Home / Romansa / Malam yang panas / Bab 1 Malam yang Tak Terlupakan

Share

Malam yang panas
Malam yang panas
Author: Purple

Bab 1 Malam yang Tak Terlupakan

Author: Purple
last update Last Updated: 2025-03-13 22:51:07

Langit kota masih menyisakan rona jingga ketika Nadia melangkahkan kakinya keluar dari kantor. Hawa malam yang masih hangat menyentuh kulitnya, memberikan sedikit kelegaan setelah seharian terperangkap dalam ruangan ber-AC. Ia merapikan gaun hitam selutut yang dikenakannya, lalu menghela napas panjang.

Seharusnya ia langsung pulang ke apartemennya. Hari ini melelahkan, penuh dengan rapat dan tuntutan pekerjaan yang tak ada habisnya. Tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang menolak pulang. Ada perasaan gelisah yang tak bisa ia jelaskan—sebuah keinginan untuk melepaskan diri dari rutinitas yang membosankan.

Tanpa berpikir panjang, ia mengarahkan langkah ke sebuah lounge yang sering ia datangi. Velvet Bar—tempat yang cukup eksklusif, di mana orang-orang datang bukan hanya untuk minum, tetapi juga untuk melupakan kenyataan sejenak. Musik jazz lembut mengalun ketika ia memasuki ruangan dengan pencahayaan temaram, dinding-dindingnya dihiasi ornamen emas yang memberikan kesan mewah.

Nadia memilih duduk di bar, melepaskan tas tangannya dan menyilangkan kaki dengan anggun. Seorang bartender datang dengan senyum profesional.

"Seperti biasa, Mbak Nadia?"

Nadia tersenyum tipis. "Ya, satu gelas wine merah."

Anggur dituangkan ke dalam gelas kristal, aroma khasnya langsung menyentuh penciumannya. Saat ia hendak menyesapnya, seseorang duduk di sebelahnya.

Pria itu.

Sosok asing yang langsung menarik perhatiannya.

Ia mengenakan kemeja hitam dengan lengan digulung hingga siku, memperlihatkan lengan yang kuat dan maskulin. Rambutnya sedikit berantakan, tetapi justru itu yang membuatnya terlihat menarik. Namun, yang paling mencuri perhatian Nadia adalah tatapan matanya—gelap, penuh misteri, dan entah bagaimana terasa mengundang.

"Sepertinya ini bukan malam yang biasa untukmu," suara pria itu terdengar dalam dan tenang, membuat Nadia menoleh.

Ia mengangkat alis. "Maksudmu?"

Pria itu tersenyum kecil, lalu menatap gelas anggurnya. "Aku bisa menebak, kau sedang mencari sesuatu. Atau mungkin... seseorang?"

Nadia tertawa kecil, menyesap anggurnya sebelum menjawab, "Dan kau menganggap dirimu adalah orang yang kucari?"

Pria itu tak langsung menjawab. Sebaliknya, ia mengulurkan tangan. "Reza."

Nadia menatap tangan itu sejenak sebelum menjabatnya. "Nadia."

Sentuhan tangan mereka terasa hangat, bahkan sedikit lebih lama dari seharusnya sebelum akhirnya terlepas.

Malam semakin larut, dan obrolan mereka semakin dalam.

Ada sesuatu dalam cara Reza berbicara yang membuat Nadia nyaman. Ia bukan tipe pria yang mencoba mengesankan dengan kata-kata manis atau rayuan murahan. Sebaliknya, ia pendengar yang baik, dengan tatapan yang seolah mampu menembus pikiran Nadia.

Seiring waktu, alkohol mulai memberikan efeknya. Nadia merasa lebih ringan, lebih bebas. Ia tidak lagi berpikir tentang pekerjaan atau betapa monoton hidupnya selama ini.

Saat Reza menatapnya dengan intens, ada ketegangan yang menggantung di antara mereka.

"Kau ingin berjalan-jalan sebentar?" tanyanya.

