Share

Bab 6 (Tania Bikin Ulah)

Akhirnya Tania turun dari mobil dan duduk di samping Laras. Aku menoleh ke arah Mas Firman, ia tersenyum melihatku.

Sepanjang perjalanan kami terdiam, Laras pun sibuk dengan ponselnya, Sedangkan Tania sibuk melihat suasana jalanan kota ini.

Hingga kami sampai di depan sebuah hotel, dan mereka turun, kami memutar balik arah menuju Rumah makan.

"Aku nggak nyangka kamu bisa galak kaya tadi," ucap Mas Firman di sela-sela kesibukan mengemudinya. Aku hanya meliriknya.

"Ya bisalah, masa ada cewek ganjen yang mau deket-deket suamiku, aku harus diem aja. Nanti yang ada lama-lama Mas kesenengen," cebikku.

"Ya nggak lah. Aku senengnya kalau kamu yang deket-deket Mas."

"Beneran ya. Pokoknya aku nggak mau sampai Tania deket-deket Mas lagi. Aku nggak suka. Dia kelihatan banget pengin deketin kamu." Aku terus berbicara mengeluarkan kekesalanku.

"Iya, iyaa, Sayang. Lagian aku juga jadi takut sendiri lihat cewek model Tania begitu. Bener lho."

"Halah, takut apa malah seneng?!" Aku masih merajuk. Hingga mobil berhenti di depan resto.

"Kumohon. Percayalah!" Aku hanya mengangguk tersenyum. Kemudian turun dari mobil.

Selalu seperti itu, tatapan matanya seolah menghipnotisku, dan menghapus pikiran-pikiran negatif yang kerap kali berkecamuk di otakku.

Kami berjalan beriringan memasuki resto yang mulai sibuk. Waktu menunjukkan jam delapan pagi, terlihat beberapa orang karyawan yang sedang menikmati sarapan paginya.

Karena lokasi rumah makan yang cukup strategis tak jauh dari gedung kawasan perkantoran, memang di jam pagi seperti ini dan jam makan siang akan lumayan rame. Aku berjalan masuk ke dapur, semua karyawan tengah bekerja sesuai dengan posisinya masing-masing.

Mas Firman memang sudah membagi semua tugas dan bagian dengan baik pada semua karyawannya, jadi setiap hari mereka bekerja sesuai porsinya, dan disetiap Rumah makan Mas Firman memiliki satu orang karyawan, yang ia percaya bisa menjadi pengawas dan memimpin tim, agar semua berjalan dengan lancar setiap harinya.

Di rumah makan utama ini Mas Firman mempercayakan pada Iwan, setiap hari Iwan melaporkan hasil penjualan dan keadaan di Rumah makan ini.

Ada dua orang chef yang Mas Firman pekerjakan di rumah makan ini, bagian belanja sayur dan bahan makanan pun ada bagian sendiri, semua sudah di atur oleh Mas Firman. Termasuk di saat bahan makanan mulai mengalami kenaikan harga, Iwan pun melaporkannya, sehingga akan menambah anggaran belanja. Semua masih bisa di atasi oleh Mas Firman.

"Fit! Tolong buatkan dua coffe late ya, bawa ke ruangan Pak Firman," titahku pada Fitri salah seorang waiters untuk membuatkan dua cangkir kopi untukku dan Mas Firman. Berharap secangkir coffe late bisa mengawali hari ini agar lebih bersemangat.

Fitri mengangguk dan berjalan ke dapur memenuhi permintaanku.

Aku melenggang menyusul Mas Firman yang sudah lebih dulu masuk ke dalam ruang kerjanya, mulai sibuk di depan layar komputernya.

"Sayang, besok sepertinya aku harus ke warung cabang untuk melihat langsung bagaimana kondisi di sana, dari laporan yang aku terima omset di sana masih minim banget, aku harus mempelajarinya menu apa kira-kira yang banyak di sukai masyarakat di sana." Mas Firman menjelaskan setelah meneliti laporan di laptopnya.

