Malam itu, Reza melangkah masuk ke dalam apartemen Nadia dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Tidak ada urgensi seperti malam pertama mereka bertemu, tidak ada ketergesa-gesaan yang hanya didorong oleh gairah. Kali ini, ada sesuatu yang lebih dalam, lebih tenang—sebuah keintiman yang perlahan mulai terbentuk.
Nadia menutup pintu di belakangnya dan menatap pria itu. Reza hanya berdiri di tengah ruang tamu, seakan menunggu isyarat darinya. "Mau minum sesuatu?" Nadia akhirnya bertanya, mencoba mencairkan suasana. Reza tersenyum kecil. "Kalau ada wine, aku tidak akan menolak." Nadia mengangguk, lalu berjalan ke dapur. Sementara ia menuangkan dua gelas wine, pikirannya berkecamuk. Apa yang sebenarnya ia inginkan dari ini semua? Apakah Reza hanya seseorang yang hadir di saat yang tepat, atau ada sesuatu yang lebih? Saat ia kembali dengan dua gelas di tangan, Reza sudah duduk di sofa, menatap ke luar jendela yang memperlihatkan gemerlap lampu kota. "Terima kasih," katanya sambil menerima gelas dari Nadia. Mereka duduk berdampingan, menikmati keheningan yang tidak terasa canggung. Sesekali, Reza menoleh ke arah Nadia, matanya memancarkan sesuatu yang sulit diartikan. "Aku suka menghabiskan waktu seperti ini," kata Reza tiba-tiba. Nadia menoleh, sedikit terkejut dengan pernyataan itu. "Seperti ini bagaimana?" Reza menyesap winenya sebelum menjawab, "Tanpa terburu-buru. Tanpa ekspektasi. Hanya menikmati momen bersama seseorang yang menarik." Perkataan itu seharusnya membuat Nadia tenang, tapi justru menimbulkan kegelisahan dalam hatinya. Apakah ini berarti Reza tidak menginginkan sesuatu yang lebih serius? "Jadi, menurutmu, ini hanya tentang menikmati momen?" Nadia akhirnya bertanya. Reza menatapnya dengan intens, lalu menggeleng. "Aku tidak tahu. Aku hanya tidak ingin merusak apa yang sudah kita punya dengan terlalu banyak pertanyaan." Nadia tersenyum samar. "Terkadang, pertanyaan diperlukan untuk memahami sesuatu." Reza terdiam sejenak, lalu meletakkan gelasnya di meja. Ia berbalik menghadap Nadia, tangannya terulur untuk menyentuh pipinya. "Apa yang kau inginkan dari ini, Nadia?" suaranya lebih lembut, lebih dalam. Nadia menelan ludah. Ia tahu pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan sembarangan. Ada bagian dalam dirinya yang ingin tetap menjaga semuanya ringan dan tidak rumit, tapi ada juga bagian lain yang mulai menginginkan lebih. Ia menatap mata Reza yang begitu dekat, lalu menghela napas. "Aku tidak tahu. Tapi aku tahu aku ingin mengenalmu lebih jauh." Reza tersenyum tipis, seakan lega mendengar jawabannya. Ia mendekat, mencium Nadia dengan lembut—bukan seperti malam pertama mereka yang penuh gairah, tapi lebih seperti seseorang yang benar-benar ingin merasakan keberadaan orang lain. Nadia membalas ciumannya, membiarkan dirinya hanyut dalam momen itu. Pagi yang Berbeda Ketika Nadia terbangun keesokan paginya, ia mendapati dirinya masih berada di pelukan Reza. Tidak seperti sebelumnya, kali ini tidak ada perasaan canggung atau kebingungan. Hanya ada kehangatan yang membuatnya enggan untuk bergerak. Reza masih tertidur, napasnya teratur di dekat telinga Nadia. Nadia tersenyum kecil, menikmati momen langka ini. Tapi sebelum ia bisa tenggelam lebih jauh dalam kenyamanan itu, ponselnya bergetar di meja samping tempat tidur. Dengan hati-hati agar tidak membangunkan Reza, ia meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar. Faris. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia sudah lama tidak mendengar kabar dari pria itu—mantan kekasih yang dulu begitu sulit ia lupakan. Nadia melirik ke arah Reza yang masih terlelap, lalu menimbang-nimbang apakah ia harus mengangkat panggilan itu atau tidak. Setelah beberapa detik ragu, ia akhirnya memutuskan untuk mengabaikannya. Tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa sesuatu dari masa lalunya baru saja kembali, dan mungkin akan mengacaukan segalanya. Pagi yang Berubah Nadia masih memegang ponselnya, menatap nama Faris di layar. Jari-jarinya sedikit gemetar. Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali pria itu mencoba menghubunginya, dan kini, tiba-tiba dia kembali. Di sampingnya, Reza masih terlelap. Wajahnya terlihat tenang, berbeda dengan pikiran Nadia yang mulai kacau. Kenapa Faris menghubunginya sekarang? Apa yang dia inginkan? Nadia mengembuskan napas pelan dan memutuskan untuk tidak memikirkan itu sekarang. Ia meletakkan ponsel kembali di meja, lalu bangkit perlahan dari tempat tidur, berusaha tidak membangunkan Reza. Ia berjalan ke dapur, membuat secangkir kopi, berharap itu bisa meredakan kegelisahannya. Tapi pikirannya tetap dipenuhi bayangan masa lalu. Faris adalah cinta pertamanya—seseorang yang pernah begitu berarti baginya. Mereka menjalani hubungan selama tiga tahun sebelum akhirnya berpisah dengan cara yang menyakitkan. Faris menginginkan sesuatu yang Nadia tidak bisa berikan saat itu—kepastian. Sekarang, ketika Nadia mulai membuka hatinya untuk seseorang yang baru, Faris justru kembali muncul. Suara langkah kaki membuyarkan lamunannya. Ia menoleh dan melihat Reza berjalan mendekat, hanya mengenakan celana panjang dengan tubuh telanjang dada. "Pagi," ucapnya dengan suara serak. Nadia tersenyum kecil. "Pagi. Tidur nyenyak?" Reza menguap sedikit, lalu mendekat dan melingkarkan lengannya di pinggang Nadia dari belakang. "Sangat. Tapi lebih baik lagi kalau aku bangun denganmu di sebelahku." Nadia tertawa pelan, menikmati kehangatan pria itu di belakangnya. Tapi pikirannya tetap terganggu. "Kau baik-baik saja?" tanya Reza, merasakan perubahan sikap Nadia. Nadia mengangguk, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Hanya masih mengantuk." Reza tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengecup bahu Nadia sebelum mengambil cangkir kopi dan duduk di kursi bar dapur. Sementara itu, Nadia mengambil ponselnya dan menatapnya sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan. Nadia: Kenapa kau menghubungiku? Tidak butuh waktu lama sebelum Faris membalas. Faris: Bisa kita bertemu? Aku ingin bicara. Nadia menghela napas. Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang benar, tapi ada bagian dari dirinya yang ingin mendengar apa yang Faris katakan. Nadia: Oke. Besok siang? Faris: Baik. Aku akan menunggumu. Setelah mengirim pesan itu, Nadia meletakkan ponselnya dan menatap Reza yang sedang menikmati kopinya tanpa sadar akan kegelisahan yang menguasai pikiran Nadia. Apakah yang ia lakukan ini salah? Pertemuan dengan Masa Lalu Keesokan harinya, Nadia duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, menunggu kedatangan Faris. Ia mengenakan blus sederhana dan jeans, berusaha tidak terlalu terlihat seperti seseorang yang sedang menemui mantan kekasihnya dengan perasaan campur aduk. Tidak butuh waktu lama sebelum Faris masuk ke dalam kafe, mencarinya dengan tatapan yang masih sama seperti dulu—hangat, tapi menyimpan sesuatu di dalamnya. Nadia menarik napas dalam saat pria itu berjalan mendekat. "Hai," sapa Faris, duduk di hadapannya. "Hai," balas Nadia singkat. Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap, seolah mencoba memahami satu sama lain setelah sekian lama. "Kau terlihat baik-baik saja," kata Faris akhirnya. Nadia tersenyum kecil. "Aku baik. Kau sendiri?" Faris mengangguk. "Aku juga. Tapi ada sesuatu yang harus kukatakan padamu." Nadia menegang. "Apa itu?" Faris menarik napas dalam sebelum berkata, "Aku kembali karena aku menyadari sesuatu… Aku masih mencintaimu, Nadia." Jantungnya seakan berhenti berdetak. Nadia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia mengharapkan Faris ingin bicara tentang sesuatu yang lain—mungkin sekadar nostalgia atau pertemanan. Tapi mendengar kata-kata itu… semuanya menjadi jauh lebih rumit. "Faris, aku… aku tidak tahu harus berkata apa," Nadia akhirnya menjawab dengan suara pelan. Faris tersenyum pahit. "Aku tahu ini mendadak. Tapi aku sudah berpikir lama sebelum memutuskan untuk