Nadia tahu apa yang ia rasakan saat ini. Ketertarikan itu nyata, dan ia tak ingin mengabaikannya. Maka tanpa ragu, ia mengangguk.

Di Bawah Langit Malam

Mereka berjalan di trotoar yang sepi, ditemani cahaya lampu jalan yang redup. Angin malam yang hangat menyapu kulit Nadia, tetapi justru membuatnya semakin sadar akan keberadaan Reza di sampingnya.

"Kau sering datang ke tempat ini?" tanya Reza, tangannya dimasukkan ke saku celana.

"Kadang-kadang, saat aku merasa perlu mengingat bahwa hidup ini bukan hanya tentang kerja," jawab Nadia jujur.

Reza menoleh, menatapnya dalam. "Dan malam ini?"

Nadia tersenyum samar. "Aku hanya mengikuti ke mana malam ini membawaku."

Reza berhenti berjalan, dan Nadia pun ikut berhenti. Ada sesuatu dalam cara pria itu menatapnya—sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat.

Perlahan, Reza mengangkat tangannya, menyentuh dagu Nadia dengan lembut. Ia tidak langsung menciumnya. Tidak terburu-buru. Seolah memberinya kesempatan untuk mundur jika ia menginginkannya.

Tapi Nadia tak ingin mundur.

Ketika bibir mereka akhirnya bersentuhan, itu bukan ciuman yang tergesa-gesa. Itu lembut, perlahan, seakan mereka sedang mengeksplorasi satu sama lain. Sentuhan Reza di pinggangnya menghangatkan tubuhnya, menariknya lebih dekat.

Nadia membiarkan dirinya tenggelam dalam momen itu, membiarkan semua pikiran logisnya menghilang. Malam ini bukan tentang perhitungan atau konsekuensi. Malam ini adalah tentang merasakan.

Ketika mereka akhirnya menarik diri, mata Reza tetap terkunci pada Nadia.

"Kita ke tempatmu atau tempatku?" suaranya terdengar serak, penuh dengan hasrat yang terpendam.

Nadia tahu bahwa ini adalah keputusan yang akan mengubah sesuatu dalam dirinya. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tak ingin berpikir terlalu banyak.

Sambil tersenyum, ia menjawab, "Tempatku."

Reza tersenyum kecil sebelum meraih tangannya. Dan malam yang panas pun dimulai.

Nadia membuka pintu apartemennya, membiarkan Reza masuk lebih dulu. Cahaya lembut dari lampu sudut menyelimuti ruangan dengan kehangatan, menciptakan suasana yang intim. Reza berdiri di tengah ruangan, matanya menjelajahi setiap sudut sebelum akhirnya kembali menatap Nadia.

Tanpa kata-kata, mereka saling mendekat.

Reza meraih pinggang Nadia, menariknya dengan lembut hingga tubuh mereka bersentuhan. Hangat. Intens. Bibirnya menelusuri leher Nadia dengan perlahan, meninggalkan jejak sensasi yang membuatnya menghela napas berat.

Nadia merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Tangannya merayap ke dada Reza, merasakan denyut yang sama di balik kemeja hitamnya. Dalam satu gerakan perlahan, ia membuka satu per satu kancingnya, membiarkan kulit mereka bersentuhan tanpa penghalang.

Reza menatapnya dalam sebelum kembali mencium bibirnya—lebih dalam, lebih menuntut. Tangan Nadia mencengkeram rambutnya, membiarkan dirinya hanyut dalam arus yang semakin liar.

Ketika mereka akhirnya jatuh ke atas ranjang, cahaya kota yang masuk dari balik jendela besar menjadi satu-satunya saksi bagaimana malam itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa.

Nadia menatap Reza dalam remang cahaya yang menerobos masuk melalui jendela apartemennya. Kilauan lampu kota memantulkan bayangan samar di matanya, memperlihatkan sesuatu yang selama ini jarang ia rasakan—ketertarikan yang mentah, tanpa perhitungan.

