Darline seakan oleng ketika membaca pesan dari suaminya ini. Bukankah kata Anna tadi, Willson sudah pulang ke Jakarta dari semalam? Tapi kenapa tiba-tiba saat ini Willson malah berkata dia masih di Bandung dengan ibu dan adiknya?
Darline: [Lho, Will, bukannya kamu sudah pulang dari semalam? Karena itulah aku cepat-cepat nyusul pulang]
Darline pun menggunakan kesempatan ini untuk menutupi dosa besar yang semalam diperbuatnya dengan Hayden.
Balasan dari Willson datang sama cepatnya dengan tadi.
Willson: [Siapa bilang aku pulang semalam? Kamu ini jangan ngaco, ya! Kamu itu yang semalam ke mana? Aku kok nggak melihat kamu di mana-mana semalam itu?!]
Deg! Jantung Darline berdetak kencang lagi. Jadi sebenarnya, Willson mengetahui keberadaannya di paviliun bersama Paman Hayden atau tidak?
Biar bagaimana pun pesan yang membuat Darline menuju paviliun adalah pesan yang dikirimkan Willson. Tapi kenapa suaminya itu tidak pernah membahas janji ketemuan seperti yang tertera di dalam pesan itu?
Darline pun jadi ragu ingin membahas keberadaan dirinya di paviliun. Dia takut jika dia membahasnya, Willson yang tadinya tidak curiga malah jadi curiga.
Tapi jika tidak dibahasnya, dia takkan tahu seberapa jauh Willson mengetahui hal terlarang semalam.
Darline ingin mengambil resiko, tapi dia teringat kata-kata Hayden. Alasan apa yang harus dia berikan untuk keberadaannya di paviliun semalam?
Darline mengetik lagi.
Darline: [Tapi Will, kan semalam kamu yang nyuruh aku ke paviliun belakang taman. Aku ke sana tapi nggak ada kamu. Aku tungguin di sana sampe aku ketiduran. Jadi, tadi pas aku ke villa utama kakek kamu dan bergabung dengan yang lainnya, mereka malah bilang kamu sudah pamit pulang semalam. Makanya aku cepat-cepat pulang Jakarta juga.]
Willson: [Kamu jangan ngaco! Siapa yang nyuruh kamu ke paviliun belakang?!]
Deg! Jantung Darline kembali meloncat drastis.
Willson sudah menyangkal, lalu siapa yang mengirimkannya pesan untuk bertemu di paviliun?
Masalahnya, karena dia sudah mengungkit ini pada Willson, pria itu sudah terlanjur marah dan curiga. Biasanya seperti itu.
Dan benar saja, setengah menit kemudian sudah masuk lagi pesan dari Willson.
Willson: [Kamu berusaha menipu aku, hah?! Siapa yang menyuruhmu ke paviliun belakang semalam? Jangan mengada-ngada dan mencatut namaku!]
Lagi, balasan dari Willson terlihat penuh kemarahan.
Darline pun gegas mencari pesan yang Willson kirimkan untuk dia kirimkan screenshot-nya pada Willson.
Naasnya, saat dia mencari di waktu dia menerima pesan Willson semalam, pesan itu sudah tidak ada. Ternyata, ada satu pesan yang diatur menggunakan timer. Setelah lewat beberapa menit pesan itu dibaca, maka pesan akan hilang dan tidak bisa dilihat lagi.
Kedua tungkai kaki Darline melemas saat itu juga.
Ini akan menjadi awal mimpi buruk baru baginya. Dia tahu Willson. Darline sangat mengetahui watak suaminya itu.
Willson akan mencurigainya hanya karena kejadian ini. Dan Darline yakin hubungan mereka ke depannya akan selalu diwarnai dengan kecurigaan Willson akan hal ini.
Jika sudah begitu, suaminya itu tidak akan ragu untuk mencemoohnya bahkan menghukumnya tanpa ampun.
Hanya memikirkan itu saja Darline merasa sekujur tubuhnya gemetar. Dia harus gegas memikirkan cara untuk mengambil hati Willson. Agar semua tidak perlu dibahas lagi.
***
Willson akhirnya memberitahu Darline bahwa ada kunci cadangan di pot bunga samping rumah. Setelah Darline berhasil masuk ke dalam rumah, Darline gegas mempersiapkan rumah sebaik-baiknya.
Pertama, Darline menyiapkan makan malam dengan sebaik-baiknya. Menu yang dia sajikan pun dipilih Darline menu yang enak dan lengkap. Ada rendang, sate, soto, serta cah kangkung.
Dia juga sudah membersihkan rumah sampai aroma rumah tercium wangi citrus.
Begitu terdengar deru mobil Willson, Darline gegas menghampiri halaman rumah. Semua itu dia lakukan demi sedikit meredakan kemarahan Willson.
Mobil akhirnya berhenti dan begitu pintu mobil dibuka dan Bu Mira turun, wanita itu langsung mendengus keras.
“Hah! Kamu ini gimana sih? Pulang sendirian! Kamu pikir kami ini siapamu? Bikin malu aja!”
Darline hanya menjawabnya lirih, “Karena Anna bilang Ibu sama Willson sudah pulang duluan dari semalam, makanya aku langsung pulang juga.”
“Halaaah, alasan kamu, Lin! Mana ada kita pulang duluan? Kamu sengaja kan cari-cari alasan demi bisa pulang sendiri. Atau jangan-jangan, kamu pulang dengan orang lain?”
“Nggak ada, Bu, Aku pulang sendirian.”
Jika ini dituduhkan Bu Mira di awal-awal pernikahannya dengan Willson, Darline biasanya langsung panik dan mengklarifikasi dengan gugup. Tapi sekarang, dia tidak begitu lagi. Darline sudah bisa menyikapi dengan santai, termasuk menjawab tuduhan tidak berdasar seperti itu.
Lalu dari pintu depan terdengar bunyi menutup. Willson keluar dari mobil dan tatapannya langsung nyalang seperti hendak memburu Darline.
“Awas, kalau sampai aku mendengar sedikit saja tentang kamu dengan laki-laki lain. Habis kau!” serunya sambil menunjukkan jari telunjuknya di kening Darline.
Wanita itu hanya menghirup napas dalam-dalam. Biar bagiamana pun dia memang bersalah telah melakukan hubungan terlarang dengan Paman Hayden. Jadi, yang bisa dilakukan Darline sekarang ini hanyalah bersabar dan mengalah.
Dengan begitu setidaknya kemarahan Willson bisa sedikit terkendali.
“Aku benar-benar pulang sendiri, Will, karena ibunya Anna yang bilang kalian sudah pamit pulang semalam. Kalau tidak percaya, tanyakan langsung, Will, dengan Anna dan ibunya.”
Tak diduga, Willson melotot dan menjawabnya sengit. “Justru aku sudah tanyakan mereka dan mereka bilang mereka tidak bertemu denganmu sama sekali!”
Darline terlihat begitu shock. Kenapa bisa begini?
“Gimana bisa begitu? Aku bertemu mereka pagi ini. Banyak saksinya! Di ruang tamu rumah kakekmu, Will, semua hadir di sana dan mereka melihat keberadaanku di sana!”
“Halaaah! Itu kan katamu! Apa kamu punya bukti? Kalau kamu nggak punya bukti, itu sama saja omong kosong! Sudah! Aku capek, mau mandi!”
Darline terdiam dan menatap punggung Willson serta Bu Mira dan Lisa yang melangkah masuk ke dalam rumah.
Tak berapa lama, terdengar seruan Bu Mira dan Lisa dari dalam rumah.
“Waaaah, tumben lho, Bu, ada banyak sekali makanan enak di meja ini! Apa nggak salah, ya?” seru Lisa terdengar begitu tak sabar ingin mencicipi kelezatan makanan yang ada di sana.
