"Aku Nunik, Mbak Ma."
Mendengar itu, Padma lega.
Sepupunya, rupanya.
"Sebentar ya, Nik." Padma membuka pintu kamar dengan satu tangan melindungi area dadanya. Di ambang pintu Nunik tersenyum manis. Sepupunya ini memang memiliki ekspresi ramah sedari dulu. Kepulangannya semalam disambut hangat oleh Ninik. Berbanding terbalik dengan ibunya yang jelas-jelas tampak keberatan.
"Kenapa bajunya, Mbak?" Nunik menahan tawa. Penampakan Padma mirip dengan iklan minyak ikan zaman dulu. Kemejanya kesempitan.
"Tidak usah banyak basa-basi kamu. Tawamu sudah menjelaskan segalanya." Padma menjawil hidung bangir Nunik.
"Maaf, Mbak. Saya cuma bercanda. Eh, salah juga. Tidak boleh membawa-bawa fisik dalam candaan ya? Maafkan diriku ya, Mbak?" Nunik merapatkan kedua tangannya ke dada. Meminta maaf dengan ekspresi sedih berlebihan.
"Heleh, lebay kamu." Padma menoyor kening Nunik pelan. Sedari kecil ia memang sayang pada sepupunya ini. Rentang usia mereka yang terpaut jauh, membuatnya menyayangi Nunik seperti adiknya sendiri.
"Kamu tidak ke toko, Nik? Sudah pukul delapan lho." Sambil membongkar lemari, Padma mengingatkan Nunik.
Dulu ayahnya selalu membuka toko pukul delapan pagi setiap harinya.
"Sudah buka dari tadi dong, Mbak. Aku ke sini karena Pak Sapto dan Pak Nurdin sedang memuat barang-barang pesanan Mas Tirta. Daripada menunggu di toko dan diomelin ibu, lebih baik aku di sini saja. Ibu itu 'kan tidak bisa melihat orang menganggur. Ada saja yang salah di matanya." Nunik merebahkan tubuh ke ranjang. Ia lebih suka bercengkrama dengan Padma daripada terus debat kusir dengan sang ibu.
"Ya sudah kalau maumu begitu. Haduh, semua kemejanya kecil-kecil. Yang ini pun membuat Mbak sesak napas. Padahal sepuluh tahun lalu kemeja size XL ini kebesaran saat Mbak pakai." Padma menutup lemari. Sepertinya ia harus kembali mengenakan kemeja kotornya semalam untuk kembali ke kontrakan.
"Ya iyalah. Namanya juga baju dari zaman Atok Adam," balas Nunik, lalu terkekeh.
"Eh, aku ada jaket training olah raga yang lumayan besar. Pasti Mbak muat memakainya. Aku ambil sebentar ya, Mbak." Nunik keluar dari kamar. Sejurus kemudian ia kembali dengan sebuat jaket hitam dengan les putih di bagian lengan.
"Nih, coba Mbak pakai. Masih cocok kok warnanya dengan kulot hitam Mbak Padma." Nunik memberikan jaket pada Padma.
"Oke, Mbak coba dulu ya?" Padma melebarkan pintu lemari. Ia kemudian menjadikan pintu tersebut sekat untuk berganti pakaian. Untungnya jaket hitam ini pas dan nyaman sekali saat ia kenakan.
"Nah, keren 'kan?" Nunik mengacungkan jempol.
"Bentar, Mbak. Ada telepon dari Pak Maman." Nunik meraih ponsel di sisi ranjang.
"Ya, Pak. Sudah mau berangkat ya? Semua barang sudah dicek ulang oleh Pak Santo kan? Hah, Pak Maman mau ke rumah sakit? Jadi yang mengantar barang-barang ini ke PT Karya Graha Mandiri siapa?" Nunik berjalan hilir mudik dengan ponsel di telinga.
"Iya saya tahu, anak Pak Maman sakit. Tapi janji kita ke Mas Tirta ini bagaimana? Pak Maman tahu sendiri 'kan adat Mas Tirta itu bagaimana? Mana Bang Iwan dan Pak Sukri sudah jalan duluan lagi." Nunik kebingungan.