menghubungimu. Aku sadar aku membuat kesalahan dengan melepaskanmu dulu. Aku ingin memperbaikinya." Nadia menggigit bibirnya. "Tapi semuanya sudah berbeda sekarang. Aku…" Ia terhenti. Ia ingin mengatakan bahwa ia sudah bersama seseorang, tapi bahkan dirinya sendiri belum tahu pasti apa yang sedang ia jalani dengan Reza. Faris menatapnya penuh harap. "Nadia, apakah masih ada sedikit saja perasaanmu untukku?" Pertanyaan itu menghantamnya keras. Apakah masih ada? Dulu, Faris adalah segalanya baginya. Mereka berbagi begitu banyak kenangan, rencana, dan impian bersama. Tapi saat ini, hatinya tidak hanya dipenuhi oleh bayangan masa lalu. Ada seseorang lain yang mulai mengisi kekosongan itu—Reza. Setelah beberapa detik hening, Nadia akhirnya berkata, "Faris… aku butuh waktu." Faris tersenyum kecil, meski terlihat sedikit kecewa. "Aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu. Tapi jika kau ingin mencobanya lagi, aku di sini." Setelah pertemuan itu, Nadia berjalan pulang dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia tahu bahwa ia harus segera mencari jawaban atas perasaannya sebelum semuanya semakin rumit. Kebingungan yang Tak Terhindarkan Malam itu, Nadia kembali ke apartemennya dan mendapati Reza sedang duduk di sofanya, membaca sesuatu di ponselnya. "Hei," sapanya. Reza menoleh dan tersenyum. "Hei. Kau dari mana?" Nadia ragu sejenak sebelum menjawab, "Bertemu seorang teman." Reza mengangguk, tidak bertanya lebih lanjut. Tapi Nadia merasa bersalah karena menyembunyikan sesuatu darinya. Malam itu, saat mereka berbaring di tempat tidur, Reza menarik Nadia ke dalam pelukannya. "Kau tahu, aku semakin menyukaimu setiap hari," bisiknya di telinga Nadia. Perkataannya membuat dada Nadia semakin sesak. Ia tahu bahwa ia harus segera membuat keputusan. Apakah ia akan tetap bersama Reza dan membiarkan masa lalunya berlalu? Ataukah ia akan memberi Faris kesempatan kedua? Karena jika ia terus membiarkan semuanya mengambang seperti ini, seseorang pasti akan terluka. Dan Nadia tidak yakin apakah hatinya cukup kuat untuk menanggungnya.Senja belum benar-benar tenggelam saat Reza berdiri di tepi balkon apartemen Nadia. Angin sore mengusik kerah kemejanya, tetapi pikirannya jauh lebih kacau dari udara yang berembus pelan. Di dalam, Nadia sedang menuangkan teh ke dalam dua cangkir, mencoba meredakan ketegangan yang menggantung di antara mereka sejak sore tadi."Aku tahu kamu belum sepenuhnya memaafkan aku," ucap Reza pelan saat Nadia menyusulnya dengan dua cangkir teh hangat.Nadia tak langsung menjawab. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding balkon, menatap langit yang perlahan berubah biru kehitaman. "Maaf bukan soal kata-kata, Reza. Ini tentang rasa yang luka, dan waktu yang belum bisa menyembuhkan segalanya."Reza menunduk, tangannya menggenggam cangkir seolah itu jangkar agar ia tetap kuat berdiri. "Tapi aku ada di sini sekarang, berjuang untuk memperbaiki semuanya. Haruskah masa lalu terus membayangi kita?"Nadia menghela napas. "Bukan tentang masa lalu yang mengejar, Reza. Ini tentang ketakutan masa depan. Aku t
Malam itu, langit di atas Jakarta tampak pekat, seolah turut menampung segala beban yang belum sempat diucapkan. Di dalam apartemen Reza yang berada di lantai atas, suara hujan yang menghantam jendela besar mengiringi keheningan antara dua insan yang saling mencinta namun tak tahu harus bagaimana melangkah.Nadia duduk di tepi ranjang, menatap jendela dengan sorot mata yang jauh. Rambutnya masih basah karena hujan yang sempat membasahi tubuhnya saat ia nekat datang ke tempat ini. Reza berdiri tak jauh darinya, memunggungi wanita yang begitu ia rindukan namun juga telah begitu banyak ia lukai.“Kenapa kamu diam saja?” tanya Nadia lirih, hampir tak terdengar jika bukan karena kesunyian yang menggantung di antara mereka.Reza menarik napas panjang. “Karena aku tak tahu harus mulai dari mana.”Nadia menoleh, sorot matanya tajam, namun juga penuh luka. “Dari awal pun kamu tak pernah tahu harus mulai dari mana, Reza. Tapi kamu selalu tahu bagaimana cara mengakhirinya.”Kata-kata itu seperti
