Home / Romansa / Mampukah Aku Bertahan / Bab 5 (Tania Mencari Kesempatan)

Share

Bab 5 (Tania Mencari Kesempatan)

Author: Tifa Nurfa
last update Last Updated: 2022-12-11 21:42:14

Diri ini hanya manusia biasa, perempuan lemah yang begitu sangat mencintainya, pun dengan hati ini, begitu cepat terbakar api cemburu saat melihatnya tengah berdua dengan Dia, apa aku terlalu posesif, atau aku berlebihan? 

🌺🌺🌺

Sejenak aku terpaku menatap mereka. Ada rasa nyeri menjalar begitu saja di dalam sini, melihat pemandangan di hadapanku. 

"Saya bisa bersihkan sendiri." Terlihat Mas Firman mundur satu langkah dan meraih tisu di meja.

"Maaf Kak, aku tadi tak sengaja."

"Iya sudah nggak apa-apa. Maaf juga saya tak lihat kamu datang tadi."

"Ehem! Mas, kamu lagi ngapain?" tanyaku saat mereka belum menyadari kedatanganku. Sontak mereka berdua menoleh ke arahku. 

"Sa–Sayang. Kamu bangun?" Mas Firman melangkah maju melewati Tania yang masih berdiri menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti.

Aku hanya memicing, menatap Mas Firman dan Tania secara bergantian. Sebisa mungkin aku tenang dan tak terpancing emosi, melihat Mas Firman tetap tenang sepertinya tak ada hal yang mengkhawatirkan.

Mas Firman menghampiriku dan mengusap lembut pucuk kepalaku.

"Kamu jangan salah paham, ya. Tadi Mas cuma bikin kopi di dapur, terus Tania ke dapur mau ambil gelas katanya, dan nggak sengaja menabrak Mas yang sedang membawa kopi, nih sampai baju Mas basah kena air kopi." 

Mas Firman menjelaskan sambil merangkul pundakku dan berjalan menaiki tangga, tangan kanannya memegang cangkir kopi yang tinggal separuh.

Sesampainya di atas aku masih diam, tak menyahuti ucapan Mas Firman, hingga kami masuk ke kamar, dan duduk di tepi ranjang.

"Sayang, kamu nggak percaya sama aku?" tanya Mas Firman seraya menutup pintu kamar dan menguncinya.

Aku hanya menghela napas panjang, bukan apa-apa, sejak awal Tania datang, ia seperti menyukai Mas Firman, tentu sebagai istri ada rasa kekhawatiran saat wanita itu hadir dan tinggal di rumah kami, yang bisa kapan saja mencari kesempatan untuk menarik perhatian suamiku.

"Sayang ...." Mas Firman mendekat dan duduk di sampingku.

"Lagian kamu ngapain sih malam-malam turun bikin kopi, bukannya biasanya jam segini kamu udah tidur!" sahutku sedikit ketus, rasanya masih tak rela tadi perempuan itu sempat menyentuh dada bidang suamiku.

"Mas masih mengecek laporan uang yang masuk hari ini, Sayang. Karena mata ini sedikit ngantuk, Mas bikin kopi biar seger. Eh selesai bikin kopi, Tania masuk ke dapur dan nggak sengaja kami tubrukan di pintu dapur." jelasnya lagi.

"Sayang, kamu lihat Mas! Apa Mas terlihat sedang berbohong?"

Melihatku masih diam, dengan cepat Mas Firman membingkai wajahku dan memaksa untuk menatap netranya.

Aku menatap dalam kedua manik mata itu, tak terlihat adanya kebohongan di sana. Aku pun menggeleng. Mas Firman pun tersenyum dan mengecup keningku.

"Aku cuma takut, Mas. Jujur sejak Tania datang, aku sempat beberapa kali melihatnya tengah mencuri pandang ke arahmu, tentu Aku takut dia mencari-cari kesempatan untuk bisa dekat denganmu. Karena Aku yakin dia menyukaimu, Mas."