“Eh, iya, ya! Tumben-tumbenan ada banyak menu yang enak-enak. Apa nggak salah, ya? Ada rendang, sate, soto, dan cah kangkung. Wuiiiih ini sih lengkap banget. Sudah sama lengkapnya dengan restoran. Benar ya, kamu bilang, ini tumben banget kakak iparmu sajiin sebanyak ini?”
“Lah itu, Bu. Dasar boros ya, Bu! Atau ... mungkin ini yang dibilang orang kalau ada maunya.”
“Maksud kamu, Lis?” tanya Bu Mira, entah memang tidak mengerti atau sengaja bertanya demi memberi kesempatan pada putrinya untuk memanas-manasi sindiran mereka pada Darline.
“Ya, demi menutupi kesalahannya pulang duluan. Entah sendirian pulang atau pulang dengan orang lain. Jadi, ya supaya kita nggak curigain dia terus, kita disajikan makanan seenak dan sebanyak ini.”
“Ohalaaaah! Pantesan!” seru Bu Mira lagi. “Kalau begitu nggak usah dimakan! Ibu sangat tidak percaya pada kakak iparmu itu!”
Darline merasakan kedua matanya memanas karena menggenangkan air mata ketika mendengar sindiran ibu mertua dan adik iparnya itu.
Ingin rasanya dia menghambur masuk dan membuang semua makanan yang telah dia sajikan di atas meja tadi. Tapi Darline juga mengerti bahwa dia harus bersabar. Dia sendiri memiliki dosa besar pada Willson. Jadi, dia harus tahu diri, mengalah, dan berusaha menutupi semuanya.
Darline pun mengambil sapu dan memilih membersihkan pekarangan rumah daripada harus masuk dan menghadapi sindiran Bu Mira dan Lisa.
Biar saja dia dianggap tuli. Lagian, Darline sendiri memilih tuli benaran daripada bisa mendengar, tapi malah mendengar sindiran-sindiran menyakitkan seperti itu.
Baru sebentar menyapu, Darline mendengar lagi suara Lisa dari dalam, “Waduh, Bu, aku mandi dulu deh, habis itu aku mau makan. Kan sudah disajiin, sayang kalau mubazir!”
Darline sekali lagi memilih pura-pura tidak mendengar semua itu dan tetap menyapu daun-daun kering yang berjatuhan.
Tapi sedetik kemudian, dia malah mendengar seruan Willson memanggilnya dengan keras dan kasar,
“Lin! Darline! Ngapain aja sih kamu di luar? Cepat masuk sini! Aku mau bicara!”
Darline tergopoh-gopoh meletakkan sapu dan memasuki rumah, menuju kamar. Ketika tiba di dalam kamar, tatapan nyalang Willson sudah menunggunya dengan raut teramat marah. “Iya, Will?” “Kamu tuh ngapain sajiin makan malam sebanyak itu? Kamu mau hambur-hamburin uang atau memang kamu menutupi sesuatu dengan makanan sebanyak itu?” Darline terkejut. Dia tak menyangka niatnya yang hanya ingin terhindar dari kemarahan Willson malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. “Nggak, Will. Aku sajiin itu semua karena tadi pas mau pesan gofood, ternyata ada banyak promo. Tapi promonya itu hanya untuk pembelian di atas 150 ribu. Jadi, aku pesan banyak supaya capai 150 ribu. Dan aku bayar pake uangku sendiri kok, Will.” Bukannya mereda, Willson semakin marah. “Heh! Kamu pikir karena pake uangmu sendiri kamu boleh pamer?” “Bukan begitu, Will! Nggak ada maksudku buat pamer sedikit pun! Aku hanya menjelaskan!” “Halaaah! Muak aku dengerin alesanmu itu!” seru Willson lagi sambil melempar handuk putih
