"Kalau gitu, turun sekarang!" Bukannya takut, Tirta malah menghardiknya.
Padma lantas berdecak. Sebenarnya ia malas sekali berurusan kembali dengan Tirta. Pengalaman mengajarkan bahwa mereka tidak boleh ada di tempat yang sama lebih dari lima menit. Karena ujung-ujangnya mereka pasti akan saling serang satu sama lain!
"Masih belum mau turun? Apa perlu saya yang menurunkan Anda dari atas sana?"
"Tidak perlu, Pak. Berat soalnya," sahut Padma ketus. Ia memang mengumpulkan niat dulu sebelum bersilat lidah. Padma membuka pintu truk dan bersiap-siap untuk turun.
"Sok-sok-an mau menurunkanku. Yang ada ngejengkang kamunya." Padma menggerutu. Bobotnya sekarang 80 kilogram. Bukan 40 kilogram seperti sepuluh tahun yang lalu.
"Susah banget kalau turunnya buru-buru begini." Padma gugup karena dipandangi oleh orang banyak. Akibatnya kakinya tergelincir saat menginjak undakan. Padma memekik ngeri. Bayangan dirinya tersungkur di hadapan Tirta membuatnya memejamkan mata.
Ajaib! Alih-alih merasakan kerasnya tanah, ia tidak seperti disanggah sesuatu yang kuat namun liat. Perlahan Padma membuka mata. Seketika tatapannya bertemu dengan sepasang mata yang juga menatapnya terperangah.
"Kamu!" Padma dan Tirta berseru bersamaan.
Ternyata daging yang liat itu adalah otot lengan Tirta.
"Turunkan aku." Padma meronta. Ia malu karena Pak Nurdin, Santo dan Danang kesulitan menahan tawa. Walau sedang bekerja mereka masih sempat memperhatikan aksinya dan Tirta.
"Ngapain kamu di sini, Mpeng?" Tirta menurunkan Padma. Ia nyaris tidak mempercayai penglihatannya sendiri tadi. Sepuluh tahun tidak bertemu, sekarang musuh masa kecilnya ini ada di depan mata.
Akan halnya Padma, dikatai mpeng yang merupakan singkatan dari krempeng membuatnya murka. Dulu ia biasa-biasa saja menerima julukan itu. Karena ia memang kerempeng. Tapi sekarang, julukan itu seakan menghinanya telak. Tubuh yang sebesar gapura kecamatan begini dipanggil kerempeng. Benar-benar mencari ribut bukan?
"Mau latihan bola biar dipanggil Shin Tae Yong gabung ke Timnas, Ndut," cetus Padma sarkas. Ia juga kembali memanggil Tirta gendut.
"Ya mengantar bahan-bahan material yang kamu pesan lah." Lagi-lagi Padma mendengar tawa tertahan. Kali ini berasal dari para pekerja proyek yang mengenakan helm kuning.
"Heh, kamu yang menggantikan Pak Maman? Mana suami tampan rupawan nan sakti mandraguna yang dulu selalu kamu bangga-banggakan? Masa pria sejati tega membiarkan istrinya menjadi supir truk?" Tirta pura-pura celingukan. Melihat ke kanan dan ke kiri, seolah-olah tengah mencari seseorang.
"Dia sudah kubuang ke rawa-rawa biar dimakan buaya," sahut Padma ketus seraya menjauh. Ia risih karena menjadi tontonan para pekerja. Lebih baik ia mengamati oran-orang melansir bahan saja.
"Mana bisa si Dimas itu dimakan buaya. Orang dia buayanya. Dulu aku sudah memperingatkanmu berulang kali agar tidak sampai ditipu buaya bukan?" Tanpa tedeng aling-aling Tirta menyerang Padma.
Padma menulikan telinga. Ia pura-pura tidak mendengar sindiran Tirta. Ia hanya mempercepat langkah menuju kursi-kursi kayu di sudut proyek. Lebih baik ia duduk di sana sampai pekerjaan Pak Santo dan Pak Nurdin selesai, daripada ia kembali berbalas pantun seperti dulu dengan Tirta.
Setelah menghempaskan pinggul pada salah satu kursi, ingatan Padma melayang pada kejadian belasan tahun lalu. Saat itu dirinya kelas III SMA dan Tirta kuliah tahun pertama. Siang itu Tirta menemuinya di toko, saat ia baru saja pulang sekolah.