Tanpa terasa bulir bening lolos begitu saja bersama kekhawatiran yang tengah kurasakan.

"Sayang, yang penting kan, di hati Mas cuma ada kamu. Kamu jauh lebih cantik darinya. Aku mencintaimu. Percayalah cinta di hati Mas sudah tumbuh dan bersemi sejak awal kita berjumpa, tak akan luruh hanya dengan wanita seperti Tania." Mas Firman memelukku erat.

"Sungguh?"

"Ehm. Apa perlu aku carikan tempat kos untuk Tania agar dia tak tinggal di rumah ini?" tanyanya sambil meregangkan pelukannya.

Seketika membuat kedua mataku membeliak.

"Tak perlulah Mas, nanti Ibu jadi salah paham lagi sama aku," sanggahku.

"Yah abisnya kalau ada Dia di rumah ini, bikin istri Mas dilanda cemburu, ya kan?"

"Iya, yaa ... Maaf ya, Mas. Kalau aku berlebihan."

"Nggak apa-apa Sayang, itu artinya kamu cinta sama Mas," ujarnya sambil mengangkat daguku dan tersenyum, perlahan kurasakan tangannya mulai jahil, dan matanya terlihat mulai berkabut, aku tersenyum menatapnya, dan kulakukan sepenuh hati. 

Aku sadar dengan segala pesona dan kelebihan yang dimiliki suamiku, tentu ada banyak wanita di luar sana yang menginginkannya. Aku tak ingin ia terpancing oleh mereka di luaran.

Kami pun merajut cinta malam ini dengan begitu indah, Mas Firman selalu memperlakukanku dengan baik, penuh kelembutan, hingga mampu membawaku terbuai menyelami lautan cinta, hingga kami sama-sama terlelap usai mereguk nikmatnya surga dunia, yang telah Allah halalkan bagi kami.

Aku terjaga saat mendengar lantunan shalawat Tahrim dari masjid komplek ini, pertanda sebentar lagi adzan subuh berkumandang. 

Aku membuka mata, dan melirik ke samping, Mas Firman masih terlelap sambil memelukku dari belakang, aku pun mengusap lembut wajahnya yang tampan, ia pun mengerejap, dan mengeratkan pelukannya kemudian perlahan membuka matanya dan tersenyum. 

"Makasih ya," ucapnya lirih.

Aku mengangguk kemudian membenamkan kepalaku dalam dekapannya.

"Aku mandi dulu ya, Mas." Mas Firman mengangguk. Perlahan aku melonggarkan pelukannya dan bangkit menuju kamar mandi.

"Nggak bareng aja, biar cepet? Hem?" 

"Nggak Mas, yang ada nanti makin tambah lama." Aku berjalan cepat dan masuk ke kamar mandi, sebelum omesnya timbul lagi. Terdengar ia terkekeh mendengar jawabanku.

*

"Mas hari ini aku ikut ke Rumah makan, Ya?" pintaku saat ia sedang mengeringkan rambutku.

"Kamu capek nggak? Kalau capek mending istirahat di rumah," sahutnya.

"Nggak aku nggak capek kok."

"Oke."

Setelah rambutku di rasa setengah kering, aku turun ke bawah dan menyiapkan sarapan pagi ini. Di bawah masih sepi, mungkin Ibu dan Laras belum juga bangun.

Aku memasak capcay dan telur dadar yang cepat, dan praktis untuk sarapan pagi ini.

Saat tengah menyiapkan piring di meja, terlihat Tania keluar kamar dan masuk ke kamar mandi.

Aku pun mengetuk pintu kamar Ibu dan Laras mengajak mereka sarapan bersama. Ibu pun keluar kamar sudah rapi sepertinya beliau akan pulang pagi ini.

