Home / Romansa / Mampukah Aku Bertahan / Bab 6 (Tania Bikin Ulah)

Share

Bab 6 (Tania Bikin Ulah)

Author: Tifa Nurfa
last update Last Updated: 2023-02-10 12:01:15

Akhirnya Tania turun dari mobil dan duduk di samping Laras. Aku menoleh ke arah Mas Firman, ia tersenyum melihatku.

Sepanjang perjalanan kami terdiam, Laras pun sibuk dengan ponselnya, Sedangkan Tania sibuk melihat suasana jalanan kota ini.

Hingga kami sampai di depan sebuah hotel, dan mereka turun, kami memutar balik arah menuju Rumah makan.

"Aku nggak nyangka kamu bisa galak kaya tadi," ucap Mas Firman di sela-sela kesibukan mengemudinya. Aku hanya meliriknya.

"Ya bisalah, masa ada cewek ganjen yang mau deket-deket suamiku, aku harus diem aja. Nanti yang ada lama-lama Mas kesenengen," cebikku.

"Ya nggak lah. Aku senengnya kalau kamu yang deket-deket Mas."

"Beneran ya. Pokoknya aku nggak mau sampai Tania deket-deket Mas lagi. Aku nggak suka. Dia kelihatan banget pengin deketin kamu." Aku terus berbicara mengeluarkan kekesalanku.

"Iya, iyaa, Sayang. Lagian aku juga jadi takut sendiri lihat cewek model Tania begitu. Bener lho."

"Halah, takut apa malah seneng?!" Aku masih merajuk. Hingga mobil berhenti di depan resto.

"Kumohon. Percayalah!" Aku hanya mengangguk tersenyum. Kemudian turun dari mobil.

Selalu seperti itu, tatapan matanya seolah menghipnotisku, dan menghapus pikiran-pikiran negatif yang kerap kali berkecamuk di otakku.

Kami berjalan beriringan memasuki resto yang mulai sibuk. Waktu menunjukkan jam delapan pagi, terlihat beberapa orang karyawan yang sedang menikmati sarapan paginya.

Karena lokasi rumah makan yang cukup strategis tak jauh dari gedung kawasan perkantoran, memang di jam pagi seperti ini dan jam makan siang akan lumayan rame. Aku berjalan masuk ke dapur, semua karyawan tengah bekerja sesuai dengan posisinya masing-masing.

Mas Firman memang sudah membagi semua tugas dan bagian dengan baik pada semua karyawannya, jadi setiap hari mereka bekerja sesuai porsinya, dan disetiap Rumah makan Mas Firman memiliki satu orang karyawan, yang ia percaya bisa menjadi pengawas dan memimpin tim, agar semua berjalan dengan lancar setiap harinya.

Di rumah makan utama ini Mas Firman mempercayakan pada Iwan, setiap hari Iwan melaporkan hasil penjualan dan keadaan di Rumah makan ini.

Ada dua orang chef yang Mas Firman pekerjakan di rumah makan ini, bagian belanja sayur dan bahan makanan pun ada bagian sendiri, semua sudah di atur oleh Mas Firman. Termasuk di saat bahan makanan mulai mengalami kenaikan harga, Iwan pun melaporkannya, sehingga akan menambah anggaran belanja. Semua masih bisa di atasi oleh Mas Firman.

"Fit! Tolong buatkan dua coffe late ya, bawa ke ruangan Pak Firman," titahku pada Fitri salah seorang waiters untuk membuatkan dua cangkir kopi untukku dan Mas Firman. Berharap secangkir coffe late bisa mengawali hari ini agar lebih bersemangat.

Fitri mengangguk dan berjalan ke dapur memenuhi permintaanku.

Aku melenggang menyusul Mas Firman yang sudah lebih dulu masuk ke dalam ruang kerjanya, mulai sibuk di depan layar komputernya.

"Sayang, besok sepertinya aku harus ke warung cabang untuk melihat langsung bagaimana kondisi di sana, dari laporan yang aku terima omset di sana masih minim banget, aku harus mempelajarinya menu apa kira-kira yang banyak di sukai masyarakat di sana." Mas Firman menjelaskan setelah meneliti laporan di laptopnya.