"Kamu pacaran dengan Dimas, Mpeng?"
"Bukan urusanmu, Ndut."
"Memang bukan urusanku. Aku cuma mau bilang, kalau Dimas itu playboy. Aku kemarin melihatnya bergandengan tangan dengan Mbak Lilis. Sebelum-sebelumnya aku juga sering memergoki Dimas dengan perempuan-perempuan berbeda di kafe-kafe yang berbeda juga. Kamu jangan tertipu oleh wajah polosnya."
"Sembarangan! Mas Dimas bukan orang yang seperti itu. Mas Dimas pernah bilang kalau Mbak Lilis itu memang menyukainya. Jadi tidak heran kalau Mbak Lilis mengejar-ngejarnya. Mengenai perempuan-perempuan lain, paling itu teman-teman kuliahnya. Mas Dimas aktif dalam organisasi di kampusnya. Jangan sembarangan memfitnah ya kamu!"
"Aku tidak memfitnah. Kamu saja yang bodoh dibutakan oleh cinta. Makanya kamu tidak sadar terus dimanfaatkan. Asal kamu tahu. Dimas membawa perempuan-perempuan itu dengan mobil yang dibeli oleh ayahmu. Cinta boleh, Mpeng. Tapi otakmu tolong dipakai. Aku mengatakan ini karena kasihan pada ayahmu. Beliau bekerja mati-matian demi membiayai seorang playboy tidak modal yang putrinya cintai."
"Kalau kamu tidak ingin membeli apa-apa di toko ini, silakan pergi. Kamu itu cuma iri pada pada Mas Dimas karena Mas Dimas tampan dan ramah. Makanya ia disukai banyak orang. Mas Dimas itu pria sejati. Tidak sepertimu yang sudah gendut, ketus, galak, eh tukang fitnah lagi. Ingat ya, Ndut. Kalau ada perempuan yang mendekatimu, jangan ge-er. Paling mereka mendekatimu karena tertarik dengan uang ayahmu. Bukan pada pribadimu. Ingat baik-baik kata-kataku ini. Karena aku juga perempuan."
Padma menutup wajah dengan kedua tangannya. Teringat akan hinaannya pada Tirta di masa lalu, membuatnya malu sendiri. Tirta benar. Dulu ia terlalu bucin pada Dimas, hingga ia menutup mata dan telinga terhadap kenyataan.
Padma mendecakkan lidah tatkala memindai kehadiran Tirta. Musuh bebuyutannya ini memang tidak bisa melihatnya tenang barang sebentar.
Tarik napas, buang napas. Sabar saja, Padma. Bukankah selama sepuluh tahun ini kesabaran sudah menjadi teman baikmu?
"Menurut Pak Manan kamu itu lulusan S1 desain interior ya?"
Padma menengadah. Tumben pertanyaan Tirta normal kali ini. Tidak ada pedas-pedasnya. Alhamdullilah.
"Walaupun kamu belum pernah mengamalkan ilmumu karena langsung menikah dengan Dimas."
Tetap juga rupanya. Astaghfirullah.
"Iya. Walau sarjana desain interior, aku belum pernah bekerja di mana pun. Puas?" Padma beringsut dari kursi. Sungguh ia tidak bisa merasakan ketenangan di mana pun selama di dekatnya ada Tirta.
"Puas? Kenapa aku harus puas? Aku cuma bertanya. Kamu itu terlalu sensitif jadi orang." Tirta ikut bangkit.
"Tolong, jangan mengikutiku. Aku sedang malas ribut. Oke?" Padma mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Energinya bisa habis kalau terus melayani Tirta. Ia masih perlu tenaga ekstra untuk membereskan barang-barangnya di kontrakan sore nanti.
"Siapa yang ingin mengajakmu ribut, Mpeng. Aku ingin menawarkanmu pekerjaan. Kamu ini bawaannya negatif thinking melulu. Makanya auramu itu gelap terus." Tirta menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Pekerjaan apa?" tanya Padma ragu.
"Ayo kita duduk dulu. Biar enak bicaranya." Tirta kembali ke kursinya, diikuti oleh Padma.
"Lanjutkan, pekerjaan apa yang kamu tawarkan?" Padma antara percaya tidak percaya kalau Tirta menawarinya pekerjaan.
"Posisi sebagai desain interior untuk perumahan baruku. Aku sudah menyelesaikan pembangunan fisiknya. Namun interiornya masih kosong. Nah Aku ingin kamu yang merancang interiornya."
