Di sebuah kota yang jarang tidur, Nadia, seorang wanita karier berusia 28 tahun, menjalani hidupnya dengan ambisi besar. Namun, di balik pencapaiannya, ada kehampaan yang tak bisa ia pahami. Hingga suatu malam, ia bertemu dengan Reza—seorang pria penuh misteri dengan tatapan yang sulit diabaikan. Percakapan mereka yang awalnya biasa perlahan berubah menjadi permainan penuh godaan. Malam semakin larut, dan batas antara logika serta hasrat mulai memudar. Nadia terhanyut dalam pengalaman yang mengguncang tubuh dan pikirannya. Namun, di balik keintiman itu, ada rahasia besar yang disembunyikan Reza. Apakah pertemuan mereka hanya sekadar pelampiasan, ataukah malam itu menjadi awal dari sesuatu yang lebih dalam? Novel ini bukan hanya menghadirkan kisah penuh gairah, tetapi juga menyelami perjalanan psikologis tokoh dalam memahami kebebasan, hasrat, dan arti keintiman yang sesungguhnya.
Lihat lebih banyakLangit kota masih menyisakan rona jingga ketika Nadia melangkahkan kakinya keluar dari kantor. Hawa malam yang masih hangat menyentuh kulitnya, memberikan sedikit kelegaan setelah seharian terperangkap dalam ruangan ber-AC. Ia merapikan gaun hitam selutut yang dikenakannya, lalu menghela napas panjang.
Seharusnya ia langsung pulang ke apartemennya. Hari ini melelahkan, penuh dengan rapat dan tuntutan pekerjaan yang tak ada habisnya. Tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang menolak pulang. Ada perasaan gelisah yang tak bisa ia jelaskan—sebuah keinginan untuk melepaskan diri dari rutinitas yang membosankan. Tanpa berpikir panjang, ia mengarahkan langkah ke sebuah lounge yang sering ia datangi. Velvet Bar—tempat yang cukup eksklusif, di mana orang-orang datang bukan hanya untuk minum, tetapi juga untuk melupakan kenyataan sejenak. Musik jazz lembut mengalun ketika ia memasuki ruangan dengan pencahayaan temaram, dinding-dindingnya dihiasi ornamen emas yang memberikan kesan mewah. Nadia memilih duduk di bar, melepaskan tas tangannya dan menyilangkan kaki dengan anggun. Seorang bartender datang dengan senyum profesional. "Seperti biasa, Mbak Nadia?" Nadia tersenyum tipis. "Ya, satu gelas wine merah." Anggur dituangkan ke dalam gelas kristal, aroma khasnya langsung menyentuh penciumannya. Saat ia hendak menyesapnya, seseorang duduk di sebelahnya. Pria itu. Sosok asing yang langsung menarik perhatiannya. Ia mengenakan kemeja hitam dengan lengan digulung hingga siku, memperlihatkan lengan yang kuat dan maskulin. Rambutnya sedikit berantakan, tetapi justru itu yang membuatnya terlihat menarik. Namun, yang paling mencuri perhatian Nadia adalah tatapan matanya—gelap, penuh misteri, dan entah bagaimana terasa mengundang. "Sepertinya ini bukan malam yang biasa untukmu," suara pria itu terdengar dalam dan tenang, membuat Nadia menoleh. Ia mengangkat alis. "Maksudmu?" Pria itu tersenyum kecil, lalu menatap gelas anggurnya. "Aku bisa menebak, kau sedang mencari sesuatu. Atau mungkin... seseorang?" Nadia tertawa kecil, menyesap anggurnya sebelum menjawab, "Dan kau menganggap dirimu adalah orang yang kucari?" Pria itu tak langsung menjawab. Sebaliknya, ia mengulurkan tangan. "Reza." Nadia menatap tangan itu sejenak sebelum menjabatnya. "Nadia." Sentuhan tangan mereka terasa hangat, bahkan sedikit lebih lama dari seharusnya sebelum akhirnya terlepas. Malam semakin larut, dan obrolan mereka semakin dalam. Ada sesuatu dalam cara Reza berbicara yang membuat Nadia nyaman. Ia bukan tipe pria yang mencoba mengesankan dengan kata-kata manis atau rayuan murahan. Sebaliknya, ia pendengar yang baik, dengan tatapan yang seolah mampu menembus pikiran Nadia. Seiring waktu, alkohol mulai memberikan efeknya. Nadia merasa lebih ringan, lebih bebas. Ia tidak lagi berpikir tentang pekerjaan atau betapa monoton