LOGINKevin (26), seorang dokter muda, dan Lidia (24), intern medis, menikmati romansa di tengah gemerlap kota. Tanpa mereka tahu, takdir telah menjalin hubungan mereka dengan Dr. Bima (32), atasan Lidia yang diam-diam adalah adik tiri ibu Kevin. Ketenangan hidup Kevin dan Lidia koyak oleh pertengkaran hebat, membuat Lidia gelap mata. Dalam balutan emosi dan alkohol, ia terjerumus dalam pelukan seorang pria asing. Kengerian menghantam Lidia saat menyadari pria itu adalah Dr. Bima – atasan sekaligus om tiri kekasihnya. Kehancuran etika dan ikatan keluarga tak terhindarkan. Bima yang semula menganggapnya khilaf, kini terjerat hasrat mematikan. Lidia terperangkap dalam tarik-ulur perasaan, antara cinta tulus pada Kevin dan tekanan Bima, sementara Kevin mulai merasakan kejanggalan. Rahasia kelam ini siap meluluhlantakkan hidup mereka semua.
View More"AKU TIDAK BISA TERIMA INI!" Suara Lidia terus terdengar sepanjang malam, mengalahkan deru pendingin ruangan dan bisikan angin di luar jendela apartemen. Matanya menyala, bengkak bukan karena kurang tidur, tapi karena genangan amarah dan rasa dikhianati yang sudah di ujung tanduk. Di depannya, Kevin hanya bisa terdiam, wajahnya memerah menahan kesal, tatapannya menyiratkan campuran kaget, bingung, dan sedikit rasa sakit hati. Menurutnya tuduhan Lidia tidaklah berdasar. Perhatiannya kepada pasien adalah hal yang masih terhitung wajar.
"Lid, dengar dulu," Kevin memulai, suaranya pelan, hati-hati, seolah takut ledakan selanjutnya. "Ini nggak seperti yang kamu bayangkan—" "Nggak seperti yang aku bayangkan?!" Lidia memotongnya, mendengus tajam Kepalanya seolah berasap. "Aku lihat sendiri, Vin! Mata kepalaku sendiri! Kamu pikir aku buta? Setelah semua ini... lagi-lagi kamu membela dia?" Suaranya menukik tajam pada kata "dia," mengandung kekecewaan yang sangat dalam, bukan hanya kemarahan.Kevin menghela napas panjang, frustrasi terlihat jelas di raut wajahnya. "Tapi Dian cuma minta tolong, dan kamu tahu aku nggak bisa bilang—" "Cukup!" Lidia mengibaskan tangannya, seolah kata "Dian" itu kotor dan tak layak disebut. "Aku muak! Muak dengan kamu, muak dengan semua drama ini! Aku nggak bisa lagi." Ia mengangkat tangannya, jari-jarinya gemetaran di depan Kevin. Rasa lelah, rasa putus asa, rasa sakit hati bercampur menjadi satu, menghantam Lidia dari dalam. Dunia yang dia bangun bersama Kevin, mimpi-mimpi kecil tentang rumah tangga yang bahagia, seolah runtuh di depannya seperti menara kartu.Kevin panik. "Lid, tunggu! Kamu mau ke mana? Jangan kekanakan gini, dong!" Langkah Lidia menuju pintu begitu cepat dan tegas, membuat Kevin gelagapan. Dia tahu Lidia saat sedang marah, tapi yang ini... ini bukan marah biasa. Ini sudah seperti titik didih yang meledak."Ke mana pun yang bisa bikin aku nggak lihat muka kamu!" Lidia meraih kunci mobil di meja samping pintu, tanpa menoleh sedikit pun. Tangannya mencengkeram erat kunci itu, buku-buku jarinya memutih. Rasa sesak di dada membuat napasnya terasa pendek. Air mata, yang tadi dia tahan, kini lolos membasahi pipi. Tapi bukan air mata kesedihan, ini air mata kemarahan. Pintu dibantingnya sekeras mungkin, mengakhiri keheningan tegang