Di depan tempat tidur, mereka berdiri berhadapan, napas keduanya sudah mulai berat. Reza menyentuh pipi Nadia dengan lembut, ibu jarinya mengusap garis wajahnya seolah ingin menghafalnya.

"Kau yakin ingin ini terjadi?" suaranya serak, nyaris seperti bisikan.

Nadia tak menjawab dengan kata-kata. Ia meraih kemeja Reza dan menariknya lebih dekat. Bibir mereka bertemu lagi, kali ini lebih dalam, lebih menuntut. Jemari Nadia menelusuri dada bidang di balik kain yang mulai terbuka, merasakan kehangatan kulitnya.

Reza merespons dengan tarikan lembut di pinggangnya, mendorongnya mundur dengan gerakan yang terkontrol hingga punggungnya menyentuh dinding kamar. Bibirnya meninggalkan jejak di sepanjang leher Nadia, ciuman panas yang membuat tubuhnya merespons dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Nadia meremas rambut Reza, matanya tertutup menikmati sensasi yang menjalari tubuhnya. Jari-jari mereka sibuk menelusuri kulit masing-masing, menanggalkan jarak yang tersisa di antara mereka. Setiap sentuhan terasa seperti bara, membakar dengan cara yang lambat namun pasti.

Ketika akhirnya mereka jatuh ke atas ranjang, cahaya lembut dari luar kamar hanya mempertegas siluet dua tubuh yang saling menjelajahi. Waktu seolah melambat, memberi mereka kesempatan untuk menikmati setiap detik tanpa tergesa.

Reza menatap Nadia, matanya seakan bertanya sesuatu yang tak perlu diucapkan. Nadia hanya mengangguk kecil, dan seketika batas-batas terakhir antara mereka runtuh.

Malam itu menjadi lebih dari sekadar pertemuan dua orang asing. Ia menjadi sebuah eksplorasi—tentang hasrat, tentang kebebasan, tentang menemukan sesuatu dalam diri mereka yang selama ini tersembunyi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Malam yang panas   Bab 2 – Antara Rasa dan Logika

    Pagi datang dengan cahaya keemasan yang menyusup melalui tirai jendela, menerpa wajah Nadia yang masih terlelap. Keheningan kamar hanya diisi oleh suara napas yang teratur, sisa-sisa kehangatan malam tadi masih melekat di udara.Kelopak matanya bergerak sedikit sebelum akhirnya terbuka, menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyusup. Ia menarik napas dalam, membiarkan kesadarannya perlahan kembali. Tubuhnya terasa ringan namun juga lelah, efek dari malam yang begitu intens dan mengguncang.Saat Nadia menoleh ke samping, ia melihat sosok Reza yang masih tertidur di ranjangnya. Tubuhnya yang hanya ditutupi selimut memperlihatkan garis-garis maskulin yang semalam begitu dekat dengannya. Seketika, semua yang terjadi kembali berputar di kepalanya—sentuhan, ciuman, desahan, dan bagaimana ia menyerahkan dirinya sepenuhnya dalam dekapan pria itu.Apa yang baru saja kulakukan?Pikiran itu seketika menyelinap di benaknya, menghadirkan perasaan campur aduk. Bukan penyesalan, tapi lebih pada ketid

    Last Updated : 2025-03-13
  • Malam yang panas   Bab 3 – Antara Keinginan dan Kenyataan