hidupnya selama ini. Saat Reza menatapnya dengan intens, ada ketegangan yang menggantung di antara mereka. "Kau ingin berjalan-jalan sebentar?" tanyanya. Nadia tahu apa yang ia rasakan saat ini. Ketertarikan itu nyata, dan ia tak ingin mengabaikannya. Maka tanpa ragu, ia mengangguk. Di Bawah Langit Malam Mereka berjalan di trotoar yang sepi, ditemani cahaya lampu jalan yang redup. Angin malam yang hangat menyapu kulit Nadia, tetapi justru membuatnya semakin sadar akan keberadaan Reza di sampingnya. "Kau sering datang ke tempat ini?" tanya Reza, tangannya dimasukkan ke saku celana. "Kadang-kadang, saat aku merasa perlu mengingat bahwa hidup ini bukan hanya tentang kerja," jawab Nadia jujur. Reza menoleh, menatapnya dalam. "Dan malam ini?" Nadia tersenyum samar. "Aku hanya mengikuti ke mana malam ini membawaku." Reza berhenti berjalan, dan Nadia pun ikut berhenti. Ada sesuatu dalam cara pria itu menatapnya—sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Perlahan, Reza mengangkat tangannya, menyentuh dagu Nadia dengan lembut. Ia tidak langsung menciumnya. Tidak terburu-buru. Seolah memberinya kesempatan untuk mundur jika ia menginginkannya. Tapi Nadia tak ingin mundur. Ketika bibir mereka akhirnya bersentuhan, itu bukan ciuman yang tergesa-gesa. Itu lembut, perlahan, seakan mereka sedang mengeksplorasi satu sama lain. Sentuhan Reza di pinggangnya menghangatkan tubuhnya, menariknya lebih dekat. Nadia membiarkan dirinya tenggelam dalam momen itu, membiarkan semua pikiran logisnya menghilang. Malam ini bukan tentang perhitungan atau konsekuensi. Malam ini adalah tentang merasakan. Ketika mereka akhirnya menarik diri, mata Reza tetap terkunci pada Nadia. "Kita ke tempatmu atau tempatku?" suaranya terdengar serak, penuh dengan hasrat yang terpendam. Nadia tahu bahwa ini adalah keputusan yang akan mengubah sesuatu dalam dirinya. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tak ingin berpikir terlalu banyak. Sambil tersenyum, ia menjawab, "Tempatku." Reza tersenyum kecil sebelum meraih tangannya. Dan malam yang panas pun dimulai. Nadia membuka pintu apartemennya, membiarkan Reza masuk lebih dulu. Cahaya lembut dari lampu sudut menyelimuti ruangan dengan kehangatan, menciptakan suasana yang intim. Reza berdiri di tengah ruangan, matanya menjelajahi setiap sudut sebelum akhirnya kembali menatap Nadia. Tanpa kata-kata, mereka saling mendekat. Reza meraih pinggang Nadia, menariknya dengan lembut hingga tubuh mereka bersentuhan. Hangat. Intens. Bibirnya menelusuri leher Nadia dengan perlahan, meninggalkan jejak sensasi yang membuatnya menghela napas berat. Nadia merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Tangannya merayap ke dada Reza, merasakan denyut yang sama di balik kemeja hitamnya. Dalam satu gerakan perlahan, ia membuka satu per satu kancingnya, membiarkan kulit mereka bersentuhan tanpa penghalang. Reza menatapnya dalam sebelum kembali mencium bibirnya—lebih dalam, lebih menuntut. Tangan Nadia mencengkeram rambutnya, membiarkan dirinya hanyut dalam arus yang semakin liar. Ketika mereka akhirnya jatuh ke atas ranjang, cahaya kota yang masuk dari balik jendela besar menjadi satu-satunya saksi bagaimana malam itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa. Nadia menatap Reza dalam remang cahaya yang menerobos masuk melalui jendela apartemennya. Kilauan lampu kota memantulkan bayangan samar di matanya, memperlihatkan sesuatu yang selama ini jarang ia rasakan—ketertarikan yang mentah, tanpa perhitungan. Di depan tempat tidur, mereka berdiri berhadapan, napas keduanya sudah mulai berat. Reza menyentuh pipi Nadia dengan lembut, ibu jarinya mengusap garis wajahnya seolah ingin menghafalnya. "Kau yakin ingin ini terjadi?" suaranya serak, nyaris seperti bisikan. Nadia