"Baiklah. Saya mau mengantar ini," ucap Gaza seraya menyodorkan sebuah paper bag.
Apa ya, isinya?
"Apa, tuh?" tanyaku sambil menatap paper bag itu, namun belum kuterima.
"Kamu bisa membukanya nanti di dalam."
Oke, aku terima aja, barangkali isinya emas atau berlian. Eh, nggak mungkinlah mantan ngasih gituan!
"Thanks," ucapku, "ya, udah, lo nggak ada urusan lagi, kan? Pergi sana, gue mau masuk."
Bukannya pergi seperti kataku, Gaza justru hanya sedikit bergeser dari tempatnya berdiri. "Silakan masuk. Saya harap kamu tidak terkejut setelah melihat isinya."
Aku mengerutkan dahi, kurang paham dengan maksudnya. Jangan-jangan, di dalam paper bag ini ada barang terlarang atau ....
"Kenapa kamu menatap saya seperti itu? Tenang saja, isinya bukan narkoba atau pun sejenisnya." Gaza tersenyum miring.
Udahlah, buang pikiran buruk jauh-jauh. Nggak baik juga buat kesehatan kalau mikir yan
"Apa?! Jadi semalam pak Gaza nginep di kost lo?!" tanya Alena dengan ekspresi terkejutnya. Sebenarnya aku sudah menduga, sih, dan setelah ini dia pasti heboh.Aku cuma mengangguk aja, menanggapi pertanyaan Alena. Untung sekarang lagi di kost Alena, jadi nggak mungkin ada yang mencuri dengar, meskipun Alena tadi ngomongnya kek mercon. Coba aja kalau lagi di kantor, udah habis aku."Terus, terus, lo sama pak Gaza ngapain aja, La? Jangan bilang kalian ...."Tuk.Aku memukul kepala Alena dengan pensil, menghentikan ucapannya yang mungkin saja menjurus ke yang tidak-tidak."Jangan mikir aneh-aneh! Gue sama dia nggak ngapa-ngapain," kataku.Alena menelisik wajahku. Biasanya kalau dia kek gini, itu artinya dia lagi mencari-cari adakah kebohongan padaku."Lo nggak bohong, kan, La?" tanya Alena dengan nada yang menurutku mengerikan, apalagi jari telunjuknya menunjuk ke wajahku."Ya, nggakl
"Alula," panggil bu Indira, yang ternyata sudah berdiri di dekat meja kerjaku. Terlalu fokus mantengin PC, sampai-sampai nggak sadar tuh atasan udah ada di dekatku."Ya, Bu?" sahutku."Saya disuruh pak Abraham memanggil kamu untuk segera ke ruangannya," ucap bu Indira.Aku mengernyit heran. Ngapain ya, pemilik perusahaan manggil aku? Mau kasih bonus lagi, seperti waktu itu? Boleh juga sih."Mmm ... disuruh ngapain, ya, Bu, saya ke sana?" tanyaku."Kamu ini, kalau disuruh ke sana, ya, ke sana, saja. Ngapain pake tanya-tanya segala!" Si mak lampir marah. Padahal udah beberapa hari ini dia tobat marah-marah, eh sekarang khilaf lagi."Baik, Bu," jawabku seraya bangkit dari duduk, lalu mengambil alat tulis, siapa tahu ini diperlukan.Tanpa berlama-lama lagi, aku pun segera meninggalkan ruang divisi ini, menuju ruangan pemilik perusahaan yang berada di lantai paling atas di kantor ini.
"Ya, udah, La, lo yang sabar aja." Alena mengusap pundakku, setelah aku ceritakan tentang perintah dari pak Abraham. "Oh, ya, selama lo di-skors, mendingan lo tinggal di tempat gue aja, ya," ajak Alena."Thanks, Len, tapi gue nggak mau ngerepotin lo," kataku.Selama ini, Alena udah baik banget sama aku. Selain sebagai sahabat, aku juga udah menganggapnya sebagai saudara. Setiap ada masalah, pasti aku cerita ke Alena, begitu juga dengannya. Dan kali ini, aku nggak mau repotin dia lagi."Siapa yang repot, sih, La? Justru gue seneng kalau lo tinggal bareng gue. Lagian lo betah amat tinggal sendirian di kost, mana jauh lagi dari kantor," gerutu Alena. "Mending bareng gue, setidaknya buat sebulan ini lah, jadi lo nggak perlu ngeluarin duit buat bayar kost lo.""Ya, gue yang nggak enak, lah, Len. Masa gue numpang di tempat lo, mana gue lagi di-skors.""Lo tuh kek sama siapa aja, deh, La. Heran gue. Dari dulu kita juga selalu
Hari ini aku mau mencoba mencari pekerjaan, untuk mengisi waktu selama aku di-skors. Pekerjaan yang nggak terikat kontrak tentunya. Contohnya, kerja di laundry, kedai, atau warung makan. Ya, yang bosnya membolehkan kerja selama kurang dari sebulan. Kata Alena, aku nggak usah kerja dulu. Waktu-waktu di-skors begini, bisa dijadikan buat me-refresh pikiran, dan buat me time, serta melakukan hal-hal apa saja yang tidak bisa kita lakukan pas lagi nggak ada libur kerja. Sebenarnya sih, aku mau aja melakukan seperti saran Alena, asal dompetku lagi tebal, sayangnya justru sebaliknya. Pengen juga sih, pulang kampung. Nanti kalau ditanya kenapa mudik, padahal bukan di liburan nasional, aku bisa jawab kalau kantor memberiku cuti. Tapi kan aku nggak setega itu buat bohong ke orang-orang, apalagi ke ibu. Yang membuatku ngotot hari ini cari kerja, karena tadi malam aku ditelfon sama adikku. Dia bilang, lagi butuh uang buat bayar program pari