yang meliputi apartemen itu. Bunyinya seperti guntur yang menandakan akhir dari segalanya.Lidia langsung menuju lift, merasakan adrenalin dan kepedihan merayapi seluruh tubuhnya. Pandangannya kosong, menembus angka-angka lantai yang berkedip. Bodoh, dia membatin. Aku benci kamu, Kevin. Tapi yang lebih buruk, aku benci kalau aku harus benci kamu. Ini semua salahmu. Kau menghancurkan segalanya. Bayangan masa depan yang tadinya begitu jelas, indah, kini kabur, retak seribu. Seperti kaca yang pecah dan tidak mungkin bisa disambungkan kembali. Dia hanya ingin melarikan diri, pergi dari tempat ini, dari pikiran tentang Kevin, dari semua rasa sakit ini. Ke mana? Entahlah.Dengan tangan gemetar, Lidia menyalakan mesin mobilnya. Hujan gerimis mulai membasahi kaca depan, seolah ikut menangisi nasib hubungannya. Dia menginjak gas, melaju kencang di jalanan yang licin. Pikirannya kosong, atau mungkin terlalu penuh sampai terasa sesak. Tujuan? Yang terlintas hanya satu tempat: tempat yang gelap, bising, dan bisa membantunya lupa sejenak.Bar Rembulan tampak lebih remang dari biasanya. Musik menghentak-hentak, beradu dengan aroma alkohol dan keringat yang menyesakkan. Lidia memesan cocktail pertama, lalu yang kedua, dan ketiga. Entah berapa gelas sudah kosong, rasa pahit alkohol itu berangsur-angsur menjadi mati rasa. Dia terus minum, seolah itu adalah satu-satunya obat bius yang dia butuhkan. Rasa sakit itu belum hilang sepenuhnya, tapi paling tidak, sekarang dia merasa pening, agak melayang, dan bayangan wajah Kevin tidak lagi sesak menempel di benaknya. Hanya kilasan samar, seperti bayangan yang sulit disentuh."Lagi, Nona?" tanya bartender dengan wajah letih.Lidia mengangguk pelan, tatapannya kini memudar dan tidak fokus. "Ap... apa aja," gumamnya, suaranya sedikit cadel. Otaknya mulai keruh, pikirannya hanya dipenuhi keinginan untuk melupakan, lupakan segalanya, lupakan hari ini, lupakan Kevin, lupakan betapa hancurnya dia. Di tengah pandangannya yang kabur, ia merasakan ada sepasang mata mengamatinya.Seorang pria, duduk sendirian di ujung bar, di tempat yang paling remang. Siluetnya tinggi, dan entah kenapa, meskipun dia hanya samar melihatnya, ada aura berbahaya yang menguar darinya. Ketika Lidia mendongak sedikit, mata mereka bertemu. Pria itu tersenyum tipis, hampir tak terlihat, tapi cukup untuk mengirimkan sensasi aneh ke perut Lidia. Rasanya seperti api yang dingin, aneh tapi menarik.Pria asing itu perlahan bangkit dari duduknya. Gerakannya tenang dan penuh percaya diri. Dia berjalan ke arah Lidia, berdiri di sampingnya, kemudian membungkuk sedikit, wajahnya kini terlihat lebih jelas di bawah pencahayaan yang minim. Wajah tampan dengan senyum tipis yang sama, menyembunyikan sesuatu."Mau ikut?" tanyanya, suaranya parau dan dalam, seolah meretas keramaian bar seperti bisikan pribadi yang menggoda.Keadaan Lidia sudah terlalu mabuk untuk memikirkan, menyadari adanya bahaya. Kepekaannya meredup, dibalut erat oleh kabut alkohol dan kekosongan hatinya. Rasa sakit hati yang masih ada di dada justru terasa seperti pemicu, mendorongnya untuk membuat keputusan yang drastis. Sebuah pelarian total.Tanpa berkata