Tirta serius rupanya.
"Bukan itu saja. Aku juga ingin kamu menjadi konsultan interior resmi untuk PT Graha Karya Mandiri. Yang mana artinya, kamu aku tunjuk untuk melayani permintaan desain dari klien-klienku. Jadi tanggung jawabmu bukan hanya sebatas merancang interior untuk perumahan baru ini saja. Kamu setuju?"
Padma berpikir keras. Aneh rasanya jikalau tiba-tiba ia bekerja untuk Tirta. Ini semua terlalu mendadak.
"Kenapa harus aku? Selama ini jangankan bekerjasama. Kita bisa sepaham dalam satu hal saja, itu sudah merupakan suatu keajaiban," ucap Padma terus terang.
"Kenapa kalau kamu?" Tirta balik bertanya.
"Aku menawarkan posisi ini karena aku pernah melihat hasil kerjamu. Kamu 'kan yang mendesain rumah Pak Warsito? Aku suka melihat konsep klasik yang kamu kombinasikan dengan unsur tradisionalnya. Gabungan dari dua unsur itu membuat rumah Pak Warsito berkesan yang mewah dan timeless."
Hah? Apa Padma tak salah dengar? Kenapa Tirta memberikan kesempatan berharga seperti ini?
Lima bulan kemudian."Gue heran lo tetap bisa cantik paripurna begini meski sedang hamil gede ya, Ma? Nggak kayak gue dulu. Hidung gue jadi cutbray dan pipi juga jadi baggy." Wilma mengamati Padma yang tengah makan empek-empek dengan lahap. Dari kemarin, sahabatnya ini mengidam empek-empek, makanya mereka membawa Padma ke gerai ini karena empek-empeknya terkenal enak."Bukan main istilah lo, Wil. Hidung cutbray, pipi baggy. Itu bentuk wajah atau model celana?" Padma terkekeh."Kalo gue sih, hidung dan pipi baik-baik aja. Mekar-mekar dikit lah. Yang parah cuma leher sama ketek gue. Kayak dakian parah euy. Gue gosok-gosok pake scrub, kagak ngaruh. Malu banget gue sama laki gue. Takut dipikir gue jorok." Ririn turut membagi pengalamannya."Kalo gue sih, semua aman sentosa sejahtera. Cuma, badan gue membengkak kayak gajah. Gue naik berat badan 24 kilogram, sodara-sodara. Berasa jadi Hulk setiap kali gue hamil." Yesi meringis mengingat masa-masa di kala hamil besar."Eh, lo tahu nggak kaba
"Kalau Ibu selama ini punya salah padamu, Ibu minta maaf ya, Padma. Tapi tolong, jangan penjarakan Tari. Karena saat ini hanya dialah satu-satunya harapan kami. Tari adalah tulang punggung keluarga, karena Dimas... ya, begitulah." Bu Nursyam menghela napas berat. Masalah tidak ada henti-hentinya membombardir keluarganya akhir-akhir ini. Maka dari itu, hari ini ia menebalkan muka dan diam-diam menemui Padma di kediaman orang tuanya."Di penjara atau tidaknya Tari, itu bukan wewenang saya, Bu. Para penyidiklah yang memutuskannya," Padma memberi jawaban diplomatis."Betul. Memang bukan wewenangmu. Tapi kalau kamu mencabut laporan atas Tari, kasus akan dianggap selesai, bukan?" bujuk Bu Nursyam lagi."Ibu salah lagi. Bukan saya yang melaporkan Tari, tapi pihak rumah sakit. Jadi, yang berhak mencabut ataupun melanjutkan perkara adalah pihak rumah sakit, bukan saya," ucap Padma dingin."Ya, kalau begitu kamu tinggal minta pihak rumah sakit untuk mencabut gugatan. Kan yang mengadu pada pihak