tak menjawab dengan kata-kata. Ia meraih kemeja Reza dan menariknya lebih dekat. Bibir mereka bertemu lagi, kali ini lebih dalam, lebih menuntut. Jemari Nadia menelusuri dada bidang di balik kain yang mulai terbuka, merasakan kehangatan kulitnya. Reza merespons dengan tarikan lembut di pinggangnya, mendorongnya mundur dengan gerakan yang terkontrol hingga punggungnya menyentuh dinding kamar. Bibirnya meninggalkan jejak di sepanjang leher Nadia, ciuman panas yang membuat tubuhnya merespons dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Nadia meremas rambut Reza, matanya tertutup menikmati sensasi yang menjalari tubuhnya. Jari-jari mereka sibuk menelusuri kulit masing-masing, menanggalkan jarak yang tersisa di antara mereka. Setiap sentuhan terasa seperti bara, membakar dengan cara yang lambat namun pasti. Ketika akhirnya mereka jatuh ke atas ranjang, cahaya lembut dari luar kamar hanya mempertegas siluet dua tubuh yang saling menjelajahi. Waktu seolah melambat, memberi mereka kesempatan untuk menikmati setiap detik tanpa tergesa. Reza menatap Nadia, matanya seakan bertanya sesuatu yang tak perlu diucapkan. Nadia hanya mengangguk kecil, dan seketika batas-batas terakhir antara mereka runtuh. Malam itu menjadi lebih dari sekadar pertemuan dua orang asing. Ia menjadi sebuah eksplorasi—tentang hasrat, tentang kebebasan, tentang menemukan sesuatu dalam diri mereka yang selama ini tersembunyi.Pagi datang dengan pelan, menyeret sisa-sisa malam yang panjang. Aroma kopi memenuhi dapur Reinald, namun bukan itu yang membuat Alya terdiam di meja makan. Tatapan matanya tertuju pada secarik kertas yang terlipat rapi di hadapannya.Surat dari Clarissa.Alya membuka surat itu lagi, membacanya untuk ketiga kalinya. Tulisan tangan Clarissa begitu rapi, tapi kata-katanya menyiratkan kehancuran yang tenang."Aku memilih pergi. Bukan karena kalah, tapi karena aku sadar tidak bisa terus bertarung di medan yang bukan untukku. Aku mencintainya, Alya. Tapi kalian saling memiliki dengan cara yang tidak bisa kupecahkan. Jagalah dia... kalau kau masih sanggup."Alya menutup surat itu pelan. Ada rasa lega, tapi juga ganjalan yang sulit dijelaskan. Kepergian Clarissa membuat segalanya menjadi lebih jelas, namun tidak serta-merta menyembuhkan luka yang telah ada.Reinald masuk ke dapur dengan langkah pelan. Kemeja putihnya tergulung hingga siku, rambutnya masih basah setelah mandi. Ia membawa dua
Langit Jakarta malam itu muram, mendung menggantung seakan menyimpan rahasia besar yang tak pernah tersampaikan. Di dalam kediaman Reinald, sunyi menyelimuti seperti jeda panjang sebelum badai.Alya berdiri di depan jendela kamarnya, menatap ke arah taman belakang yang mulai diliputi kabut tipis. Bayangan pertemuannya dengan Reinald siang tadi masih membekas kuat. Bukan hanya kata-katanya yang menyakitkan, tapi juga tatapan mata pria itu—tajam, penuh kemarahan, namun ada luka yang bersembunyi di balik sorotnya.“Kenapa kau tidak bisa jujur padaku, Reinald…” gumam Alya lirih, suara hatinya nyaris tak terdengar di tengah bunyi hujan yang mulai turun perlahan.Tiba-tiba, ketukan pelan terdengar dari pintu. Alya menghela napas, menghapus air mata yang tak ia sadari telah membasahi pipinya. Ia membuka pintu, dan di sana berdiri Clarissa."Maaf mengganggu," ucap Clarissa dengan nada tenang namun penuh beban. Ia tampak berbeda malam itu—tidak lagi angkuh dan menantang seperti biasanya. Wajah