apa-apa, Lidia mengangguk. Dia mengambil tangan yang disodorkan pria asing itu. Terasa dingin, tapi entah kenapa, juga meyakinkan. Dia membiarkan pria itu menuntunnya keluar dari keramaian bar, menuju malam yang gelap dan tidak diketahui. Lidia tahu ini adalah pilihan terburuk yang pernah dia buat, tapi entah mengapa, di antara kabut alkohol dan rasa sakit hati yang pekat, rasanya seperti satu-satunya pilihan yang masuk akal.Malam itu, kamar Bima seperti terjebak di antara dua dimensi. Sunyi, tapi bergemuruh hebat di bawah permukaan, layaknya gunung berapi yang siap meletus. Lidya masuk pelan, wajahnya masih letih, rambutnya sedikit kusut karena hari panjang di RS. Begitu pintu tertutup, sorot mata Bima berubah. Ada api asing yang membara di sana—campuran kecemburuan, obsesi, dan perintah dingin ibunya yang masih bergema di kepalanya.Tanpa menunggu, ia menarik pinggang Lidya dan menempelkan bibirnya. Bukan ciuman lembut, melainkan ciuman yang ingin menandai, penuh klaim. Bima sengaja mengeraskannya agar suara decakan bibir itu tembus dinding.“Sudah tahu ini jam berapa, sayang?” Suara Bima serak, naik satu oktaf, ada sedikit getar di sana. “Kau tahu aku tidak suka menunggu, kan? Apalagi sampai selarut ini. Kenapa kau pulang malam begini, heh? Jawab aku! Aku bisa gila nunggu kamu! Gila mikirin apa yang kau lakukan di luar sana!”Lidya tersentak, mencoba
Pukul 23.30 malam. Jalanan menuju rumah Dokter Asri Hartanto Adnyana sudah sepi, nyaris tanpa suara kendaraan. Hanya desiran angin malam yang sesekali melewati dedaunan. Lidya mengemudikan mobilnya dengan tatapan kosong, sisa-sisa energi seolah terkuras habis setelah seharian berjibaku di rumah sakit, menempeleng egonya sendiri untuk menghindari interaksi tidak penting dengan siapapun. Pulang selarut ini memang sudah menjadi bagian dari "Rencana Bima," untuk memastikan Lidya tidak diikuti bayang-bayang musuh politik, terutama Dr. Surya, ketika kembali ke markas utamanya: rumah mertuanya.Begitu mobil berhenti di depan garasi, Lidya belum sempat mematikan mesin sepenuhnya saat pintu utama rumah terbuka. Sosok Bima sudah menunggu, berdiri kokoh di ambang pintu, auranya yang posesif tak pernah padam, jelas terpampang di bawah cahaya lampu teras yang remang-remang. Detak jantung Lidya langsung bertalu, merasa sebagian bebannya terangkat.Bima segera melangkah cepat menuju
Di kediaman Dokter Asri, suasana mendadak terasa tegang, campur aduk dengan aroma pembersih yang tak biasa di bagian tertentu. Sejak tadi siang, gerobak berisi barang-barang milik Kevin sudah berseliweran di teras depan. Ya, akhirnya ia resmi ‘tinggal’ di sana. Dokter Asri, dengan aura manipulator ulung yang melekat erat padanya, tak hanya sekadar menyediakan kamar, tapi juga memilih letaknya dengan presisi mengerikan: persis di sebelah kamar Bima dan Lidya. Sebuah jebakan samar yang tak akan terendus oleh mata telanjang, namun dampaknya terasa menusuk ke jiwa.Bima, yang merasa dadanya makin sesak melihat semua itu, membuntuti langkah ibunya masuk ke kamar tidur mereka. Pintu baru saja tertutup saat protes akhirnya lolos dari bibirnya. "Ma, ini apaan sih? Kenapa kamar Kevin harus pas banget di sebelah sini? Ini kan… ini bakal sangat mengganggu!" ia merendahkan suaranya, berusaha agar suaranya tak menembus dinding dan telinga calon tetangga sebelah mereka.Dokter Asri
