Buk, sebuah pukulan yang cukup keras mampu membuat Evan jatuh tersungkur. Entah kebetulan atau apa, Erik dan Vina datang, mendengar teriak Asty, sontak keduanya bergegas naik ke lantai atas. Kini perkelahian Erik serta Evan tidak dapat dihindari lagi. Erik yang memang geram dengan kelakuan sepupunya itu, tanpa rasa ampun memukuli Evan. "Dasar bajing*n, dulu kamu menodai Vina. Sekarang kamu juga berniat untuk menilai mantan istrimu sendiri." Erik memukul wajah Evan yang mulai babak belur. "Erik sudah, biarkan dia pergi." Asty menyuruh adik iparnya itu untuk membiarkan mantan suaminya pergi. Jujur, meski Evan sudah berbuat senonoh, tetapi di hati kecil Asty masih menyimpan rasa kasihan. "Pergi kamu." Erik mendorong tubuh Evan keluar dari kamar Asty. "Kamu akan merasakan akibatnya nanti." Sebelum pergi, Evan menyempatkan diri untuk mengancam Erik. Sementara itu, Erik hanya tersenyum sinis. "Kakak nggak apa-apa kan?" tanya Vina dengan raut wajah khawatir. "Aku nggak apa-apa, terima
"Untung rumah mama masih ada, coba kalau enggak. Bisa-bisa kita jadi gelandangan," ujar Lidya seraya membuka pintu rumahnya. Kini Evan dan Lidya terpaksa meninggalkan rumah mewah itu, lantaran telah disita. Evan baru teringat jika dirinya mempunyai hutang di perusahaan milik Asty. Dulu sering menggunakan uang itu untuk bersenang-senang dengan Rena ataupun Luna. "Kamu jadi ke rumah Luna?" tanya Lidya. "Jadi, Ma." Evan mengangguk. "Aku pergi sekarang, Ma." Setelah berpamitan, Evan bergegas masuk ke dalam mobil dan melaju meluncur ke rumah Rena. Dalam perjalanan ke rumah Rena, Evan masih saja memikirkan rumah yang telah disita. Ia yakin jika itu ulah Asty, mantan istrinya itu pasti dendam karena dirinya pernah berniat untuk menyentuhnya, dalam arti ingin melakukan hubungan suami istri seperti dulu. "Asty, aku masih mencintai kamu, aku nggak rela jika kamu menikah dengan pria lain," gumamnya. Evan mengusap wajahnya, setelah itu kembali fokus untuk menyetir. Tidak butuh waktu lama,
"Mas Evan." Rena hendak bangkit, tetapi dengan cepat pria itu melarangnya. Pria itu bangkit serta meraih kemejanya yang tergeletak di lantai, lantas segera memakainya. Usai berpakaian pria berkemeja biru itu berjalan mendekati Evan yang sedari tadi sudah menahan emosinya. Rasanya ia sudah tidak sabar ingin memberi pelajaran untuk pria yang telah menyentuh Rena. "Ada apa, kamu tidak perlu kaget seperti itu. Memang ini yang biasa Rena lakukan," ucap pria itu. "Maksud kamu apa bicara seperti itu," sahut Evan. Dadanya sudah naik turun menahan amarahnya. "Biar Rena saja yang menjelaskannya nanti, Sayang aku pulang dulu ya, kalau urusanmu sudah selesai. Kita main lagi seperti tadi." Pria itu bergegas keluar dari kamar Rena. Evan hendak mengejarnya, tetapi dengan cepat Rena mencegahnya. "Berhenti, Mas." Rena meraih lingerie miliknya dan bergegas memakainya. Setelah itu ia berjalan mendekati Evan, pria yang berhasil Rena tipu mentah-mentah. "Kita bicara di sini saja." Rena menuntun Evan
Dua minggu telah berlalu, Asty dan Vanno berencana untuk segera melangsungkan pernikahan. Jika sudah sah, mau ngapain aja sudah halal, Asty berharap semoga Vanno bisa menjadi imam yang baik. Pernah gagal dalam menjalin pernikahan, membuat Asty merasa sedikit trauma. "Wah, Kakak cantik banget." Vina memuji kecantikan kakaknya yang telah selesai dimake-up. Asty tersenyum. "Kamu juga cantik.""Kita turun sekarang ya, Kak. Kak Vanno dan tamu undangan sudah menunggu," ujar Vina. Asty hanya mengangguk, setelah itu dengan dibantu Vina dan dua orang yang ikut merias. Asty turun ke bawah, jangan ditanya jika jantungnya deg-degan seperti mau copot. Dengan pelan Asty berjalan menuruni anak tangga, para tamu undangan mengalihkan pandangannya pada Asty. Begitu juga dengan Vanno, matanya seperti tidak mau berkedip melihat kecantikan wanita yang sebentar lagi akan ia halalkan. Setibanya di bawah, Vina mengantarkan kakaknya untuk duduk di sebelah Vanno. Tanpa menunggu lama, ijab kabul akan segera
"Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" tanya Luna. "Untuk saat ini kondisi suami, Ibu masih kritis. Dan satu lagi, setelah kami periksa lebih lanjut, saraf dalam tubuhnya mati, hal itu membuat suami, Ibu tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Bahkan untuk berbicara pun tidak bisa," jelas Dokter Ari yang menangani Evan. Persendian Luna terasa lemas saat mendengar kenyataan itu. Begitu juga dengan Lidya, ia tidak menyangka jika nasib putranya akan seperti ini, mungkinkah ini karma untuk Evan. Setelah mendengar penjelasan dari dokter, Lidya dan Luna beranjak masuk ke dalam ruang rawat Evan. Luna berjalan menghampiri brangkar di mana suaminya terbaring lemah di sana. Berbagai alat medis menempel di tubuhnya, rasanya Luna tidak sanggup melihat kondisi Evan yang seperti sekarang. Luna kembali menyeka air matanya, begitu juga dengan Lidya, perempuan setengah abad itu merasa hancur melihat keadaan putranya. "Mas, aku yakin kamu pasti bisa melewati ini semua. Kamu harus bertahan untuk aku
Seminggu telah berlalu, pagi ini pukul enam Asty baru mengerjapkan matanya. Perlahan kelopak matanya terbuka sempurna, ia melirik suaminya yang masih terlelap. Asty tersenyum, semoga kebahagiaan selalu menyertainya, beruntung bisa memiliki suami seperti Vanno. Walaupun awalnya tidak menyangka jika mereka akan menjadi pasangan suami istri. "Mas, bangun udah siang." Asty mengguncang tubuh kekar suaminya. "Hem." Vanno berdeham dengan mata yang masih terpejam. "Bangun udah siang." Asty kembali mengguncang tubuh suaminya itu. "Jam berapa?" tanya Vanno. "Jam enam, buruan bangun udah siang," jawab Asty. Vanno hanya tersenyum lalu kembali memeluk tubuh istrinya itu. "Aku masih capek, Sayang. Enakan kayak gini.""Salah sendiri tadi malam .... ""Tapi kamu suka, kan." Vanno memotong ucapan istrinya itu."Ish apaan sih, udah ah ayo bangun." Asty memaksa untuk bangkit, tapi Vanno semakin erat memeluk tubuh istrinya itu. "Mandi bareng," ujar Vanno. Seketika Asty membulatkan matanya. "Engga
"Udah." Asty merapikan kemeja suaminya yang sedikit berantakan. "Yang ini belum." Vanno menyodorkan jam tangan kepada istrinya. Dengan sigap Asty memasang jam tersebut di pergelangan tangan suaminya. "Udah selesai," ujar Asty. "Ya udah, oya gimana keadaan Vina?" tanya Vanno seraya memakai jasnya. "Alhamdulilah udah mendingan, kandungannya juga baik," jawab Asty. "Oh ya sudah, aku ke kantor dulu ya," pamitnya. "Iya, Mas hati-hati." Asty mencium punggung tangan suaminya. "Iya, assalamu'alaikum." Vanno mencium kening istrinya dengan lembut. "Wa'alaikumsalam." "Erik, duluan ya." Vanno berjalan keluar dari ruangan tersebut. "Iya, Kak." Erik mengangguk. "Kak, aku mau ke kantin dulu ya. Kakak mau makan apa, biar aku belikan sekalian," ujar Erik. "Apa aja deh, yang penting bisa buat perut kenyang," sahut Asty. "Oh, ok." Erik bergegas keluar dari ruang rawat istrinya. Sementara Asty masih duduk menemani adiknya itu. "Kak." Vina membuka matanya. "Iya, ada apa?" tanya Asty. "Hau
"Ada apa, Mas?" tanya Asty khawatir. Vanno menatap istrinya dengan menautkan kedua alisnya. "Bukannya tadi kamu tidur, kok tiba-tiba bangun."Asty gelapan mendengar ucapan suaminya. "Ah, anu. Itu, Mas tadi katanya .... "Vanno tertawa saat melihat ekpresi wajah istrinya itu. Ternyata ia berhasil mengerjai istrinya itu, sekarang Vanno tahu kalau Asty hanya pura-pura tidur. Sementara Asty langsung masuk ke dalam selimut untuk menghindari Vanno yang biasanya suka menyerang mendadak. "Sekarang kamu ketahuan pura-pura tidur, kamu harus mendapatkan hukuman dariku." Vanno ikut masuk ke dalam selimut, lalu memeluknya dari belakang. "Mas mau ngapain, udah malam tidur aja," ujar Asty yang sudah merasakan kode dari suaminya itu. "Kita olahraga dulu nanti baru tidur," sahut Vanno, ia semakin memperebutkan pelukannya. "Tapi .... ""Tidak ada tapi-tapian." Vanno memotong ucapan Asty. Seketika Asty tidak bisa melawan, keduanya pun melakukan hubungan halal itu. Pukul tiga dini hari mereka baru