    Malam itu, Reza melangkah masuk ke dalam apartemen Nadia dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Tidak ada urgensi seperti malam pertama mereka bertemu, tidak ada ketergesa-gesaan yang hanya didorong oleh gairah. Kali ini, ada sesuatu yang lebih dalam, lebih tenang—sebuah keintiman yang perlahan mulai terbentuk.Nadia menutup pintu di belakangnya dan menatap pria itu. Reza hanya berdiri di tengah ruang tamu, seakan menunggu isyarat darinya."Mau minum sesuatu?" Nadia akhirnya bertanya, mencoba mencairkan suasana.Reza tersenyum kecil. "Kalau ada wine, aku tidak akan menolak."Nadia mengangguk, lalu berjalan ke dapur. Sementara ia menuangkan dua gelas wine, pikirannya berkecamuk. Apa yang sebenarnya ia inginkan dari ini semua? Apakah Reza hanya seseorang yang hadir di saat yang tepat, atau ada sesuatu yang lebih?Saat ia kembali dengan dua gelas di tangan, Reza sudah duduk di sofa, menatap ke luar jendela yang memperlihatkan gemerlap lampu kota."Terima kasih," katanya sambil menerim

    Last Updated : 2025-03-13
  • Malam yang panas   Bab 4 – Pilihan yang Menyakitkan

    Rahasia yang TerbongkarNadia duduk di kantornya, menatap kosong ke layar laptop yang seharusnya ia gunakan untuk bekerja. Tapi pikirannya sama sekali tidak ada di sana. Sejak pertemuannya dengan Faris, kepalanya dipenuhi dengan pertanyaan yang semakin sulit ia jawab.Siapa yang sebenarnya ia inginkan?Faris adalah cinta pertamanya, seseorang yang dulu ia percaya akan selalu ada untuknya. Tapi ia juga orang yang meninggalkannya ketika ia tidak siap untuk memberikan kepastian.Sedangkan Reza… Reza adalah seseorang yang datang tanpa rencana, namun perlahan masuk ke dalam hidupnya, membuatnya merasa diinginkan tanpa tuntutan yang berlebihan.Tapi apakah itu cukup?Sebuah pesan masuk ke ponselnya, membuatnya tersadar.Reza: Makan malam nanti? Aku ingin bicara.Nadia menggigit bibirnya. Nada pesan itu terasa berbeda dari biasanya.Nadia: Oke. Dimana?Reza: Di tempat biasa. Jam 7.Nadia merasa ada sesuatu yang tidak beres.Dan ia benar.Konfrontasi Tak TerdugaSaat Nadia tiba di restoran ya

    Last Updated : 2025-03-13
  • Malam yang panas   Bab 5 - Yang belum selesai

    Hampir dua bulan berlalu sejak malam itu. Malam ketika Nadia memilih melepaskan dua cinta dalam hidupnya demi menyelamatkan dirinya sendiri. Ia tak menyesali keputusan itu. Tapi rasa kehilangan masih seperti bayangan yang mengikuti ke mana pun ia pergi—tenang, sunyi, tapi selalu ada.Hari-hari Nadia dipenuhi rutinitas. Kantor, apartemen, kafe langganan, dan sesekali kunjungan ke rumah ibunya. Ia mulai menulis jurnal, mencatat apa pun yang ia rasakan. Itu membantunya mengenali luka-luka lama yang selama ini ia tutupi dengan hubungan. Ia mulai merasa utuh, meski pelan dan tidak sempurna.Namun, satu hal yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya adalah Reza.Kadang ia membuka galeri foto secara tidak sadar dan menemukan potret-potret kebahagiaan mereka. Kadang ia menangis diam-diam sambil membaca ulang pesan-pesan Reza yang dulu. Bukan karena ia menyesal. Tapi karena cinta memang tidak selalu bisa selesai hanya dengan keputusan.Sampai suatu sore, semuanya berubah.---Nadia sedang du

