Home / Romansa / Malam yang panas / Bab 2 – Antara Rasa dan Logika

Share

Bab 2 – Antara Rasa dan Logika

Author: Purple
last update Last Updated: 2025-03-13 22:58:53

Pagi datang dengan cahaya keemasan yang menyusup melalui tirai jendela, menerpa wajah Nadia yang masih terlelap. Keheningan kamar hanya diisi oleh suara napas yang teratur, sisa-sisa kehangatan malam tadi masih melekat di udara.

Kelopak matanya bergerak sedikit sebelum akhirnya terbuka, menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyusup. Ia menarik napas dalam, membiarkan kesadarannya perlahan kembali. Tubuhnya terasa ringan namun juga lelah, efek dari malam yang begitu intens dan mengguncang.

Saat Nadia menoleh ke samping, ia melihat sosok Reza yang masih tertidur di ranjangnya. Tubuhnya yang hanya ditutupi selimut memperlihatkan garis-garis maskulin yang semalam begitu dekat dengannya. Seketika, semua yang terjadi kembali berputar di kepalanya—sentuhan, ciuman, desahan, dan bagaimana ia menyerahkan dirinya sepenuhnya dalam dekapan pria itu.

Apa yang baru saja kulakukan?

Pikiran itu seketika menyelinap di benaknya, menghadirkan perasaan campur aduk. Bukan penyesalan, tapi lebih pada ketidakpastian. Nadia bukan tipe wanita yang mudah terikat pada seseorang, apalagi setelah satu malam. Tapi ada sesuatu tentang Reza yang terasa berbeda, sesuatu yang membuatnya ingin memahami lebih jauh.

Tiba-tiba, Reza bergerak, membuka matanya perlahan. Tatapan mereka bertemu, dan untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap tanpa kata. Lalu, Reza menyunggingkan senyum kecil.

"Pagi," suaranya terdengar serak, mungkin karena kelelahan.

Nadia mengangguk, mencoba tersenyum meski pikirannya masih kacau. "Pagi."

Reza menggeser tubuhnya lebih dekat, menyelipkan satu tangannya ke pinggang Nadia. Sentuhan itu membuatnya sadar bahwa mereka masih begitu dekat, terlalu dekat.

"Kau menyesal?" tanya Reza, nada suaranya ringan tapi matanya tajam, seolah bisa membaca isi kepala Nadia.

Nadia terdiam sejenak sebelum menggeleng. "Tidak. Hanya... aku belum tahu apa yang harus kupikirkan tentang ini."

Reza mengangkat alis, lalu mengusap rambut Nadia dengan lembut. "Kau tidak harus berpikir terlalu jauh. Kita menikmati malam yang luar biasa, dan itu sudah cukup."

Jawaban itu membuat Nadia sedikit lega, tapi juga menimbulkan pertanyaan lain. Apakah bagi Reza ini hanya sebatas itu?

Ia ingin bertanya, tapi sesuatu menahannya. Mungkin karena ia sendiri belum tahu jawabannya.

Momen-momen yang Menggoda

Mereka akhirnya bangun dari tempat tidur, tapi suasana di antara mereka masih mengandung percikan yang tersisa dari malam sebelumnya. Nadia mengenakan kemeja longgar sementara Reza hanya memakai celana panjang, duduk di kursi dapur sambil menikmati secangkir kopi yang baru ia buat.

Nadia bisa merasakan tatapan pria itu saat ia bergerak di dapur, dan saat ia berbalik, dugaan itu terbukti. Reza menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan, seperti pria yang belum selesai mengeksplorasi sesuatu yang menarik baginya.

"Kau memasak?" tanya Reza santai, tapi ada sedikit godaan dalam suaranya.

Nadia menyilangkan tangan di dada. "Jika kau beruntung, mungkin aku akan membuatkan sesuatu lain kali."

Reza tertawa kecil. "Lain kali? Jadi ada kemungkinan pertemuan seperti ini akan terulang?"