Malam itu langit Jakarta mendung. Awan gelap menggantung seakan mencerminkan gumpalan emosi yang tak kunjung reda di dada Reza. Ia berdiri di depan jendela apartemennya, menatap lampu kota yang berpendar temaram. Di balik pantulan kaca, wajahnya terlihat lelah—bukan karena kurang tidur, tapi karena hati yang tak pernah benar-benar tenang sejak Nadia kembali.Telepon genggamnya diam, tak ada notifikasi darinya sejak siang tadi. Sejak Nadia pergi setelah pertengkaran kecil yang tak seharusnya membesar. Reza menghela napas berat. Ia tahu, luka lama mereka masih berdenyut, meski dibungkus dengan kata-kata manis dan pelukan hangat. Tapi cinta mereka juga belum padam. Justru karena cinta itu masih ada, konflik terus meletup.Di sisi lain kota, Nadia berdiri di depan cermin besar di kamar hotel tempat ia menginap malam itu. Matanya sembab. Ia baru selesai menangis, lagi. Dalam pelukannya, bantal terasa dingin dan asing. Tapi bukan itu yang membuat dadanya sesak. Ia b
Reza menatap langit malam dari balkon apartemennya. Kilatan lampu kota Jakarta memantul di kaca matanya yang kosong. Nadia sudah tertidur di dalam, kepalanya bersandar di dada Reza beberapa jam sebelumnya, namun kini ia sendiri. Sepi itu kembali datang meski pelukan hangat masih terasa di kulitnya.Pikirannya melayang pada semua yang telah mereka lalui. Amarah, luka, ciuman penuh rindu, dan pelukan yang sempat membuat dunia terasa tenang. Tapi ia tahu, tak ada ketenangan abadi bila hati masih menyimpan ganjalan. Dan malam ini, Reza ingin menyelesaikan semua itu. Ia ingin memastikan bahwa cinta mereka bukan sekadar pelarian, bukan sekadar hasrat yang meledak karena kesepian.Ia kembali masuk ke kamar, menatap wajah Nadia yang tertidur tenang. Cahaya lampu meja menyorot lembut kulit pucat gadis itu. Dengan perlahan, Reza duduk di tepi ranjang dan menyentuh tangan Nadia. Gadis itu menggeliat pelan dan membuka mata."Kamu nggak tidur?" suaranya serak dan lembu
Angin malam menyentuh pipi Nadia saat ia berdiri di balkon apartemen Reza. Sudah hampir satu jam ia berdiri di sana, memandangi kerlip lampu kota yang tak henti berdenyut. Di dalam hatinya, denyut itu tak seindah kelap-kelip cahaya. Ada sesuatu yang jauh lebih gelap, lebih dalam, dan lebih menyakitkan.Reza memerhatikannya dari balik pintu kaca, tak sanggup lagi berkata apa pun. Pertengkaran terakhir mereka membuat jarak yang selama ini perlahan terhapus, kembali terbentang.“Aku hanya ingin kau jujur, Reza,” ucap Nadia perlahan, tanpa menoleh. “Bukan tentang dia, bukan tentang masa lalu. Tapi tentang kita. Tentang apa yang sebenarnya kau inginkan dariku.”Reza menghela napas. “Kau tahu apa yang kuinginkan, Nad. Aku ingin kau di sisiku. Selalu.”“Kalau begitu kenapa kau masih menyimpan kebohongan?” Nada suaranya tetap tenang, tapi tajam seperti silet.Reza berjalan pelan ke arahnya. Ia berdiri di belakang Nadia, cukup dekat hingga bisa me
Hujan mengguyur Jakarta dengan ritme yang nyaris seirama dengan detak jantung Nadia. Dari balik jendela apartemen Reza yang terletak di lantai delapan, ia memandangi hamparan kota yang terlihat buram oleh tetesan air. Malam yang dingin, sepi, dan mengendapkan segala rasa yang belum selesai.Reza berdiri tak jauh darinya, membelakangi lampu meja yang remang, siluet tubuhnya tampak kokoh dan sunyi. Tak ada yang bicara sejak satu jam lalu. Kata-kata terakhir Reza masih bergema di benak Nadia: “Aku sudah mencoba, Nad. Tapi ada hal-hal yang tak bisa kamu abaikan.”Nadia mengepalkan jemarinya. Bukan karena marah, tapi karena ketakutan. Bukan pada Reza. Tapi pada jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka—jarak yang bahkan tidak terlihat, tapi terasa begitu tajam. Sejak Dimas datang kembali ke kehidupannya, sejak Armand menunjukkan ketertarikannya pada bisnis ayah Nadia, segala sesuatu jadi rumit."Aku tidak pernah mencintai mereka seperti aku mencintaimu," suar