Home / Romansa / Malam yang panas / Bab 1 Malam yang Tak Terlupakan

Share

Malam yang panas
Malam yang panas
Author: Purple

Bab 1 Malam yang Tak Terlupakan

Author: Purple
last update Huling Na-update: 2025-03-13 22:51:07

Langit kota masih menyisakan rona jingga ketika Nadia melangkahkan kakinya keluar dari kantor. Hawa malam yang masih hangat menyentuh kulitnya, memberikan sedikit kelegaan setelah seharian terperangkap dalam ruangan ber-AC. Ia merapikan gaun hitam selutut yang dikenakannya, lalu menghela napas panjang.

Seharusnya ia langsung pulang ke apartemennya. Hari ini melelahkan, penuh dengan rapat dan tuntutan pekerjaan yang tak ada habisnya. Tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang menolak pulang. Ada perasaan gelisah yang tak bisa ia jelaskan—sebuah keinginan untuk melepaskan diri dari rutinitas yang membosankan.

Tanpa berpikir panjang, ia mengarahkan langkah ke sebuah lounge yang sering ia datangi. Velvet Bar—tempat yang cukup eksklusif, di mana orang-orang datang bukan hanya untuk minum, tetapi juga untuk melupakan kenyataan sejenak. Musik jazz lembut mengalun ketika ia memasuki ruangan dengan pencahayaan temaram, dinding-dindingnya dihiasi ornamen emas yang memberikan kesan mewah.

Nadia memilih duduk di bar, melepaskan tas tangannya dan menyilangkan kaki dengan anggun. Seorang bartender datang dengan senyum profesional.

"Seperti biasa, Mbak Nadia?"

Nadia tersenyum tipis. "Ya, satu gelas wine merah."

Anggur dituangkan ke dalam gelas kristal, aroma khasnya langsung menyentuh penciumannya. Saat ia hendak menyesapnya, seseorang duduk di sebelahnya.

Pria itu.

Sosok asing yang langsung menarik perhatiannya.

Ia mengenakan kemeja hitam dengan lengan digulung hingga siku, memperlihatkan lengan yang kuat dan maskulin. Rambutnya sedikit berantakan, tetapi justru itu yang membuatnya terlihat menarik. Namun, yang paling mencuri perhatian Nadia adalah tatapan matanya—gelap, penuh misteri, dan entah bagaimana terasa mengundang.

"Sepertinya ini bukan malam yang biasa untukmu," suara pria itu terdengar dalam dan tenang, membuat Nadia menoleh.

Ia mengangkat alis. "Maksudmu?"

Pria itu tersenyum kecil, lalu menatap gelas anggurnya. "Aku bisa menebak, kau sedang mencari sesuatu. Atau mungkin... seseorang?"

Nadia tertawa kecil, menyesap anggurnya sebelum menjawab, "Dan kau menganggap dirimu adalah orang yang kucari?"

Pria itu tak langsung menjawab. Sebaliknya, ia mengulurkan tangan. "Reza."

Nadia menatap tangan itu sejenak sebelum menjabatnya. "Nadia."

Sentuhan tangan mereka terasa hangat, bahkan sedikit lebih lama dari seharusnya sebelum akhirnya terlepas.

Malam semakin larut, dan obrolan mereka semakin dalam.

Ada sesuatu dalam cara Reza berbicara yang membuat Nadia nyaman. Ia bukan tipe pria yang mencoba mengesankan dengan kata-kata manis atau rayuan murahan. Sebaliknya, ia pendengar yang baik, dengan tatapan yang seolah mampu menembus pikiran Nadia.

Seiring waktu, alkohol mulai memberikan efeknya. Nadia merasa lebih ringan, lebih bebas. Ia tidak lagi berpikir tentang pekerjaan atau betapa monoton hidupnya selama ini.

Saat Reza menatapnya dengan intens, ada ketegangan yang menggantung di antara mereka.

"Kau ingin berjalan-jalan sebentar?" tanyanya.

Nadia tahu apa yang ia rasakan saat ini. Ketertarikan itu nyata, dan ia tak ingin mengabaikannya. Maka tanpa ragu, ia mengangguk.

Di Bawah Langit Malam

Mereka berjalan di trotoar yang sepi, ditemani cahaya lampu jalan yang redup. Angin malam yang hangat menyapu kulit Nadia, tetapi justru membuatnya semakin sadar akan keberadaan Reza di sampingnya.