"Iya, Mas. Biar aku yang urus di sini," sahutku. Mas Firman memang kerap kali menyebut 'warung' untuk julukan rumah makan cabang, karena belum maju pesat seperti rumah makan utama di sini.

Mungkin karena lokasinya di luar Jakarta jadi sedikit mempengaruhi perkembangannya.

Tok! Tok! Tok!

"Permisi, Bu!" suara Fitri terdengar di sertai ketukan halus di pintu ruangan ini.

"Iya Fit." Aku melangkah dan mengambil dua cangkir coffe late yang dibawakannya. Kemudian meletakkannya di samping Mas Firman.

"Minum dulu kopinya, Sayang." Aku bergelayut di bahunya sembari ikut mengamati grafik pendapatan di layar laptopnya.

"Kayanya kita perlu mengadakan event atau mengundang grup band lokal untuk menarik pengunjung Mas," usulku.

Aku pikir dengan begitu akan menarik orang untuk datang dan menikmati makanannya.

"Maksudmu?" Mas Firman terlihat serius. Jika menyangkut pekerjaan.

Mas Firman memang serius, ia sangat tekun dalam menjalani usahanya, berbagai ide atau masukkan baik dariku atau dari karyawannya, selalu ia tampung dan menjadi bahan pertimbangan.

"Ini hanya ide saja ya, maksudku kita rubah konsepnya, untuk yang rumah makan di Bogor itu, kita rubah konsep menjadi semacam kafe, dengan fasilitas WiFi gratis serta mengundang penyanyi atau grup band lokal untuk menarik pengunjung, dan seminggu awal kita adakan promo menarik. Misalkan dengan memesan menu makanan tertentu akan gratis kopi misalnya, gimana Sayang?"

Aku menjelaskan ide yang tiba-tiba saja muncul di kepalaku. Mas Firman mendengarkan dengan seksama. Beberapa saat kemudian senyumnya merekah disertai tatapan mata berbinar.

Tiba-tiba ia melangkah cepat ke arahku dan memelukku erat, bahkan sedikit mengangkat tubuhku.

"Itu ide yang sangat bagus, Sayang! Kenapa aku nggak kepikiran sampai kesitu ya? Selain cantik, kamu juga pinter, Sayang. Aku beruntung memiliki kamu." Mas Firman mengerlingkan matanya.

"Iya donk, gini-gini juga kan aku pernah belajar manajemen bisnis di kampus," sahutku.

"Iya, iyaa, yang jadi mahasiswa berprestasi di kampus, aku kalah deh, sama kecerdasan kamu." Kembali Mas Firman menghujani wajahku dengan kecupan manis. Aku hanya tersenyum geli melihat suamiku.

"Besok Mas akan ke sana dan langsung mengadakan brefing dengan semua karyawan di sana,". pungkasnya kemudian kembali sibuk dengan laptopnya.

Hingga menjelang siang, Aku sesekali ke bagian dapur, kemudian ke bagian kasir juga mengamati para pelanggan yang datang ke rumah makan kami.

Alhamdulillah usaha milik suamiku ini semakin berkembang, semoga Allah selalu limpahkan rezeki yang halal dan penuh berkah untuk keluarga kecil kami.

Hingga tiba waktu jam makan siang, seperti biasa rumah makan akan rame dengan orang-orang kantor di sekitar yang sudah menjadi langganan datang kemari.

Tiba-tiba terdengar suara keributan di tengah para pelanggan yang tengah menikmati makan siangnya.

"Ma–Maafkan saya, Kak. Saya benar-benar nggak sengaja." Fitri berucap dengan menunduk.

"Makanya kamu kalo jalan itu pake mata! Jangan pake dengkul!" hardik perempuan itu.

"Maafkan saya kak." Fitri semakin tertunduk dalam.

Setelah aku perhatikan, sepertinya itu Tania. Dia yang sedang memaki-maki Fitri salah satu pegawai bagian waiters.

"Makanya, Mbak kalo kerja itu yang bener donk! Mbak tau nggak, saya ini calon istrinya Kak Firman, kamu tau?! Saya bisa laporkan ini ke Kak Firman, biar di pecat aja kamu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status