Share

Bab 4 (Tawaran Kerja)

Setelah selesai makan malam, Mas Firman langsung beranjak naik ke atas, aku membereskan sisa makan dan piring di meja makan.

"Sayang, tolong beritahu kamar untuk Laras, dan temanya di kamar bawah, dan tolong jangan keluyuran naik ke atas, boleh naik ke atas hanya untuk menjemur pakaian. Itupun di lakukan pada siang hari."

Mas Firman yang baru menaiki beberapa anak tangga berhenti kemudian mengatakan itu, serentak kami yang masih berada di meja makan menoleh ke arahnya.

"Baik, Mas," sahutku cepat.

Aku melirik Tania dan Laras, mereka saling pandang, entah apa yang ada dipikiran mereka aku tak tau.

"Firman, masa mau naik ke atas aja, nggak boleh." Ibu pun ikut bersuara.

"Tolong, Bu. Hargai keputusanku, jika ingin tinggal di rumah ini, ikuti aturan di rumah ini." Semua terdiam.

Begitulah suamiku, ia akan berkata lembut saat bersamaku, tapi ia juga akan tegas jika ada yang menentang keputusannya.

Memang aku pikir itu memang yang terbaik, Tania bukan siapa-siapa dan bukan muhrim bagi suamiku, jadi sudah seharusnya ada batasan.

Jujur aku sendiri juga risih melihat penampilan Laras dan Tania, yang mengenakan baju seperti kurang bahan, bagaimanapun suamiku adalah lelaki normal, aku takut ia akan tergoda karena melihat pemandangan seperti itu setiap hari.

Setelah membawa semua piring kotor ke dapur, aku menunjukan kamar untuk Laras dan Tania, di bawah memang ada dua kamar, satu kamar untuk Ibu istirahat, dan satu lagi untuk mereka berdua.

"Laras dan juga kamu Tania, saya mohon jika ada di dalam rumah ini, pakailah pakaian yang sopan, jika kalian sedang bekerja di luar silahkan terserah kalian, tapi jika di rumah ini, tolong pakai yang sopan, saya tidak meminta kalian memakai jilbab, tapi setidaknya pakaian yang sedikit menutupi dada dan bahu," ucapku pada mereka saat menunjukkan kamar untuk mereka.

"Kak, Yunita. Kenapa begitu?! apa hak kakak larang kami, suka-suka kita donk. Atau jangan-jangan ...." 

Laras menggantung ucapannya, membuat kedua mataku menyipit, karena rasa penasaran.

"Jangan-jangan Kak Yunita takut. Takut Kak Firman tergoda? Iya kan?"

Laras mendekat ke arahku, dengan sedikit berbisik ia berkata demikian, diiringi tawa kecil. 

"Laras! Mbak sama sekali tidak takut hal itu. Karena Mbak yakin dan sangat percaya dengan Mas Firman." Cepat aku menyahuti perkataan adik iparku yang cantik ini, tapi sifatnya ... Ah, sudahlah.

"Oh, ya! Yakin?" Laras seolah mengejek.

Aku lirik Tania yang sedari tadi hanya diam, dengan mengulas senyum melihat Laras.

"Cukup, Laras! Kalau kalian masih mau tinggal di rumah ini. Mbak harap kalian bisa tau diri. Permisi." Aku melenggang keluar dari kamar itu dengan perasaan kesal.

Benar-benar sejak dulu Laras tidak pernah berubah, meski aku selalu bersikap baik padanya. 

"Ada apa sih kalian ribut-ribut?" tanya Ibu yang melihat aku keluar kamar Laras.

"Nggak ada apa-apa Bu. Yunita cuma ingetin Laras itu aja." Langkahku terhenti dan menjawab pertanyaan Ibu.

"Belum juga sehari Laras tinggal di sini, kamu udah ngatur-ngatur begitu. Ingat ya. Ini rumah Firman anakku. Jadi kamu nggak usah sok ngatur," cetus Ibu mertuaku.

Salahkah aku jika aku mengingatkan suatu hal kebaikan untuk anak gadisnya. Toh berpakaian sopan itu untuk kebaikan anaknya.

"Bukan maksud Yunita seperti itu, Bu. Aku cuma–," 

"Halah sudahlah, sana tuh kamu cuci piring. Tak perlu sok ngatur, kalo jadi istri aja belum becus." Kata-katanya begitu tajam bak belati yang menusuk hati ini.

Aku melangkah ke dapur dan mencuci piring. Terdengar gelak tawa dari kamar Laras entah apa yang dibicarakan dua gadis itu sehingga membuat mereka tertawa terbahak-bahak begitu.

Setelah semuanya selesai, aku memilih untuk langsung naik ke atas. Jika biasanya usai makan malam aku dan suamiku menonton tv di ruang tengah, mulai saat ini mungkin akan berbeda, karena tentu aku merasa kurang nyaman jika ada Laras dan Tania yang kerap kali memakai pakaian seksi.

"Sayang. Sini." Mas Firman menepuk sisi ranjang di sampingnya. Saat melihatku masuk dan tengah melihatnya sedang asyik dengan ponselnya.

"Kamu kenapa? Kok cemberut gitu?" tanyanya saat aku sudah duduk di sampingnya.

"Mas apa aku terima tawaran Leni untuk untuk masuk kembali ke perusahaan tempat kerjaku dulu?" tanyaku hati-hati. Entah ini kali keberapa aku mengungkapkan keinginanku untuk bekerja kembali.

