Langit Ubud pagi itu mengguratkan cahaya lembut yang menerobos dedaunan, memantul di permukaan sawah yang masih basah oleh embun. Di beranda villa kecil yang mereka sewa, Nadia duduk bersila di atas bantal rotan sambil memandangi pemandangan yang menenangkan. Di tangan kirinya, sebuah buku catatan berisi coretan ide-ide baru, dan di tangan kanannya secangkir kopi Bali hangat.
Reza keluar membawa dua piring sarapan. Ia tersenyum ketika melihat Nadia yang larut dalam dunia pikirannya sendiri. "Kalau kamu terus kayak gitu, nanti kopinya keburu dingin."Nadia mendongak dan tersenyum. "Maaf. Aku cuma... ngerasa baru bisa bernapas beneran.""Aku juga," jawab Reza sambil duduk di sampingnya. "Tapi kamu tahu kan, damai ini... belum tentu selamanya."Nadia menatap Reza lekat-lekat. "Makanya, kita nikmati selama bisa. Siapa tahu kita bisa menciptakan ruang aman yang nggak bisa dihancurin siapa pun."Selama beberapa hari, mereka benar-benar hidup teTiga hari setelah pernikahan, Reza dan Nadia memilih untuk tidak langsung berbulan madu ke luar negeri seperti kebanyakan pasangan lainnya. Mereka ingin memulai kehidupan baru dengan sederhana: menjelajahi pulau-pulau kecil di Indonesia, memotret alam dan manusia, serta mengumpulkan cerita dari berbagai penjuru negeri.Tujuan pertama mereka adalah Pulau Kei di Maluku Tenggara. Sebuah pulau tenang yang belum banyak tersentuh pariwisata massal. Pantainya putih, lautnya jernih biru kehijauan, dan masyarakatnya hidup damai dengan ritme yang lambat."Tempat ini kayak dunia yang lupa waktu," ucap Nadia saat mereka turun dari perahu kayu kecil menuju penginapan sederhana di tepi pantai.Reza menggenggam tangannya. "Dan kita akan menciptakan kenangan di setiap detiknya."Hari-hari mereka diisi dengan kegiatan yang tak terikat jadwal. Pagi hari mereka bersepeda ke desa nelayan, bercengkerama dengan anak-anak lokal, mendengarkan cerita para tetua adat, dan malamnya mereka duduk di tepi pantai,
Mentari pagi menyapa dengan sinar keemasan yang lembut, menyelinap melalui sela-sela dedaunan pinus di kebun kecil tempat pernikahan Reza dan Nadia akan dilangsungkan. Embun masih menggantung di ujung daun, seolah ikut merayakan hari besar dua jiwa yang telah melewati badai panjang.Nadia terbangun lebih dulu. Di penginapan kecil yang disewa untuk keluarganya, ia duduk di tepi jendela, menatap langit yang perlahan cerah. Tangannya menggenggam surat yang semalam ia tulis untuk dirinya sendiri: pesan pengingat tentang keberanian, tentang cinta, dan tentang bagaimana semua luka bisa membawa seseorang menuju tempat yang benar.Di sisi lain, Reza mengenakan batik putih bersulam emas yang disiapkan khusus oleh ibunya. Ia berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya dengan campuran perasaan gugup dan haru. Tak ada keraguan, tak ada ketakutan. Hanya keteguhan hati."Pak, ini dasinya," ujar Ardi, adik Reza, sambil masuk ke kamar dengan tersenyum lebar. "Tapi kayaknya lo udah siap lahir ba