Laras pun keluar kamar, terlihat ia masih ngantuk, sesekali masih menguap sambil berjalan menuju meja makan. Tak berapa lama Mas Firman juga turun sudah rapi mengenakan kemeja yang tadi sudah kusiapkan.

Kami pun sarapan pagi, Tania juga ikut gabung sarapan setelah ia selesai mandi.

"Ibu, sudah rapi?" tanya Mas Firman.

Aku isi piring Mas Firman dengan nasi dan sayur.

"Iya, hari ini Ibu akan pulang, kamu jaga baik-baik adikmu di sini." 

"Firman antar ya, Bu."

"Nggak perlu lah, kamu kan juga harus berangkat ke resto, ibu bisa naik taksi nanti. Oh ya sekalian kamu berangkat, kamu antar Laras dan Tania ke tempat lokasi fashion show ya, lokasinya di hotel tak jauh dari Resto kamu itu.

"Iya, Bu."

Setelah sarapan Ibu pun pamit pulang. 

"Ingat ya Firman, kalau Yunita tak juga hamil, kamu harus mau menikah lagi dengan Tania, dia cantik Ibu yakin dia bisa kasih cucu buat Ibu." Ibu berkata sambil melirik ke arahku.

"Ibu apa-apaan sih! Kita hanya perlu bersabar, Bu. Tak perlu lah ibu bicara seperti itu," sahut Mas Firman.

"Sabar, Sabar! Sampai kapan? Memangnya hidup berumah tangga hanya bisa makan cinta? Rumah tangga itu juga perlu adanya keturunan. Kalau nggak ada anak buat apa!" Lagi Ibu berkata seolah tak lagi memperdulikan perasaanku yang kini semakin tercabik. 

Aku melirik ke arah Laras, dan Tania mereka tersenyum simpul.

"Sudahlah, Bu. Jangan ngomong yang aneh-aneh."

"Kamu ini, selalu begitu kalau di kasih tau orang tua! Ya sudah, Ibu pamit."

Mas Firman meraih punggung tangan ibunya dan menciumnya takzim. Kemudian bergantian denganku dan juga pada Laras dan Tania. Bahkan Ibu terlihat begitu dekat saat memeluk dan cipika cipiki dengan Tania yang baru di kenalnya kemarin.

Ibu pun berlalu memasuki mobil taksi yang sudah di pesan oleh Mas Firman.

Kemudian kami pun bersiap untuk berangkat untuk ke resto.

"Lokasi fashion shownya di mana Ras?" tanya Mas Firman pada adik semata wayangnya itu.

"Itu di hotel seberang Restorannya Kakak," sahutnya sambil tangannya sibuk membenarkan tatanan rambutnya.

Saat kami sudah sampai di samping mobil, tiba-tiba Tania menyerobot masuk ke dalam mobil, dan duduk di samping kemudi. Aku sedikit tersentak melihat sikapnya.

"Tania, kamu duduk di belakang sama Laras." Mas Firman yang sudah membuka pintu kemudi itu menunda duduk dan memerintahkan Tania untuk pindah ke jok belakang.

"Ta–Tapi Kak, aku kalau duduk di belakang, aku suka mabuk perjalanan, jadi biarkan aku duduk di depan yah," kilahnya.

Aku hanya menggeleng, sungguh suatu alasan yang amat sangat tidak masuk akal, memangnya dia belum pernah naik mobil, sampai membuat alasan seperti itu.

Laras memasuki mobil dan duduk di jok belakang.

Mendengar alasan Laras, tentu membuatku muak.

"Silahkan pindah ke belakang, atau aku seret paksa ke belakang!" ucapku dengan penuh penekanan.