"Iya, Mas. Biar aku yang urus di sini," sahutku. Mas Firman memang kerap kali menyebut 'warung' untuk julukan rumah makan cabang, karena belum maju pesat seperti rumah makan utama di sini.

Mungkin karena lokasinya di luar Jakarta jadi sedikit mempengaruhi perkembangannya.

Tok! Tok! Tok!

"Permisi, Bu!" suara Fitri terdengar di sertai ketukan halus di pintu ruangan ini.

"Iya Fit." Aku melangkah dan mengambil dua cangkir coffe late yang dibawakannya. Kemudian meletakkannya di samping Mas Firman.

"Minum dulu kopinya, Sayang." Aku bergelayut di bahunya sembari ikut mengamati grafik pendapatan di layar laptopnya.

"Kayanya kita perlu mengadakan event atau mengundang grup band lokal untuk menarik pengunjung Mas," usulku.

Aku pikir dengan begitu akan menarik orang untuk datang dan menikmati makanannya.

"Maksudmu?" Mas Firman terlihat serius. Jika menyangkut pekerjaan.

Mas Firman memang serius, ia sangat tekun dalam menjalani usahanya, berbagai ide atau masukkan baik dariku atau dari karyawannya, selalu ia tampung dan menjadi bahan pertimbangan.

"Ini hanya ide saja ya, maksudku kita rubah konsepnya, untuk yang rumah makan di Bogor itu, kita rubah konsep menjadi semacam kafe, dengan fasilitas WiFi gratis serta mengundang penyanyi atau grup band lokal untuk menarik pengunjung, dan seminggu awal kita adakan promo menarik. Misalkan dengan memesan menu makanan tertentu akan gratis kopi misalnya, gimana Sayang?"

Aku menjelaskan ide yang tiba-tiba saja muncul di kepalaku. Mas Firman mendengarkan dengan seksama. Beberapa saat kemudian senyumnya merekah disertai tatapan mata berbinar.

Tiba-tiba ia melangkah cepat ke arahku dan memelukku erat, bahkan sedikit mengangkat tubuhku.

"Itu ide yang sangat bagus, Sayang! Kenapa aku nggak kepikiran sampai kesitu ya? Selain cantik, kamu juga pinter, Sayang. Aku beruntung memiliki kamu." Mas Firman mengerlingkan matanya.

"Iya donk, gini-gini juga kan aku pernah belajar manajemen bisnis di kampus," sahutku.

"Iya, iyaa, yang jadi mahasiswa berprestasi di kampus, aku kalah deh, sama kecerdasan kamu." Kembali Mas Firman menghujani wajahku dengan kecupan manis. Aku hanya tersenyum geli melihat suamiku.

"Besok Mas akan ke sana dan langsung mengadakan brefing dengan semua karyawan di sana,". pungkasnya kemudian kembali sibuk dengan laptopnya.

Hingga menjelang siang, Aku sesekali ke bagian dapur, kemudian ke bagian kasir juga mengamati para pelanggan yang datang ke rumah makan kami.

Alhamdulillah usaha milik suamiku ini semakin berkembang, semoga Allah selalu limpahkan rezeki yang halal dan penuh berkah untuk keluarga kecil kami.

Hingga tiba waktu jam makan siang, seperti biasa rumah makan akan rame dengan orang-orang kantor di sekitar yang sudah menjadi langganan datang kemari.

Tiba-tiba terdengar suara keributan di tengah para pelanggan yang tengah menikmati makan siangnya.

"Ma–Maafkan saya, Kak. Saya benar-benar nggak sengaja." Fitri berucap dengan menunduk.

"Makanya kamu kalo jalan itu pake mata! Jangan pake dengkul!" hardik perempuan itu.

"Maafkan saya kak." Fitri semakin tertunduk dalam.

Setelah aku perhatikan, sepertinya itu Tania. Dia yang sedang memaki-maki Fitri salah satu pegawai bagian waiters.

