Share

6. Hati Pedih, Hati Rapuh.

Di kamarnya, Alya sengaja berbaring membelakangi Rama yang bersiap tidur. Keduanya baru saja membahas tentang kepulangan Martha dan Monik esok hari.

"Kamu kapan mau pergi ke pasar kain lagi? Tadi kan kamu belum sempat pergi," ucap Rama mengetahui istrinya belum tidur.

Sementara Alya sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia bahkan tak bisa melupakan bagaimana Martha menghina dan merendahkannya di depan Mayang. Kejadian siang tadi sungguh membuat hati Alya hancur menjadi berkeping-kepimg.

Alya berusaha menahan suaranya agar tak bergetar. Dia tak mau membuat suaminya khawatir.

"Mungkin besok," katanya singkat.

"Besok sore bisa? Mas Rama usahakan pulang sore agar bisa antar kamu ke pasar."

Alya menggelengkan kepalanya. Dia tak mampu lagi menahan tangisnya.

"Alya?"

Sebelum Rama mengetahui kepedihannya, Alya bergegas berlari menuju kamar mandi. "Sebentar," katanya sambil menutup mulutnya. Air matanya sudah mengalir deras di pipinya. Dia tak mau menunjukannya pada Rama.

Sementara Rama bingung dengan sikap Alya yang mencurigakan. Dia tak sengaja melihat bantal Alya yang basah. Tatapannya berubah sendu dan khawatir saat mengetahui jika istrinya itu sedang menangis.

Rama segera menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, dan berjalan menyusul sang istri di kamar mandi.

"Sayang? Kamu ada masalah?" katanya seraya mengetuk pintu. Rama mendekatkan kupingnya di pintu berusaha mendengar kepedihan istrinya. Tapi Alya tak menjawab. Wanita itu lama terdiam dalam kesendiriannya.

"Sayang? Tolong buka pintunya. Aku tahu kamu lagi nangis," lanjut Rama.

Sementara Alya duudk di atas closet. Dia menutup mulutnya dan menahan tangisnya agar tidak pecah. Tapi hatinya begitu sakit dan hancur. Saat ini dia benar-benar butuh pelukan sang Suami, tapi dia tak mau jika sampai Rama menegur ibunya sendiri.

Alya sungguh tak bisa melupakan bagaimana ekspresi Mayang, Monik dan Martha yang memandangnya seperti wanita hina yang tak bernilai. Alya tak tahu jika menjadi wanita yang tak bisa memiliki keturunan adalah suatu kejahatan yang menghinakan. Hati Alya benar-benar perih. Dia tak tahan dengan keadaannya saat ini.

"Sayang... Tolong buka pintunya. Aku mohon," ujar Rama menunggu dengan khawatir.

Hingga beberapa saat kemudian Alya membuka pintu dengan wajah sembab. Hal itu tentu membuat Rama sangat khawatir. Lelaki itu menangkup wajah Alya dengan kedua tangannya, dan menatapnya dengan cemas.

"Sayang, kamu kenapa? Siapa yang bikin kamu nangis kaya gini? Ha? Kasih tau aku," ujar Rama menatap. Tapi Alya hanya menggelengkan kepalanya seraya menangis sesenggukan.

Dia sudah tak bisa lagi menahan tangisnya. Menurutnya sikap ibu mertuanya itu sudah keterlaluan. Meski begitu, Alya tak mau sampai Rama bertengkar dengan Martha.

"Kamu kenapa? Jawab aku!" kata Rama sekali lagi. Dia menatap tajam istrinya yang menangis pilu. Membuat hatinya turut hancur lebur.

"Hati aku hancur kalau kamu nangis kaya gini, Sayang. Jadi sekarang jawab aku. Siapa yang udah bikin kamu nangis kaya gini?"

Alya melepaskan tangan Rama di wajahnya. Kemudian beralih memeluk suaminya itu. Dia menumpahkan segala kesedihannya itu di dada sang suami. Mendengar detak jantung Rama, seketika membuat hati Alya yang telah hancur kembali menyatu sedikit demi sedikit.

"Hati aku sakit, Mas... Hati aku perih. Aku gak sanggup lagi," ucap Alya berusaha menenangkan suaranya.

"Apa yang bikin hati kamu sakit?" tanya Rama seraya mengusap kepala Alya. Dia memeluk dan mengusap punggung istrinya beberapa kali.

Alya kemudian melepaskan pelukannya, dan menatap Rama sembari berurai air mata. Sementara Rama berusaha menghapus air mata yang mengalir deras di pipi istrinya.

"Ceritakan sama aku apa yang bikin kamu menangis?"

Alya kemudian menunduk.

"Ibu kamu selalu bahas tentang kemandulan aku. Hati aku hancur, Mas. Setiap kali mendengar itu."

Tak hanya hati Alya yang hancur karena kata-kata itu, tapi hati Rama pun mencelos menyadari betapa pedihnya hati Alya karena keadaan yang sedang di alaminya. Yang membuatnya marah adalah sikap sang Ibu yang memang bertambah kasar saat mengetahui Alya tak bisa memiliki keturunan.

Rama menatap Alya dengan dalam. Dia mengusap rambut istrinya dan mencium keningnya dengan kasar. Kemudian melenggang pergi dengan napas menderu.

"Mas! Mas Rama mau kemana? Tenang, Mas!" kata Alya berusaha mengejar suaminya. Tapi percuma, Rama kini telah berada di depan kamar ibu dan adiknya.

