Firman semakin tak tega, karena kesalahannya, secara tak langsung ia telah menambah beban yang begitu berat pada gadis di depannya itu."Sekali lagi Saya minta maaf, saya janji akan bertanggung jawab penuh atas pengobatan Bapak kamu." Mendengar ucapan Firman di sampingnya, gadis dua puluh satu tahun itu melirik tajam, ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya. Mereka saling terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Hingga adzan Subuh berkumandang, bergegas Firman pamit ke Mushalla rumah sakit untuk menunaikan salat subuh, usai melaksanakan kewajibannya, ia baru teringat, jika ia belum mengabari istrinya. 'Astaghfirullah, aku bahkan sampai lupa mengabari Yunita', gumamnya. Ia merogoh saku celananya hanya ada kunci mobil dan dompetnya. Kemudian teringat terakhir ia menggunakan benda pipih itu, adalah ketika di mobil sebelum kecelakaan terjadi. Dengan setengah berlari ia menuju area parkiran dan mencari ponselnya di dasbor mobil, namun tak menemukannya. Ia pun membungkukkan tubuhnya,
Pagi ini Yunita memilih untuk tidak ke rumah makan, dan baru saja ia menghubungi Iwan untuk menghandle semuanya. Yunita lebih memilih di rumah, untuk menyambut suaminya pulang. Ia tahu pasti suaminya kini begitu sangat lelah setelah semua kejadian yang menimpanya. Ceklek.Laras keluar pintu kamar saat Yunita tengah memanggang roti untuk sarapan."Sarapan dulu, Ras," sapa Yunita."Iya, Kak. Aku cuci muka dulu bentar." Gadis itu terlihat masih mengantuk, berjalan ngontai masuk ke kamar mandi."Kak Firman kemana, Kak? Kok sepi dari semalam?" tanyanya saat sudah duduk dan siap sarapan. Yunita hanya menghembuskan napas berat."Kakakmu belum pulang, Ras. Semoga hari ini benar dia akan pulang," ucap Yunita sambil menatap liris ke depan dengan tatapan nanar."Hah?! Kok bisa? Nggak biasanya Kak Firman sampai nggak pulang. Kalian pasti sedang berantem ya?" Pertanyaan Laras itu lebih terdengar seperti ledekan. "Nggak, bukan itu," sahut Yunita singkat. Ia sendiri masih ragu menceritakan pada a
"Bapak ingin saya menikahi Wina. Itu tidak mungkin Pak, saya sudah punya istri Pak. Tak mungkin saya menikah lagi dengan wanita lain, saya tidak mau menyakiti hati istri saya, Pak. Apa tak ada cara lain yang harus saya lakukan, selain ini Pak?" Firman begitu syok mendengar permintaan Pak Wiryo. Ini semua sungguh di luar keinginannya.Ditengah kekalutan yang dirasakan, ia memang merasa bersalah pada Pak Wiryo, tapi sebagai bentuk tanggung jawabnya apa harus dengan cara menikahi putrinya. Firman masih belum mengiyakan permintaan itu. Ia masih ingin bernegosiasi untuk mencari cara lain."Sa–Saya mohon, agar kamu mau menikah dengan Wina, dia sedang dalam masalah, saya sendiri rasanya ini sudah tak lama lagi." Lagi Pak Wiryo berkata terbata, kali ini dengan napas yang tersegal-segal."Pak! Bapak! Sudah Pak, jangan bicara begitu, Wina mohon." Melihat kondisi Pak Wiryo yang tiba-tiba sesak napas, Firman kembali mendekat."Pak, katakan apa yang harus saya lakukan, tapi tolong jangan paksa sa
"Baik, Mas saya akan panggil Pak Ustadz yang biasa menikahkan secara siri, dan juga saya panggil Pak RT ya, Mas," sahut Andi."Terimakasih banyak, Pak. Ini saya ada sedikit uang untuk ongkos Bapak bolak balik kemari pak." Firman menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah. Keduanya pun bergegas meninggalkan rumah sakit.Firman kembali mendekati Pak Wiryo. Melihat Wina yang masih tertunduk, di iringi suara isakan. Ia tak mampu membantah keinginan Bapaknya, juga merasa sedih meratapi nasibnya."Saya, akan penuhi permintaan Bapak, tapi saya mohon Bapak bertahan, ya Pak," bisik Firman.Pak Wiryo hanya tersenyum dan mengangguk pelan.Firman pun keluar ruangan itu, mendaratkan bobotnya di kursi ruang tunggu. Pikirannya melayang, mengapa semuanya jadi begini. Firman menyugar rambutnya. Lelah, rasanya ingin ia pergi dari tempat ini dan pulang ke rumah memeluk tubuh istrinya. Tapi rasa bersalah yang menghantui, menjadikannya seakan terpaku di sini mempertanggungjawabkan semua yang sudah