"Makanya, Mbak kalo kerja itu yang bener donk! Mbak tau nggak, saya ini calon istrinya Kak Firman, kamu tau?! Saya bisa laporkan ini ke Kak Firman, biar di pecat aja kamu!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mampukah Aku Bertahan    Bab 92 (Ending)

    Mengapa rasa sakit ini melebihi rasanya sakit hati ketika putus cinta? Aku seakan tengah berlayar di lautan tenang tiba-tiba di terjang badai ombak yang begitu dahsyat hingga kapal yang kukemudikan terombang-ambing.Aku melajukan mobilku menuju ke pemakaman dimana Bapak beristirahat dengan tenang, teringat saat aku masih anak-anak dulu, Aku pernah di ajak Bapak ke pemakaman, namun aku yang masih kecil pun tak bertanya itu makam siapa, dan Bapak juga tak bicara apapun soal makam itu. Aku yang sejak kecil tak pernah kekurangan kasih sayang dari orang tua pun tak sedikitpun aku mengira akan seperti ini kenyataannya.Terlihat sepele, aku ternyata bukanlah anak kandung Ibu, tapi Ibu menyayangiku seperti anak kandungnya, tapi tetap saja hati ini terkoyak, ada rasa sakit menelusup ke dalam sini. Air mataku luruh begitu saja, di sepanjang jalan aku mengemudi. Sakit. Aku mengetahui kenyataan ini di saat Bapak sudah tiada, andaikan saja mereka menceritakan ini jauh sebelum Bapak pergi, mungki

  • Mampukah Aku Bertahan    Bab 91 ( Kenyataan Menyakitkan)

    POV Firman"Ehm, Bu. Alhamdulillah tebakan Ibu benar!" ucapku sumringah pada Ibu yang sudah menatap kami penuh tanya."Alhamdulillah! Akhirnya. Ibu mau punya Cucu!" Ibu menghambur ke arah Yunita dan memeluknya erat."Selamat ya Yun, Ibu seneng banget dengernya akhirnya kamu bisa hamil dan kasih cucu untuk Ibu. Maafkan Ibu yang kemarin-kemarin begitu angkuh dan nyakitin kamu! Ibu minta maaf Nak!" ucap Ibu dengan suara parau, Punggungnya bergetar. Ibu menangis dalam pelukan istriku.Aku hanya menatap haru."Ini semua berkat Doa Ibu, Yunita yang harusnya bilang makasih sama Ibu, Ibu sudah bisa menerima Yunita yang banyak kekurangan ini." Lembut Yunita mengusap punggung Ibu."Nggak Sayang. Ibu yang banyak salah sama Yuni, Ibu minta maaf." Yunita mengangguk, seraya mengulum senyum."Sudah Bu. Kita lupakan semua yang sudah berlalu, kita buka lembaran baru menyambut anggota keluarga baru di rumah ini." Aku mengusap punggung Ibu."Iya, Man. Jaga baik-baik istrimu dan calon bayinya ya!""Iya,

  • Mampukah Aku Bertahan    Bab 90 (Semua ada Konsekuensinya)

    POV FirmanDi sebuah ruangan dimana ada Laras berdiri di sana, bersama seorang temannya, dan Tania terbaring di ranjang rumah sakit, terlihat tengah menangis tersedu-sedu. Kenapa Dia?"Laras!" panggilku. Laras tengah berdiri di sisi ranjang, sepertinya sedang menenangkan Tania. Laras sepertinya tidak mendengar Aku memanggilnya.Belum juga Laras menoleh ke arahku, aku sudah dibuat terkejut oleh pertanyaan seorang perawat yang sudah berdiri di belakangku."Maaf Apa Bapak suaminya Ibu Tania?" Degh!"Oh bukan Sus. Saya mau jemput adik saya Laras," tegasku seraya mengibaskan tangan pada perawat itu.Seketika Laras menoleh ke arahku, mungkin karena mendengar namanya kusebut."Kak Firman!""Ayo pulang!" ajakku."Oh saya kira, suaminya pasien. Maaf ya Pak!""Iya gak apa-apa, Sus. Saya permisi!"Aku mendekati Laras dan menggandeng tangannya. Aku bahkan tak melirik sedikit pun ke arah Tania."Kak Firman!" panggil Tania lirih, namun masih jelas terdengar olehku."Ehm Tania, Gue pamit pulang dul