Kebetulan saat itu Monik baru saja dari dapur dan bertemu Rama yang sorot matanya di penuhi emosi.

"Di mana Mama?"

"Di-di dalam... Ada apa?" tanya Monik saat melihat Alya dengan mata sembabnya berlari berusaha menahan Rama.

"Kamu dan Mama sudah keterlaluan, ya sama Alya!"

Mendengar keributan di luar, Martha muncul dari balik pintu. "Ada apa sih berisik banget!"

Rama berusaha menekan emosinya. Bagaimana pun wanita yang akan dia tegur adalah ibu kandungnya sendiri.

"Ma..."

"Mas, sudah," potong Alya seraya meraih tangan suaminya. Dia menenangkan Rama padahal saat itu air mata masih mengalir deras di wajahnya.

"Kita bicarakan ini kalau emosi kami sudah reda. Gak akan benar kalau kamu membahas masalah ini dalam keadaan marah kaya gini," bisiknya.

Sementara Monik dan Martha menatap bingung pada keduanya.

"Engga bisa, sayang. Kamu istri aku. Mereka harus menghargai kamu," tolak Rama. Kemudian menatap Ibunya dengan sabar.

"Ma... Aku mau bicara sama Mama!"

Martha mengangguk sambil membaca situasi.

"Ada apa?"

"Aku tahu kami tidak bisa memberikan cucu buat Mama, tapi apakah menurut Mama dengan sikap kasar Mama terhadap Alya akan membuat Alya mengandung? Aku tahu ini kasar, tapi kalau Mama menghina dan merendahkan Alya terus menerus, aku juga gak bisa tinggal diam, Ma. Alya itu istri aku. Bagaimana pun juga aku harus membela istri aku!"

"Mama gak bisa memojokan Alya karena keadaannya. Alya gak salah, Ma! Ini semua takdir. Ini pemberian dari Yang Maha Kuasa! Jadi, aku mohon. Jangan membuat hati Alya hancur karena sikap dan kata-kata kasar Mama! Aku mohon!"

Martha menutup mulutnya karena tak menyangka di marahi oleh putra kandungnya sendiri. Dia juga tak menyangka kalau Alya akan mengadukan sikapnya hari ini. Air mata palsu tiba-tiba mengalir karena Martha tak tahu harus menjawab apa. Dia tak mau sampai Rama membencinya. Bagaimana pun menurutnya, semua ini salah Alya. Jika dia tidak mandul, tidak mungkin masalah ini akan terjadi.

Martha menangis setelah mendapat amarah dari Rama. Hal itu tentu saja membuat Monik meradang.

"Mas Rama! Hati-hati kalau bicara sama orang tua! Jangan membentak! Mama jadi nangis!"

Rama mengusap wajahnya dengan kasar. Dia sudah berusaha menyaring setiap kata agar tidak menyakiti ibunya, tapi menurutnya Alya juga butuh pembelaan darinya.

"Mama kenapa nangis? Rama kan cuma pengen kasih tahu kalau Mama harus bisa menerima keadaan Alya. Rama gak berniat marahi Mama," ujar Rama.

"Sudahlah, Rama! Kamu memang tidak bisa mengertikan Mama! Mama kecewa sama kamu!" kata Martha seraya berbalik menutup pintu, di susul Monik yang juga turut menatap Rama dan Alya dengan tatapan kesal.

Setelah Martha dan Monik masuk kamar, Rama segera memeluk istri yang berada di sisinya.

"Sudah ya, Sayang. Semuanya akan baik-baik saja," katanya menenangkan.

Rama sekali lagi mendaratkan bibirnya di kening Alya.

Menit berganti jam, dan hari berganti Minggu.

Rama baru saja mencuci mobil dan berjalan menuju dapur setelah mencium wangi masakan yang tengah di masak istrinya.

Dia melihat istrinya yang cantik tengah sibuk sejak tadi subuh.

"Sayang," ucap Rama sambil memeluk Alya dari belakang.

"Belum selesai?"

Alya tersenyum seraya merasakan hembusan hangat napas Rama di telinganya.

"Sebentar lagi. Kamu sudah lapar, ya?"

Rama mengangguk seraya mencuri ciuman di pipi istrinya.

"Kamu cantik banget, sih!"

"Mas... Jangan mulai, deh!" kata Alya berusaha melepaskan pelukan Rama. Tapi Rama menolak, dan terus mengganggu istrinya.

Saat Rama dan Alya tengah asik bermesraan, tepat saat itu terdengar ketukan pintu.

Alya dan Rama yang tengah berciuman pun saling menatap. Mereka sebenarnya tak mau membuka pintu, tapi Alya takut ada sesuatu yang penting.

"Biar aku yang buka!" kata Rama melepaskan pelukannya. Sebelum pergi, Rama sekali lagi mencium pipi Alya.

Saat Alya kembali memasak, terdengar suara seorang wanita yang tak asing di telinganya. Entah perasaan tak suka bergelayut di hati Alya.

Alya pun mematikan kompornya, dan berjalan menuju ruang utama. Tapi pemandangan yang membuat hatinya hancur adalah saat melihat Mayang tengah duduk di atas pangkuan Rama.

Alya tak tahu kejadiannya seperti apa, tapi saat ini dia hanya melihat dengan mata kepalanya sendiri jika suaminya tengah memeluk wanita lain.

"Mas?"

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status