Share

Bab 3 (Parasit)

"Ehm, Kak Firman, kenalin ini temenku, namanya Tania. Tania ini kakakku, ganteng kan!" 

Laras memperkenalkan temannya itu, dengan gaya centilnya, gadis itu pun bangkit dan mengulurkan tangannya di hadapan suamiku, Mas Firman pun menerima uluran tangannya.

Mas Firman hanya diam, meski Tania terlihat begitu lekat menetap Mas Firman. Hanya sekejap ia menatap ke arah Tania kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Saya, Yunita. Istrinya Mas Firman," sergahku cepat mengulurkan tangan, melihat Tania masih terus memandangi wajah suamiku, tentu aku merasa gerah melihatnya.

"Ah, iya Kak Yunita, saya Tania, teman seprofesi dengan Laras." Aku mengangguk dan tersenyum tipis. Kami berjabat tangan. 

Kemudian ia kembali duduk.

"Yunita, sana kamu bikinin minum. Masa ada tamu gini di diemin aja." Ibu tiba-tiba bersuara saat kami semua sedang duduk. Suaranya terdengar seperti memerintah.

Bahkan di saat ada orang lain pun, Ibu tetap menunjukkan sikap tak sukanya padaku. Tak bisakah barang sedikit saja mengerti perasaanku.

"Iya, Bu. Tentu Yunita akan buatkan minuman spesial untuk tamu kita hari ini," ucapku tegas. Kemudian melenggang ke dapur.

"Mau kemana kamu, Firman. Kamu di sini aja duduk."

Baru beberapa langkah, terdengar Ibu mencegah Mas Firman yang hendak bangkit, mungkin ia ingin menyusulku.

"Firman mau bantuin Yunita buatkan minum, Bu." terdengar Mas Firman menyahutinya. 

Benar saja tak berapa lama terdengar derap langkah Mas Firman di belakangku.

Aku mengambil beberapa gelas dan menatanya di atas nampan. Tiba-tiba terasa sepasang tangan melingkar di perutku, siapa lagi pelakunya kalau bukan Mas Firman. Aku terdiam menghentikan aktivitasku sejenak.

"Maaf ya," bisiknya tepat di telingaku. Aku hanya diam.

"Maaf atas sikap ibuku juga adikku." Lagi ia berbisik, aku membalikkan badan dan menatap wajah tampan lelakiku ini.

Aku mengangguk pelan, saat posisi kami sudah berhadapan.

Mas Firman kembali membingkai wajahku dan mengecup lembut dahi ini.

"Ayo bantuin aku." Aku mengalihkan perhatian, aku tak mau, Mas Firman jadi semakin usil, seperti biasanya. Karena sekarang di rumah ini sedang ada tamu, tak mungkin kami mesra-mesraan di dapur, malu juga kan kalau ada yang lihat.

"Hem." Mas Firman menyipitkan matanya, ia seperti tau ada penolakan pada diriku. 

"Malu kalau ada yang lihat kan, kita mesra-mesraan di dapur," bisikku lirih, berharap ia mengerti dan tidak semakin parah.

"Biarin aja kalau ada yang lihat, orang mesra-mesraan sama istri sendiri kok, bukan sama istri orang," cebiknya kemudian memelukku erat dan menghujani wajahku dengan kecupan.

"Mas, sudah. Cukup. Nanti ibu bisa ngomel lagi nih kalo minumannya belum siap juga. Mas mandi dulu sana. Setelah bawa minuman ini ke depan, aku nyusul mas naik ke atas, kita salat Maghrib. Oke." 

Aku melepaskan pelukannya, kemudian mengambil sirup rasa jeruk dan es batu.

"Oke. Jangan lama-lama ya, Sayang." Mas Firman berlalu kemudian naik tangga menuju kamar kami di lantai dua. 

Setelah semuanya siap aku membawa tiga gelas minuman ke ruang tamu, tak lupa beberapa kue kering juga kuhidangkan.

"Bikin minum begini aja, lama banget," cetus Ibu saat aku meletakkan minuman di meja. Aku memilih tak menanggapi ucapanya.

"Silahkan di minum, saya tinggal dulu mau salat Maghrib," ucapku karena bertepatan dengan suara adzan yang berkumandang dari masjid yang tak jauh dari rumah ini.

Aku melenggang masuk ke dalam. Masih sayup-sayup terdengar Ibu menggerutu.

"Gitu tuh, punya mantu nggak ada sopan-sopannya, ada tamu, malah di tinggal masuk."

Astaghfirullah. Hanya sebait Kalimat itu yang kerap kali kuucapkan. Entah apa yang sedang mereka bicarakan selanjutnya, terdengar gelak tawa membahana dari ruang tamu. Aku sudah tak ingin mendengar apapun lagi, lebih baik kupercepat langkahku naik ke lantai atas untuk salat berjamaah dengan suamiku. 

Saat membuka pintu kamar, ternyata kosong. Hanya terdengar suara gemericik air shower dari kamar mandi, itu artinya Mas Firman masih belum selesai mandi.

Aku siapkan baju ganti untuk suamiku, dan menata sajadah untuk kami salat berjamaah.

Kemudian aku duduk di depan meja rias, melepaskan hijab yang menutupi rambutku. 

Ceklek. 

Terdengar pintu kamar mandi terbuka, menampakkan sosok Mas Firman. Rambutnya yang basah sesekali menetes ke tubuhnya, memperlihatkan dada bidang dengan perut kotak-kotaknya, sebagian tertutupi handuk yang melilit di pinggang hingga kebawah sebelum lututnya. Aku cukup terkesima menatap kekasih halalku yang begitu mempesona. Ia pun sepertinya sengaja menyugar rambutnya, seolah tau aku tengah terbuai pada pemandangan indah di depan mataku. 