    Last Updated : 2025-04-29
  • Malam yang panas   Bab 6 - Api yang belum padam

    Hujan turun sejak sore. Jakarta yang biasanya gaduh mendadak terasa lebih tenang, seolah turut menyaksikan pertarungan diam-diam antara dua hati yang belum selesai.Nadia duduk di depan kaca besar apartemennya, mengenakan kaus longgar dan celana pendek tipis. Rambutnya masih basah, baru saja mandi setelah seharian bekerja di galeri. Matanya menatap ke luar, ke arah lampu-lampu jalan yang memantul di aspal basah. Tapi pikirannya… entah ke mana.Ponselnya bergetar.> Reza: Kamu masih bangun?Nadia menggigit bibir bawahnya. Jari-jarinya sempat ragu di atas layar sebelum ia membalas singkat.> Nadia: Masih.Beberapa detik kemudian, balasan datang.> Reza: Aku di bawah. Boleh naik?Jantung Nadia berdebar. Ia menatap bayangannya sendiri di kaca. Lalu berdiri perlahan, berjalan ke pintu tanpa menjawab pesan itu.Dan ketika ia membukanya, Reza sudah di sana. Basah oleh gerimis. Jaket hitamnya licin oleh air, rambutnya sedikit acak-acakan. Tatapan matanya—tajam, gelap, menyimpan sesuatu yang s

    Last Updated : 2025-04-29
  • Malam yang panas   Bab 7 - Bayangan yang tak pergi

    Pagi datang dengan cahaya lembut yang menyelinap melalui tirai jendela. Nadia terbangun perlahan, matanya masih berat, tapi tubuhnya sadar—ia tidak sendiri.Reza duduk di dekat jendela, masih dengan kaus abu-abu dari malam sebelumnya, menatap keluar dengan secangkir kopi di tangan. Ada ketenangan aneh di raut wajahnya, seperti seseorang yang baru saja mengalami mimpi yang hampir ia lupakan begitu terbangun.Nadia bangkit perlahan, membenarkan rambutnya dan duduk di tepi ranjang.“Pagi,” ucapnya pelan.Reza menoleh dan tersenyum kecil. “Pagi.”Untuk beberapa detik, keduanya hanya saling menatap. Tak ada kata yang keluar, tapi semua yang mereka rasakan mengalir bebas di antara sorot mata.“Aku enggak tahu harus bilang apa soal tadi malam,” ujar Nadia, suaranya serak karena tidur.Reza meletakkan cangkirnya di meja. “Enggak usah bilang apa-apa. Aku juga masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.”“Tapi kamu teta

    Last Updated : 2025-04-30
  • Malam yang panas   Bab 8 - Rasa yang tak bernama

    Hujan turun lagi malam itu. Tidak deras, hanya rintik-rintik yang lembut, seperti nada latar untuk hati yang sedang rapuh. Nadia berdiri di depan jendela, menatap lampu jalan yang berpendar oleh air.Sudah dua hari sejak pertemuannya dengan Reza dan Faris. Dua hari yang tenang di luar, tapi penuh pergolakan di dalam. Ia pikir ia bisa menenangkan pikirannya, menjernihkan segalanya. Tapi hati bukan sekadar logika.Di dalam dadanya, ada dua suara: satu yang terus memanggil nama Reza—dengan rindu, dengan kenangan, dengan luka yang tak bisa ia benci; dan satu lagi yang mulai berbisik tentang kemungkinan baru, tentang seseorang yang hadir tanpa menyentuh masa lalu—Faris.Dan malam ini, tanpa ia rencanakan, Reza datang lagi.Ketukan di pintu apartemennya pelan. Tidak mendesak. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak lebih cepat.Nadia membuka pintu. Reza berdiri di sana, dengan jaket kulit basah oleh hujan, rambutnya sedikit acak, dan mata

    Last Updated : 2025-05-01
  • Malam yang panas   Bab 9 - Malam yang membakar

    Malam telah larut. Jam di dinding berdetak pelan, seakan tahu bahwa waktu yang berjalan malam ini bukan sekadar menit dan detik—tapi langkah-langkah menuju sesuatu yang lebih dalam. Nadia berdiri di depan jendela, memandangi bias lampu kota yang membias di permukaan kaca. Rambutnya tergerai, dan gaun tipis yang ia kenakan hanya sampai lutut. Reza mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Tatapannya tak lepas dari siluet perempuan itu—sosok yang dulu ia miliki, lalu ia kehilangan, dan kini berdiri di hadapannya lagi, dalam damai dan keraguan yang membaur jadi satu. “Kamu masih ingat malam itu?” tanya Nadia pelan, tanpa menoleh. Reza berhenti di belakangnya. “Malam yang mana?” “Malam pertama kamu bilang kamu ingin aku, bukan hanya tubuhku. Tapi hidupku.” Reza mendekat, menempelkan dadanya ke punggung Nadia. Ia melingkarkan kedua lengannya ke pinggang perempuan itu, memeluknya tanpa kata. Hangat. Teguh.