Tania terlihat pucat menatapku, jangan kira aku akan terus diam saja, melihat sikapnya yang diam-diam ingin mendekati suamiku. Tidak. Itu tidak akan terjadi.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mampukah Aku Bertahan    Bab 92 (Ending)

    Mengapa rasa sakit ini melebihi rasanya sakit hati ketika putus cinta? Aku seakan tengah berlayar di lautan tenang tiba-tiba di terjang badai ombak yang begitu dahsyat hingga kapal yang kukemudikan terombang-ambing.Aku melajukan mobilku menuju ke pemakaman dimana Bapak beristirahat dengan tenang, teringat saat aku masih anak-anak dulu, Aku pernah di ajak Bapak ke pemakaman, namun aku yang masih kecil pun tak bertanya itu makam siapa, dan Bapak juga tak bicara apapun soal makam itu. Aku yang sejak kecil tak pernah kekurangan kasih sayang dari orang tua pun tak sedikitpun aku mengira akan seperti ini kenyataannya.Terlihat sepele, aku ternyata bukanlah anak kandung Ibu, tapi Ibu menyayangiku seperti anak kandungnya, tapi tetap saja hati ini terkoyak, ada rasa sakit menelusup ke dalam sini. Air mataku luruh begitu saja, di sepanjang jalan aku mengemudi. Sakit. Aku mengetahui kenyataan ini di saat Bapak sudah tiada, andaikan saja mereka menceritakan ini jauh sebelum Bapak pergi, mungki

  • Mampukah Aku Bertahan    Bab 91 ( Kenyataan Menyakitkan)

    POV Firman"Ehm, Bu. Alhamdulillah tebakan Ibu benar!" ucapku sumringah pada Ibu yang sudah menatap kami penuh tanya."Alhamdulillah! Akhirnya. Ibu mau punya Cucu!" Ibu menghambur ke arah Yunita dan memeluknya erat."Selamat ya Yun, Ibu seneng banget dengernya akhirnya kamu bisa hamil dan kasih cucu untuk Ibu. Maafkan Ibu yang kemarin-kemarin begitu angkuh dan nyakitin kamu! Ibu minta maaf Nak!" ucap Ibu dengan suara parau, Punggungnya bergetar. Ibu menangis dalam pelukan istriku.Aku hanya menatap haru."Ini semua berkat Doa Ibu, Yunita yang harusnya bilang makasih sama Ibu, Ibu sudah bisa menerima Yunita yang banyak kekurangan ini." Lembut Yunita mengusap punggung Ibu."Nggak Sayang. Ibu yang banyak salah sama Yuni, Ibu minta maaf." Yunita mengangguk, seraya mengulum senyum."Sudah Bu. Kita lupakan semua yang sudah berlalu, kita buka lembaran baru menyambut anggota keluarga baru di rumah ini." Aku mengusap punggung Ibu."Iya, Man. Jaga baik-baik istrimu dan calon bayinya ya!""Iya,

  • Mampukah Aku Bertahan    Bab 90 (Semua ada Konsekuensinya)

    POV FirmanDi sebuah ruangan dimana ada Laras berdiri di sana, bersama seorang temannya, dan Tania terbaring di ranjang rumah sakit, terlihat tengah menangis tersedu-sedu. Kenapa Dia?"Laras!" panggilku. Laras tengah berdiri di sisi ranjang, sepertinya sedang menenangkan Tania. Laras sepertinya tidak mendengar Aku memanggilnya.Belum juga Laras menoleh ke arahku, aku sudah dibuat terkejut oleh pertanyaan seorang perawat yang sudah berdiri di belakangku."Maaf Apa Bapak suaminya Ibu Tania?" Degh!"Oh bukan Sus. Saya mau jemput adik saya Laras," tegasku seraya mengibaskan tangan pada perawat itu.Seketika Laras menoleh ke arahku, mungkin karena mendengar namanya kusebut."Kak Firman!""Ayo pulang!" ajakku."Oh saya kira, suaminya pasien. Maaf ya Pak!""Iya gak apa-apa, Sus. Saya permisi!"Aku mendekati Laras dan menggandeng tangannya. Aku bahkan tak melirik sedikit pun ke arah Tania."Kak Firman!" panggil Tania lirih, namun masih jelas terdengar olehku."Ehm Tania, Gue pamit pulang dul