"Assalamualaikum, Bro.""Wa'alaikumsalam, Dimas, Alhamdulillah akhirnya lu sampai juga Bro. Thanks ya." Dimas sahabatnya itu, telah sampai di rumah sakit, ia memang tadi sempat menghubungi sahabatnya itu dan menceritakan semuanya."Iya, sama-sama. Gila lu, Bro. Gue satu aja belum, lu udah mau dua. Apa lu nggak mikirin gimana nanti Yunita, kasian dia Bro. Gue kalo jadi lu, udah gue kabur pergi aja daripada gue harus nikahin anaknya, Yunita itu cantik, baik, pinter, istri idaman banget pokoknya lah. Apa lu yakin?" Dimas yang baru datang karena diminta datang oleh Firman itu, langsung mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Dimas juga kenal baik sama Yunita, mereka pasangan yang sangat cocok dan serasi, bisa dibilang pasangan mereka membuatnya ingin memiliki istri idaman yang karakternya seperti istri sahabatnya ini.Firman hanya membuang napas kasar, bukannya ia tidak memikirkan bagaimana Yunita, tapi ini soal sebuah tanggung jawab atas kesalahan yang sudah ia lakukan, dan kesalahan i
Firman meraih pergelangan tangan kiri Pak Wiryo, tapi tak merasakan adanya denyut nadi di sana.Tak berapa lama seorang dokter dan suster masuk ke dalam ruangan."Silahkan Bapak-bapak tunggu di luar sebentar ya, Pak," ucap Suster pada mereka yang tadi telah menggelar pernikahan mendadak itu. Firman dan Dimas pun ikut keluar ruangan, membiarkan dokter memeriksa keadaan Pak Wiryo di dalam."Innalilahi waa Inna ilaihi Raji'un. Maaf Pak Wiryo sudah tak ada," ucap Dokter yang memeriksa pada Wina yang memang tak mau keluar ruangan, ia ingin melihat ayahnya kembali membuka mata saat dokter memeriksa, tapi kenyataan menyakitkan justru yang di dengarnya."Tidak. Itu tidak mungkin Dok, Bapaakk ... Bangun Paak!" Suster melepas semua alat yang menempel pada tubuh Pak Wiryo, Wina berlari mendekat memeluk erat tubuh renta itu.Ia menangis pilu, meraung dengan kencang. hingga suaranya terdengar ke luar ruangan. Firman yang tengah menunggu di luar seketika saling pandang dengan Dimas, di hati mereka
POV FirmanPagi itu aku berangkat ke kota Bogor dengan hati tenang, setelah mengantar Yunita ke Rumah makan utama kini aku injak dalam pedal gas untuk ke rumah makan cabang.Meski ada sedikit heran akan tatapan Yunita sesaat sebelum aku masuk mobil itu sedikit berbeda, terlihat gurat kecemasan pada mimik wajahnya dan pancaran matanya.Namun, segera aku meyakinkan istriku, jika semua akan baik-baik saja, terlebih sekarang Tania sudah tidak tinggal di rumah kami lagi, hati ini sudah tenang sekarang, setelah beberapa hari kemarin sempat membuatku tak nyaman tinggal di rumah sendiri.Aku Muhammad Firman, yang kini telah memperistri Yunita Safitri, seorang wanita tinggi semampai, cantik nan lembut yang kukenal saat kami kuliah, aku memang menaruh hati padanya saat pandangan pertama, sosoknya yang periang dan hatinya baik tentunya, membuatku jatuh cinta padanya.Tiga tahun sudah usai pernikahan kita, namun hingga saat ini, belum ada tanda-tanda kehadiran janin di rahimnya, tapi aku tak pern
Aku menghubungi Dimas sahabatku untuk datang kemari dan menyiapkan semual dokumen pendukung untuk pernikahan siri ini, semua ini aku lakukan tak lebih dari sebuah tanggung jawab, bukan karena suka, apalagi cinta, bukan.Akan tapi lebih kepada rasa kemanusiaan, mengingat Pak Wiryo jadi seperti ini juga karena aku yang menabraknya.Dimas datang dengan raut wajah yang begitu sulit di artikan, aku paham, pasti ia tak percaya aku melakukan ini, ia tahu betapa aku sangat-sangat mencintai istriku. Sungguh semua ini pun sebuah keputusan yang begitu berat untukku.Hingga pernikahan di langsungkan sederhana, di rumah sakit ini. Beberapa menit setelah selesai ijab kabul kuucapkan, Pak Wiryo menghembuskan napas terakhirnya.Betapa hatiku pun terluka ia pergi karena sebuah kesalahanku. Satu pesannya yang ia sampaikan padaku, agar aku menjaga Wina putrinya, aku tak paham bagaimana bisa ia yang baru bertemu denganku, dengan mudahnya beliau ingin aku menikahi putrinya, apa ia tidak takut jika nanti y