Siang itu, udara di Jakarta terasa panas menyengat, tapi entah kenapa hati Kevin Abimanyu Wisesa justru membeku. Atau lebih tepatnya, mendidih hingga rasanya ingin meledak. Kepalanya berdenyut, mengulang-ulang adegan semalam: Lidya yang tersenyum genit pada Bima dan Surya, tatapan kosong ibunya yang kaget, dan tatapan kosong Darren kakaknya. Semua itu menjadi pemicu sebuah keputusan ekstrem, yang kalau diulang bisa bikin Mama dan kakaknya itu langsung mengidap serangan jantung mendadak. Kevin tahu, kalau mau melawan Bima, si Rubah Licik, ia tidak bisa lagi bermain di ‘luar benteng’. Dia harus masuk ke sarang singa, alias markas musuh. Itu namanya gila? Persetan! Ia sudah gila duluan.Dengan raut wajah yang lebih kusut dari sprei hotel murah, Kevin Abimanyu Wisesa menurunkan sebuah tas duffel berukuran raksasa dari bagasi mobilnya. Tas itu, warnanya hitam pekat, persis seperti hati Kevin saat ini—penuh rencana jahat yang siap dilancarkan. Dia menyandang tas b
Pintu depan rumah kontrakan Lidya baru saja menutup dengan dentuman pelan. Dr. Surya sudah pergi. Surya, seperti biasa, muram dan tampak terpaksa mundur, meski berhasil menanamkan benih kecemburuan yang terasa menusuk, saat dengan nekad mencium leher Lidya saat berpamitan pulang. Sementara Alvin, entah bagaimana, berhasil kembali dengan ekspresi tenang seolah-olah lelucon ciuman leher tadi tak pernah terjadi. Mungkin dia sudah terbiasa melihat dramatisasi dalam hidup. Lidya masih berdiri di tempatnya, menelan kekesalan bercampur kebingungan yang menyesakkan.Baru semenit berlalu ketika pintu kamar tidur terbuka. Bima keluar. Wajahnya yang biasa tenang kini mengeras, dipenuhi perhitungan tajam yang baru Lidya lihat dalam intensitas penuh. Ada campuran amarah yang terpendam dan kekhawatiran yang asing bercampur dalam benaknya, terutama setelah insiden Surya."Surya sudah pergi?" tanya Bima, suaranya terdengar lebih dingin dari suhu AC ruangan. Dia tidak melihat ke
Lidya menarik napas dalam-dalam, berharap oksigen bisa membersihkan semua kecurigaan dari auranya dan menyuntikkan keberanian pura-pura ke pembuluh darahnya. Detak jantungnya serasa ingin meronta keluar dari sangkarnya, mungkin mencicipi kebebasan sebelum mati kena serangan jantung. Ia membuka pintu. Di depannya, Dr. Surya berdiri tegak, senyumnya adalah perpaduan antara iklan pasta gigi yang terlalu percaya diri dan ekspresi kucing yang baru saja menelan ikan mas kesayangan tetangga."Sendirian, Lidya?" tanya Dr. Surya, nadanya sesantai seseorang menanyakan harga telur, namun matanya langsung menyapu ruang tamu yang mendadak terasa sekecil kaleng sarden. Setiap sudut dipelototinya, seolah ada bom waktu tersembunyi yang akan meledak dalam tiga detik lagi."Nggak juga sih, Dok," jawab Lidya, berusaha agar suaranya tidak pecah seperti piring keramik mahal. Ia merasa yakin Bima di dalam kamar pasti sedang menahan napas sampai biru, mungkin berkompetisi untuk memenangkan G
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments