Pagi datang dengan cahaya keemasan yang menyusup melalui tirai jendela, menerpa wajah Nadia yang masih terlelap. Keheningan kamar hanya diisi oleh suara napas yang teratur, sisa-sisa kehangatan malam tadi masih melekat di udara.
Kelopak matanya bergerak sedikit sebelum akhirnya terbuka, menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyusup. Ia menarik napas dalam, membiarkan kesadarannya perlahan kembali. Tubuhnya terasa ringan namun juga lelah, efek dari malam yang begitu intens dan mengguncang. Saat Nadia menoleh ke samping, ia melihat sosok Reza yang masih tertidur di ranjangnya. Tubuhnya yang hanya ditutupi selimut memperlihatkan garis-garis maskulin yang semalam begitu dekat dengannya. Seketika, semua yang terjadi kembali berputar di kepalanya—sentuhan, ciuman, desahan, dan bagaimana ia menyerahkan dirinya sepenuhnya dalam dekapan pria itu. Apa yang baru saja kulakukan? Pikiran itu seketika menyelinap di benaknya, menghadirkan perasaan campur aduk. Bukan penyesalan, tapi lebih pada ketidakpastian. Nadia bukan tipe wanita yang mudah terikat pada seseorang, apalagi setelah satu malam. Tapi ada sesuatu tentang Reza yang terasa berbeda, sesuatu yang membuatnya ingin memahami lebih jauh. Tiba-tiba, Reza bergerak, membuka matanya perlahan. Tatapan mereka bertemu, dan untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap tanpa kata. Lalu, Reza menyunggingkan senyum kecil. "Pagi," suaranya terdengar serak, mungkin karena kelelahan. Nadia mengangguk, mencoba tersenyum meski pikirannya masih kacau. "Pagi." Reza menggeser tubuhnya lebih dekat, menyelipkan satu tangannya ke pinggang Nadia. Sentuhan itu membuatnya sadar bahwa mereka masih begitu dekat, terlalu dekat. "Kau menyesal?" tanya Reza, nada suaranya ringan tapi matanya tajam, seolah bisa membaca isi kepala Nadia. Nadia terdiam sejenak sebelum menggeleng. "Tidak. Hanya... aku belum tahu apa yang harus kupikirkan tentang ini." Reza mengangkat alis, lalu mengusap rambut Nadia dengan lembut. "Kau tidak harus berpikir terlalu jauh. Kita menikmati malam yang luar biasa, dan itu sudah cukup." Jawaban itu membuat Nadia sedikit lega, tapi juga menimbulkan pertanyaan lain. Apakah bagi Reza ini hanya sebatas itu? Ia ingin bertanya, tapi sesuatu menahannya. Mungkin karena ia sendiri belum tahu jawabannya. Momen-momen yang Menggoda Mereka akhirnya bangun dari tempat tidur, tapi suasana di antara mereka masih mengandung percikan yang tersisa dari malam sebelumnya. Nadia mengenakan kemeja longgar sementara Reza hanya memakai celana panjang, duduk di kursi dapur sambil menikmati secangkir kopi yang baru ia buat. Nadia bisa merasakan tatapan pria itu saat ia bergerak di dapur, dan saat ia berbalik, dugaan itu terbukti. Reza menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan, seperti pria yang belum selesai mengeksplorasi sesuatu yang menarik baginya. "Kau memasak?" tanya Reza santai, tapi ada sedikit godaan dalam suaranya. Nadia menyilangkan tangan di dada. "Jika kau beruntung, mungkin aku akan membuatkan sesuatu lain kali." Reza tertawa kecil. "Lain kali? Jadi ada kemungkinan pertemuan seperti ini akan terulang?" Nadia terdiam sejenak, menyadari jebakan dalam kata-katanya sendiri. Ia baru saja mengisyaratkan kemungkinan hubungan mereka lebih dari sekadar