Setelah lulus kuliah aku sempat bekerja selama dua tahun, saat karirku mulai naik, Mas Firman melamarku dan kemudian kami menikah, setelah menikah aku tak di ijinkannya bekerja, ia selalu bilang kalau bekerja itu kewajiban suami, tugas istri hanya fokus mengurus suami. Aku menurutinya sebagai bentuk baktiku kepada sang suami.

Tapi mendengar ibu berkali-kali bilang aku hanya menikmati uang suami, jadi timbul keinginanku untuk kembali bekerja. Sebenarnya dua hari lalu, Leni teman kuliah sekaligus teman satu kantorku dulu sewaktu aku masih bekerja, menyampaikan pesan dari Ibu Agustin atasanku dulu, yang menawarkan kembali pekerjaan padaku. 

Pasalnya posisi yang dulu aku tempati, sekarang ini tengah kosong, karena karyawan penggantiku itu hamil kemudian memilih resign seminggu yang lalu, karena ingin fokus pada kehamilannya. Begitu yang aku dengar dari Leni kemarin.

Mas Firman terdiam sejenak, kemudian menatap dalam ke arahku, sedetik kemudian ia mengulas senyum menampakkan lesung di kedua pipinya. Ah, manis sekali.

"Yunita Sayang, denger ya! Mas masih sanggup memenuhi kebutuhan kita, kamu adalah tanggung jawabku, Sayang. Penghasilanku sudah lebih dari cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kita, bahkan lebih. Aku pun sudah mencukupi semua kebutuhan Ibu juga jatah untuk orangtuamu juga aman. Jadi untuk apalagi kamu ingin kembali bekerja, Hem?" Mas Firman berkata panjang lebar seraya membingkai wajahku. Hingga kedua netraku menatap lekat pada kedua iris hitam miliknya.

Aku membuang napas kasar, dan melepaskan tangannya.

"Mas, aku nggak mau, cuma di bilang istri yang hanya bisanya menikmati uang kamu," tukasku, membuang pandangan ke arah lain.

"Kamu pasti kepikiran omongan Ibu, Ya, Hem?" Aku hanya meliriknya sekilas, mendengar pertanyaan Mas Firman.

"Sayang, sini dengerin aku. Siapa bilang kamu nggak kerja, hampir setiap hari kamu bantuin aku di restoran, kamu ikut sibuk mengurus semuanya, belum lagi kamu di rumah menyiapkan semua kebutuhanku, itu semua sudah cukup melelahkan, Sayang. Jadi kamu tak perlu risau lah dengan perkataan Ibu. Kamu hanya perlu dengarkan aku suamimu." Lagi Mas Firman berkata dengan menggenggam erat tanganku.

Aku hanya terdiam, memang benar yang dikatakan Mas Firman, kewajibanku sebagai istri memang menuruti apa kata suamiku.

"Jadi aku tolak aja nih tawaran dari Bu Agustin?" tanyaku ragu.

Mas Firman menghela napas panjang.

"Masih tanya lagi aku cium nih!" kelakarnya, sambil menahan tawa menatapku.

"Iya, Iyaa," sahutku seraya bangkit dari sisinya.

"Eh, mau kemana Sayang?"

"Salat Isya, nggak denger itu adzan Isya udah berkumandang? Ayo salat."

Mas Firman menggaruk kepalanya yang kuyakini tak gatal itu sambil nyengir kuda.

Kami pun salat jamaah.

"Kamu istirahat ya, Sayang. Aku selesaikan pekerjaanku dulu sebentar." Aku mengangguk. Kemudian merebahkan tubuhku di pembaringan setelah Mas Firman melenggang ke kamar sebelah. Kamar sebelah disulap menjadi ruang kerjanya Mas Firman, ia selalu mengecek semua laporan dari restoran cabang dan memantaunya secara online.

Tanpa terasa mata ini terpejam, saat terbangun Mas Firman tak ada di sampingku. Saat ku lirik jam dinding, menunjukkan jam sebelas malam. Kemana Mas Firman, apa dia masih di ruang kerjanya.

Aku bangkit meraih hijabku, kemudian berjalan keluar kamar, pintu kamar sebelah terbuka, tapi sepi kemana Mas Firman? Biasanya jam segini ia sudah berada di kamar bersamaku.

Aku langsung melangkah menuju tangga dan perlahan menuruni anak tangga, keadaan lampu sudah gelap, hanya lampu dapur yang masih menyala, apa Mas Firman sedang di dapur.

"Aauu! Aduh Kak, Maaf! Aku nggak sengaja, tadi aku cuma mau ambil gelas buat minum."

Tunggu, sayup-sayup aku seperti mendengar suara perempuan, itu suara Tania. Dia bicara sama siapa? Apa ia sedang bersama Mas Firman.

Kupercepat langkahku menuruni anak tangga, dan menghampiri mereka. Pikiranku sudah kemana-mana membayangkan Mas Firman berduaan dengan perempuan itu, apalagi mengingat Tania yang sejak awal datang kemari seperti sudah menaruh rasa pada suamiku. Ah, aku jadi berburuk sangka dengan suamiku sendiri.

Aku setengah berlari menuju ke dapur. Tampak Mas Firman sedang memegang cangkir di tangannya, kaos yang dikenakannya terlihat basah di bagian dadanya dan Tania tengah mengelapnya dengan tisu.

Sejenak aku terpaku menatap mereka. Ada rasa nyeri menjalar begitu saja di dalam sini, melihat pemandangan di hadapanku. 

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status