"Mbak saja yang mengantar barang, Nik. Kasihan Pak Maman kalau bekerja tapi pikirannya tidak tenang. Membawa truk besar lagi." Padma membisiki sisi telinga Nunik.
"Ya sudah, Pak. Semoga anak Pak Maman lekas sembuh ya." Nunik menutup telepon.
"Apa Mbak Padma bisa mengendarai truk besar?" tanya Nunik, setelahnya.
Jelas sekali, gadis itu ragu.
"Kamu lupa kalau dulu Mbak selalu ikut dengan Bapak mengantarkan pesanan, sebelum kita punya banyak supir? Kadang-kadang Mbak lo yang gantian menyopiri kalau Bapak capek. SIM Mbak juga B1. Yang artinya Mbak boleh mengendarai truk yang beratnya lebih dari 3500 kilogram." Padma menyakinkan Nunik. Ia tidak mau Nunik sampai melaporkan masalah ini pada ayahnya. Karena bisa dipastikan, bahwa ayahnyalah nanti yang akan mengantarkan pesanan.
"Tapi aku lapor Pak De dulu ya?" usul Nunik.
Padma menggeleng keras. "Jangan, Nik. Kasihan. Kaki Bapak sedang sakit. Rematiknya kambuh. Jangan diganggu dengan hal yang bisa kita tanggulangi."
Tapi, Nunik masih tampak bimbang.
"Sudah, percaya saja pada, Mbak. Asal ada orang yang bisa melansir barang, semua bisa Mbak urus. Kamu tenang saja. Siniin surat jalan dan bonnya?" Padma mengulurkan tangan.
"Ya udah. Ayo kita ke toko." Nunik terpaksa mengalah.
Setelah Padma mengambil tas, beriringan keduanya berjalan menuju toko. Pak Santo dan Pak Nurdin tampak sudah siap siaga. Keduanya berdiri di sisi kanan dan kiri truk.
"Ini surat jalan dan bon fakturnya." Nunik memberikan beberapa lembar kertas pada Padma.
"Antar barang-barang dengan selamat dan tepat waktu ke proyek calon suamiku ya, Mbak Ma." Nunik berpesan sambil cengengesan.
"Calon suami? Kamu benar-benar suka pada Mas Tirta ya, Nik?" Padma menggeleng-gelengkan kepalanya. Bik Parni benar. Nunik sungguh tergila-gila pada laki-laki yang lebih cocok menjadi pamannya.
"Iya, Mbak. Aku suka pake banget pangkat tiga pada Mas Tirta." Binarnya mata dan sumringahnya air muka Nunik telah menjelaskan semuanya.
"Tapi rentang usia kalian sangat jauh, Nik. Mas Tirta bahkan lebih tua satu tahun dari dari Mbak. Takutnya kalian berdua berbeda pola pikir."
"Kan belum dijalani, Mbak. Lagi pula seumuran juga belum tentu cocok pola pikirnya. Contohnya, ya Mbak Padma dan Mas Dimas. Usia hanya terpaut empat tahun. Tapi rumah tangga Mbak bubar juga bukan? Ditikung oleh anak delapan belas tahunan lagi. Laki-laki itu biasanya lebih suka daun muda sih kata orang." Nunik membantah tanpa bermaksud menghakimi. Ia hanya memberi contoh yang nyata.
"Ya sudah kalau menurutmu begitu. Mbak hanya memberikan sudut pandang padamu." Padma menepuk pelan bahu Nunik. Ya, siapa tahu Nunik beruntung. Jalan hidup tiap orang berbeda-beda.
Beberapa saat kemudian Padma sudah meluncur di jalan raya dengan Pak Santo dan Pak Nurdin di sampingnya. Sekitar lima belas menit berkendara, Padma melirik Pak Santo terlihat sangat gelisah di sampingnya. Ia berkali-kali mendecakkan lidahnya.
