Home / Romansa / Malam yang panas / Bab 3 – Antara Keinginan dan Kenyataan

Share

Bab 3 – Antara Keinginan dan Kenyataan

Author: Purple
last update Last Updated: 2025-03-13 23:04:32

Malam itu, Reza melangkah masuk ke dalam apartemen Nadia dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Tidak ada urgensi seperti malam pertama mereka bertemu, tidak ada ketergesa-gesaan yang hanya didorong oleh gairah. Kali ini, ada sesuatu yang lebih dalam, lebih tenang—sebuah keintiman yang perlahan mulai terbentuk.

Nadia menutup pintu di belakangnya dan menatap pria itu. Reza hanya berdiri di tengah ruang tamu, seakan menunggu isyarat darinya.

"Mau minum sesuatu?" Nadia akhirnya bertanya, mencoba mencairkan suasana.

Reza tersenyum kecil. "Kalau ada wine, aku tidak akan menolak."

Nadia mengangguk, lalu berjalan ke dapur. Sementara ia menuangkan dua gelas wine, pikirannya berkecamuk. Apa yang sebenarnya ia inginkan dari ini semua? Apakah Reza hanya seseorang yang hadir di saat yang tepat, atau ada sesuatu yang lebih?

Saat ia kembali dengan dua gelas di tangan, Reza sudah duduk di sofa, menatap ke luar jendela yang memperlihatkan gemerlap lampu kota.

"Terima kasih," katanya sambil menerima gelas dari Nadia.

Mereka duduk berdampingan, menikmati keheningan yang tidak terasa canggung. Sesekali, Reza menoleh ke arah Nadia, matanya memancarkan sesuatu yang sulit diartikan.

"Aku suka menghabiskan waktu seperti ini," kata Reza tiba-tiba.

Nadia menoleh, sedikit terkejut dengan pernyataan itu. "Seperti ini bagaimana?"

Reza menyesap winenya sebelum menjawab, "Tanpa terburu-buru. Tanpa ekspektasi. Hanya menikmati momen bersama seseorang yang menarik."

Perkataan itu seharusnya membuat Nadia tenang, tapi justru menimbulkan kegelisahan dalam hatinya. Apakah ini berarti Reza tidak menginginkan sesuatu yang lebih serius?

"Jadi, menurutmu, ini hanya tentang menikmati momen?" Nadia akhirnya bertanya.

Reza menatapnya dengan intens, lalu menggeleng. "Aku tidak tahu. Aku hanya tidak ingin merusak apa yang sudah kita punya dengan terlalu banyak pertanyaan."

Nadia tersenyum samar. "Terkadang, pertanyaan diperlukan untuk memahami sesuatu."

Reza terdiam sejenak, lalu meletakkan gelasnya di meja. Ia berbalik menghadap Nadia, tangannya terulur untuk menyentuh pipinya.

"Apa yang kau inginkan dari ini, Nadia?" suaranya lebih lembut, lebih dalam.

Nadia menelan ludah. Ia tahu pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan sembarangan. Ada bagian dalam dirinya yang ingin tetap menjaga semuanya ringan dan tidak rumit, tapi ada juga bagian lain yang mulai menginginkan lebih.

Ia menatap mata Reza yang begitu dekat, lalu menghela napas. "Aku tidak tahu. Tapi aku tahu aku ingin mengenalmu lebih jauh."

Reza tersenyum tipis, seakan lega mendengar jawabannya. Ia mendekat, mencium Nadia dengan lembut—bukan seperti malam pertama mereka yang penuh gairah, tapi lebih seperti seseorang yang benar-benar ingin merasakan keberadaan orang lain.

Nadia membalas ciumannya, membiarkan dirinya hanyut dalam momen itu.

Pagi yang Berbeda

Ketika Nadia terbangun keesokan paginya, ia mendapati dirinya masih berada di pelukan Reza. Tidak seperti sebelumnya, kali ini tidak ada perasaan canggung atau kebingungan. Hanya ada kehangatan yang membuatnya enggan untuk bergerak.