  • Mampukah Aku Bertahan    Bab 89 (Hamil)

    POV FirmanAku dan Yunita pun saling pandang, mendengar percakapan Laras di telepon, terdengar kata kalau Tania pingsan. Pingsan kenapa Dia, kenapa pula menghubunginya pada Laras, kenapa tidak langsung di bawa ke rumah sakit, berbagai pertanyaan muncul dalam benakku."Udah Yuk, Sayang kita ke klinik sekarang!" ajakku pada Yunita, aku juga tak ingin di pusingkan dengan urusan Tania yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kami."Ya udah Ayo!" Yunita pun mengamit lenganku dan bergelayut manja menuju ke luar rumah."Wah ini motornya, Sayang." Yunita menyentuh dan mengitari motor itu ketika kami sampai di teras rumah."Iya, bagus ya, Sayang. Pilihan kamu memang tak pernah salah." Aku memujinya, karena motor itu memang Dia yang memilih.Beberapa saat Yunita memperhatikan motor itu."Udah Yuk, Sayang. Nanti keburu malam, jadi makin ngantri di klinik." Aku mengingatkan, karena jika semakin malam juga khawatir kliniknya tutup. Malam ini juga malam Minggu, tentu di jalan juga

  • Mampukah Aku Bertahan    Bab 88 (Terkejut)

    POV FirmanSetelah menyelesaikan semuanya. Aku pun pamit pulang. Karena sebentar lagi pasti pihak dealer akan mengantarkan motor yang aku beli siang tadi. "Pulang sekarang, Yuk Sayang.""Ayo!"Kami pun berjalan bersisian menuju ke mobil yang terparkir di parkiran Rumah makan."Kira-kira udah diantar belum ya Mas, motornya?" tanya Yunita"Kayaknya sih belum, Laras juga nggak ada telpon Mas. Kalo udah datang pasti Dia kaget dan bingung, kan pasti telpon Mas.""Iya juga Ya." Yunita terlihat begitu bersemangat, meski wajahnya masih terlihat pucat, tapi tidak menutupi rona bahagia yang terpancarkan."Sayang, kamu beneran nggak apa-apa. Wajah kamu pucat lho." "Nggak apa-apa, Mas. Cuma sedikit pusing sih. Nanti aku sampai rumah langsung istirahat aja. Mas nggak usah khawatir, ya!" Meskipun Yunita bicara dengan tenang dan seakan Ia benar-benar baik-baik saja. Tapi tetap saja aku mengkhawatirkannya. Tak biasanya Dia seperti ini.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota

  • Mampukah Aku Bertahan    Bab 87 (POV Firman)

    Pov FirmanTak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Ibu dan adikku bisa akur dengan istriku. Itu adalah harapan yang selalu aku langitkan di setiap sujudku. Akhirnya Allah menjawab semuanya sekarang. Ibuku sudah kembali seperti dulu, wanita cinta pertamaku sudah kembali lembut dan hangat padaku.Meskipun beberapa tahun belakangan ini, Ibu lebih menunjukkan rasa tak sukanya pada Yunita, istriku. Tapi itu sama artinya juga untukku. Karena istriku adalah cerminan diriku. Jika ada yang mencela atau tidak menyukainya, itu sama saja mencelaku. Aku hanya mampu membesarkan hati Yunita, menghiburnya, dan meminta maaf padanya atas nama Ibu. Hanya itu yang bisa kulakukan, meski dalam hatiku juga merasakan sakit yang sama.Alhamdulillah setelah acara makan malam di restoran itu sikap Ibu banyak berubah. Entah apa yang melatarbelakangi perubahan sikap Ibu pada kami, terutama padaku dan Yunita. Ibu menjadi begitu baik dan tidak lagi memintaku menikahi Tania.Sungguh sebuah keajaiban yang beg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status