Nadia terdiam sejenak, menyadari jebakan dalam kata-katanya sendiri. Ia baru saja mengisyaratkan kemungkinan hubungan mereka lebih dari sekadar satu malam. Tapi, sebelum ia bisa menjawab, Reza sudah berdiri dan berjalan mendekat.

Tangannya menyentuh pinggang Nadia lagi, membuatnya sedikit terperangkap di antara meja dapur dan tubuh pria itu. Jarak di antara mereka hampir tidak ada, dan Nadia bisa merasakan detak jantungnya mulai tidak teratur.

"Kalau aku mengatakan ingin bertemu lagi, bagaimana?" bisik Reza di dekat telinganya, suaranya rendah dan dalam.

Nadia menggigit bibirnya, mencoba menyembunyikan reaksi tubuhnya. "Kita baru saja bertemu semalam, Reza."

Pria itu tersenyum tipis. "Dan dalam semalam, aku merasa sudah mengenalmu lebih baik dari sebagian besar orang yang kutemui bertahun-tahun."

Pernyataan itu membuat Nadia terdiam. Ada kejujuran dalam cara Reza mengatakannya, dan itu membuat hatinya sedikit berdebar.

Antara Rasa dan Logika

Mereka menghabiskan pagi dengan percakapan ringan, tapi di baliknya, ada ketegangan yang belum terselesaikan. Nadia tahu bahwa ia tidak bisa menghindari pertanyaan terbesar dalam pikirannya—apa yang sebenarnya ia inginkan dari ini semua?

Ketika Reza akhirnya bersiap untuk pergi, Nadia merasa ada sesuatu yang aneh. Seharusnya ini biasa saja, hanya perpisahan setelah malam yang panas. Tapi, saat ia berdiri di depan pintu, menatap Reza yang bersiap melangkah keluar, ada sedikit rasa enggan yang ia rasakan.

Reza menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia tidak langsung pergi, hanya berdiri di ambang pintu, seakan menunggu sesuatu.

"Aku akan meneleponmu," katanya akhirnya.

Nadia mengangguk, meski dalam hatinya ia bertanya-tanya, Apakah dia benar-benar akan melakukannya?

Pintu tertutup, meninggalkan Nadia sendirian. Ia menghela napas panjang, lalu berjalan ke sofa, membiarkan tubuhnya jatuh ke dalamnya.

Ia seharusnya merasa biasa saja. Tapi, mengapa ada sesuatu dalam dirinya yang berharap Reza benar-benar akan menepati kata-katanya?

Nadia menatap pintu apartemennya yang baru saja tertutup. Suara langkah kaki Reza semakin menjauh di lorong, meninggalkan kesunyian yang terasa lebih berat dari seharusnya. Ia menghela napas panjang, membiarkan tubuhnya jatuh ke sofa.

Seharusnya ini hanya malam yang biasa—pertemuan singkat tanpa ekspektasi. Tapi mengapa ada sesuatu dalam dirinya yang terasa menggantung?

Nadia meraih ponselnya, menatap layar kosong sejenak sebelum akhirnya membuka aplikasi pesan. Tidak ada notifikasi dari Reza, tentu saja. Mereka baru saja berpisah, dan tidak ada alasan bagi pria itu untuk langsung menghubunginya.

Tapi tetap saja… ada bagian kecil dalam dirinya yang berharap.

Sebuah Rutinitas yang Berubah

Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Nadia kembali ke rutinitasnya—bangun pagi, bekerja di kantor, menghadiri rapat yang melelahkan, lalu pulang larut malam. Namun, ada satu hal yang membuat segalanya terasa berbeda: pikirannya terus saja kembali pada Reza.

Ia mencoba mengabaikannya. Baginya, pria itu hanyalah bagian dari malam yang menyenangkan, bukan seseorang yang seharusnya terus ia pikirkan. Tapi setiap kali ia duduk sendirian di apartemen, bayangan Reza kembali muncul—tatapannya yang tajam, sentuhannya yang membakar, cara dia berbicara dengan nada yang selalu penuh keyakinan.