Baiklah, hilangkan gengsi, saatnya menuju ke pasar. Dan, aku harus menyeberang jalan raya dulu untuk sampai ke pasar itu. Pada saat aku menyeberang, tiba-tiba .... "Tiiin!" Terdengar suara klakson mobil yang amat keras. Ketika aku menoleh ke arah kanan, ada sebuah mobil Alphard, yang tengah melaju ke arahku. Jaraknya lumayan dekat, hingga seperti mau menabrakku. Tubuhku seketika kaku di tempat. Kaki ini rasanya seperti ada lemnya, lengket ke aspal yang sedang kupijak. "Aaargh ...." Aku berteriak, karena tubuh ini seperti tak bisa untuk lari. Detik kemudian, aku memejamkan mata, dan mungkin sebentar lagi mobil itu menabrakku, dan nyawaku ...? Karena tidak ada yang aku rasakan selama beberapa saat, akhirnya kuberanikan diri untuk membuka mata. Napas lega dihembuskan, karena mobil itu tak jadi menabrak, tapi kini posisinya hanya tinggal beberapa senti saja di dekat tubuh ini. Hampir saja!
"Nah, Alula, ini rumah saya," ucap tante Nesya ramah, ketika kami sampai di depan rumahnya. Kalau dilihat dari luar begini, lumayan besar rumahnya, tapi sepertinya tidak berlantai dua.Halaman rumah ini bisa dikatakan hijau, yang mana banyak rumput Jepang tersebar hampir memenuhi seluruh halaman. Ada beberapa pohon juga, seperti pohon Pinus, dan pohon yang menyerupai pohon Cemara. Tak lupa juga ada banyak jenis tanaman bunga, yang aku yakin benar-benar dirawat oleh pemiliknya.Cukup sejuk, dan asri, tentunya enak dipandang, dan membuat siapa saja yang datang ke sini, akan merasa betah. Baru di depan rumah aja, aku sudah merasa betah, entah di dalam nanti."Bagus, rapi, dan sejuk, ya, rumah tante," ucapku dengan rasa kekaguman."Ya, begitulah. Tapi, ini semua bukan tante yang merawat, Alula. Ada orang yang tante pekerjakan. Kalau tante lagi nggak sibuk, tante sempetin buat ngurus bunga-bunga itu," ujar tante Nesya sembari menunjuk k
"Alula?""Kak Bara?"Mengapa ada dia di sini? Apa dia suaminya tante Nesya? Tapi, rasanya nggak mungkin, sebab tante Nesya umurnya sudah empat puluh lebih, sedangkan kak Bara sekitaran tiga puluh lima. Tapi, bisa jadi kan, kalau kak Bara suka yang lebih tua?Dengan durasi yang cukup lama, kami saling bertatapan. Aku nggak tahu apa arti tatapannya padaku, sedang arti tatapanku padanya, adalah rasa heran kenapa bisa bertemu di sini, dan berbagai pertanyaan yang muncul di kepala.Hingga akhirnya, sebuah suara mengalihkan tatapanku dari kak Bara. suara itu adalah deheman dari mbok Inah, yang sedari tadi berdiri di sampingku. Mungkin dia juga ikutan heran sepertiku, bedanya, herannya mbok Inah, kenapa aku dan orang di hadapanku ini saling memandang."Eh, Mbok, saya mau langsung pulang, ya," ucapku pada mbok Inah, dengan sedikit grogi, karena orang di hadapanku masih setia memandangiku."Iya, Mbak. Kata nyonya,
"Alula, kamu mau jadi pacar aku?"Hah? Demi apa, dosen paling ganteng di kampus, nyatain cinta sama aku? Aku lagi mimpi nggak sih, ini? Pipi kanan kiri kutepuk berulang kali, dan sakit rasanya. Artinya ini bukan mimpi.Di hadapanku, dia setengah berlutut sambil menyodorkan setangkai bunga mawar merah. Khas seperti orang yang tengah menyatakan cinta pada umumnya."P-pak Arsen, ng-ngak ber-bercanda, kan?" Ih, kok aku jadi gagap begini, sih. Mana jantung udah mau loncat, lagi.Dia tersenyum manis, sangat manis, gula sama madu pun kalah. Lalu dia berdiri, tak lagi berlutut seperti tadi."Kamu mau saya bercanda, atau serius?"Aduuh ... gimana, ya, aku pengen senyum-senyum jadinya, tapi malu. Siapa tahu ini cuma prank dari dosen yang paling digilai oleh para makhluk perempuan di kampus ini."Serius, Pak.""Iya, ini saya lagi serius, Alula," katanya, "mau, kan, jadi pacar saya?"B