"Makanya, Mbak kalo kerja itu yang bener donk! Mbak tau nggak, saya ini calon istrinya Kak Firman, kamu tau?! Saya bisa laporkan ini ke Kak Firman, biar di pecat aja kamu!"
"Sekali lagi saya mohon maaf kakak, tolong jangan laporkan ke Pak Firman, saya sangat butuh pekerjaan ini." Lagi Fitri memohon.Tanpa membuang waktu aku segera berjalan menemui mereka yang tengah menjadi tontonan pengunjung lain."Vita, tolong kamu panggilkan Pak Firman di ruangannya ya, cepat!" titahku pada Vita karyawan bagian kebersihan untuk memanggil Mas Firman, sebelum aku melangkah menuju Fitri dan Tania.Aku lihat sekeliling, Tania hanya sendiri dimana Laras."Kamu tau nggak, baju ini harganya berapa, gaji kamu sebulan juga nggak akan cukup buat gantiin baju ini." Tania dengan suara lantang menghardik Fitri yang hanya terdiam."Tania, Fitri, ada apa ini ribut-ribut? Kalian itu mengganggu ketenangan orang-orang yang lagi makan tau! Kita bicara di dalam, kalian ikut saya," ucapku."Lihat aja nih Kak, dia ini memang nggak becus kerjanya, sampe numpahin minuman ke baju aku. Nih lihat baju aku basah semua," tukas Tania."Tania, cukup! Ikut Kakak ke dalam. Jangan bikin onar di sini," pungkasku tegas kemudian melangkah."Maaf ya kakak-kakak silahkan dilanjutkan makannya, ini hanya insiden kecil, mohon maaf mengganggu kenyamanannya," Melihat para pengunjung yang tengah memperhatikan kami, spontan aku mengucapkan kata itu, dan mereka tersenyum ramah memaklumi kejadian itu.Beberapa orang terdengar saling berbisik."Yaelah, cuma basah sedikit aja memaki-makinya sampai segitunya.""Sayang banget, cantik tapi nggak punya rasa belas kasihan.""Eh bukanya Bu Yunita itu istrinya Pak Firman, ya? Owner rumah makan ini? Kenapa tuh cewek ngaku-ngaku calon istrinya Pak Firman.""Iya, ih! Nggak ngaca apa ya! Cantik-cantik tapi mau jadi pelakor."Bisikan-bisikan beberapa orang pengunjung masih terdengar di telingaku. Hingga kami masuk ke dalam dan terlihat Mas Firman tengah tergopoh-gopoh hendak menemui kami."Ada apa ini? Tania, Fitri? Kenapa kalian ribut-ribut?" tanya Mas Firman setelah kami duduk di depan ruangan Mas Firman."Lihat ini Kak, bajuku basah kena jus yang di bawa sama dia nih. Jadi kotor semua begini kan?""Ta–Tapi saya beneran nggak sengaja Pak, saya tadi buru-buru karena pelanggan begitu ramai berdatangan," sahut Fitri tertunduk dalam."Makanya kalo jalan itu pake mata! –.""Tania cukup! Kamu nggak perlu bicara kasar seperti itu, Fitri juga sudah meminta maaf," sergahku cepat sebelum ia kembali menghardik Fitri, bagaimanapun Fitri sudah hampir setahun ini bekerja di sini, dan selama ini kinerjanya bagus."Saya mohon Pak Firman, jangan pecat saya. Saya sedang butuh sekali pekerjaan ini untuk membiayai hidup saya dan ibu saya yang sedang sakit Pak." Fitri mengiba."Halah, ngeles terus!""Tania! Tolong kamu diam!" Tegas Mas Firman berucap, hingga Tania pun terlihat kaget, dan langsung diam."Tania!" Tiba-tiba Laras datang tergopoh-gopoh serta Iwan datang dibelakangnya."Maaf, Pak Firman, tadi saya sedang di belakang." Iwan pun meminta maaf karena saat terjadi keributan ia sedang tidak di tempat."Sudah Fit, saya tidak akan pecat kamu, lain kali hati-hati ya kerjanya, saya melihat hasil kerja kamu selama ini bagus, tak mungkin saya tiba-tiba langsung pecat kamu karena hal sepele seperti ini. Sekarang kamu kembali ke pekerjaan kamu." Mas Firman berucap tenang dan bijaksana."Baik pak, terimakasih banyak ya Pak! Semoga Bapak sehat selalu, dan rumah tangga Bapak dan Ibu Yunita bahagia selalu," ucap Fitri dengan mata berkaca-kaca."Iya, terimakasih ya." Aku mengangguk mengamini doanya, dan menepuk punggungnya sebelum ia berlalu.Tania