LOGINSuasana di coffee shop mewah mal, persis di bawah kompleks Cendekia Medika Jakarta Barat, benar-benar makin panas saja. Bukan cuma karena secangkir kopi robusta pekat, tapi gara-gara gosip intens yang menguar dari meja para pemegang saham perempuan dan rekan sejawat mereka. Topiknya masih itu-itu juga: skandal Dr. Alvin Mahawira dan dr. Lidya. Diah, Rukmini, dan Ayu, yang sejak tadi pagi asyik membedah isu ini, kini ditemani oleh Dokter Lukito. Aroma kopi yang semerbak pun kalah saing dengan 'aroma' intrik dan desas-desus.“Pokoknya aku nggak setuju deh sama Alvin, Jeng,” Diah berujar dengan nada mantap, melipat tangan di depan dada. “Skandal itu bikin citra Cendekia Medika jadi kotor. Udah waktunya ganti. Period.”Rukmini mengangguk-angguk setuju, matanya berbinar penuh semangat. “Iya, bener banget, Jeng. Aku itu sebel juga sama Bima yang kayak nutup-nutupi masalah ini. Kan ini bisa jadi boomerang buat kita semua kalau publik sampai kehilangan kepercayaan.”Ayu hanya menyengir tipis,
Skandal Dokter Alvin Mahawira memang nggak main-main, benar-benar menyebar kayak api di musim kemarau, menyentuh telinga para pemegang saham Cendekia Medika dari Sabang sampai Merauke. Tapi pusatnya gosip yang paling seru itu, tentu saja, ada di Jakarta. Tepatnya di sebuah coffee shop mewah di mal yang lokasinya cuma selemparan batu dari rumah sakit Cendekia Medika cabang Jakarta Barat. Siang itu, Diah dan Rukmini sudah siap sedia membedah isu panas ini dengan antusias, diselingi bunyi sendok yang beradu pelan dengan cangkir porselen dan aroma kopi robusta yang kental.“Aku sih, sumpah mati, nggak nyangka banget lho, Jeng,” buka Rukmini sambil mengaduk kopinya, matanya melebar seolah baru saja melihat hantu. “Dokter Alvin kan orangnya ganteng, pinter banget lagi, walaupun kelihatan lugu. Aku itu sampai mikir, dia dulu nggak kawin-kawin gara-gara saking sibuknya sama pekerjaan, atau jangan-jangan memang... hmm... ya gimana ya, banyak kasus jeruk makan jeruk sekarang kan. Eh, tahu-tahu
Cirebon di awal pagi memang punya keistimewaan. Udara sejuk khas pesisir masih meresap sampai ke tulang, ditambah mentari yang baru setengah hati mengintip dari balik cakrawala. Namun, di depan rumah dinas Puskesmas yang tenang itu, atmosfirnya jauh dari damai. Kedatangan Dr. Leo Bima Adnyana ke Cirebon membawa aura dingin yang seolah mengiris udara, menciptakan ketegangan yang pekat.Saat Lidya Paramitha Wardhana membuka pintu, ia mendapati suaminya—sang dokter spesialis bedah jantung terkemuka sekaligus Direktur Utama Cendekia Medika—berdiri di sana dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada gurat kelelahan yang nyata di wajah tampannya, tapi juga sesuatu yang lain; sebuah campuran rasa bersalah dan tekad yang kuat.Lidya sudah bersiap untuk hal terburuk. Pikirannya melayang membayangkan caci maki yang pedas, tuntutan gugatan cerai, atau setidaknya kemarahan yang meluap-luap yang pernah ia saksikan. Lidya mematri hatinya untuk menerima semua itu, apa pun yang akan dilontarkan Bima, ia
Kemarahan Darren sudah tidak terbendung lagi. Begitu kakinya menginjak karpet lembut di ruang tengah kediaman keluarga Wisesa, ia langsung mendorong adiknya, Kevin Abimanyu Wisesa, hingga jatuh terduduk di sofa kulit mahal. Kevin tersentak kaget, nyaris saja oleng dan terpelanting kalau tidak buru-buru menahan diri."Kali ini kebodohan apalagi yang kau buat bersama teman-teman residen-mu itu?!" bentak Darren, suaranya menggelegar di ruangan yang luas dan tadinya sepi. Gema bentakannya seolah merobek ketenangan sore itu. "Kau mau menaruh dosa lebih panjang ke daftar kejahatanmu? Dasar bodoh dan tak bertanggung jawab!"Kevin terdiam, untuk pertama kalinya ia tidak membalas dengan kata-kata kasar yang biasanya langsung meluncur begitu saja dari bibirnya. Wajahnya pucat pasi, matanya menerawang kosong, seperti dihantui bayangan sesuatu. Rasa bersalah kini benar-benar memakan nuraninya, menghantamnya telak hingga tak mampu berucap sepatah kata pun. Kejadian yang menimpa Lidya bukanlah apa
Di salah satu lounge mewah paling private di Jakarta, aroma kopi mahal dan sedikit asap cerutu melayang tipis, bercampur dengan aura ketegangan yang menyesakkan. Tiga sosok pria duduk melingkar di sofa kulit hitam yang empuk, masing-masing dengan wajah yang mengukir kekhawatiran dan ambisi terpendam.Mereka adalah Dr. Rukmana, sosok karismatik dengan kemeja rapi yang kini sedikit berkerut di bagian siku karena sering bergerak gelisah, Dr. Surya Baskara Hardiwan, yang tampil lebih santai tapi sorot matanya tajam, serta Dr. Raditya, pria tenang yang sedari tadi hanya menyesap minumannya sambil sesekali melirik dua rekannya itu. Suasana saat itu, kalau digambarkan, seperti ruangan high stakes poker di mana semua pemain memegang kartu penting dan siap melakukan taruhan besar.“Jadi, Franda belum ada kabar juga?” tanya Surya, nada suaranya terdengar seperti sebuah desisan kecil, tidak sabar. Dia sedikit condong ke depan, sikunya bertumpu pada meja bundar di tengah mereka.Rukmana menghela
Alvin Mahawira memarkir sedan mewahnya di basement kondominium area PIK. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, dan ia bersyukur lobi kondominium tampak sepi. Kepalanya terasa begitu berat, bukan hanya karena seharian bekerja di rumah sakit yang sibuk, tapi karena beban moral yang barusan menindihnya. Beban itu masih terasa nyata, bergentayangan seperti bayangan Lidya yang terus menghantuinya.Begitu sampai di unitnya yang terletak di lantai atas, dengan pemandangan kota yang menakjubkan, Alvin tidak memedulikan pemandangan tersebut. Pakaian dinasnya ia lepas dengan kasar, seolah-olah kain itu menempelkan sesuatu yang najis. Setelah dilucuti dari tubuhnya, seragam bedah dan kemeja putihnya segera ia masukkan ke mesin cuci, membiarkan mesin bergemuruh seolah ikut merayakan pemusnahan jejak yang menempel di serat-serat kain. Ia ingin mencuci semua sisa-sisa itu secepatnya.Telanjang bulat, Alvin masuk ke dalam bilik shower. Ia menyalakan air hangat, membiarkannya membasahi seluruh tu