Dan yang paling mengganggunya? Ia belum mendengar kabar apa pun dari Reza.

Ia bukan tipe wanita yang suka menunggu pria menghubunginya lebih dulu. Biasanya, setelah pengalaman semacam ini, ia melanjutkan hidup tanpa melihat ke belakang. Tapi kali ini… rasanya berbeda.

Suatu malam, ketika ia sedang duduk di sofa dengan segelas wine di tangannya, ponselnya akhirnya bergetar.

Reza.

Jantungnya berdegup lebih cepat saat ia membaca pesan yang masuk.

"Makan malam besok?"

Sesederhana itu. Tidak ada basa-basi, tidak ada penjelasan mengapa ia butuh beberapa hari untuk menghubunginya. Tapi entah kenapa, Nadia tersenyum.

Ia mengetik balasan tanpa ragu.

"Jam berapa?"

Makan Malam yang Tak Terduga

Keesokan malamnya, Nadia tiba di sebuah restoran mewah dengan pencahayaan redup yang menciptakan suasana intim. Reza sudah menunggunya di meja sudut, mengenakan kemeja hitam yang pas di tubuhnya.

Saat ia mendekat, Reza berdiri dan menarik kursi untuknya.

"Kau datang," katanya dengan senyum tipis.

Nadia mengangkat alis. "Kau mengundangku, bukan?"

Reza tertawa kecil. "Benar. Tapi aku tak yakin kau akan menerimanya."

Nadia menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap pria di depannya dengan rasa ingin tahu. "Lalu, kenapa butuh beberapa hari untuk menghubungiku?"

Reza tidak langsung menjawab. Ia menyesap anggurnya terlebih dahulu, seakan mempertimbangkan kata-katanya.

"Karena aku ingin memastikan bahwa aku tidak hanya sekadar tertarik padamu dalam satu malam."

Jawaban itu membuat Nadia terdiam. Ia tidak menyangka Reza akan sejujur itu.

"Dan?" tanyanya akhirnya.

Reza menatapnya dalam. "Dan aku menyadari bahwa aku memang ingin melihatmu lagi."

Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Nadia merasa lega. Ia tidak sendiri dalam perasaan ini.

Makan malam mereka berjalan lebih lama dari yang direncanakan. Percakapan mengalir dengan mudah, tanpa tekanan atau ekspektasi. Reza tidak hanya menarik secara fisik, tapi juga menarik secara intelektual. Cara berpikirnya, humornya yang tajam, dan caranya mendengarkan Nadia membuat wanita itu semakin tertarik.

Ketika akhirnya mereka keluar dari restoran, angin malam menyambut mereka dengan kelembutan yang menyegarkan.

"Apartemenmu atau apartemenku?" tanya Reza tiba-tiba, membuat Nadia menoleh.

Ia bisa merasakan ketegangan itu lagi, tarikan yang sama seperti malam itu.

Tapi kali ini, Nadia ingin sesuatu yang lebih dari sekadar keintiman fisik.

Ia tersenyum, lalu menjawab, "Bagaimana kalau kita jalan-jalan dulu?"

Reza tampak sedikit terkejut, tapi kemudian ia mengangguk. "Tentu. Aku suka wanita yang tidak bisa ditebak."

Mereka berjalan menyusuri trotoar kota yang masih cukup ramai, berbicara tentang hal-hal yang lebih pribadi—masa lalu, impian, ketakutan.

Dan semakin lama mereka berbicara, semakin jelas bagi Nadia bahwa pria ini bukan sekadar petualangan satu malam.

Ketika akhirnya mereka sampai di depan apartemen Nadia, Reza berdiri diam sejenak sebelum bertanya, "Aku boleh masuk?"