"Kau sering datang ke tempat ini?" tanya Reza, tangannya dimasukkan ke saku celana.

"Kadang-kadang, saat aku merasa perlu mengingat bahwa hidup ini bukan hanya tentang kerja," jawab Nadia jujur.

Reza menoleh, menatapnya dalam. "Dan malam ini?"

Nadia tersenyum samar. "Aku hanya mengikuti ke mana malam ini membawaku."

Reza berhenti berjalan, dan Nadia pun ikut berhenti. Ada sesuatu dalam cara pria itu menatapnya—sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat.

Perlahan, Reza mengangkat tangannya, menyentuh dagu Nadia dengan lembut. Ia tidak langsung menciumnya. Tidak terburu-buru. Seolah memberinya kesempatan untuk mundur jika ia menginginkannya.

Tapi Nadia tak ingin mundur.

Ketika bibir mereka akhirnya bersentuhan, itu bukan ciuman yang tergesa-gesa. Itu lembut, perlahan, seakan mereka sedang mengeksplorasi satu sama lain. Sentuhan Reza di pinggangnya menghangatkan tubuhnya, menariknya lebih dekat.

Nadia membiarkan dirinya tenggelam dalam momen itu, membiarkan semua pikiran logisnya menghilang. Malam ini bukan tentang perhitungan atau konsekuensi. Malam ini adalah tentang merasakan.

Ketika mereka akhirnya menarik diri, mata Reza tetap terkunci pada Nadia.

"Kita ke tempatmu atau tempatku?" suaranya terdengar serak, penuh dengan hasrat yang terpendam.

Nadia tahu bahwa ini adalah keputusan yang akan mengubah sesuatu dalam dirinya. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tak ingin berpikir terlalu banyak.

Sambil tersenyum, ia menjawab, "Tempatku."

Reza tersenyum kecil sebelum meraih tangannya. Dan malam yang panas pun dimulai.

Nadia membuka pintu apartemennya, membiarkan Reza masuk lebih dulu. Cahaya lembut dari lampu sudut menyelimuti ruangan dengan kehangatan, menciptakan suasana yang intim. Reza berdiri di tengah ruangan, matanya menjelajahi setiap sudut sebelum akhirnya kembali menatap Nadia.

Tanpa kata-kata, mereka saling mendekat.

Reza meraih pinggang Nadia, menariknya dengan lembut hingga tubuh mereka bersentuhan. Hangat. Intens. Bibirnya menelusuri leher Nadia dengan perlahan, meninggalkan jejak sensasi yang membuatnya menghela napas berat.

Nadia merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Tangannya merayap ke dada Reza, merasakan denyut yang sama di balik kemeja hitamnya. Dalam satu gerakan perlahan, ia membuka satu per satu kancingnya, membiarkan kulit mereka bersentuhan tanpa penghalang.

Reza menatapnya dalam sebelum kembali mencium bibirnya—lebih dalam, lebih menuntut. Tangan Nadia mencengkeram rambutnya, membiarkan dirinya hanyut dalam arus yang semakin liar.

Ketika mereka akhirnya jatuh ke atas ranjang, cahaya kota yang masuk dari balik jendela besar menjadi satu-satunya saksi bagaimana malam itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa.

Nadia menatap Reza dalam remang cahaya yang menerobos masuk melalui jendela apartemennya. Kilauan lampu kota memantulkan bayangan samar di matanya, memperlihatkan sesuatu yang selama ini jarang ia rasakan—ketertarikan yang mentah, tanpa perhitungan.

Di depan tempat tidur, mereka berdiri berhadapan, napas keduanya sudah mulai berat. Reza menyentuh pipi Nadia dengan lembut, ibu jarinya mengusap garis wajahnya seolah ingin menghafalnya.

"Kau yakin ingin ini terjadi?" suaranya serak, nyaris seperti bisikan.

Nadia tak menjawab dengan kata-kata. Ia meraih kemeja Reza dan menariknya lebih dekat. Bibir mereka bertemu lagi, kali ini lebih dalam, lebih menuntut. Jemari Nadia menelusuri dada bidang di balik kain yang mulai terbuka, merasakan kehangatan kulitnya.