"Ehem." Mas Firman berdehem, sibuk tersenyum. Membuatku salah tingkah sudah pasti kedua pipiku tengah merona.

"Ehm ini baju gantinya ya, Mas." Aku wudhu' dulu sebentar," kilahku.

"Tak perlu malu mengakui ketampanan suamimu ini, Sayang." Seketika ucapannya itu membuat pipiku menghangat.

"Pakai bajumu, dan tunggu aku ambil wudhu' sebentar." Aku berlalu dengan tersipu, tanpa mengindahkan ucapan Mas Firman yang memang benar adanya.

Kami menikah bukan sebulan dua bulan, tapi sudah tiga tahun, namun entah mengapa setiap tatapan matanya, selalu mampu menghipnotisku, Mas Firman juga tak pernah jemu menggodaku, membuatku semakin hari semakin cinta padanya. 

Usai selesai salat Maghrib aku turun untuk menyiapkan makan malam. Terlihat Ibu, Laras dan Tania sedang bercengkrama hangat di ruang tengah. 

Aku langsung berjalan ke dapur menghangatkan makanan yang tadi sore kumasak, aku tak ingin di bilang enak-enakan saja di rumah, jadi di saat ibu istirahat di kamarnya aku masak untuk makan malam ini.

Tak berapa lama terdengar Mas Firman turun dari tangga, dan langsung duduk di meja makan. Setelah semuanya siap, aku melenggang hendak menghampiri Ibu dan Laras untuk makan malam, bersama Tania juga tentunya.

"Tunggu sebentar, aku panggil mereka untuk makan sama-sama ya, Mas," ucapku seraya mengusap lembut punggung suamiku yang sudah duduk, ia mengangguk tersenyum.

Makanan sudah siap di atas meja berbentuk persegi panjang dengan enam kursi yang mengelilinginya.

"Ibu, mari kita makan malam, semuanya sudah siap, Mas Firman juga sudah menunggu di meja makan," ujarku, setelah sampai di ruang tengah.

"Ayo kita makan dulu, ayo, Laras sama Tania juga kita makan sama-sama," suara Ibu renyah mengajak Laras dan temannya untuk makan, bahkan tak menanggapi ucapanku. Aku hanya tersenyum menatap mereka, meski senyum palsu yang kuperlihatkan.

Kami semua duduk mengitari meja makan, aku mengambilkan nasi untuk suamiku, beserta sayur dan ikan goreng kesukaan Mas Firman, ada juga udang goreng dan kentang balado.

Aku meraih piring Ibu, hendak kuambilkan nasi untuknya, namun dengan cepat ia menepisnya.

"Biar Ibu ambil sendiri." Aku pun mendekatkan mangkuk nasi padanya, dan kemudian duduk.

"Firman ternyata Tania ini seorang model lho, makanya cantik, iya kan, Firman. Dia itu mandiri tinggal jauh dari orang tuanya ke kota ini demi merintis karir di dunia model." Sambil mengambil nasi dan juga lauk, ibu terus saja menyanjung Tania, apa maksudnya coba. 

Mas Firman bahkan tak bergeming, ia fokus makan makanan yang aku suguhkan.

"Firman. Kamu denger Ibu ngomong nggak sih! Kamu itu harusnya cari istri yang kaya Tania gini, dia cantik, mandiri, pinter cari duit, bukan cuma bisanya nikmatin uang suami aja!"

Aku menghela napas, dari nada suaranya, jelas Ibu sedang menyindirku.

Ibu melirik tajam ke arahku. Sepertinya beliau kesal karena Mas Firman bahkan tak mengindahkan perkataannya.

"Firman!"

"Ibu, sekarang waktunya makan, sebaiknya ibu makan, jika makan sambil ngomong, bisa-bisa tersedak. Lagipula, Firman juga sudah punya istri cantik, shaleha, dan lembut, ia begitu sempurna," ucap Mas Firman tegas sambil tersenyum hangat menatapku.

Betapa bahagianya hati ini mendengar Mas Firman membelaku di depan mereka semua. 

"Iya. Tapi seorang wanita belum dikatakan sempurna jika ia belum bisa hamil dan memberikan keturunan," sanggah Ibu, seakan tak mau kalah.

Aku melirik Laras dan Tania terlihat tersenyum mendengar ucapan Ibu. Apa dia mentertawakan aku karena aku belum juga hamil. Menyebalkan.

Belum lagi sedari tadi Tania terus menerus mencuri pandang ke arah Mas Firman. Kalau saja tak ada Ibu di sini, sudah kumaki-maki itu perempuan.

"Ada anak ataupun tak ada, Yunita tetap istri yang sempurna untuk Firman, Bu." Sekali lagi Mas Firman selalu mencoba membelaku di hadapan ibunya.

"Hah, memang susah ngomong sama kalian berdua. Oh ya, sebelum Tania mendapatkan tempat kos, sementara ia tinggal di sini bersama Laras."

Sejenak, aku dan Mas Firman saling pandang, kami sedikit terkejut jika Tania juga akan tinggal di sini. 

"Bu–." Belum selesai Mas Firman melanjutkan ucapannya, Ibu sudah lebih dulu memotong.

"Cukup Firman! Tania ini kan baru di kota ini, apa kamu nggak kasihan kalau dia kemana-mana sendirian, kan bahaya jika ketemu sama orang jahat. Sudah! Biarkan dia sementara di sini sampai dapat tempat kos dan sedikit mengenal kota ini, lagi pula jika dia tinggal di sini kan, Laras ada temannya kalau mau berangkat kerja." Ibu terus saja nyerocos tanpa bisa di cegah, hingga pada akhirnya aku dan Mas Firman mengalah.

"Oke. Tapi hanya untuk sementara," ucap Mas Firman tegas.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status