"Ada apa, Pak Santo? Saya perhatikan Bapak gelisah sekali." Padma melirik Pak Santo sekilas. Padatnya lalu lintas membuatnya harus awas selama berkendara.
"Saya khawatir kita tidak tiba di proyek tepat waktu, Mbak Padma. Bisa habis nanti Mas Danang diomeli atasannya. Lha wong kemarin janjinya jam sembilan tepat dengan Pak Maman. Sedangkan sekarang sudah pukul setengah sembilan. Pak Tirta itu paling anti dengan keterlambatan."
Lima bulan kemudian."Gue heran lo tetap bisa cantik paripurna begini meski sedang hamil gede ya, Ma? Nggak kayak gue dulu. Hidung gue jadi cutbray dan pipi juga jadi baggy." Wilma mengamati Padma yang tengah makan empek-empek dengan lahap. Dari kemarin, sahabatnya ini mengidam empek-empek, makanya mereka membawa Padma ke gerai ini karena empek-empeknya terkenal enak."Bukan main istilah lo, Wil. Hidung cutbray, pipi baggy. Itu bentuk wajah atau model celana?" Padma terkekeh."Kalo gue sih, hidung dan pipi baik-baik aja. Mekar-mekar dikit lah. Yang parah cuma leher sama ketek gue. Kayak dakian parah euy. Gue gosok-gosok pake scrub, kagak ngaruh. Malu banget gue sama laki gue. Takut dipikir gue jorok." Ririn turut membagi pengalamannya."Kalo gue sih, semua aman sentosa sejahtera. Cuma, badan gue membengkak kayak gajah. Gue naik berat badan 24 kilogram, sodara-sodara. Berasa jadi Hulk setiap kali gue hamil." Yesi meringis mengingat masa-masa di kala hamil besar."Eh, lo tahu nggak kaba
"Kalau Ibu selama ini punya salah padamu, Ibu minta maaf ya, Padma. Tapi tolong, jangan penjarakan Tari. Karena saat ini hanya dialah satu-satunya harapan kami. Tari adalah tulang punggung keluarga, karena Dimas... ya, begitulah." Bu Nursyam menghela napas berat. Masalah tidak ada henti-hentinya membombardir keluarganya akhir-akhir ini. Maka dari itu, hari ini ia menebalkan muka dan diam-diam menemui Padma di kediaman orang tuanya."Di penjara atau tidaknya Tari, itu bukan wewenang saya, Bu. Para penyidiklah yang memutuskannya," Padma memberi jawaban diplomatis."Betul. Memang bukan wewenangmu. Tapi kalau kamu mencabut laporan atas Tari, kasus akan dianggap selesai, bukan?" bujuk Bu Nursyam lagi."Ibu salah lagi. Bukan saya yang melaporkan Tari, tapi pihak rumah sakit. Jadi, yang berhak mencabut ataupun melanjutkan perkara adalah pihak rumah sakit, bukan saya," ucap Padma dingin."Ya, kalau begitu kamu tinggal minta pihak rumah sakit untuk mencabut gugatan. Kan yang mengadu pada pihak
Lestari memegangi dadanya. Telinganya berdenging. Ia panik! Jangan-jangan Padma telah mengetahui kecurangannya."Saya... boleh meminta minum, tidak, Mbak?" pinta Lestari terengah. Ia harus berpikir tenang sebelum bertindak."Tentu saja. Mas, tolong ambilkan air dingin untuk Dek Tari. Ingat ya, Mas. Yang dingin, biar hati Dek Tari bisa adem," sindir Padma. Lestari makin pucat. Sepertinya Padma benar-benar telah mengetahui kecurangannya."Ini, silakan diminum." Tirta menuangkan segelas air dingin dari water jug. Sedari tadi ia diam sambil berjaga-jaga. Ia takut Padma membahayakan dirinya sendiri saat membalas dendam pada Lestari. Padma sedang hamil muda, dan untuk itu, ia harus siap siaga dalam segala situasi.Tanpa perlu disuruh dua kali, Lestari meneguk minumannya dengan rakus. Setelahnya, ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menstabilkan emosinya. Setelah merasa lebih tenang, barulah ia bersuara."Mengapa Mbak ingin mensomasi rumah sakit? Apa yang sudah mereka lakukan pada Mb