Reza merespons dengan tarikan lembut di pinggangnya, mendorongnya mundur dengan gerakan yang terkontrol hingga punggungnya menyentuh dinding kamar. Bibirnya meninggalkan jejak di sepanjang leher Nadia, ciuman panas yang membuat tubuhnya merespons dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Nadia meremas rambut Reza, matanya tertutup menikmati sensasi yang menjalari tubuhnya. Jari-jari mereka sibuk menelusuri kulit masing-masing, menanggalkan jarak yang tersisa di antara mereka. Setiap sentuhan terasa seperti bara, membakar dengan cara yang lambat namun pasti.

Ketika akhirnya mereka jatuh ke atas ranjang, cahaya lembut dari luar kamar hanya mempertegas siluet dua tubuh yang saling menjelajahi. Waktu seolah melambat, memberi mereka kesempatan untuk menikmati setiap detik tanpa tergesa.

Reza menatap Nadia, matanya seakan bertanya sesuatu yang tak perlu diucapkan. Nadia hanya mengangguk kecil, dan seketika batas-batas terakhir antara mereka runtuh.

Malam itu menjadi lebih dari sekadar pertemuan dua orang asing. Ia menjadi sebuah eksplorasi—tentang hasrat, tentang kebebasan, tentang menemukan sesuatu dalam diri mereka yang selama ini tersembunyi.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Malam yang panas   Bab 86 - Saat Semua Menjadi Rumah

    Pagi itu, hujan turun pelan-pelan. Bukan hujan deras yang menakutkan, tapi rintik lembut yang menenangkan. Nadia menyeduh teh hangat di dapur, sementara Reza mengganti popok Aluna yang sedang tertawa-tawa di ranjang kecilnya."Dia makin pintar," ujar Reza sambil menoleh ke Nadia yang berdiri di ambang pintu, membawa secangkir teh untuknya."Dan makin cerewet. Tapi lucunya nggak hilang-hilang," balas Nadia.Setelah sarapan, mereka duduk di ruang tamu, memandangi jendela yang dihiasi embun. Di pelukan mereka, Aluna tertidur setelah kenyang bermain."Aku selalu suka suasana pagi kayak gini," kata Reza."Karena damai?""Karena kamu ada di sini. Karena kita ada di sini. Nggak peduli hujan, badai, atau apa pun, asalkan kita bertiga di tempat yang sama, semua terasa aman."Nadia tersenyum, menatap wajah Reza dengan rasa cinta yang masih sama seperti dulu, tapi kini lebih dalam. Cinta yang telah diuji waktu, jarak, konflik, bahkan tangis bayi di tengah malam.Hari-hari mereka dipenuhi tawa ke

  • Malam yang panas   Bab 85 - Di Antara Sunyi dan Rindu

    Aluna tumbuh cepat. Seperti waktu yang tak pernah menunggu. Baru kemarin mereka belajar mengganti popok, kini Aluna sudah bisa berjalan tertatih-tatih sambil tertawa, mengejar bayangannya sendiri di teras rumah."Jangan terlalu cepat besar, sayang," bisik Nadia suatu pagi sambil menyuapi bubur ke mulut kecil itu.Reza datang dari belakang, mengecup bahu Nadia, lalu mengelus kepala Aluna. "Tapi setiap langkah kecilnya, Nad, adalah bukti bahwa kita berhasil sejauh ini."Hari-hari berlalu, tapi tak semuanya mudah. Tantangan datang dalam bentuk yang berbeda. Reza mulai sibuk lagi dengan proyek seni, persiapannya untuk pameran di luar negeri membuatnya sering pulang malam. Nadia mulai merasa ada jarak yang perlahan tumbuh—bukan karena cinta berkurang, tapi karena fokus mereka terbagi.Malam itu, saat Aluna tertidur, Nadia duduk sendirian di ruang keluarga. Reza baru pulang, membawa laptop dan setumpuk berkas."Kamu belum makan?" tanya Reza sambil duduk di sampingnya.Nadia hanya menggeleng