    Last Updated : 2025-05-02

Latest chapter

  • Malam yang panas   Bab 12 - Tumbal Cinta

    Desas-desus mulai beredar di dunia yang pernah mereka hindari—media sosial, forum komunitas sastra, bahkan lingkungan tempat kerja Nadia. Semuanya berawal dari satu unggahan anonim: tangkapan layar pesan suara, beberapa potongan email, dan kutipan dari blog pribadi Rani yang dipelintir menjadi narasi murahan.> “Penulis ternama itu menyimpan masa lalu kelam bersama mantan kekasih yang diduga hamil lalu ditinggalkan. Sekarang, ia kembali menjalin hubungan dengan perempuan yang dulu pernah ia campakkan.”Nama Reza tak disebut langsung. Tapi bagi siapa pun yang cukup mengenal sejarah mereka, pesan itu terang-benderang.Nadia menerima telepon dari kantornya pagi itu."Untuk sementara, kami minta kamu istirahat dulu dari proyek utama," kata atasannya dengan suara datar. "Ini bukan soal kamu secara pribadi, tapi kami nggak bisa menanggung citra negatif dari berita yang sedang beredar."Nadia menggigit bibir. "Padahal belum ada bukti k

  • Malam yang panas   Bab 11 - Bayang-bayang masa lalu

    Pagi itu, Nadia terbangun lebih dulu. Sinar matahari menyelinap lembut melalui tirai kamarnya, tapi hatinya justru terasa berat. Ia menatap Reza yang masih terlelap di sebelahnya—tenang, nyaris polos. Tapi di balik ketenangan itu, Nadia tahu ada badai yang belum reda.Ia bangkit pelan, mencoba tidak membangunkan Reza, lalu menuju dapur dan mulai membuat kopi. Saat aroma pahit itu memenuhi udara, ponselnya berbunyi. Satu pesan baru masuk, tanpa nama pengirim.> "Kalau kau tahu apa yang pernah dia lakukan padaku, kau pasti tak akan mempercayainya lagi."Jantung Nadia berdetak lebih cepat. Ia menatap layar, menimbang apakah ini hanya ancaman kosong—atau sesuatu yang lebih gelap.Reza muncul di ambang pintu, matanya masih berat. "Kamu bangun pagi.""Ada yang harus aku pikirkan," jawab Nadia pelan, lalu menyodorkan ponselnya.Reza membaca pesan itu. Napasnya tertahan."Dia mulai menyerang kamu juga," katanya perlaha

  • Malam yang panas   Bab 10 - Luka yang belum sembuh

    Pagi itu, sinar matahari masuk lewat celah tirai, memecah kehangatan kamar yang masih diselimuti sisa-sisa malam. Nadia terbangun lebih dulu. Ia duduk di tepi ranjang, menyelimuti tubuhnya dengan selimut tipis, menatap ke luar jendela dengan perasaan campur aduk. Tubuhnya masih hangat oleh pelukan Reza semalam, tapi pikirannya sudah melayang ke dunia luar—tempat masalah tak bisa diabaikan. Reza masih tertidur, napasnya teratur. Wajahnya tenang, seolah malam tadi telah membawa kedamaian yang ia cari selama ini. Nadia memandangi pria itu lama, membiarkan dirinya merasa tenang sejenak sebelum kenyataan mengetuk kembali. Ponsel Nadia bergetar di atas meja. Ia melirik—“Mama”. Hatinya mengecil. Ia ragu beberapa detik, lalu mengangkatnya. “Halo, Ma?” “Di mana kamu?” suara ibunya tajam, tidak menunggu sapaan balik. “Kamu enggak pulang semalam. Ini sudah pagi, Nadia.” Nadia menarik napas dalam. “Aku di tempat teman, M

  • Malam yang panas   Bab 9 - Malam yang membakar

    Malam telah larut. Jam di dinding berdetak pelan, seakan tahu bahwa waktu yang berjalan malam ini bukan sekadar menit dan detik—tapi langkah-langkah menuju sesuatu yang lebih dalam. Nadia berdiri di depan jendela, memandangi bias lampu kota yang membias di permukaan kaca. Rambutnya tergerai, dan gaun tipis yang ia kenakan hanya sampai lutut. Reza mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Tatapannya tak lepas dari siluet perempuan itu—sosok yang dulu ia miliki, lalu ia kehilangan, dan kini berdiri di hadapannya lagi, dalam damai dan keraguan yang membaur jadi satu. “Kamu masih ingat malam itu?” tanya Nadia pelan, tanpa menoleh. Reza berhenti di belakangnya. “Malam yang mana?” “Malam pertama kamu bilang kamu ingin aku, bukan hanya tubuhku. Tapi hidupku.” Reza mendekat, menempelkan dadanya ke punggung Nadia. Ia melingkarkan kedua lengannya ke pinggang perempuan itu, memeluknya tanpa kata. Hangat. Teguh.

  • Malam yang panas   Bab 8 - Rasa yang tak bernama

    Hujan turun lagi malam itu. Tidak deras, hanya rintik-rintik yang lembut, seperti nada latar untuk hati yang sedang rapuh. Nadia berdiri di depan jendela, menatap lampu jalan yang berpendar oleh air.Sudah dua hari sejak pertemuannya dengan Reza dan Faris. Dua hari yang tenang di luar, tapi penuh pergolakan di dalam. Ia pikir ia bisa menenangkan pikirannya, menjernihkan segalanya. Tapi hati bukan sekadar logika.Di dalam dadanya, ada dua suara: satu yang terus memanggil nama Reza—dengan rindu, dengan kenangan, dengan luka yang tak bisa ia benci; dan satu lagi yang mulai berbisik tentang kemungkinan baru, tentang seseorang yang hadir tanpa menyentuh masa lalu—Faris.Dan malam ini, tanpa ia rencanakan, Reza datang lagi.Ketukan di pintu apartemennya pelan. Tidak mendesak. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak lebih cepat.Nadia membuka pintu. Reza berdiri di sana, dengan jaket kulit basah oleh hujan, rambutnya sedikit acak, dan mata

  • Malam yang panas   Bab 7 - Bayangan yang tak pergi

    Pagi datang dengan cahaya lembut yang menyelinap melalui tirai jendela. Nadia terbangun perlahan, matanya masih berat, tapi tubuhnya sadar—ia tidak sendiri.Reza duduk di dekat jendela, masih dengan kaus abu-abu dari malam sebelumnya, menatap keluar dengan secangkir kopi di tangan. Ada ketenangan aneh di raut wajahnya, seperti seseorang yang baru saja mengalami mimpi yang hampir ia lupakan begitu terbangun.Nadia bangkit perlahan, membenarkan rambutnya dan duduk di tepi ranjang.“Pagi,” ucapnya pelan.Reza menoleh dan tersenyum kecil. “Pagi.”Untuk beberapa detik, keduanya hanya saling menatap. Tak ada kata yang keluar, tapi semua yang mereka rasakan mengalir bebas di antara sorot mata.“Aku enggak tahu harus bilang apa soal tadi malam,” ujar Nadia, suaranya serak karena tidur.Reza meletakkan cangkirnya di meja. “Enggak usah bilang apa-apa. Aku juga masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.”“Tapi kamu teta

