Share

Bab 5 (Tania Mencari Kesempatan)

Diri ini hanya manusia biasa, perempuan lemah yang begitu sangat mencintainya, pun dengan hati ini, begitu cepat terbakar api cemburu saat melihatnya tengah berdua dengan Dia, apa aku terlalu posesif, atau aku berlebihan? 

🌺🌺🌺

Sejenak aku terpaku menatap mereka. Ada rasa nyeri menjalar begitu saja di dalam sini, melihat pemandangan di hadapanku. 

"Saya bisa bersihkan sendiri." Terlihat Mas Firman mundur satu langkah dan meraih tisu di meja.

"Maaf Kak, aku tadi tak sengaja."

"Iya sudah nggak apa-apa. Maaf juga saya tak lihat kamu datang tadi."

"Ehem! Mas, kamu lagi ngapain?" tanyaku saat mereka belum menyadari kedatanganku. Sontak mereka berdua menoleh ke arahku. 

"Sa–Sayang. Kamu bangun?" Mas Firman melangkah maju melewati Tania yang masih berdiri menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti.

Aku hanya memicing, menatap Mas Firman dan Tania secara bergantian. Sebisa mungkin aku tenang dan tak terpancing emosi, melihat Mas Firman tetap tenang sepertinya tak ada hal yang mengkhawatirkan.

Mas Firman menghampiriku dan mengusap lembut pucuk kepalaku.

"Kamu jangan salah paham, ya. Tadi Mas cuma bikin kopi di dapur, terus Tania ke dapur mau ambil gelas katanya, dan nggak sengaja menabrak Mas yang sedang membawa kopi, nih sampai baju Mas basah kena air kopi." 

Mas Firman menjelaskan sambil merangkul pundakku dan berjalan menaiki tangga, tangan kanannya memegang cangkir kopi yang tinggal separuh.

Sesampainya di atas aku masih diam, tak menyahuti ucapan Mas Firman, hingga kami masuk ke kamar, dan duduk di tepi ranjang.

"Sayang, kamu nggak percaya sama aku?" tanya Mas Firman seraya menutup pintu kamar dan menguncinya.

Aku hanya menghela napas panjang, bukan apa-apa, sejak awal Tania datang, ia seperti menyukai Mas Firman, tentu sebagai istri ada rasa kekhawatiran saat wanita itu hadir dan tinggal di rumah kami, yang bisa kapan saja mencari kesempatan untuk menarik perhatian suamiku.

"Sayang ...." Mas Firman mendekat dan duduk di sampingku.

"Lagian kamu ngapain sih malam-malam turun bikin kopi, bukannya biasanya jam segini kamu udah tidur!" sahutku sedikit ketus, rasanya masih tak rela tadi perempuan itu sempat menyentuh dada bidang suamiku.

"Mas masih mengecek laporan uang yang masuk hari ini, Sayang. Karena mata ini sedikit ngantuk, Mas bikin kopi biar seger. Eh selesai bikin kopi, Tania masuk ke dapur dan nggak sengaja kami tubrukan di pintu dapur." jelasnya lagi.

"Sayang, kamu lihat Mas! Apa Mas terlihat sedang berbohong?"

Melihatku masih diam, dengan cepat Mas Firman membingkai wajahku dan memaksa untuk menatap netranya.

Aku menatap dalam kedua manik mata itu, tak terlihat adanya kebohongan di sana. Aku pun menggeleng. Mas Firman pun tersenyum dan mengecup keningku.

"Aku cuma takut, Mas. Jujur sejak Tania datang, aku sempat beberapa kali melihatnya tengah mencuri pandang ke arahmu, tentu Aku takut dia mencari-cari kesempatan untuk bisa dekat denganmu. Karena Aku yakin dia menyukaimu, Mas."

Tanpa terasa bulir bening lolos begitu saja bersama kekhawatiran yang tengah kurasakan.

"Sayang, yang penting kan, di hati Mas cuma ada kamu. Kamu jauh lebih cantik darinya. Aku mencintaimu. Percayalah cinta di hati Mas sudah tumbuh dan bersemi sejak awal kita berjumpa, tak akan luruh hanya dengan wanita seperti Tania." Mas Firman memelukku erat.

"Sungguh?"

"Ehm. Apa perlu aku carikan tempat kos untuk Tania agar dia tak tinggal di rumah ini?" tanyanya sambil meregangkan pelukannya.

Seketika membuat kedua mataku membeliak.

"Tak perlulah Mas, nanti Ibu jadi salah paham lagi sama aku," sanggahku.

"Yah abisnya kalau ada Dia di rumah ini, bikin istri Mas dilanda cemburu, ya kan?"

"Iya, yaa ... Maaf ya, Mas. Kalau aku berlebihan."

"Nggak apa-apa Sayang, itu artinya kamu cinta sama Mas," ujarnya sambil mengangkat daguku dan tersenyum, perlahan kurasakan tangannya mulai jahil, dan matanya terlihat mulai berkabut, aku tersenyum menatapnya, dan kulakukan sepenuh hati. 

Aku sadar dengan segala pesona dan kelebihan yang dimiliki suamiku, tentu ada banyak wanita di luar sana yang menginginkannya. Aku tak ingin ia terpancing oleh mereka di luaran.

Kami pun merajut cinta malam ini dengan begitu indah, Mas Firman selalu memperlakukanku dengan baik, penuh kelembutan, hingga mampu membawaku terbuai menyelami lautan cinta, hingga kami sama-sama terlelap usai mereguk nikmatnya surga dunia, yang telah Allah halalkan bagi kami.

