Darline begitu terkejut mendengar suara Willson yang berteriak kasar di telepon.Dia sangat tak menyangka Willson akan langsung menyecarnya sekasar itu. Menyesal rasanya dia mengangkat telepon dari Willson di tempatnya berdiri sekarang ini. Karena ketika dia melirik Hayden, pria itu terlihat sama terkejutnya dengan dirinya.“Kenapa dia harus sekasar itu memarahimu?” geram tertahan Hayden diucapkannya dengan kedua gigi yang masih mengatup.Tentu saja, suara keras Willson di telepon menguar dari ponselnya dan terdengar oleh Hayden.Darline merasa sangat dipermalukan Willson.“Maaf, Pak,” bisik Darline lirih sambil menjauh dari Hayden seraya menutup ponselnya dengan tangan agar suara Hayden tidak masuk dan terdengar oleh Willson.Saat dia telah tiba kembali di dekat gedung showroom yang kini sepi karena customer berkumpul menyaksikan show dari Ms. Lin, Darline mulai menjawab Willson dan berkata pada suaminya itu dengan nada menenangkan.“Willson, dengan kamu marah-marah tadi, aku berangg
Mendengar pertanyaan Willson, jantung Lissa berdegup kencang.Gadis itu langsung teringat tentang panggilan telepon dari Ringgo -pelayan yang dia titipkan gelas minuman wine yang telah dia bubuhkan obat perangsang- satu hari setelah pesta di Villa Opa Ben.Pada Ringgo Lissa memintanya agar minuman itu diberikan pada salah satu penjaga villa Opa Ben.Rencana Willson yang dijalankan Lisa waktu itu adalah agar penjaga villa Opa Ben yang telah meminumnya pun merasakan panas dan diarahkan untuk menunggu di paviliun kosong belakang taman.Di saat itulah, Willson juga mengirimkan pesan teks pada Darline.Saat pengiriman pesan itu sendiri, Willson sudah pergi dari villa Opa Ben, yang lalu disusul dengan Lissa dan ibunya selepas Lissa memastikan sendiri, Darline sudah ke paviliun kosong belakang taman.Namun, alangkah terkejutnya Lissa ketika hari Ringgo menelpon di siang hari berikutnya.“Maaf, Non Lissa. Minuman kemarin itu sepertinya terminum oleh orang lain.”“Haa? Bagaimana bisa? Kenapa k
“Sudah beres semua ini. Kamu masih ngapain lagi, Lis?” Bu Mira bertanya pada Lissa yang terlihat sibuk dan repot di kamar.Dia seperti mencari barang yang hilang.“Tunggu, Bu, masih nyari contact lense aku, Bu. Sayang kalau ditinggal.”“Ya, sudah, cepetan!”Bu Mira sudah siap dengan koper dan beberapa dus yang akan dibawanya menuju Bandung.Sebentar lagi, mobil sewaan mereka akan tiba dan mengantarkan dirinya dan Lissa ke kota baru tempat tinggal mereka. Rumah ini akan ditinggalkan dan biar Darline yang mengurus sisanya.Apakah rumah ini akan diberikan pada Darline dengan cuma-cuma?Tentu saja tidak. Ada sesuatu yang terjadi dan dengan rumah ini diberikan pada Darline, maka Willson akan bisa lepas dari semua hal.“Sudah, Bu, ini! Akhirnya kutemukan juga.” Lissa akhirnya muncul dari kamar dan ikut duduk menunggu mobil di ruang tamu.Melihat tidak ada kakaknya di sana, Lissa pun berbisik pada sang ibu, “Bu, apa nggak pa-pa kita tinggalin rumah ini sama Darline?”“Ya, nggak apa-apa lah.
