dia pun menjawab lirih, “Iya, Paman. ini—” “Apa yang dia lakukan hingga kau terluka seperti ini? Apa dia menggigitmu?” tanya Hayden lagi dengan pandangan yang menyorot marah. Darline terhenyak, kenapa Paman Hayden bisa serisau ini hanya karena luka kecil di bibirnya? “Nggak, Paman. Dia nggak menggigit.” “Kalau tidak menggigit, lalu dia apakan?” Geramannya yang tertahan
Darline terperangah melihat apa yang tertera di medsosnya ini. ‘Apakah yang tadi itu aku salah lihat? Atau memang Willson baru saja meng-unfollow Laura Bella? Kalau iya, kenapa?’‘Jika Willson baru saja meng-unfol Laura Bella, berarti Willson sedang online.’Sangat ingin tahu, gegas Darline menuju inbox, lalu mencari kontak Willson di jajaran friend list miliknya.Ada 900-an friends yang dimiliki Darline. Dia mengetik nama Willson, tapi yang muncul adalah dua akun bernama Willson, tapi bukanlah Willson suaminya.Darline bingung, ‘Kenapa akun Willson tidak bisa kudapatkan?’“Mungkin aku salah ketik,” gumam Darline pada dirinya sendiri.Darline lalu mencoba lagi. Tapi hasilnya tetap sama seperti tadi. Hanya muncul dua akun bernama Willson, tapi bukan suaminya.Darline semakin heran dan penasaran. Dia pun menuju akun Laura Bella lagi. Dari friend list Laura Bella yang jumlahnya sekitar 5000, dia mengetikkan nama Willson.Muncul seratusan akun bernama Willson. Terpaksa Darline melihat sat
“Pam—paman.”Darline mendorong tubuh Hayden ketika dia berhasil meraih kesadarannya.Meskipun saat tangannya menjauhkan dada bidang pria itu dia pun telah menerima beberapa cecapan lembut Hayden, bahkan membiarkan lidah pria itu membelai lidahnya.Mendengar suara Darline –terutama karena Darline masih memanggilnya Paman—Hayden pun seperti tersadar dari mimpi siang bolongnya.“Ma—maaf. Aku ...”Wajahnya teramat menyesal dan Darline bisa melihat kini Hayden tengah kikuk memikirkan bagaimana bersikap terhadapnya.“Jam berapa Willson biasanya pulang?” tanya Hayden akhirnya, setelah mereka terdiam cukup lama.“Biasanya jam begini sudah sampai,” sahut Darline lagi. Hayden pun mengangguk.“Oh. Tapi kenapa sepertinya rumahmu tidak ada orang sama sekali.”“Err, sepertinya begitu. Mungkin Ibu dan Lissa sedang pergi.”Jawaban itu mendapatkan tolehan kepala dari Hayden. Pria itu menatapnya lagi teramat lekat, seakan lupa atas ciuman yang seharusnya tak terjadi barusan.Entah apa arti tatapan Hayd
“Darline! Darline!” seru tamu Darline dari luar pintu. Seruan yang cukup keras itu membuat Darline buru-buru membuka pintu, sebelum tetangga sebelah rumah mendengar dan mengira yang tidak-tidak. “Paman! Ada apa?” tanya Darline pada Hayden yang terlihat resah. Belum sedetik, tampak kedua bola mata Hayden membelalak lebar. “Darl ... darl ... Darline,” serunya lagi dengan susah payah, terbata-bata, sambil menelisik tampilan Darline. Darline ikut memindai tubuhnya sendiri dan baru menyadari dia hanya mengenakan jubah mandi dengan rambut panjangnya dililit handuk. “Arrgh! Tung—tunggu bentar, Paman!” ‘Ini memalukan!’ seru Darline dalam hati. Dia gegas berlari masuk ke kamar dan berpakaian dengan pantas. Lima menit kemudian, dia sudah mengenakan blus dengan celana pendek selututnya. “Paman ngapain, kenapa masih di sini?” tanya Darline cemas. Di rumah hanya ada dirinya. Dia takut ada tetangga yang memergoki mereka berdua di sini dan malah menjadi fitnah. “Aku—aku melihat kau sendir