  • Malam yang panas   Bab 6 - Api yang belum padam

    Hujan turun sejak sore. Jakarta yang biasanya gaduh mendadak terasa lebih tenang, seolah turut menyaksikan pertarungan diam-diam antara dua hati yang belum selesai.Nadia duduk di depan kaca besar apartemennya, mengenakan kaus longgar dan celana pendek tipis. Rambutnya masih basah, baru saja mandi setelah seharian bekerja di galeri. Matanya menatap ke luar, ke arah lampu-lampu jalan yang memantul di aspal basah. Tapi pikirannya… entah ke mana.Ponselnya bergetar.> Reza: Kamu masih bangun?Nadia menggigit bibir bawahnya. Jari-jarinya sempat ragu di atas layar sebelum ia membalas singkat.> Nadia: Masih.Beberapa detik kemudian, balasan datang.> Reza: Aku di bawah. Boleh naik?Jantung Nadia berdebar. Ia menatap bayangannya sendiri di kaca. Lalu berdiri perlahan, berjalan ke pintu tanpa menjawab pesan itu.Dan ketika ia membukanya, Reza sudah di sana. Basah oleh gerimis. Jaket hitamnya licin oleh air, rambutnya sedikit acak-acakan. Tatapan matanya—tajam, gelap, menyimpan sesuatu yang s

  • Malam yang panas   Bab 5 - Yang belum selesai

    Hampir dua bulan berlalu sejak malam itu. Malam ketika Nadia memilih melepaskan dua cinta dalam hidupnya demi menyelamatkan dirinya sendiri. Ia tak menyesali keputusan itu. Tapi rasa kehilangan masih seperti bayangan yang mengikuti ke mana pun ia pergi—tenang, sunyi, tapi selalu ada.Hari-hari Nadia dipenuhi rutinitas. Kantor, apartemen, kafe langganan, dan sesekali kunjungan ke rumah ibunya. Ia mulai menulis jurnal, mencatat apa pun yang ia rasakan. Itu membantunya mengenali luka-luka lama yang selama ini ia tutupi dengan hubungan. Ia mulai merasa utuh, meski pelan dan tidak sempurna.Namun, satu hal yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya adalah Reza.Kadang ia membuka galeri foto secara tidak sadar dan menemukan potret-potret kebahagiaan mereka. Kadang ia menangis diam-diam sambil membaca ulang pesan-pesan Reza yang dulu. Bukan karena ia menyesal. Tapi karena cinta memang tidak selalu bisa selesai hanya dengan keputusan.Sampai suatu sore, semuanya berubah.---Nadia sedang du

  • Malam yang panas   Bab 4 – Pilihan yang Menyakitkan

    Rahasia yang TerbongkarNadia duduk di kantornya, menatap kosong ke layar laptop yang seharusnya ia gunakan untuk bekerja. Tapi pikirannya sama sekali tidak ada di sana. Sejak pertemuannya dengan Faris, kepalanya dipenuhi dengan pertanyaan yang semakin sulit ia jawab.Siapa yang sebenarnya ia inginkan?Faris adalah cinta pertamanya, seseorang yang dulu ia percaya akan selalu ada untuknya. Tapi ia juga orang yang meninggalkannya ketika ia tidak siap untuk memberikan kepastian.Sedangkan Reza… Reza adalah seseorang yang datang tanpa rencana, namun perlahan masuk ke dalam hidupnya, membuatnya merasa diinginkan tanpa tuntutan yang berlebihan.Tapi apakah itu cukup?Sebuah pesan masuk ke ponselnya, membuatnya tersadar.Reza: Makan malam nanti? Aku ingin bicara.Nadia menggigit bibirnya. Nada pesan itu terasa berbeda dari biasanya.Nadia: Oke. Dimana?Reza: Di tempat biasa. Jam 7.Nadia merasa ada sesuatu yang tidak beres.Dan ia benar.Konfrontasi Tak TerdugaSaat Nadia tiba di restoran ya

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status