Reza masih tertidur, napasnya teratur di dekat telinga Nadia. Nadia tersenyum kecil, menikmati momen langka ini.

Tapi sebelum ia bisa tenggelam lebih jauh dalam kenyamanan itu, ponselnya bergetar di meja samping tempat tidur.

Dengan hati-hati agar tidak membangunkan Reza, ia meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar.

Faris.

Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia sudah lama tidak mendengar kabar dari pria itu—mantan kekasih yang dulu begitu sulit ia lupakan.

Nadia melirik ke arah Reza yang masih terlelap, lalu menimbang-nimbang apakah ia harus mengangkat panggilan itu atau tidak.

Setelah beberapa detik ragu, ia akhirnya memutuskan untuk mengabaikannya.

Tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa sesuatu dari masa lalunya baru saja kembali, dan mungkin akan mengacaukan segalanya.

Pagi yang Berubah

Nadia masih memegang ponselnya, menatap nama Faris di layar. Jari-jarinya sedikit gemetar. Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali pria itu mencoba menghubunginya, dan kini, tiba-tiba dia kembali.

Di sampingnya, Reza masih terlelap. Wajahnya terlihat tenang, berbeda dengan pikiran Nadia yang mulai kacau.

Kenapa Faris menghubunginya sekarang? Apa yang dia inginkan?

Nadia mengembuskan napas pelan dan memutuskan untuk tidak memikirkan itu sekarang. Ia meletakkan ponsel kembali di meja, lalu bangkit perlahan dari tempat tidur, berusaha tidak membangunkan Reza. Ia berjalan ke dapur, membuat secangkir kopi, berharap itu bisa meredakan kegelisahannya.

Tapi pikirannya tetap dipenuhi bayangan masa lalu.

Faris adalah cinta pertamanya—seseorang yang pernah begitu berarti baginya. Mereka menjalani hubungan selama tiga tahun sebelum akhirnya berpisah dengan cara yang menyakitkan. Faris menginginkan sesuatu yang Nadia tidak bisa berikan saat itu—kepastian.

Sekarang, ketika Nadia mulai membuka hatinya untuk seseorang yang baru, Faris justru kembali muncul.

Suara langkah kaki membuyarkan lamunannya. Ia menoleh dan melihat Reza berjalan mendekat, hanya mengenakan celana panjang dengan tubuh telanjang dada.

"Pagi," ucapnya dengan suara serak.

Nadia tersenyum kecil. "Pagi. Tidur nyenyak?"

Reza menguap sedikit, lalu mendekat dan melingkarkan lengannya di pinggang Nadia dari belakang. "Sangat. Tapi lebih baik lagi kalau aku bangun denganmu di sebelahku."

Nadia tertawa pelan, menikmati kehangatan pria itu di belakangnya. Tapi pikirannya tetap terganggu.

"Kau baik-baik saja?" tanya Reza, merasakan perubahan sikap Nadia.

Nadia mengangguk, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Hanya masih mengantuk."

Reza tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengecup bahu Nadia sebelum mengambil cangkir kopi dan duduk di kursi bar dapur.

Sementara itu, Nadia mengambil ponselnya dan menatapnya sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan.

Nadia: Kenapa kau menghubungiku?

Tidak butuh waktu lama sebelum Faris membalas.

Faris: Bisa kita bertemu? Aku ingin bicara.

Nadia menghela napas. Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang benar, tapi ada bagian dari dirinya yang ingin mendengar apa yang Faris katakan.

Nadia: Oke. Besok siang?

Faris: Baik. Aku akan menunggumu.

Setelah mengirim pesan itu, Nadia meletakkan ponselnya dan menatap Reza yang sedang menikmati kopinya tanpa sadar akan kegelisahan yang menguasai pikiran Nadia.

Apakah yang ia lakukan ini salah?