Persiapan pernikahan dimulai sebulan setelah mereka kembali dari Lombok. Nadia dan Reza sepakat untuk menggelar acara yang intim dan penuh makna. Mereka tak tertarik pada pesta mewah atau hiruk pikuk seremonial yang megah. Yang mereka inginkan hanyalah keluarga, sahabat, dan momen yang jujur.Nadia memilih kebun kecil di puncak Puncak, Bogor, tempat yang dikelilingi oleh bunga liar dan pohon pinus yang menjulang. Di tempat itu, ia merasa dekat dengan alam—sama seperti ketika ia mulai mencintai dunia fotografi."Tempat ini... seperti lembar putih untuk hidup baru kita," ucap Nadia ketika pertama kali mereka melihat lokasi itu.Reza mengangguk. "Dan kamu adalah warna pertama yang akan mengisi kanvas ini."Setiap sudut kebun mulai dirancang sendiri oleh Nadia. Ia menyusun rangkaian bunga, mengatur dekorasi vintage dengan sentuhan bohemian, dan meminta bantuan sahabat-sahabat senimannya untuk membuat instalasi seni kecil yang menceritakan perjalanan c
Matahari pagi di Jakarta seolah berbeda. Udara yang biasanya sesak kini terasa lebih ringan, dan langkah-langkah Reza di teras apartemen mereka pun terdengar lebih mantap. Hari itu bukan hanya awal minggu, tapi awal dari kehidupan baru yang mereka perjuangkan selama berbulan-bulan.Nadia muncul dari dalam dengan membawa dua cangkir kopi. Ia mengenakan kemeja putih longgar dan rambut yang dikepang sederhana. Wajahnya tampak lebih bersinar, tidak lagi dibayangi kecemasan."Kamu tidur nyenyak semalam?" tanyanya sambil menyerahkan kopi.Reza mengangguk. "Untuk pertama kalinya, iya. Rasanya kayak... beban di punggung ini benar-benar lepas."Nadia tersenyum. Mereka duduk berdampingan, memandangi lalu lintas yang mulai padat di kejauhan."Apa kita udah benar-benar selesai dengan semua itu?" Nadia bertanya, masih dengan nada ragu.Reza menoleh, lalu menggenggam tangan Nadia. "Kita nggak bisa ngatur masa lalu, Nad. Tapi sekarang, kita pun
Langit Ubud pagi itu mengguratkan cahaya lembut yang menerobos dedaunan, memantul di permukaan sawah yang masih basah oleh embun. Di beranda villa kecil yang mereka sewa, Nadia duduk bersila di atas bantal rotan sambil memandangi pemandangan yang menenangkan. Di tangan kirinya, sebuah buku catatan berisi coretan ide-ide baru, dan di tangan kanannya secangkir kopi Bali hangat.Reza keluar membawa dua piring sarapan. Ia tersenyum ketika melihat Nadia yang larut dalam dunia pikirannya sendiri. "Kalau kamu terus kayak gitu, nanti kopinya keburu dingin."Nadia mendongak dan tersenyum. "Maaf. Aku cuma... ngerasa baru bisa bernapas beneran.""Aku juga," jawab Reza sambil duduk di sampingnya. "Tapi kamu tahu kan, damai ini... belum tentu selamanya."Nadia menatap Reza lekat-lekat. "Makanya, kita nikmati selama bisa. Siapa tahu kita bisa menciptakan ruang aman yang nggak bisa dihancurin siapa pun."Selama beberapa hari, mereka benar-benar hidup te
Pagi setelah pameran, langit Jakarta tampak mendung, seakan ikut menahan napas setelah kejadian semalam. Meski masih lelah secara emosional, Nadia terbangun lebih awal. Ia berdiri di depan jendela hotel, menatap lalu lintas yang sudah ramai. Di dalam hatinya, ada kekosongan yang aneh. Bukan karena ketakutan, tetapi karena kesadaran bahwa perjuangan belum berakhir.Reza menyusulnya beberapa menit kemudian. Ia menggenggam secangkir kopi, menyerahkannya pada Nadia."Terima kasih," ucap Nadia pelan.Mereka berdiri berdampingan, diam. Namun, keheningan itu bukan karena kecanggungan—melainkan karena keduanya sedang menimbang langkah selanjutnya."Aku bicara dengan pihak keamanan semalam," ujar Reza akhirnya. "Mereka yakin seseorang masuk ke sistem dari dalam. Ada orang yang menyabotase pameranmu."Nadia mengangguk. "Clarissa, ya?""Kemungkinan besar. Tapi dia nggak kerja sendiri. Ada orang dari galeri yang bantu. Aku udah minta investigasi lebih lanjut.""Apa kamu akan laporkan ke polisi?"