satu malam. Tapi, sebelum ia bisa menjawab, Reza sudah berdiri dan berjalan mendekat. Tangannya menyentuh pinggang Nadia lagi, membuatnya sedikit terperangkap di antara meja dapur dan tubuh pria itu. Jarak di antara mereka hampir tidak ada, dan Nadia bisa merasakan detak jantungnya mulai tidak teratur. "Kalau aku mengatakan ingin bertemu lagi, bagaimana?" bisik Reza di dekat telinganya, suaranya rendah dan dalam. Nadia menggigit bibirnya, mencoba menyembunyikan reaksi tubuhnya. "Kita baru saja bertemu semalam, Reza." Pria itu tersenyum tipis. "Dan dalam semalam, aku merasa sudah mengenalmu lebih baik dari sebagian besar orang yang kutemui bertahun-tahun." Pernyataan itu membuat Nadia terdiam. Ada kejujuran dalam cara Reza mengatakannya, dan itu membuat hatinya sedikit berdebar. Antara Rasa dan Logika Mereka menghabiskan pagi dengan percakapan ringan, tapi di baliknya, ada ketegangan yang belum terselesaikan. Nadia tahu bahwa ia tidak bisa menghindari pertanyaan terbesar dalam pikirannya—apa yang sebenarnya ia inginkan dari ini semua? Ketika Reza akhirnya bersiap untuk pergi, Nadia merasa ada sesuatu yang aneh. Seharusnya ini biasa saja, hanya perpisahan setelah malam yang panas. Tapi, saat ia berdiri di depan pintu, menatap Reza yang bersiap melangkah keluar, ada sedikit rasa enggan yang ia rasakan. Reza menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia tidak langsung pergi, hanya berdiri di ambang pintu, seakan menunggu sesuatu. "Aku akan meneleponmu," katanya akhirnya. Nadia mengangguk, meski dalam hatinya ia bertanya-tanya, Apakah dia benar-benar akan melakukannya? Pintu tertutup, meninggalkan Nadia sendirian. Ia menghela napas panjang, lalu berjalan ke sofa, membiarkan tubuhnya jatuh ke dalamnya. Ia seharusnya merasa biasa saja. Tapi, mengapa ada sesuatu dalam dirinya yang berharap Reza benar-benar akan menepati kata-katanya? Nadia menatap pintu apartemennya yang baru saja tertutup. Suara langkah kaki Reza semakin menjauh di lorong, meninggalkan kesunyian yang terasa lebih berat dari seharusnya. Ia menghela napas panjang, membiarkan tubuhnya jatuh ke sofa. Seharusnya ini hanya malam yang biasa—pertemuan singkat tanpa ekspektasi. Tapi mengapa ada sesuatu dalam dirinya yang terasa menggantung? Nadia meraih ponselnya, menatap layar kosong sejenak sebelum akhirnya membuka aplikasi pesan. Tidak ada notifikasi dari Reza, tentu saja. Mereka baru saja berpisah, dan tidak ada alasan bagi pria itu untuk langsung menghubunginya. Tapi tetap saja… ada bagian kecil dalam dirinya yang berharap. Sebuah Rutinitas yang Berubah Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Nadia kembali ke rutinitasnya—bangun pagi, bekerja di kantor, menghadiri rapat yang melelahkan, lalu pulang larut malam. Namun, ada satu hal yang membuat segalanya terasa berbeda: pikirannya terus saja kembali pada Reza. Ia mencoba mengabaikannya. Baginya, pria itu hanyalah bagian dari malam yang menyenangkan, bukan seseorang yang seharusnya terus ia pikirkan. Tapi setiap kali ia duduk sendirian di apartemen, bayangan Reza kembali muncul—tatapannya yang tajam, sentuhannya yang membakar, cara dia berbicara dengan nada yang selalu penuh keyakinan. Dan yang paling mengganggunya? Ia belum mendengar kabar apa pun dari Reza. Ia bukan tipe