Pertemuan dengan Masa Lalu

Keesokan harinya, Nadia duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, menunggu kedatangan Faris. Ia mengenakan blus sederhana dan jeans, berusaha tidak terlalu terlihat seperti seseorang yang sedang menemui mantan kekasihnya dengan perasaan campur aduk.

Tidak butuh waktu lama sebelum Faris masuk ke dalam kafe, mencarinya dengan tatapan yang masih sama seperti dulu—hangat, tapi menyimpan sesuatu di dalamnya.

Nadia menarik napas dalam saat pria itu berjalan mendekat.

"Hai," sapa Faris, duduk di hadapannya.

"Hai," balas Nadia singkat.

Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap, seolah mencoba memahami satu sama lain setelah sekian lama.

"Kau terlihat baik-baik saja," kata Faris akhirnya.

Nadia tersenyum kecil. "Aku baik. Kau sendiri?"

Faris mengangguk. "Aku juga. Tapi ada sesuatu yang harus kukatakan padamu."

Nadia menegang. "Apa itu?"

Faris menarik napas dalam sebelum berkata, "Aku kembali karena aku menyadari sesuatu… Aku masih mencintaimu, Nadia."

Jantungnya seakan berhenti berdetak.

Nadia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia mengharapkan Faris ingin bicara tentang sesuatu yang lain—mungkin sekadar nostalgia atau pertemanan. Tapi mendengar kata-kata itu… semuanya menjadi jauh lebih rumit.

"Faris, aku… aku tidak tahu harus berkata apa," Nadia akhirnya menjawab dengan suara pelan.

Faris tersenyum pahit. "Aku tahu ini mendadak. Tapi aku sudah berpikir lama sebelum memutuskan untuk menghubungimu. Aku sadar aku membuat kesalahan dengan melepaskanmu dulu. Aku ingin memperbaikinya."

Nadia menggigit bibirnya. "Tapi semuanya sudah berbeda sekarang. Aku…"

Ia terhenti. Ia ingin mengatakan bahwa ia sudah bersama seseorang, tapi bahkan dirinya sendiri belum tahu pasti apa yang sedang ia jalani dengan Reza.

Faris menatapnya penuh harap. "Nadia, apakah masih ada sedikit saja perasaanmu untukku?"

Pertanyaan itu menghantamnya keras.

Apakah masih ada?

Dulu, Faris adalah segalanya baginya. Mereka berbagi begitu banyak kenangan, rencana, dan impian bersama. Tapi saat ini, hatinya tidak hanya dipenuhi oleh bayangan masa lalu. Ada seseorang lain yang mulai mengisi kekosongan itu—Reza.

Setelah beberapa detik hening, Nadia akhirnya berkata, "Faris… aku butuh waktu."

Faris tersenyum kecil, meski terlihat sedikit kecewa. "Aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu. Tapi jika kau ingin mencobanya lagi, aku di sini."

Setelah pertemuan itu, Nadia berjalan pulang dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia tahu bahwa ia harus segera mencari jawaban atas perasaannya sebelum semuanya semakin rumit.

Kebingungan yang Tak Terhindarkan

Malam itu, Nadia kembali ke apartemennya dan mendapati Reza sedang duduk di sofanya, membaca sesuatu di ponselnya.

"Hei," sapanya.

Reza menoleh dan tersenyum. "Hei. Kau dari mana?"

Nadia ragu sejenak sebelum menjawab, "Bertemu seorang teman."

Reza mengangguk, tidak bertanya lebih lanjut. Tapi Nadia merasa bersalah karena menyembunyikan sesuatu darinya.

Malam itu, saat mereka berbaring di tempat tidur, Reza menarik Nadia ke dalam pelukannya.

"Kau tahu, aku semakin menyukaimu setiap hari," bisiknya di telinga Nadia.

Perkataannya membuat dada Nadia semakin sesak.

Ia tahu bahwa ia harus segera membuat keputusan. Apakah ia akan tetap bersama Reza dan membiarkan masa lalunya berlalu? Ataukah ia akan memberi Faris kesempatan kedua?