Aku terjaga saat mendengar lantunan shalawat Tahrim dari masjid komplek ini, pertanda sebentar lagi adzan subuh berkumandang. 

Aku membuka mata, dan melirik ke samping, Mas Firman masih terlelap sambil memelukku dari belakang, aku pun mengusap lembut wajahnya yang tampan, ia pun mengerejap, dan mengeratkan pelukannya kemudian perlahan membuka matanya dan tersenyum. 

"Makasih ya," ucapnya lirih.

Aku mengangguk kemudian membenamkan kepalaku dalam dekapannya.

"Aku mandi dulu ya, Mas." Mas Firman mengangguk. Perlahan aku melonggarkan pelukannya dan bangkit menuju kamar mandi.

"Nggak bareng aja, biar cepet? Hem?" 

"Nggak Mas, yang ada nanti makin tambah lama." Aku berjalan cepat dan masuk ke kamar mandi, sebelum omesnya timbul lagi. Terdengar ia terkekeh mendengar jawabanku.

*

"Mas hari ini aku ikut ke Rumah makan, Ya?" pintaku saat ia sedang mengeringkan rambutku.

"Kamu capek nggak? Kalau capek mending istirahat di rumah," sahutnya.

"Nggak aku nggak capek kok."

"Oke."

Setelah rambutku di rasa setengah kering, aku turun ke bawah dan menyiapkan sarapan pagi ini. Di bawah masih sepi, mungkin Ibu dan Laras belum juga bangun.

Aku memasak capcay dan telur dadar yang cepat, dan praktis untuk sarapan pagi ini.

Saat tengah menyiapkan piring di meja, terlihat Tania keluar kamar dan masuk ke kamar mandi.

Aku pun mengetuk pintu kamar Ibu dan Laras mengajak mereka sarapan bersama. Ibu pun keluar kamar sudah rapi sepertinya beliau akan pulang pagi ini.

Laras pun keluar kamar, terlihat ia masih ngantuk, sesekali masih menguap sambil berjalan menuju meja makan. Tak berapa lama Mas Firman juga turun sudah rapi mengenakan kemeja yang tadi sudah kusiapkan.

Kami pun sarapan pagi, Tania juga ikut gabung sarapan setelah ia selesai mandi.

"Ibu, sudah rapi?" tanya Mas Firman.

Aku isi piring Mas Firman dengan nasi dan sayur.

"Iya, hari ini Ibu akan pulang, kamu jaga baik-baik adikmu di sini." 

"Firman antar ya, Bu."

"Nggak perlu lah, kamu kan juga harus berangkat ke resto, ibu bisa naik taksi nanti. Oh ya sekalian kamu berangkat, kamu antar Laras dan Tania ke tempat lokasi fashion show ya, lokasinya di hotel tak jauh dari Resto kamu itu.

"Iya, Bu."

Setelah sarapan Ibu pun pamit pulang. 

"Ingat ya Firman, kalau Yunita tak juga hamil, kamu harus mau menikah lagi dengan Tania, dia cantik Ibu yakin dia bisa kasih cucu buat Ibu." Ibu berkata sambil melirik ke arahku.

"Ibu apa-apaan sih! Kita hanya perlu bersabar, Bu. Tak perlu lah ibu bicara seperti itu," sahut Mas Firman.

"Sabar, Sabar! Sampai kapan? Memangnya hidup berumah tangga hanya bisa makan cinta? Rumah tangga itu juga perlu adanya keturunan. Kalau nggak ada anak buat apa!" Lagi Ibu berkata seolah tak lagi memperdulikan perasaanku yang kini semakin tercabik. 

Aku melirik ke arah Laras, dan Tania mereka tersenyum simpul.

"Sudahlah, Bu. Jangan ngomong yang aneh-aneh."

"Kamu ini, selalu begitu kalau di kasih tau orang tua! Ya sudah, Ibu pamit."

Mas Firman meraih punggung tangan ibunya dan menciumnya takzim. Kemudian bergantian denganku dan juga pada Laras dan Tania. Bahkan Ibu terlihat begitu dekat saat memeluk dan cipika cipiki dengan Tania yang baru di kenalnya kemarin.

Ibu pun berlalu memasuki mobil taksi yang sudah di pesan oleh Mas Firman.

Kemudian kami pun bersiap untuk berangkat untuk ke resto.

"Lokasi fashion shownya di mana Ras?" tanya Mas Firman pada adik semata wayangnya itu.

"Itu di hotel seberang Restorannya Kakak," sahutnya sambil tangannya sibuk membenarkan tatanan rambutnya.

Saat kami sudah sampai di samping mobil, tiba-tiba Tania menyerobot masuk ke dalam mobil, dan duduk di samping kemudi. Aku sedikit tersentak melihat sikapnya.

"Tania, kamu duduk di belakang sama Laras." Mas Firman yang sudah membuka pintu kemudi itu menunda duduk dan memerintahkan Tania untuk pindah ke jok belakang.

"Ta–Tapi Kak, aku kalau duduk di belakang, aku suka mabuk perjalanan, jadi biarkan aku duduk di depan yah," kilahnya.

Aku hanya menggeleng, sungguh suatu alasan yang amat sangat tidak masuk akal, memangnya dia belum pernah naik mobil, sampai membuat alasan seperti itu.

Laras memasuki mobil dan duduk di jok belakang.

Mendengar alasan Laras, tentu membuatku muak.

"Silahkan pindah ke belakang, atau aku seret paksa ke belakang!" ucapku dengan penuh penekanan.

Tania terlihat pucat menatapku, jangan kira aku akan terus diam saja, melihat sikapnya yang diam-diam ingin mendekati suamiku. Tidak. Itu tidak akan terjadi.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status