Lestari memegangi dadanya. Telinganya berdenging. Ia panik! Jangan-jangan Padma telah mengetahui kecurangannya."Saya... boleh meminta minum, tidak, Mbak?" pinta Lestari terengah. Ia harus berpikir tenang sebelum bertindak."Tentu saja. Mas, tolong ambilkan air dingin untuk Dek Tari. Ingat ya, Mas. Yang dingin, biar hati Dek Tari bisa adem," sindir Padma. Lestari makin pucat. Sepertinya Padma benar-benar telah mengetahui kecurangannya."Ini, silakan diminum." Tirta menuangkan segelas air dingin dari water jug. Sedari tadi ia diam sambil berjaga-jaga. Ia takut Padma membahayakan dirinya sendiri saat membalas dendam pada Lestari. Padma sedang hamil muda, dan untuk itu, ia harus siap siaga dalam segala situasi.Tanpa perlu disuruh dua kali, Lestari meneguk minumannya dengan rakus. Setelahnya, ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menstabilkan emosinya. Setelah merasa lebih tenang, barulah ia bersuara."Mengapa Mbak ingin mensomasi rumah sakit? Apa yang sudah mereka lakukan pada Mb
Selama menunggu Lestari tiba, Padma mengumpulkan tiga lembar hasil lab yang dulu ia terima dari petugas lab di rumah sakit. Ia juga melampirkan satu lembar hasil lab terakhir yang ia terima dari Lestari lima tahun yang lalu. Total ada empat lembar hasil lab di tangannya. Sebelum melakukan tes kesuburan, ia memang sudah lebih dulu melakukan tes hormon, uji ovarium dan ovulasi, serta histerosalpingografi.Hasil ketiga tes ini bagus sekali. Menurut dokter Nastiti, kesehatan reproduksinya normal-normal saja. Hanya hasil tes kesuburannya saja yang sangat buruk. Waktu itu ia putus asa melihat hasilnya, makanya ia tidak kembali lagi ke praktik dokter Nastiti untuk membicarakan soal hasil tes kesuburannya. Ia sudah pasrah menerima nasibnya."Aku tidak menyangka kalau kamu masih menyimpan hasil-hasil lab bertahun lalu, Ma." Tirta yang baru datang dari dapur mendekati Padma. Di tangannya ada segelas susu hangat yang sengaja ia siapkan untuk istri tercintanya. "Minum dulu susunya, Sayang. Supay
"Kalian silakan ke rumah sakit dulu. Kasihan Dika sedang sakit." Melihat keadaan Padma yang tidak stabil, Tirta mengalihkan pembicaraan. "Iya, kami permisi dulu, Pak Tirta, Bu Padma." Puspita dan Bik Painah buru-buru kembali ke rumah sakit."Antar aku ke rumah Dek Tari sekarang, Mas. Aku akan meminta penjelasannya. Anak itu sungguh tidak tahu diuntung!" Padma benar-benar tidak terima dibodohi oleh Lestari."Iya, nanti kita menemui Lestari bersama-sama. Setelah kita pulang, makan dan istirahat. Sekarang kita masuk ke mobil dulu," bujuk Tirta."Aku mau sekarang, tidak mau nanti!" Padma tidak bersedia menunggu. Tirta tidak mengatakan apa pun. Ia membuka pintu mobil dan membantu Padma masuk ke dalam. Sejurus kemudian mobil pun melaju membelah jalan. Sekitar sepuluh menit berkendara, Tirta membelokkan mobilnya. "Lho, kok belok? Rumah Lestari itu di Jalan Thamrin, Mas. Lurus saja." Padma memberitahu alamat rumah Lestari kepada Tirta."Padma, nanti saja kita ke rumah Lestari-nya ya? Kamu i
"Kamu butuh uang untuk membawa Dika ke rumah sakit, Pita?" tanya Padma hati-hati."Iya, Bu. Dika sudah dua hari ini demam tinggi. Saya tidak bisa membawanya berobat karena tidak punya biaya." Dengan menebalkan muka Puspita berterus terang pada Padma. Demi anak, ia bersedia menjilat ludahnya sendiri, meski pernah sesumbar bahwa ia tidak akan pernah memohon lagi pada Padma.Padma bertukar pandang dengan Tirta. Ketika melihat anggukan samar sang suami, Padma pun melaksanakan niatnya. Ia membuka tas dan mengeluarkan ponsel."Nomor rekeningmu yang lama masih aktif tidak, Pita?""Masih, Bu," jawab Puspita sambil menunduk. Ia tidak punya keberanian untuk sekadar menatap wajah mantan majikannya. Padma memanglah sebenar-benarnya orang baik."Saya sudah mengirimkan sejumlah uang untukmu. Saya kira cukup untuk biaya pengobatan Dika. Saya permisi dulu ya, Pita. Semoga Dika segera sembuh." Padma mendekati Dika dan mengelus sayang pipi montok Dika dalam buaian Puspita, yang memang terasa panas."Eh