Karena jika ia terus membiarkan semuanya mengambang seperti ini, seseorang pasti akan terluka.

Dan Nadia tidak yakin apakah hatinya cukup kuat untuk menanggungnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam yang panas   Bab 86 - Saat Semua Menjadi Rumah

    Pagi itu, hujan turun pelan-pelan. Bukan hujan deras yang menakutkan, tapi rintik lembut yang menenangkan. Nadia menyeduh teh hangat di dapur, sementara Reza mengganti popok Aluna yang sedang tertawa-tawa di ranjang kecilnya."Dia makin pintar," ujar Reza sambil menoleh ke Nadia yang berdiri di ambang pintu, membawa secangkir teh untuknya."Dan makin cerewet. Tapi lucunya nggak hilang-hilang," balas Nadia.Setelah sarapan, mereka duduk di ruang tamu, memandangi jendela yang dihiasi embun. Di pelukan mereka, Aluna tertidur setelah kenyang bermain."Aku selalu suka suasana pagi kayak gini," kata Reza."Karena damai?""Karena kamu ada di sini. Karena kita ada di sini. Nggak peduli hujan, badai, atau apa pun, asalkan kita bertiga di tempat yang sama, semua terasa aman."Nadia tersenyum, menatap wajah Reza dengan rasa cinta yang masih sama seperti dulu, tapi kini lebih dalam. Cinta yang telah diuji waktu, jarak, konflik, bahkan tangis bayi di tengah malam.Hari-hari mereka dipenuhi tawa ke

  • Malam yang panas   Bab 85 - Di Antara Sunyi dan Rindu

    Aluna tumbuh cepat. Seperti waktu yang tak pernah menunggu. Baru kemarin mereka belajar mengganti popok, kini Aluna sudah bisa berjalan tertatih-tatih sambil tertawa, mengejar bayangannya sendiri di teras rumah."Jangan terlalu cepat besar, sayang," bisik Nadia suatu pagi sambil menyuapi bubur ke mulut kecil itu.Reza datang dari belakang, mengecup bahu Nadia, lalu mengelus kepala Aluna. "Tapi setiap langkah kecilnya, Nad, adalah bukti bahwa kita berhasil sejauh ini."Hari-hari berlalu, tapi tak semuanya mudah. Tantangan datang dalam bentuk yang berbeda. Reza mulai sibuk lagi dengan proyek seni, persiapannya untuk pameran di luar negeri membuatnya sering pulang malam. Nadia mulai merasa ada jarak yang perlahan tumbuh—bukan karena cinta berkurang, tapi karena fokus mereka terbagi.Malam itu, saat Aluna tertidur, Nadia duduk sendirian di ruang keluarga. Reza baru pulang, membawa laptop dan setumpuk berkas."Kamu belum makan?" tanya Reza sambil duduk di sampingnya.Nadia hanya menggeleng

  • Malam yang panas   Bab 85 - Surat untuk Masa Depan

    Musim hujan datang. Hujan deras turun hampir setiap sore, membawa aroma tanah basah dan nostalgia masa-masa awal Reza dan Nadia saling mengenal. Di dalam rumah mereka yang hangat, suasana dipenuhi suara-suara kecil Aluna yang mulai berceloteh. Ia belum bisa berkata-kata jelas, tapi gumamannya seperti musik bagi telinga Reza dan Nadia.Pagi itu, Nadia duduk di ruang kerja Reza sambil menggendong Aluna. Di hadapannya, terbuka sebuah buku kosong."Aku mau nulis surat buat Aluna. Untuk dibaca dia nanti saat usianya tujuh belas," kata Nadia.Reza yang sedang menyusun koleksi foto untuk pameran baru menghentikan pekerjaannya. "Itu ide bagus. Aku juga mau nulis. Kita bikin satu kotak waktu. Kita isi surat, foto, potongan baju bayi, semuanya. Buka bareng nanti."Nadia tersenyum. Ia mulai menulis.Untuk Aluna, saat kamu beranjak menjadi perempuan dewasa,Kamu mungkin sedang jatuh cinta, atau baru saja patah hati. Mungkin kamu sedang berjuang mencari tahu siapa dirimu. Apapun kondisimu, satu ha