Darline tidak membalas pesan dari Paman Hayden. Jarinya pun bergerak cepat hendak menghapus pesan itu. Detak jantungnya seakan berpacu cepat. Dia sungguh takut jika Willson mengetahui dosa besarnya bersama Paman Hayden. Pesan dari pria itu saat ini malah memperbesar resiko kebersamaan terlarang mereka jadi ketahuan Willson. Namun tiba-tiba Darline merasa teramat sayang jika nomor Paman Hayden tidak disimpannya. Biar bagaimana pun, nomor itu satu-satunya penghubung dirinya dengan Hayden saat ini. Darline pun urung menghapus pesan itu. Wanita itu malah mengarsipkan pesan dari Paman Hayden agar tidak terlihat oleh Willson tapi tetap bisa dia simpan. Mereka jarang saling melihat isi ponsel satu sama lain. Di saat seperti ini, kebiasaan itu membuat Darline lega. Setelah menyimpan pesan itu, Darline pun mulai bangkit. Dia tidak boleh mengisi waktunya dengan menangis karena menangis saja tidak akan membeirkan solusi apapun. *** Pukul 20.30 malam, Bu Mira dan Lisa sudah selesai m
Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00. Darline tahu seharusnya dia membangunkan Willson dari pukul 06.00 tadi agar bisa bersiap ke kantor. Pekerjaan Willson sebagai seorang staff keuangan senior di sebuah perusahaan swasta membuat Willson tak seharusnya terlambat. Seharusnya juga Darline mempersiapkan sarapan yang bergizi ditambah minuman hangat yang bisa meredakan sakit kepala yang dirasakan suaminya karena telah mabuk-mabukan semalam. Bahkan jika bisa, seharusnya juga Darline menyiapkan sebutir paracetamol agar tubuh Willson kembali segar dan siap menghadapi pekerjaannya. Seharusnya seperti itu. Namun, rasa sakit dan penasaran yang menusuk hati Darline akibat penemuan kondom bekas pakai tadi membuat Darline tak sanggup melakukan semua kebaikan itu. Dia bukan malaikat. “Darliiiiiine!!! Darline sialan!” teriak Willson dari arah kamar. Darline sudah memperkirakan ini semua. Saat Willson bangun dari tidur, pria itu pasti akan menyadari dirinya terlambat pergi ke kantor dan pada akh
Darline tak bisa berkata-kata lagi saat menghadapi Willson yang malah menyecar dan menuduhnya telah melakukan sesuatu yang tidak benar. Bahkan dia dituduh sengaja menjebak dan memfitnah Willson. Jika bukan karena Darline takut kebersamaannya dengan Paman Hayden terungkap, Darline tidak akan berdiam diri saat dicecar seperti itu. Biar bagaimana pun sebagian dirinya merasa bersalah, tapi juga sebagian lainnya merasa Willson jauh lebih salah daripadanya. Darline hanya tidak bisa menekan Willson untuk mengakui kesalahannya. Dalam tangis dan rasa perih yang mengukungnya itu, Darline mendengar deru mesin mobil Willson meraung pergi meninggalkan pekarangan rumah. Tidak ada rasa yang merayap di hatinya. Darline hanya merasakan kekosongan. *** “Aku butuh pekerjaan nih, Fen. Ada nggak ya yang bisa menerima karyawan sepertiku ini, yang sudah lama vakum bekerja. Sudah 2,5 tahun aku vakum, Fen.” Dalam gelisahnya tadi, Darline pun mengajak Fenny, salah satu teman dekatnya saat
Antusias dan kegugupan melebur menjadi satu dalam diri Darline. Ketika tiba di kantor untuk hari pertama kerjanya tadi, selama lebih dari lima belas menit Darline mendapatkan pengarahan dari Bu Alma apa saja yang menjadi tugasnya sebagai sekretaris.Darline mempelajari dengan seksama dan bertekad untuk bekerja dengan baik.Namun, tetap saja dia merasa gugup.3L’s Empires Motor merupakan perusahaan besar. Ini bisa terlihat dari segala segi. Iklan dan marketing mereka yang teramat gencar. Produk otomotif yang inovatif dan seringkali menjadi trend setter baru di kalangan pecinta otomotif.Selain itu juga, jajaran direksi dan hierarkie manajemen yang berlapis-lapis dalam perusahaan ini menunjukkan kredibilitas 3L’s Empires Motor tidaklah main-main.Terakhir, fisik kantor yang sangat modern dan elegan.Begitu menginjakkan kaki di sini, Darline langsung jatuh cinta berharap dia bisa menjadi staff tetap dan berkarier di 3L’s Empires Motor.Saat dia sudah mampu hidup mandiri nantinya, Darline
