Lidia masih berdiri terpaku di kamar Bima, napasnya terperangkap di paru-paru. Lampu temaram di langit-langit memantulkan kilau samar pada perabot kayu gelap, seolah seluruh ruangan itu bersekongkol dengan mereka, jadi saksi bisu sesuatu yang busuk. Hujan masih menetes di luar, menambah dinginnya malam, tapi tubuh Lidia justru memanas, bukan karena gairah murni, melainkan karena tekanan dan kepanikan yang mencengkeram kesadarannya. Bima, dengan gestur yang penuh kesadaran dan dingin, menutup pintu. Satu hentakan keras yang menyertainya membuat Lidia terlonjak, bahunya menegang. Tatapan lelaki itu menusuk, seperti hakim yang sudah menjatuhkan vonis, tanpa ada niat sedikit pun untuk memberinya ruang banding. Lidia tahu, kali ini dia benar-benar terpojok.“Tidak ada tempat lain kau bisa sembunyi, Lidia,” ucap Bima rendah, serak, seolah bisikan iblis yang menyusup langsung ke gendang telinganya. Ada nada kemenangan pahit di sana, dan itu membuat Lidia mual. “Kecuali… di sisiku.”Kata-kat
Last Updated : 2025-09-26 Read more