berdecak kesal, terlihat ia cemberut sambil menghentakkan kakinya."Iwan, tolong kamu perhatikan lagi ya, saya nggak mau kejadian seperti ini terulang lagi, hal seperti ini akan membuat pengunjung lain merasa tidak nyaman. Dan kamu Tania! Tolong jaga bicaramu! Laras, sekarang bawa dia pulang, saya tidak mau melihatnya datang lagi kemari!" pungkas Mas Firman."Baik, Pak! Saya permisi." Iwan mengangguk kemudian pamit melanjutkan pekerjaannya."Ta–tapi Kak, kami bahkan belum sempat makan, masa di suruh pulang sih!" protes Laras"Nanti kakak kirim makanan ke rumah. Jangan protes! Sekarang juga bawa temanmu ini pulang!" Mas Firman berkata dengan tegas, sambil menatap tajam ke arah mereka berdua.Aku hanya menggelengkan kepala, Tania seorang model cantik tapi sungguh tak punya attitude yang baik sama orang lain, hanya karena orang itu mungkin pekerjaan lebih rendah darinya.Tania dan Laras pun melangkah keluar dengan masam, saat melewati para pengunjung, terdengar mereka menyoraki Tania. Mereka berjalan dengan cepat keluar dari rumah makan ini.Aku hanya menghela napas, setelah kejadian ini, aku harus lebih hati-hati lagi dengan Tania, apalagi tadi aku sempat mendengar ia mengucapkan kata 'calon istrinya Pak Firman' melihat sikapnya tadi, aku bisa menyimpulkan dia bisa saja berbuat nekat untuk mencapai tujuannya.Bersambung.Mengapa rasa sakit ini melebihi rasanya sakit hati ketika putus cinta? Aku seakan tengah berlayar di lautan tenang tiba-tiba di terjang badai ombak yang begitu dahsyat hingga kapal yang kukemudikan terombang-ambing.Aku melajukan mobilku menuju ke pemakaman dimana Bapak beristirahat dengan tenang, teringat saat aku masih anak-anak dulu, Aku pernah di ajak Bapak ke pemakaman, namun aku yang masih kecil pun tak bertanya itu makam siapa, dan Bapak juga tak bicara apapun soal makam itu. Aku yang sejak kecil tak pernah kekurangan kasih sayang dari orang tua pun tak sedikitpun aku mengira akan seperti ini kenyataannya.Terlihat sepele, aku ternyata bukanlah anak kandung Ibu, tapi Ibu menyayangiku seperti anak kandungnya, tapi tetap saja hati ini terkoyak, ada rasa sakit menelusup ke dalam sini. Air mataku luruh begitu saja, di sepanjang jalan aku mengemudi. Sakit. Aku mengetahui kenyataan ini di saat Bapak sudah tiada, andaikan saja mereka menceritakan ini jauh sebelum Bapak pergi, mungki
POV Firman"Ehm, Bu. Alhamdulillah tebakan Ibu benar!" ucapku sumringah pada Ibu yang sudah menatap kami penuh tanya."Alhamdulillah! Akhirnya. Ibu mau punya Cucu!" Ibu menghambur ke arah Yunita dan memeluknya erat."Selamat ya Yun, Ibu seneng banget dengernya akhirnya kamu bisa hamil dan kasih cucu untuk Ibu. Maafkan Ibu yang kemarin-kemarin begitu angkuh dan nyakitin kamu! Ibu minta maaf Nak!" ucap Ibu dengan suara parau, Punggungnya bergetar. Ibu menangis dalam pelukan istriku.Aku hanya menatap haru."Ini semua berkat Doa Ibu, Yunita yang harusnya bilang makasih sama Ibu, Ibu sudah bisa menerima Yunita yang banyak kekurangan ini." Lembut Yunita mengusap punggung Ibu."Nggak Sayang. Ibu yang banyak salah sama Yuni, Ibu minta maaf." Yunita mengangguk, seraya mengulum senyum."Sudah Bu. Kita lupakan semua yang sudah berlalu, kita buka lembaran baru menyambut anggota keluarga baru di rumah ini." Aku mengusap punggung Ibu."Iya, Man. Jaga baik-baik istrimu dan calon bayinya ya!""Iya,