wanita yang suka menunggu pria menghubunginya lebih dulu. Biasanya, setelah pengalaman semacam ini, ia melanjutkan hidup tanpa melihat ke belakang. Tapi kali ini… rasanya berbeda. Suatu malam, ketika ia sedang duduk di sofa dengan segelas wine di tangannya, ponselnya akhirnya bergetar. Reza. Jantungnya berdegup lebih cepat saat ia membaca pesan yang masuk. "Makan malam besok?" Sesederhana itu. Tidak ada basa-basi, tidak ada penjelasan mengapa ia butuh beberapa hari untuk menghubunginya. Tapi entah kenapa, Nadia tersenyum. Ia mengetik balasan tanpa ragu. "Jam berapa?" Makan Malam yang Tak Terduga Keesokan malamnya, Nadia tiba di sebuah restoran mewah dengan pencahayaan redup yang menciptakan suasana intim. Reza sudah menunggunya di meja sudut, mengenakan kemeja hitam yang pas di tubuhnya. Saat ia mendekat, Reza berdiri dan menarik kursi untuknya. "Kau datang," katanya dengan senyum tipis. Nadia mengangkat alis. "Kau mengundangku, bukan?" Reza tertawa kecil. "Benar. Tapi aku tak yakin kau akan menerimanya." Nadia menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap pria di depannya dengan rasa ingin tahu. "Lalu, kenapa butuh beberapa hari untuk menghubungiku?" Reza tidak langsung menjawab. Ia menyesap anggurnya terlebih dahulu, seakan mempertimbangkan kata-katanya. "Karena aku ingin memastikan bahwa aku tidak hanya sekadar tertarik padamu dalam satu malam." Jawaban itu membuat Nadia terdiam. Ia tidak menyangka Reza akan sejujur itu. "Dan?" tanyanya akhirnya. Reza menatapnya dalam. "Dan aku menyadari bahwa aku memang ingin melihatmu lagi." Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Nadia merasa lega. Ia tidak sendiri dalam perasaan ini. Makan malam mereka berjalan lebih lama dari yang direncanakan. Percakapan mengalir dengan mudah, tanpa tekanan atau ekspektasi. Reza tidak hanya menarik secara fisik, tapi juga menarik secara intelektual. Cara berpikirnya, humornya yang tajam, dan caranya mendengarkan Nadia membuat wanita itu semakin tertarik. Ketika akhirnya mereka keluar dari restoran, angin malam menyambut mereka dengan kelembutan yang menyegarkan. "Apartemenmu atau apartemenku?" tanya Reza tiba-tiba, membuat Nadia menoleh. Ia bisa merasakan ketegangan itu lagi, tarikan yang sama seperti malam itu. Tapi kali ini, Nadia ingin sesuatu yang lebih dari sekadar keintiman fisik. Ia tersenyum, lalu menjawab, "Bagaimana kalau kita jalan-jalan dulu?" Reza tampak sedikit terkejut, tapi kemudian ia mengangguk. "Tentu. Aku suka wanita yang tidak bisa ditebak." Mereka berjalan menyusuri trotoar kota yang masih cukup ramai, berbicara tentang hal-hal yang lebih pribadi—masa lalu, impian, ketakutan. Dan semakin lama mereka berbicara, semakin jelas bagi Nadia bahwa pria ini bukan sekadar petualangan satu malam. Ketika akhirnya mereka sampai di depan apartemen Nadia, Reza berdiri diam sejenak sebelum bertanya, "Aku boleh masuk?" Nadia tersenyum, lalu membuka pintunya. Malam ini, mereka akan mengambil langkah baru dalam hubungan yang mulai terbentuk.Malam itu, Reza melangkah masuk ke dalam apartemen Nadia dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Tidak ada urgensi seperti malam pertama mereka bertemu, tidak ada ketergesa-gesaan yang hanya didorong oleh gairah. Kali ini, ada sesuatu yang lebih dalam, lebih