Suara detak jarum jam terdengar begitu nyaring di antara keheningan kamar Reza. Langit di luar sudah memudar menjadi semburat jingga, pertanda sore menjelang malam. Tapi waktu terasa tak bergerak bagi Reza. Pandangannya kosong mengarah ke jendela, sementara tangannya meremas kertas foto lama yang ia temukan di dalam laci—foto dirinya dan Nadia, di hari ulang tahun wanita itu, dua tahun lalu.Sudah berapa hari sejak Nadia kembali?Entah. Yang pasti sejak perempuan itu hadir kembali dalam hidupnya, dunia Reza seolah dilempar kembali ke masa lalu. Rasa bersalah, rindu, dan amarah saling berdesakan dalam dadanya. Ia tahu Nadia mencoba bersikap tenang, mencoba menjadi perempuan yang kuat. Tapi ia bisa melihat jelas luka itu di balik sorot mata perempuan yang masih dicintainya sampai sekarang.Reza berdiri. Tubuhnya terasa berat. Tapi ada satu hal yang harus ia lakukan.---Nadia berdiri di balkon kamar penginapan kecil tempatnya tinggal sejak kembali ke Jakarta. Angin malam menyentuh pipin
Malam baru saja menurunkan tirainya ketika Nadia berdiri di balkon apartemennya, memandangi kelap-kelip lampu kota yang tak mampu menyamai gemuruh pikirannya. Hembusan angin menerpa rambut panjangnya, namun tak mampu mendinginkan panas yang membakar dadanya. Di balik segala kepura-puraan dan logika yang terus ia bangun untuk menjauh dari Reza, kini hatinya kembali ditarik—pelan tapi pasti.Pertemuan mereka beberapa hari lalu di kantor pengacara Armand menjadi titik balik yang tak bisa dihindari. Bukan hanya karena Reza membelanya dengan berani di hadapan Dimas dan Armand, tapi karena sorot mata pria itu—sorot yang sama seperti saat dulu ia memeluknya di bawah hujan pertama mereka sebagai pasangan.Tak ada yang bisa membantah bahwa Reza berubah. Tapi apakah perubahan itu cukup untuk mengobati luka masa lalu? Atau semua ini hanya permainan ilusi, kembali mengulang luka yang tak pernah benar-benar sembuh?Pintu apartemennya berbunyi pelan. Nadia menoleh. Ia tak menunggu siapa pun malam i
Senja menyelimuti Jakarta dalam warna jingga yang temaram. Jalanan yang ramai mulai dipenuhi lampu kendaraan, dan suara klakson bersahutan seperti irama tak beraturan dari sebuah kota yang tak pernah benar-benar tidur. Di salah satu apartemen mewah di kawasan pusat, Nadia berdiri di depan jendela kaca yang membentang dari lantai ke langit-langit. Tangan kirinya menggenggam secangkir teh yang sudah mendingin, sedangkan matanya menerawang jauh, menatap kekosongan yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang terluka.Sudah tiga hari sejak pertengkaran hebat itu. Tiga hari sejak Reza menggebrak meja, meninggalkan apartemen dengan wajah penuh amarah—dan mata yang merah karena air mata yang ditahan. Nadia tak menyangka ucapannya waktu itu akan melukai sebesar itu. Ia hanya ingin jujur, hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya bukan boneka dalam cerita cinta Reza.Namun cinta tak pernah sesederhana itu.Telepon genggamnya bergetar di atas meja. Nama “Reza” menyala di layar, membuat dadanya berdesir
Senja belum benar-benar tenggelam saat Reza berdiri di tepi balkon apartemen Nadia. Angin sore mengusik kerah kemejanya, tetapi pikirannya jauh lebih kacau dari udara yang berembus pelan. Di dalam, Nadia sedang menuangkan teh ke dalam dua cangkir, mencoba meredakan ketegangan yang menggantung di antara mereka sejak sore tadi."Aku tahu kamu belum sepenuhnya memaafkan aku," ucap Reza pelan saat Nadia menyusulnya dengan dua cangkir teh hangat.Nadia tak langsung menjawab. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding balkon, menatap langit yang perlahan berubah biru kehitaman. "Maaf bukan soal kata-kata, Reza. Ini tentang rasa yang luka, dan waktu yang belum bisa menyembuhkan segalanya."Reza menunduk, tangannya menggenggam cangkir seolah itu jangkar agar ia tetap kuat berdiri. "Tapi aku ada di sini sekarang, berjuang untuk memperbaiki semuanya. Haruskah masa lalu terus membayangi kita?"Nadia menghela napas. "Bukan tentang masa lalu yang mengejar, Reza. Ini tentang ketakutan masa depan. Aku t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen