Share

04. Menutupi Kesalahan?

Darline seakan oleng ketika membaca pesan dari suaminya ini. Bukankah kata Anna tadi, Willson sudah pulang ke Jakarta dari semalam? Tapi kenapa tiba-tiba saat ini Willson malah berkata dia masih di Bandung dengan ibu dan adiknya?

Darline: [Lho, Will, bukannya kamu sudah pulang dari semalam? Karena itulah aku cepat-cepat nyusul pulang]

Darline pun menggunakan kesempatan ini untuk menutupi dosa besar yang semalam diperbuatnya dengan Hayden.

Balasan dari Willson datang sama cepatnya dengan tadi.

Willson: [Siapa bilang aku pulang semalam? Kamu ini jangan ngaco, ya! Kamu itu yang semalam ke mana? Aku kok nggak melihat kamu di mana-mana semalam itu?!]

Deg! Jantung Darline berdetak kencang lagi. Jadi sebenarnya, Willson mengetahui keberadaannya di paviliun bersama Paman Hayden atau tidak?

Biar bagaimana pun pesan yang membuat Darline menuju paviliun adalah pesan yang dikirimkan Willson. Tapi kenapa suaminya itu tidak pernah membahas janji ketemuan seperti yang tertera di dalam pesan itu?

Darline pun jadi ragu ingin membahas keberadaan dirinya di paviliun. Dia takut jika dia membahasnya, Willson yang tadinya tidak curiga malah jadi curiga.

Tapi jika tidak dibahasnya, dia takkan tahu seberapa jauh Willson mengetahui hal terlarang semalam.

Darline ingin mengambil resiko, tapi dia teringat kata-kata Hayden. Alasan apa yang harus dia berikan untuk keberadaannya di paviliun semalam?

Darline mengetik lagi.

Darline: [Tapi Will, kan semalam kamu yang nyuruh aku ke paviliun belakang taman. Aku ke sana tapi nggak ada kamu. Aku tungguin di sana sampe aku ketiduran. Jadi, tadi pas aku ke villa utama kakek kamu dan bergabung dengan yang lainnya, mereka malah bilang kamu sudah pamit pulang semalam. Makanya aku cepat-cepat pulang Jakarta juga.]

Willson: [Kamu jangan ngaco! Siapa yang nyuruh kamu ke paviliun belakang?!]

Deg! Jantung Darline kembali meloncat drastis.

Willson sudah menyangkal, lalu siapa yang mengirimkannya pesan untuk bertemu di paviliun?

Masalahnya, karena dia sudah mengungkit ini pada Willson, pria itu sudah terlanjur marah dan curiga. Biasanya seperti itu.

Dan benar saja, setengah menit kemudian sudah masuk lagi pesan dari Willson.

Willson: [Kamu berusaha menipu aku, hah?! Siapa yang menyuruhmu ke paviliun belakang semalam? Jangan mengada-ngada dan mencatut namaku!]

Lagi, balasan dari Willson terlihat penuh kemarahan.

Darline pun gegas mencari pesan yang Willson kirimkan untuk dia kirimkan screenshot-nya pada Willson.

Naasnya, saat dia mencari di waktu dia menerima pesan Willson semalam, pesan itu sudah tidak ada. Ternyata, ada satu pesan yang diatur menggunakan timer. Setelah lewat beberapa menit pesan itu dibaca, maka pesan akan hilang dan tidak bisa dilihat lagi.

Kedua tungkai kaki Darline melemas saat itu juga.

Ini akan menjadi awal mimpi buruk baru baginya. Dia tahu Willson. Darline sangat mengetahui watak suaminya itu.

Willson akan mencurigainya hanya karena kejadian ini. Dan Darline yakin hubungan mereka ke depannya akan selalu diwarnai dengan kecurigaan Willson akan hal ini.  

Jika sudah begitu, suaminya itu tidak akan ragu untuk mencemoohnya bahkan menghukumnya tanpa ampun.

Hanya memikirkan itu saja Darline merasa sekujur tubuhnya gemetar. Dia harus gegas memikirkan cara untuk mengambil hati Willson. Agar semua tidak perlu dibahas lagi.

                ***

Willson akhirnya memberitahu Darline bahwa ada kunci cadangan di pot bunga samping rumah. Setelah Darline berhasil masuk ke dalam rumah, Darline gegas mempersiapkan rumah sebaik-baiknya.

Pertama, Darline menyiapkan makan malam dengan sebaik-baiknya. Menu yang dia sajikan pun dipilih Darline menu yang enak dan lengkap. Ada rendang, sate, soto, serta cah kangkung.

Dia juga sudah membersihkan rumah sampai aroma rumah tercium wangi citrus.

Begitu terdengar deru mobil Willson, Darline gegas menghampiri halaman rumah. Semua itu dia lakukan demi sedikit meredakan kemarahan Willson.

Mobil akhirnya berhenti dan begitu pintu mobil dibuka dan Bu Mira turun, wanita itu langsung mendengus keras.

“Hah! Kamu ini gimana sih? Pulang sendirian! Kamu pikir kami ini siapamu? Bikin malu aja!”

Darline hanya menjawabnya lirih, “Karena Anna bilang Ibu sama Willson sudah pulang duluan dari semalam, makanya aku langsung pulang juga.”