Selama menunggu Lestari tiba, Padma mengumpulkan tiga lembar hasil lab yang dulu ia terima dari petugas lab di rumah sakit. Ia juga melampirkan satu lembar hasil lab terakhir yang ia terima dari Lestari lima tahun yang lalu. Total ada empat lembar hasil lab di tangannya. Sebelum melakukan tes kesuburan, ia memang sudah lebih dulu melakukan tes hormon, uji ovarium dan ovulasi, serta histerosalpingografi.Hasil ketiga tes ini bagus sekali. Menurut dokter Nastiti, kesehatan reproduksinya normal-normal saja. Hanya hasil tes kesuburannya saja yang sangat buruk. Waktu itu ia putus asa melihat hasilnya, makanya ia tidak kembali lagi ke praktik dokter Nastiti untuk membicarakan soal hasil tes kesuburannya. Ia sudah pasrah menerima nasibnya."Aku tidak menyangka kalau kamu masih menyimpan hasil-hasil lab bertahun lalu, Ma." Tirta yang baru datang dari dapur mendekati Padma. Di tangannya ada segelas susu hangat yang sengaja ia siapkan untuk istri tercintanya. "Minum dulu susunya, Sayang. Supay
"Kalian silakan ke rumah sakit dulu. Kasihan Dika sedang sakit." Melihat keadaan Padma yang tidak stabil, Tirta mengalihkan pembicaraan. "Iya, kami permisi dulu, Pak Tirta, Bu Padma." Puspita dan Bik Painah buru-buru kembali ke rumah sakit."Antar aku ke rumah Dek Tari sekarang, Mas. Aku akan meminta penjelasannya. Anak itu sungguh tidak tahu diuntung!" Padma benar-benar tidak terima dibodohi oleh Lestari."Iya, nanti kita menemui Lestari bersama-sama. Setelah kita pulang, makan dan istirahat. Sekarang kita masuk ke mobil dulu," bujuk Tirta."Aku mau sekarang, tidak mau nanti!" Padma tidak bersedia menunggu. Tirta tidak mengatakan apa pun. Ia membuka pintu mobil dan membantu Padma masuk ke dalam. Sejurus kemudian mobil pun melaju membelah jalan. Sekitar sepuluh menit berkendara, Tirta membelokkan mobilnya. "Lho, kok belok? Rumah Lestari itu di Jalan Thamrin, Mas. Lurus saja." Padma memberitahu alamat rumah Lestari kepada Tirta."Padma, nanti saja kita ke rumah Lestari-nya ya? Kamu i
"Kamu butuh uang untuk membawa Dika ke rumah sakit, Pita?" tanya Padma hati-hati."Iya, Bu. Dika sudah dua hari ini demam tinggi. Saya tidak bisa membawanya berobat karena tidak punya biaya." Dengan menebalkan muka Puspita berterus terang pada Padma. Demi anak, ia bersedia menjilat ludahnya sendiri, meski pernah sesumbar bahwa ia tidak akan pernah memohon lagi pada Padma.Padma bertukar pandang dengan Tirta. Ketika melihat anggukan samar sang suami, Padma pun melaksanakan niatnya. Ia membuka tas dan mengeluarkan ponsel."Nomor rekeningmu yang lama masih aktif tidak, Pita?""Masih, Bu," jawab Puspita sambil menunduk. Ia tidak punya keberanian untuk sekadar menatap wajah mantan majikannya. Padma memanglah sebenar-benarnya orang baik."Saya sudah mengirimkan sejumlah uang untukmu. Saya kira cukup untuk biaya pengobatan Dika. Saya permisi dulu ya, Pita. Semoga Dika segera sembuh." Padma mendekati Dika dan mengelus sayang pipi montok Dika dalam buaian Puspita, yang memang terasa panas."Eh