  • Malam yang panas   Bab 85 - Surat untuk Masa Depan

    Musim hujan datang. Hujan deras turun hampir setiap sore, membawa aroma tanah basah dan nostalgia masa-masa awal Reza dan Nadia saling mengenal. Di dalam rumah mereka yang hangat, suasana dipenuhi suara-suara kecil Aluna yang mulai berceloteh. Ia belum bisa berkata-kata jelas, tapi gumamannya seperti musik bagi telinga Reza dan Nadia.Pagi itu, Nadia duduk di ruang kerja Reza sambil menggendong Aluna. Di hadapannya, terbuka sebuah buku kosong."Aku mau nulis surat buat Aluna. Untuk dibaca dia nanti saat usianya tujuh belas," kata Nadia.Reza yang sedang menyusun koleksi foto untuk pameran baru menghentikan pekerjaannya. "Itu ide bagus. Aku juga mau nulis. Kita bikin satu kotak waktu. Kita isi surat, foto, potongan baju bayi, semuanya. Buka bareng nanti."Nadia tersenyum. Ia mulai menulis.Untuk Aluna, saat kamu beranjak menjadi perempuan dewasa,Kamu mungkin sedang jatuh cinta, atau baru saja patah hati. Mungkin kamu sedang berjuang mencari tahu siapa dirimu. Apapun kondisimu, satu ha

  • Malam yang panas   Bab 83 - Rumah yang Bernyawa

    Hari-hari berlalu dengan ritme baru. Tangisan bayi, aroma susu, suara alat sterilisasi, dan malam-malam panjang tanpa tidur menjadi bagian dari keseharian Reza dan Nadia. Tapi di balik semua kelelahan, mereka menemukan jenis kebahagiaan yang belum pernah mereka kenal sebelumnya—kebahagiaan yang datang dari memberi, merawat, dan mencintai tanpa syarat.Pagi hari dimulai lebih awal dari biasanya. Nadia bangun sekitar pukul lima, lalu menyusui Aluna yang mulai merengek. Reza biasanya menyusul beberapa menit kemudian dengan secangkir teh hangat dan handuk kecil di tangan."Kita kayak kru sirkus," kata Nadia suatu pagi sambil tertawa kecil. Rambutnya berantakan, mata sembab, tapi senyumnya tak pernah hilang."Iya. Tapi kita sirkus yang cuma punya satu pemain bintang: Aluna," jawab Reza sambil menggendong putri mereka, lalu mengayunkannya pelan.Aluna mulai menanggapi suara dan wajah orang tuanya. Setiap kali Nadia menyanyi, ia menoleh. Setiap kali Reza

  • Malam yang panas   Bab 82 - Tanda-Tanda Kehidupan Baru

    Pagi itu mendung menggantung di atas Jakarta. Reza baru saja menyeduh teh hangat ketika mendengar panggilan dari kamar. "Reza... kayaknya air ketubanku pecah." Jantung Reza nyaris berhenti berdetak. Ia berlari menuju kamar, menemukan Nadia berdiri sambil memegangi perutnya. Ada tetesan bening di lantai. "Kita harus ke rumah sakit sekarang," katanya cepat sambil meraih jaket dan kunci mobil. Semuanya terasa begitu nyata. Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti mimpi. Nadia menggenggam tangan Reza erat di sepanjang jalan, berusaha tenang di tengah kontraksi yang mulai terasa. "Kita udah sampai di hari ini," bisik Nadia, napasnya terengah. "Iya. Hari di mana cinta kita lahir dalam wujud yang baru." Di ruang bersalin, waktu berjalan lambat dan cepat sekaligus. Para perawat dan dokter datang silih berganti. Kontraksi makin kuat. Reza tak pernah meninggalkan sisi Nadia, menggenggam ta

  • Malam yang panas   Bab 81 - Antara Harap dan Degup Waktu

    Memasuki trimester ketiga, Nadia mulai merasakan perubahan besar pada tubuhnya. Ia lebih cepat lelah, emosi mudah bergelombang, dan malam-malamnya sering kali diwarnai gelisah. Namun, dalam setiap peluh dan keletihan itu, ada Reza yang tak pernah beranjak jauh.Suatu malam, ketika angin berdesir lebih dingin dari biasanya, Reza memeluk Nadia dari belakang di tempat tidur. Ia bisa merasakan tubuh Nadia bergetar."Kamu mimpi buruk lagi?" bisiknya.Nadia mengangguk pelan. "Aku mimpi... kamu pergi. Aku panggil-panggil, tapi kamu nggak dengar. Rasanya sesak banget."Reza mengelus pelan perutnya, lalu menarik selimut lebih rapat. "Aku di sini. Dan aku nggak ke mana-mana. Kamu nggak harus kuat sendirian. Aku ada buat kamu."Nadia membalas pelukannya, air mata mengalir tanpa suara. Di balik rasa lelah dan nyeri, hatinya tetap berdebar karena cinta yang tak berubah.Hari-hari berikutnya mereka habiskan dengan lebih pelan. Reza mengambil c

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status