tenang—sebuah keintiman yang perlahan mulai terbentuk.Nadia menutup pintu di belakangnya dan menatap pria itu. Reza hanya berdiri di tengah ruang tamu, seakan menunggu isyarat darinya."Mau minum sesuatu?" Nadia akhirnya bertanya, mencoba mencairkan suasana.Reza tersenyum kecil. "Kalau ada wine, aku tidak akan menolak."Nadia mengangguk, lalu berjalan ke dapur. Sementara ia menuangkan dua gelas wine, pikirannya berkecamuk. Apa yang sebenarnya ia inginkan dari ini semua? Apakah Reza hanya seseorang yang hadir di saat yang tepat, atau ada sesuatu yang lebih?Saat ia kembali dengan dua gelas di tangan, Reza sudah duduk di sofa, menatap ke luar jendela yang memperlihatkan gemerlap lampu kota."Terima kasih," katanya sambil menerim
Rahasia yang TerbongkarNadia duduk di kantornya, menatap kosong ke layar laptop yang seharusnya ia gunakan untuk bekerja. Tapi pikirannya sama sekali tidak ada di sana. Sejak pertemuannya dengan Faris, kepalanya dipenuhi dengan pertanyaan yang semakin sulit ia jawab.Siapa yang sebenarnya ia inginkan?Faris adalah cinta pertamanya, seseorang yang dulu ia percaya akan selalu ada untuknya. Tapi ia juga orang yang meninggalkannya ketika ia tidak siap untuk memberikan kepastian.Sedangkan Reza… Reza adalah seseorang yang datang tanpa rencana, namun perlahan masuk ke dalam hidupnya, membuatnya merasa diinginkan tanpa tuntutan yang berlebihan.Tapi apakah itu cukup?Sebuah pesan masuk ke ponselnya, membuatnya tersadar.Reza: Makan malam nanti? Aku ingin bicara.Nadia menggigit bibirnya. Nada pesan itu terasa berbeda dari biasanya.Nadia: Oke. Dimana?Reza: Di tempat biasa. Jam 7.Nadia merasa ada sesuatu yang tidak beres.Dan ia benar.Konfrontasi Tak TerdugaSaat Nadia tiba di restoran ya
Hampir dua bulan berlalu sejak malam itu. Malam ketika Nadia memilih melepaskan dua cinta dalam hidupnya demi menyelamatkan dirinya sendiri. Ia tak menyesali keputusan itu. Tapi rasa kehilangan masih seperti bayangan yang mengikuti ke mana pun ia pergi—tenang, sunyi, tapi selalu ada.Hari-hari Nadia dipenuhi rutinitas. Kantor, apartemen, kafe langganan, dan sesekali kunjungan ke rumah ibunya. Ia mulai menulis jurnal, mencatat apa pun yang ia rasakan. Itu membantunya mengenali luka-luka lama yang selama ini ia tutupi dengan hubungan. Ia mulai merasa utuh, meski pelan dan tidak sempurna.Namun, satu hal yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya adalah Reza.Kadang ia membuka galeri foto secara tidak sadar dan menemukan potret-potret kebahagiaan mereka. Kadang ia menangis diam-diam sambil membaca ulang pesan-pesan Reza yang dulu. Bukan karena ia menyesal. Tapi karena cinta memang tidak selalu bisa selesai hanya dengan keputusan.Sampai suatu sore, semuanya berubah.---Nadia sedang du
Hujan turun sejak sore. Jakarta yang biasanya gaduh mendadak terasa lebih tenang, seolah turut menyaksikan pertarungan diam-diam antara dua hati yang belum selesai.Nadia duduk di depan kaca besar apartemennya, mengenakan kaus longgar dan celana pendek tipis. Rambutnya masih basah, baru saja mandi setelah seharian bekerja di galeri. Matanya menatap ke luar, ke arah lampu-lampu jalan yang memantul di aspal basah. Tapi pikirannya… entah ke mana.Ponselnya bergetar.> Reza: Kamu masih bangun?Nadia menggigit bibir bawahnya. Jari-jarinya sempat ragu di atas layar sebelum ia membalas singkat.> Nadia: Masih.Beberapa detik kemudian, balasan datang.> Reza: Aku di bawah. Boleh naik?Jantung Nadia berdebar. Ia menatap bayangannya sendiri di kaca. Lalu berdiri perlahan, berjalan ke pintu tanpa menjawab pesan itu.Dan ketika ia membukanya, Reza sudah di sana. Basah oleh gerimis. Jaket hitamnya licin oleh air, rambutnya sedikit acak-acakan. Tatapan matanya—tajam, gelap, menyimpan sesuatu yang s