Ketika Darline menuju dapur, dia tak menyadari bahwa kedua tangan Willson sudah terkepal keras. Begitu kesal dan marah Willson pada Darline karena dengan santainya malah mengundang Paman Hayden bertamu di rumah mereka.Namun, tanpa Willson sadari, kedua mata Hayden melihat tangan terkepal Willson.“Apa aku mengganggumu, Willson?” tanya Hayden seraya menancapkan tatapan intimidasi pada Willson.Pria itu segera gugup dan duduk di hadapan Hayden.“Tid- tidak, Paman. Tentu saja tidak.”Meski begitu, dari sikap duduk Willson, Hayden bisa melihat bahwa keponakannya itu teramat gugup juga marah.Hayden dan Mira merupakan saudara sepupu. Ayah Mira dan ibunya Hayden merupakan kakak beradik. Lalu, Ibu-nya Hayden menikah dengan seorang pria berkebangsaan barat, bermarga Lewis. Setahun kemudian, lahirlah kakak perempuan Hayden dalam keluarga Lewis disusul Hayden yang lahir tiga tahun kemudian.Namun, Mira telah lahir hampir satu dekade sebelum kakak perempuan Hayden lahir.Meski begitu, sekalipun
Tanpa perlu ditanyakan, pikiran Darline langsung menuduh Willson yang mengambil dua kotak perhiasan emasnya.Tentu saja siapa lagi? Darline selalu menyelipkan kunci laci di tumpukan baju terbawahnya. Dan hanya Willson yang mengetahui hal tersebut.Lagipula, sudah berulang kali Willson menyinggung tentang perhiasan itu dan mencoba ‘meminjam’-nya dari Darline.“Sekali ini saja, Darline. Bulan ini aku nggak punya uang sisa, Sayang. Mau biaya servis mobil dari mana lagi?Kalau tidak diservis, nanti cepat rusak. Ayolah! Sekali ini saja, aku meminjam perhiasanmu untuk kugadai. Aku sudah tidak mempunyai uang lagi.”“Biarkan aku meminjam perhiasanmu untuk kugadai, Darline. Supaya rumah baru kita cepat selesai.”Masih banyak kali Willson berusaha meminjam perhiasan itu dengan berbagai alasan. Beruntung Darline selalu menolaknya dengan tegas.“Perhiasan ini adalah mas kawin dari kamu untuk aku, Willson. Jadi, ini adalah milikku sendiri. Hak-ku sendiri. Tidak ada hak-mu di perhiasan ini. Kalau k
Apakah ini semacam pertanda bahwa Willson tidak menginginkan dirinya lagi? Bahwa Willson sudah memutuskan untuk membiarkan pernikahan mereka hancur? Darline pun memutuskan menjawab dengan sopan. Darline: [I’m okay, Paman.] Sent! Tak lama, balasan dari Hayden datang lagi. [Oke, Darl. Aku harap kamu sangat baik-baik selalu. Ingat, jangan ragu menelponku jika Willson bertindak kasar lagi! Dan satu lagi, berhenti memanggilku paman! Sudah kubilang, aku tidak mau menjadi pamanmu!] Darline semakin meneteskan air mata ketika membaca perhatian yang tergores di pesan chat dari pak boss-nya itu. Sejujurnya, sebagian dirinya ingin mengungkapkan apa yang baru saja dia alami pada Hayden. Tapi rasa malu yang menyelimuti dirinya lebih besar dari segala rasa pahit yang mendekam dalam dadanya. Darline pun mengetik lagi meskipun pandangannya terhalang oleh kaca ponsel yang sudah retak, juga air mata
“Dengan semua ini apa Anda masih mau berkelit?”Suara keras dan kasar pria itu membuat Darline tersadar dari lamunan singkatnya. Hati dan pikirannya benar-benar tak tahu harus berbuat apa.Diam-diam Willson membalik nama rumah ini menjadi namanya, tapi pada akhirnya rumah ini dipakai untuk jaminan pinjaman dari rentenir.Ini sama saja bohong. Justru Willson terlihat sedang memanfaatkan namanya, mengambil keuntungan dari nama Darline.“Berapa yang harus saya bayar agar tidak diusir dari rumah ini?” tanya Darline pada akhirnya.“Tiga puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah!” sahut pria di hadapan Darline.Kembali Darline merasakan lemas di sekujur tubuhnya. Uang segitu besar, dari mana dia harus mendapatkannya?“Jika tidak membayar, saya harus keluar dari rumah ini?”“Iya, Bu! Kan sudah kita bahas tentang ini! Sekarang ditanyakan lagi!”“Apa nggak bisa kasih keringanan? Beri saya tambahan 3 hari lagi? Untuk berkemas?” Darline berusaha menawar agar dia bisa mendatangi Willson dan meminta
“Pam—paman Hayden? Kenapa bisa tiba-tiba ada di sini?”Darline yang gelisah melupakan lagi larangan Hayden untuk memanggilnya paman.“Ck! Tentu saja aku tidak bisa merasa tenang. Jadi, aku iseng kembali ke sini untuk mengecekmu. Namun kau malah duduk di luar seperti anak ayam-” Belum selesai Hayden mengeluarkan kekesalannya, dia melihat memar di wajah Darline ketika wanita itu mengangkat wajahnya. Sontak Hayden langsung berubah berang.“Kenapa wajahmu?” tanya cepat seraya menghampiri dan duduk di samping Darline. Dagu Darline diangkatnya dan wajah itu kembali dihadapkan padanya untuk melihat lekat-lekat memar di pipi atas Darline.“Apa Willson memukulmu?” geramnya tertahan seraya menahan geraman marahnya.Kali ini, Darline tak ingin membela Willson lagi. Dia sudah teramat sakit hatinya karena ulah Willson. Darline pun diam dan menunduk.“Sudah kubilang, telepon aku kalau dia mengasarimu lagi! Kenapa tidak kau lakukan?” Hayden kehilangan kesabarannya hingga dia tanpa sadar menaikkan n