Huuuufftt ... fiuuuuuuh ...Darline menyempatkan diri menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya, lalu mengembuskannya, ketika dia telah tiba di pintu ruang CEO dan hendak mengetuknya.Setelah tiga kali tarik dan hela napas panjang, Darline pun akhirnya mengetuk.“Masuk!” titah suara bariton dari dalam ruangan.Hanya mendengar suara itu saja degup jantung Darline meningkat drastis lagi.Darline membuka pintu, berusaha agar tangannya tidak terlihat gemetar, lalu melangkah masuk, dengan setenang mungkin.‘Apa yang Paman Hayden pikirkan tentang diriku ini? Jangan-jangan, Paman Hayden mengira aku sengaja melamar pekerjaan di kantornya ini demi berdekatan dengannya!’Darline tanpa sengaja sibuk berpikir sementara tubuhnya berbalik dari pintu untuk menuju meja kerja Hayden.Untungnya, pria itu masih menatap layar laptop dengan teramat serius. Darline jadi tak sengaja malah mengamati Paman Hayden yang begitu seriusnya.Dari pengamatannya ini Darline baru menyadari bahwa Paman Hayden sebenarny
Darline merasa tak enak hati karena ketahuan berbohong. Dia pun hanya menundukkan wajah. Melihat Darline menunduk, Hayden menaikkan wajah itu dengan jari di dagu Darline. “Jawab aku. Darline, sejujur-jujurnya. Kamu sekarang sekretarisku, Darline. Jika kau berbohong, aku akan langsung memecatmu sekarang juga!” Tiba-tiba suara dominasi itu bercampur kuasa yang tak bisa ditampik Darline. Wanita itu cukup terkejut mendengar Hayden sampai menuntut kejujuran darinya dengan sekeras ini. Darline yang tadinya bertekad menutupi prahara rumah tangganya dengan Willson erat-erat dari Hayden, kini tak berani membantah lagi. Dia pun menjawab lirih, “Iya, Paman. ini—” “Apa yang dia lakukan hingga kau terluka seperti ini? Apa dia menggigitmu?” tanya Hayden lagi dengan pandangan yang menyorot marah. Darline terhenyak, kenapa Paman Hayden bisa serisau ini hanya karena luka kecil di bibirnya? “Nggak, Paman. Dia nggak menggigit.” “Kalau tidak menggigit, lalu dia apakan?” Geramannya yang tertahan
Darline terperangah melihat apa yang tertera di medsosnya ini. ‘Apakah yang tadi itu aku salah lihat? Atau memang Willson baru saja meng-unfollow Laura Bella? Kalau iya, kenapa?’‘Jika Willson baru saja meng-unfol Laura Bella, berarti Willson sedang online.’Sangat ingin tahu, gegas Darline menuju inbox, lalu mencari kontak Willson di jajaran friend list miliknya.Ada 900-an friends yang dimiliki Darline. Dia mengetik nama Willson, tapi yang muncul adalah dua akun bernama Willson, tapi bukanlah Willson suaminya.Darline bingung, ‘Kenapa akun Willson tidak bisa kudapatkan?’“Mungkin aku salah ketik,” gumam Darline pada dirinya sendiri.Darline lalu mencoba lagi. Tapi hasilnya tetap sama seperti tadi. Hanya muncul dua akun bernama Willson, tapi bukan suaminya.Darline semakin heran dan penasaran. Dia pun menuju akun Laura Bella lagi. Dari friend list Laura Bella yang jumlahnya sekitar 5000, dia mengetikkan nama Willson.Muncul seratusan akun bernama Willson. Terpaksa Darline melihat sat