Nadia tersenyum, lalu membuka pintunya. Malam ini, mereka akan mengambil langkah baru dalam hubungan yang mulai terbentuk.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam yang panas   Bab 86 - Saat Semua Menjadi Rumah

    Pagi itu, hujan turun pelan-pelan. Bukan hujan deras yang menakutkan, tapi rintik lembut yang menenangkan. Nadia menyeduh teh hangat di dapur, sementara Reza mengganti popok Aluna yang sedang tertawa-tawa di ranjang kecilnya."Dia makin pintar," ujar Reza sambil menoleh ke Nadia yang berdiri di ambang pintu, membawa secangkir teh untuknya."Dan makin cerewet. Tapi lucunya nggak hilang-hilang," balas Nadia.Setelah sarapan, mereka duduk di ruang tamu, memandangi jendela yang dihiasi embun. Di pelukan mereka, Aluna tertidur setelah kenyang bermain."Aku selalu suka suasana pagi kayak gini," kata Reza."Karena damai?""Karena kamu ada di sini. Karena kita ada di sini. Nggak peduli hujan, badai, atau apa pun, asalkan kita bertiga di tempat yang sama, semua terasa aman."Nadia tersenyum, menatap wajah Reza dengan rasa cinta yang masih sama seperti dulu, tapi kini lebih dalam. Cinta yang telah diuji waktu, jarak, konflik, bahkan tangis bayi di tengah malam.Hari-hari mereka dipenuhi tawa ke

  • Malam yang panas   Bab 85 - Di Antara Sunyi dan Rindu

    Aluna tumbuh cepat. Seperti waktu yang tak pernah menunggu. Baru kemarin mereka belajar mengganti popok, kini Aluna sudah bisa berjalan tertatih-tatih sambil tertawa, mengejar bayangannya sendiri di teras rumah."Jangan terlalu cepat besar, sayang," bisik Nadia suatu pagi sambil menyuapi bubur ke mulut kecil itu.Reza datang dari belakang, mengecup bahu Nadia, lalu mengelus kepala Aluna. "Tapi setiap langkah kecilnya, Nad, adalah bukti bahwa kita berhasil sejauh ini."Hari-hari berlalu, tapi tak semuanya mudah. Tantangan datang dalam bentuk yang berbeda. Reza mulai sibuk lagi dengan proyek seni, persiapannya untuk pameran di luar negeri membuatnya sering pulang malam. Nadia mulai merasa ada jarak yang perlahan tumbuh—bukan karena cinta berkurang, tapi karena fokus mereka terbagi.Malam itu, saat Aluna tertidur, Nadia duduk sendirian di ruang keluarga. Reza baru pulang, membawa laptop dan setumpuk berkas."Kamu belum makan?" tanya Reza sambil duduk di sampingnya.Nadia hanya menggeleng

  • Malam yang panas   Bab 85 - Surat untuk Masa Depan

    Musim hujan datang. Hujan deras turun hampir setiap sore, membawa aroma tanah basah dan nostalgia masa-masa awal Reza dan Nadia saling mengenal. Di dalam rumah mereka yang hangat, suasana dipenuhi suara-suara kecil Aluna yang mulai berceloteh. Ia belum bisa berkata-kata jelas, tapi gumamannya seperti musik bagi telinga Reza dan Nadia.Pagi itu, Nadia duduk di ruang kerja Reza sambil menggendong Aluna. Di hadapannya, terbuka sebuah buku kosong."Aku mau nulis surat buat Aluna. Untuk dibaca dia nanti saat usianya tujuh belas," kata Nadia.Reza yang sedang menyusun koleksi foto untuk pameran baru menghentikan pekerjaannya. "Itu ide bagus. Aku juga mau nulis. Kita bikin satu kotak waktu. Kita isi surat, foto, potongan baju bayi, semuanya. Buka bareng nanti."Nadia tersenyum. Ia mulai menulis.Untuk Aluna, saat kamu beranjak menjadi perempuan dewasa,Kamu mungkin sedang jatuh cinta, atau baru saja patah hati. Mungkin kamu sedang berjuang mencari tahu siapa dirimu. Apapun kondisimu, satu ha

  • Malam yang panas   Bab 83 - Rumah yang Bernyawa

    Hari-hari berlalu dengan ritme baru. Tangisan bayi, aroma susu, suara alat sterilisasi, dan malam-malam panjang tanpa tidur menjadi bagian dari keseharian Reza dan Nadia. Tapi di balik semua kelelahan, mereka menemukan jenis kebahagiaan yang belum pernah mereka kenal sebelumnya—kebahagiaan yang datang dari memberi, merawat, dan mencintai tanpa syarat.Pagi hari dimulai lebih awal dari biasanya. Nadia bangun sekitar pukul lima, lalu menyusui Aluna yang mulai merengek. Reza biasanya menyusul beberapa menit kemudian dengan secangkir teh hangat dan handuk kecil di tangan."Kita kayak kru sirkus," kata Nadia suatu pagi sambil tertawa kecil. Rambutnya berantakan, mata sembab, tapi senyumnya tak pernah hilang."Iya. Tapi kita sirkus yang cuma punya satu pemain bintang: Aluna," jawab Reza sambil menggendong putri mereka, lalu mengayunkannya pelan.Aluna mulai menanggapi suara dan wajah orang tuanya. Setiap kali Nadia menyanyi, ia menoleh. Setiap kali Reza

  • Malam yang panas   Bab 82 - Tanda-Tanda Kehidupan Baru

    Pagi itu mendung menggantung di atas Jakarta. Reza baru saja menyeduh teh hangat ketika mendengar panggilan dari kamar. "Reza... kayaknya air ketubanku pecah." Jantung Reza nyaris berhenti berdetak. Ia berlari menuju kamar, menemukan Nadia berdiri sambil memegangi perutnya. Ada tetesan bening di lantai. "Kita harus ke rumah sakit sekarang," katanya cepat sambil meraih jaket dan kunci mobil. Semuanya terasa begitu nyata. Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti mimpi. Nadia menggenggam tangan Reza erat di sepanjang jalan, berusaha tenang di tengah kontraksi yang mulai terasa. "Kita udah sampai di hari ini," bisik Nadia, napasnya terengah. "Iya. Hari di mana cinta kita lahir dalam wujud yang baru." Di ruang bersalin, waktu berjalan lambat dan cepat sekaligus. Para perawat dan dokter datang silih berganti. Kontraksi makin kuat. Reza tak pernah meninggalkan sisi Nadia, menggenggam ta

  • Malam yang panas   Bab 81 - Antara Harap dan Degup Waktu

    Memasuki trimester ketiga, Nadia mulai merasakan perubahan besar pada tubuhnya. Ia lebih cepat lelah, emosi mudah bergelombang, dan malam-malamnya sering kali diwarnai gelisah. Namun, dalam setiap peluh dan keletihan itu, ada Reza yang tak pernah beranjak jauh.Suatu malam, ketika angin berdesir lebih dingin dari biasanya, Reza memeluk Nadia dari belakang di tempat tidur. Ia bisa merasakan tubuh Nadia bergetar."Kamu mimpi buruk lagi?" bisiknya.Nadia mengangguk pelan. "Aku mimpi... kamu pergi. Aku panggil-panggil, tapi kamu nggak dengar. Rasanya sesak banget."Reza mengelus pelan perutnya, lalu menarik selimut lebih rapat. "Aku di sini. Dan aku nggak ke mana-mana. Kamu nggak harus kuat sendirian. Aku ada buat kamu."Nadia membalas pelukannya, air mata mengalir tanpa suara. Di balik rasa lelah dan nyeri, hatinya tetap berdebar karena cinta yang tak berubah.Hari-hari berikutnya mereka habiskan dengan lebih pelan. Reza mengambil c

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status