POV FirmanDi sebuah ruangan dimana ada Laras berdiri di sana, bersama seorang temannya, dan Tania terbaring di ranjang rumah sakit, terlihat tengah menangis tersedu-sedu. Kenapa Dia?"Laras!" panggilku. Laras tengah berdiri di sisi ranjang, sepertinya sedang menenangkan Tania. Laras sepertinya tidak mendengar Aku memanggilnya.Belum juga Laras menoleh ke arahku, aku sudah dibuat terkejut oleh pertanyaan seorang perawat yang sudah berdiri di belakangku."Maaf Apa Bapak suaminya Ibu Tania?" Degh!"Oh bukan Sus. Saya mau jemput adik saya Laras," tegasku seraya mengibaskan tangan pada perawat itu.Seketika Laras menoleh ke arahku, mungkin karena mendengar namanya kusebut."Kak Firman!""Ayo pulang!" ajakku."Oh saya kira, suaminya pasien. Maaf ya Pak!""Iya gak apa-apa, Sus. Saya permisi!"Aku mendekati Laras dan menggandeng tangannya. Aku bahkan tak melirik sedikit pun ke arah Tania."Kak Firman!" panggil Tania lirih, namun masih jelas terdengar olehku."Ehm Tania, Gue pamit pulang dul
POV FirmanAku dan Yunita pun saling pandang, mendengar percakapan Laras di telepon, terdengar kata kalau Tania pingsan. Pingsan kenapa Dia, kenapa pula menghubunginya pada Laras, kenapa tidak langsung di bawa ke rumah sakit, berbagai pertanyaan muncul dalam benakku."Udah Yuk, Sayang kita ke klinik sekarang!" ajakku pada Yunita, aku juga tak ingin di pusingkan dengan urusan Tania yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kami."Ya udah Ayo!" Yunita pun mengamit lenganku dan bergelayut manja menuju ke luar rumah."Wah ini motornya, Sayang." Yunita menyentuh dan mengitari motor itu ketika kami sampai di teras rumah."Iya, bagus ya, Sayang. Pilihan kamu memang tak pernah salah." Aku memujinya, karena motor itu memang Dia yang memilih.Beberapa saat Yunita memperhatikan motor itu."Udah Yuk, Sayang. Nanti keburu malam, jadi makin ngantri di klinik." Aku mengingatkan, karena jika semakin malam juga khawatir kliniknya tutup. Malam ini juga malam Minggu, tentu di jalan juga
POV FirmanSetelah menyelesaikan semuanya. Aku pun pamit pulang. Karena sebentar lagi pasti pihak dealer akan mengantarkan motor yang aku beli siang tadi. "Pulang sekarang, Yuk Sayang.""Ayo!"Kami pun berjalan bersisian menuju ke mobil yang terparkir di parkiran Rumah makan."Kira-kira udah diantar belum ya Mas, motornya?" tanya Yunita"Kayaknya sih belum, Laras juga nggak ada telpon Mas. Kalo udah datang pasti Dia kaget dan bingung, kan pasti telpon Mas.""Iya juga Ya." Yunita terlihat begitu bersemangat, meski wajahnya masih terlihat pucat, tapi tidak menutupi rona bahagia yang terpancarkan."Sayang, kamu beneran nggak apa-apa. Wajah kamu pucat lho." "Nggak apa-apa, Mas. Cuma sedikit pusing sih. Nanti aku sampai rumah langsung istirahat aja. Mas nggak usah khawatir, ya!" Meskipun Yunita bicara dengan tenang dan seakan Ia benar-benar baik-baik saja. Tapi tetap saja aku mengkhawatirkannya. Tak biasanya Dia seperti ini.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota
Pov FirmanTak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Ibu dan adikku bisa akur dengan istriku. Itu adalah harapan yang selalu aku langitkan di setiap sujudku. Akhirnya Allah menjawab semuanya sekarang. Ibuku sudah kembali seperti dulu, wanita cinta pertamaku sudah kembali lembut dan hangat padaku.Meskipun beberapa tahun belakangan ini, Ibu lebih menunjukkan rasa tak sukanya pada Yunita, istriku. Tapi itu sama artinya juga untukku. Karena istriku adalah cerminan diriku. Jika ada yang mencela atau tidak menyukainya, itu sama saja mencelaku. Aku hanya mampu membesarkan hati Yunita, menghiburnya, dan meminta maaf padanya atas nama Ibu. Hanya itu yang bisa kulakukan, meski dalam hatiku juga merasakan sakit yang sama.Alhamdulillah setelah acara makan malam di restoran itu sikap Ibu banyak berubah. Entah apa yang melatarbelakangi perubahan sikap Ibu pada kami, terutama padaku dan Yunita. Ibu menjadi begitu baik dan tidak lagi memintaku menikahi Tania.Sungguh sebuah keajaiban yang beg