  • Mampukah Aku Bertahan    Bab 89 (Hamil)

    POV FirmanAku dan Yunita pun saling pandang, mendengar percakapan Laras di telepon, terdengar kata kalau Tania pingsan. Pingsan kenapa Dia, kenapa pula menghubunginya pada Laras, kenapa tidak langsung di bawa ke rumah sakit, berbagai pertanyaan muncul dalam benakku."Udah Yuk, Sayang kita ke klinik sekarang!" ajakku pada Yunita, aku juga tak ingin di pusingkan dengan urusan Tania yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kami."Ya udah Ayo!" Yunita pun mengamit lenganku dan bergelayut manja menuju ke luar rumah."Wah ini motornya, Sayang." Yunita menyentuh dan mengitari motor itu ketika kami sampai di teras rumah."Iya, bagus ya, Sayang. Pilihan kamu memang tak pernah salah." Aku memujinya, karena motor itu memang Dia yang memilih.Beberapa saat Yunita memperhatikan motor itu."Udah Yuk, Sayang. Nanti keburu malam, jadi makin ngantri di klinik." Aku mengingatkan, karena jika semakin malam juga khawatir kliniknya tutup. Malam ini juga malam Minggu, tentu di jalan juga

  • Mampukah Aku Bertahan    Bab 88 (Terkejut)

    POV FirmanSetelah menyelesaikan semuanya. Aku pun pamit pulang. Karena sebentar lagi pasti pihak dealer akan mengantarkan motor yang aku beli siang tadi. "Pulang sekarang, Yuk Sayang.""Ayo!"Kami pun berjalan bersisian menuju ke mobil yang terparkir di parkiran Rumah makan."Kira-kira udah diantar belum ya Mas, motornya?" tanya Yunita"Kayaknya sih belum, Laras juga nggak ada telpon Mas. Kalo udah datang pasti Dia kaget dan bingung, kan pasti telpon Mas.""Iya juga Ya." Yunita terlihat begitu bersemangat, meski wajahnya masih terlihat pucat, tapi tidak menutupi rona bahagia yang terpancarkan."Sayang, kamu beneran nggak apa-apa. Wajah kamu pucat lho." "Nggak apa-apa, Mas. Cuma sedikit pusing sih. Nanti aku sampai rumah langsung istirahat aja. Mas nggak usah khawatir, ya!" Meskipun Yunita bicara dengan tenang dan seakan Ia benar-benar baik-baik saja. Tapi tetap saja aku mengkhawatirkannya. Tak biasanya Dia seperti ini.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota

  • Mampukah Aku Bertahan    Bab 87 (POV Firman)

    Pov FirmanTak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Ibu dan adikku bisa akur dengan istriku. Itu adalah harapan yang selalu aku langitkan di setiap sujudku. Akhirnya Allah menjawab semuanya sekarang. Ibuku sudah kembali seperti dulu, wanita cinta pertamaku sudah kembali lembut dan hangat padaku.Meskipun beberapa tahun belakangan ini, Ibu lebih menunjukkan rasa tak sukanya pada Yunita, istriku. Tapi itu sama artinya juga untukku. Karena istriku adalah cerminan diriku. Jika ada yang mencela atau tidak menyukainya, itu sama saja mencelaku. Aku hanya mampu membesarkan hati Yunita, menghiburnya, dan meminta maaf padanya atas nama Ibu. Hanya itu yang bisa kulakukan, meski dalam hatiku juga merasakan sakit yang sama.Alhamdulillah setelah acara makan malam di restoran itu sikap Ibu banyak berubah. Entah apa yang melatarbelakangi perubahan sikap Ibu pada kami, terutama padaku dan Yunita. Ibu menjadi begitu baik dan tidak lagi memintaku menikahi Tania.Sungguh sebuah keajaiban yang beg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status