“Halaaah, alasan kamu, Lin! Mana ada kita pulang duluan? Kamu sengaja kan cari-cari alasan demi bisa pulang sendiri. Atau jangan-jangan, kamu pulang dengan orang lain?”

“Nggak ada, Bu, Aku pulang sendirian.”

Jika ini dituduhkan Bu Mira di awal-awal pernikahannya dengan Willson, Darline biasanya langsung panik dan mengklarifikasi dengan gugup. Tapi sekarang, dia tidak begitu lagi. Darline sudah bisa menyikapi dengan santai, termasuk menjawab tuduhan tidak berdasar seperti itu.

Lalu dari pintu depan terdengar bunyi menutup. Willson keluar dari mobil dan tatapannya langsung nyalang seperti hendak memburu Darline.

“Awas, kalau sampai aku mendengar sedikit saja tentang kamu dengan laki-laki lain. Habis kau!” serunya sambil menunjukkan jari telunjuknya di kening Darline.

Wanita itu hanya menghirup napas dalam-dalam. Biar bagiamana pun dia memang bersalah telah melakukan hubungan terlarang dengan Paman Hayden. Jadi, yang bisa dilakukan Darline sekarang ini hanyalah bersabar dan mengalah.

Dengan begitu setidaknya kemarahan Willson bisa sedikit terkendali.

“Aku benar-benar pulang sendiri, Will, karena ibunya Anna yang bilang kalian sudah pamit pulang semalam. Kalau tidak percaya, tanyakan langsung, Will, dengan Anna dan ibunya.”

Tak diduga, Willson melotot dan menjawabnya sengit. “Justru aku sudah tanyakan mereka dan mereka bilang mereka tidak bertemu denganmu sama sekali!”

Darline terlihat begitu shock. Kenapa bisa begini?

“Gimana bisa begitu? Aku bertemu mereka pagi ini. Banyak saksinya! Di ruang tamu rumah kakekmu, Will, semua hadir di sana dan mereka melihat keberadaanku di sana!”

“Halaaah! Itu kan katamu! Apa kamu punya bukti? Kalau kamu nggak punya bukti, itu sama saja omong kosong! Sudah! Aku capek, mau mandi!”

Darline terdiam dan menatap punggung Willson serta Bu Mira dan Lisa yang melangkah masuk ke dalam rumah.

Tak berapa lama, terdengar seruan Bu Mira dan Lisa dari dalam rumah.

“Waaaah, tumben lho, Bu, ada banyak sekali makanan enak di meja ini! Apa nggak salah, ya?” seru Lisa terdengar begitu tak sabar ingin mencicipi kelezatan makanan yang ada di sana.

“Eh, iya, ya! Tumben-tumbenan ada banyak menu yang enak-enak. Apa nggak salah, ya? Ada rendang, sate, soto, dan cah kangkung. Wuiiiih ini sih lengkap banget. Sudah sama lengkapnya dengan restoran. Benar ya, kamu bilang, ini tumben banget kakak iparmu sajiin sebanyak ini?”

“Lah itu, Bu. Dasar boros ya, Bu! Atau ... mungkin ini yang dibilang orang kalau ada maunya.”

“Maksud kamu, Lis?” tanya Bu Mira, entah memang tidak mengerti atau sengaja bertanya demi memberi kesempatan pada putrinya untuk memanas-manasi sindiran mereka pada Darline.

“Ya, demi menutupi kesalahannya pulang duluan. Entah sendirian pulang atau pulang dengan orang lain. Jadi, ya supaya kita nggak curigain dia terus, kita disajikan makanan seenak dan sebanyak ini.”

“Ohalaaaah! Pantesan!” seru Bu Mira lagi. “Kalau begitu nggak usah dimakan! Ibu sangat tidak percaya pada kakak iparmu itu!”

Darline merasakan kedua matanya memanas karena menggenangkan air mata ketika mendengar sindiran ibu mertua dan adik iparnya itu.

Ingin rasanya dia menghambur masuk dan membuang semua makanan yang telah dia sajikan di atas meja tadi. Tapi Darline juga mengerti bahwa dia harus bersabar. Dia sendiri memiliki dosa besar pada Willson. Jadi, dia harus tahu diri, mengalah, dan berusaha menutupi semuanya.

Darline pun mengambil sapu dan memilih membersihkan pekarangan rumah daripada harus masuk dan menghadapi sindiran Bu Mira dan Lisa.

Biar saja dia dianggap tuli. Lagian, Darline sendiri memilih tuli benaran daripada bisa mendengar, tapi malah mendengar sindiran-sindiran menyakitkan seperti itu.

Baru sebentar menyapu, Darline mendengar lagi suara Lisa dari dalam, “Waduh, Bu, aku mandi dulu deh, habis itu aku mau makan. Kan sudah disajiin, sayang kalau mubazir!”

Darline sekali lagi memilih pura-pura tidak mendengar semua itu dan tetap menyapu daun-daun kering yang berjatuhan.

Tapi sedetik kemudian, dia malah mendengar seruan Willson memanggilnya dengan keras dan kasar,

“Lin! Darline! Ngapain aja sih kamu di luar? Cepat masuk sini! Aku mau bicara!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status