  • Malam yang panas   Bab 83 - Rumah yang Bernyawa

    Hari-hari berlalu dengan ritme baru. Tangisan bayi, aroma susu, suara alat sterilisasi, dan malam-malam panjang tanpa tidur menjadi bagian dari keseharian Reza dan Nadia. Tapi di balik semua kelelahan, mereka menemukan jenis kebahagiaan yang belum pernah mereka kenal sebelumnya—kebahagiaan yang datang dari memberi, merawat, dan mencintai tanpa syarat.Pagi hari dimulai lebih awal dari biasanya. Nadia bangun sekitar pukul lima, lalu menyusui Aluna yang mulai merengek. Reza biasanya menyusul beberapa menit kemudian dengan secangkir teh hangat dan handuk kecil di tangan."Kita kayak kru sirkus," kata Nadia suatu pagi sambil tertawa kecil. Rambutnya berantakan, mata sembab, tapi senyumnya tak pernah hilang."Iya. Tapi kita sirkus yang cuma punya satu pemain bintang: Aluna," jawab Reza sambil menggendong putri mereka, lalu mengayunkannya pelan.Aluna mulai menanggapi suara dan wajah orang tuanya. Setiap kali Nadia menyanyi, ia menoleh. Setiap kali Reza

  • Malam yang panas   Bab 82 - Tanda-Tanda Kehidupan Baru

    Pagi itu mendung menggantung di atas Jakarta. Reza baru saja menyeduh teh hangat ketika mendengar panggilan dari kamar. "Reza... kayaknya air ketubanku pecah." Jantung Reza nyaris berhenti berdetak. Ia berlari menuju kamar, menemukan Nadia berdiri sambil memegangi perutnya. Ada tetesan bening di lantai. "Kita harus ke rumah sakit sekarang," katanya cepat sambil meraih jaket dan kunci mobil. Semuanya terasa begitu nyata. Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti mimpi. Nadia menggenggam tangan Reza erat di sepanjang jalan, berusaha tenang di tengah kontraksi yang mulai terasa. "Kita udah sampai di hari ini," bisik Nadia, napasnya terengah. "Iya. Hari di mana cinta kita lahir dalam wujud yang baru." Di ruang bersalin, waktu berjalan lambat dan cepat sekaligus. Para perawat dan dokter datang silih berganti. Kontraksi makin kuat. Reza tak pernah meninggalkan sisi Nadia, menggenggam ta

  • Malam yang panas   Bab 81 - Antara Harap dan Degup Waktu

    Memasuki trimester ketiga, Nadia mulai merasakan perubahan besar pada tubuhnya. Ia lebih cepat lelah, emosi mudah bergelombang, dan malam-malamnya sering kali diwarnai gelisah. Namun, dalam setiap peluh dan keletihan itu, ada Reza yang tak pernah beranjak jauh.Suatu malam, ketika angin berdesir lebih dingin dari biasanya, Reza memeluk Nadia dari belakang di tempat tidur. Ia bisa merasakan tubuh Nadia bergetar."Kamu mimpi buruk lagi?" bisiknya.Nadia mengangguk pelan. "Aku mimpi... kamu pergi. Aku panggil-panggil, tapi kamu nggak dengar. Rasanya sesak banget."Reza mengelus pelan perutnya, lalu menarik selimut lebih rapat. "Aku di sini. Dan aku nggak ke mana-mana. Kamu nggak harus kuat sendirian. Aku ada buat kamu."Nadia membalas pelukannya, air mata mengalir tanpa suara. Di balik rasa lelah dan nyeri, hatinya tetap berdebar karena cinta yang tak berubah.Hari-hari berikutnya mereka habiskan dengan lebih pelan. Reza mengambil c

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status