Pagi datang dengan cahaya lembut yang menyelinap melalui tirai jendela. Nadia terbangun perlahan, matanya masih berat, tapi tubuhnya sadar—ia tidak sendiri.Reza duduk di dekat jendela, masih dengan kaus abu-abu dari malam sebelumnya, menatap keluar dengan secangkir kopi di tangan. Ada ketenangan aneh di raut wajahnya, seperti seseorang yang baru saja mengalami mimpi yang hampir ia lupakan begitu terbangun.Nadia bangkit perlahan, membenarkan rambutnya dan duduk di tepi ranjang.“Pagi,” ucapnya pelan.Reza menoleh dan tersenyum kecil. “Pagi.”Untuk beberapa detik, keduanya hanya saling menatap. Tak ada kata yang keluar, tapi semua yang mereka rasakan mengalir bebas di antara sorot mata.“Aku enggak tahu harus bilang apa soal tadi malam,” ujar Nadia, suaranya serak karena tidur.Reza meletakkan cangkirnya di meja. “Enggak usah bilang apa-apa. Aku juga masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.”“Tapi kamu teta
Hujan turun lagi malam itu. Tidak deras, hanya rintik-rintik yang lembut, seperti nada latar untuk hati yang sedang rapuh. Nadia berdiri di depan jendela, menatap lampu jalan yang berpendar oleh air.Sudah dua hari sejak pertemuannya dengan Reza dan Faris. Dua hari yang tenang di luar, tapi penuh pergolakan di dalam. Ia pikir ia bisa menenangkan pikirannya, menjernihkan segalanya. Tapi hati bukan sekadar logika.Di dalam dadanya, ada dua suara: satu yang terus memanggil nama Reza—dengan rindu, dengan kenangan, dengan luka yang tak bisa ia benci; dan satu lagi yang mulai berbisik tentang kemungkinan baru, tentang seseorang yang hadir tanpa menyentuh masa lalu—Faris.Dan malam ini, tanpa ia rencanakan, Reza datang lagi.Ketukan di pintu apartemennya pelan. Tidak mendesak. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak lebih cepat.Nadia membuka pintu. Reza berdiri di sana, dengan jaket kulit basah oleh hujan, rambutnya sedikit acak, dan mata
Malam telah larut. Jam di dinding berdetak pelan, seakan tahu bahwa waktu yang berjalan malam ini bukan sekadar menit dan detik—tapi langkah-langkah menuju sesuatu yang lebih dalam. Nadia berdiri di depan jendela, memandangi bias lampu kota yang membias di permukaan kaca. Rambutnya tergerai, dan gaun tipis yang ia kenakan hanya sampai lutut. Reza mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Tatapannya tak lepas dari siluet perempuan itu—sosok yang dulu ia miliki, lalu ia kehilangan, dan kini berdiri di hadapannya lagi, dalam damai dan keraguan yang membaur jadi satu. “Kamu masih ingat malam itu?” tanya Nadia pelan, tanpa menoleh. Reza berhenti di belakangnya. “Malam yang mana?” “Malam pertama kamu bilang kamu ingin aku, bukan hanya tubuhku. Tapi hidupku.” Reza mendekat, menempelkan dadanya ke punggung Nadia. Ia melingkarkan kedua lengannya ke pinggang perempuan itu, memeluknya tanpa kata. Hangat. Teguh.
Pagi itu, sinar matahari masuk lewat celah tirai, memecah kehangatan kamar yang masih diselimuti sisa-sisa malam. Nadia terbangun lebih dulu. Ia duduk di tepi ranjang, menyelimuti tubuhnya dengan selimut tipis, menatap ke luar jendela dengan perasaan campur aduk. Tubuhnya masih hangat oleh pelukan Reza semalam, tapi pikirannya sudah melayang ke dunia luar—tempat masalah tak bisa diabaikan. Reza masih tertidur, napasnya teratur. Wajahnya tenang, seolah malam tadi telah membawa kedamaian yang ia cari selama ini. Nadia memandangi pria itu lama, membiarkan dirinya merasa tenang sejenak sebelum kenyataan mengetuk kembali. Ponsel Nadia bergetar di atas meja. Ia melirik—“Mama”. Hatinya mengecil. Ia ragu beberapa detik, lalu mengangkatnya. “Halo, Ma?” “Di mana kamu?” suara ibunya tajam, tidak menunggu sapaan balik. “Kamu enggak pulang semalam. Ini sudah pagi, Nadia.” Nadia menarik napas dalam. “Aku di tempat teman, M
Pagi itu mendung menggantung di atas kota. Langit kelabu seolah mewakili perasaan Reza yang sejak semalam terus didera keresahan. Ia duduk di studio kecilnya, menatap naskah yang belum ia sentuh sejak seminggu lalu. Jari-jarinya kaku di atas keyboard, pikirannya kacau.Di sisi lain, Nadia justru terlihat lebih kuat dari sebelumnya. Naskahnya sudah masuk tahap akhir penyuntingan, dan promosi awal sudah mulai digerakkan oleh penerbit. Wajahnya mulai muncul di beberapa artikel media, bahkan foto-fotonya sempat viral di Twitter karena dinilai “kuat dan elegan”—dua kata yang justru terasa asing baginya beberapa bulan lalu.Namun keberhasilan itu seperti pisau bermata dua.Reza semakin merasa kecil.Saat Nadia sedang berada di luar untuk wawancara radio, ponsel Reza berdering. Sebuah nomor lama muncul di layar. Awalnya ia ragu untuk menjawab, tapi rasa penasaran dan dorongan tak sadar membuat jempolnya menekan tombol hijau.“Reza,” suara itu me
Sudah dua minggu sejak malam itu—malam ketika Nadia dan Reza memutuskan untuk memulai dari awal. Hari-hari mereka kini terasa lebih ringan, tapi tidak sepenuhnya tenang. Luka masih ada, namun kini tidak lagi menjadi jurang pemisah.Pagi itu, Nadia sedang menulis di ruang kerja kecil di apartemen mereka. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menyusun cerita dari kepingan kenyataan yang selama ini ia simpan dalam hati. Naskah barunya bukan fiksi. Ini kisah tentang seorang perempuan yang hampir kehilangan dirinya karena cinta—dan bagaimana ia perlahan menemukannya kembali.“Ini jujur banget, Nad,” komentar Reza ketika membaca draft pertama. “Berani sekali kamu nulis ini.”“Aku harus jujur. Bahkan kalau orang menilainya sebagai kelemahan,” jawab Nadia pelan.Namun keputusan untuk jujur membawa gelombang baru. Setelah naskah itu dikirimkan ke penerbit, respon datang lebih cepat dari yang mereka duga. Seorang editor senior dari salah satu penerbit terna
Langit mendung menggantung rendah ketika Nadia duduk di sebuah kafe kecil di sudut Jakarta, menggenggam secangkir kopi hitam yang sudah dingin. Di hadapannya tergeletak laptop yang belum sempat dibuka, padahal ia datang dengan niat menulis kelanjutan dari kisah yang kini mulai menyebar luas. Namanya mulai diperbincangkan. Bukan sebagai editor atau penulis yang berbakat, tapi sebagai wanita dari masa lalu Reza—perempuan yang “diperebutkan,” “dimanfaatkan,” atau “dibutakan oleh cinta”, tergantung dari siapa yang bicara. Namun hari ini bukan tentang publik. Hari ini tentang satu pesan yang baru saja ia terima. > “Aku ingin bicara. Sendirian. Sore ini. – Rani” Nadia menutup matanya. Ia tahu pertemuan ini tak bisa dihindari selamanya. — Di tempat lain, Reza duduk di ruang kerjanya, memandangi naskah yang belum ia sentuh sejak kemarin. Wawancara itu telah
Desas-desus mulai beredar di dunia yang pernah mereka hindari—media sosial, forum komunitas sastra, bahkan lingkungan tempat kerja Nadia. Semuanya berawal dari satu unggahan anonim: tangkapan layar pesan suara, beberapa potongan email, dan kutipan dari blog pribadi Rani yang dipelintir menjadi narasi murahan.> “Penulis ternama itu menyimpan masa lalu kelam bersama mantan kekasih yang diduga hamil lalu ditinggalkan. Sekarang, ia kembali menjalin hubungan dengan perempuan yang dulu pernah ia campakkan.”Nama Reza tak disebut langsung. Tapi bagi siapa pun yang cukup mengenal sejarah mereka, pesan itu terang-benderang.Nadia menerima telepon dari kantornya pagi itu."Untuk sementara, kami minta kamu istirahat dulu dari proyek utama," kata atasannya dengan suara datar. "Ini bukan soal kamu secara pribadi, tapi kami nggak bisa menanggung citra negatif dari berita yang sedang beredar."Nadia menggigit bibir. "Padahal belum ada bukti k
Pagi itu, Nadia terbangun lebih dulu. Sinar matahari menyelinap lembut melalui tirai kamarnya, tapi hatinya justru terasa berat. Ia menatap Reza yang masih terlelap di sebelahnya—tenang, nyaris polos. Tapi di balik ketenangan itu, Nadia tahu ada badai yang belum reda.Ia bangkit pelan, mencoba tidak membangunkan Reza, lalu menuju dapur dan mulai membuat kopi. Saat aroma pahit itu memenuhi udara, ponselnya berbunyi. Satu pesan baru masuk, tanpa nama pengirim.> "Kalau kau tahu apa yang pernah dia lakukan padaku, kau pasti tak akan mempercayainya lagi."Jantung Nadia berdetak lebih cepat. Ia menatap layar, menimbang apakah ini hanya ancaman kosong—atau sesuatu yang lebih gelap.Reza muncul di ambang pintu, matanya masih berat. "Kamu bangun pagi.""Ada yang harus aku pikirkan," jawab Nadia pelan, lalu menyodorkan ponselnya.Reza membaca pesan itu. Napasnya tertahan."Dia mulai menyerang kamu juga," katanya perlaha
Pagi itu, sinar matahari masuk lewat celah tirai, memecah kehangatan kamar yang masih diselimuti sisa-sisa malam. Nadia terbangun lebih dulu. Ia duduk di tepi ranjang, menyelimuti tubuhnya dengan selimut tipis, menatap ke luar jendela dengan perasaan campur aduk. Tubuhnya masih hangat oleh pelukan Reza semalam, tapi pikirannya sudah melayang ke dunia luar—tempat masalah tak bisa diabaikan. Reza masih tertidur, napasnya teratur. Wajahnya tenang, seolah malam tadi telah membawa kedamaian yang ia cari selama ini. Nadia memandangi pria itu lama, membiarkan dirinya merasa tenang sejenak sebelum kenyataan mengetuk kembali. Ponsel Nadia bergetar di atas meja. Ia melirik—“Mama”. Hatinya mengecil. Ia ragu beberapa detik, lalu mengangkatnya. “Halo, Ma?” “Di mana kamu?” suara ibunya tajam, tidak menunggu sapaan balik. “Kamu enggak pulang semalam. Ini sudah pagi, Nadia.” Nadia menarik napas dalam. “Aku di tempat teman, M
Malam telah larut. Jam di dinding berdetak pelan, seakan tahu bahwa waktu yang berjalan malam ini bukan sekadar menit dan detik—tapi langkah-langkah menuju sesuatu yang lebih dalam. Nadia berdiri di depan jendela, memandangi bias lampu kota yang membias di permukaan kaca. Rambutnya tergerai, dan gaun tipis yang ia kenakan hanya sampai lutut. Reza mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Tatapannya tak lepas dari siluet perempuan itu—sosok yang dulu ia miliki, lalu ia kehilangan, dan kini berdiri di hadapannya lagi, dalam damai dan keraguan yang membaur jadi satu. “Kamu masih ingat malam itu?” tanya Nadia pelan, tanpa menoleh. Reza berhenti di belakangnya. “Malam yang mana?” “Malam pertama kamu bilang kamu ingin aku, bukan hanya tubuhku. Tapi hidupku.” Reza mendekat, menempelkan dadanya ke punggung Nadia. Ia melingkarkan kedua lengannya ke pinggang perempuan itu, memeluknya tanpa kata. Hangat. Teguh.
Hujan turun lagi malam itu. Tidak deras, hanya rintik-rintik yang lembut, seperti nada latar untuk hati yang sedang rapuh. Nadia berdiri di depan jendela, menatap lampu jalan yang berpendar oleh air.Sudah dua hari sejak pertemuannya dengan Reza dan Faris. Dua hari yang tenang di luar, tapi penuh pergolakan di dalam. Ia pikir ia bisa menenangkan pikirannya, menjernihkan segalanya. Tapi hati bukan sekadar logika.Di dalam dadanya, ada dua suara: satu yang terus memanggil nama Reza—dengan rindu, dengan kenangan, dengan luka yang tak bisa ia benci; dan satu lagi yang mulai berbisik tentang kemungkinan baru, tentang seseorang yang hadir tanpa menyentuh masa lalu—Faris.Dan malam ini, tanpa ia rencanakan, Reza datang lagi.Ketukan di pintu apartemennya pelan. Tidak mendesak. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak lebih cepat.Nadia membuka pintu. Reza berdiri di sana, dengan jaket kulit basah oleh hujan, rambutnya sedikit acak, dan mata
Pagi datang dengan cahaya lembut yang menyelinap melalui tirai jendela. Nadia terbangun perlahan, matanya masih berat, tapi tubuhnya sadar—ia tidak sendiri.Reza duduk di dekat jendela, masih dengan kaus abu-abu dari malam sebelumnya, menatap keluar dengan secangkir kopi di tangan. Ada ketenangan aneh di raut wajahnya, seperti seseorang yang baru saja mengalami mimpi yang hampir ia lupakan begitu terbangun.Nadia bangkit perlahan, membenarkan rambutnya dan duduk di tepi ranjang.“Pagi,” ucapnya pelan.Reza menoleh dan tersenyum kecil. “Pagi.”Untuk beberapa detik, keduanya hanya saling menatap. Tak ada kata yang keluar, tapi semua yang mereka rasakan mengalir bebas di antara sorot mata.“Aku enggak tahu harus bilang apa soal tadi malam,” ujar Nadia, suaranya serak karena tidur.Reza meletakkan cangkirnya di meja. “Enggak usah bilang apa-apa. Aku juga masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.”“Tapi kamu teta