LOGIN
Udara siang itu cukup terik, ketika sebuah mobil pickup bak terbuka berhenti di depan rumah nomor 11 di komplek Green Valley Residence.
Sopir menurunkan tumpukan kardus, lemari kecil, dan satu kasur lipat yang diikat seadanya. Di balik mobil, seorang wanita berambut cokelat gelap yang digelung asal-asalan sibuk memberi arahan. Dengan kaus putih longgar dan celana jeans yang sudah belel, Marvella Riani terlihat berkeringat. Meski wajahnya masih menyimpan pesona, garis-garis lelah terlihat jelas di bawah matanya. “Kenzo, jangan lari-larian! Itu masih banyak barang pecah belah!” teriaknya pada bocah laki-laki berusia delapan tahun yang melesat ke halaman rumah baru mereka. Kenzo Rafi, anak semata wayangnya itu tampak sumringah. Ia mengenakan kaos bergambar robot penuh noda es krim dari perjalanan tadi, celana pendek gombrang, serta rambut acak-acakan yang membuatnya tampak seperti jelmaan energi tak terbatas. “Yeay, akhirnya punya rumah baru!” serunya sambil menendang bola kecil ke arah pagar. Masalahnya, pagar itu… belum selesai. Tukang yang disewa Marvella untuk mengerjakannya sudah pulang sejak pagi, tapi dia berjanji akan kembali besok. Hasilnya, bagian bawah pagar yang masih bolong cukup lebar itu hanya ditutupi oleh kawat sementara. Marvella pun akhirnya hanya bisa menghela napas panjang. Bagus. Baru juga pindah, sudah ada masalah. Ketika Marvella sedang mengangkat kardus, tiba-tiba saja ia mendengar suara gonggongan anjing yang membuat wanita itu mengangkat wajah waspada. Kenzo yang tadinya sibuk mengutak-atik mainan pun seketika terdiam. “Mama… ada serigala masuk!” Marvella hampir saja menjatuhkan kardusnya mendengar teriakan putranya. “Apa?! Kenzo, cepat kemari!!" Lalu sesosok besar berbulu putih-abu tiba-tiba saja menerobos lubang di pagar. Lidahnya menjulur, mata biru terangnya berkilat nakal. Itu adalah seekor Siberian Husky. Anjing setengah serigala itu melompat ke halaman, dan langsung mengendus sana-sini sebelum kemudian mendekati Kenzo dengan ekornya yang mengibas-ibas antusias. Alih-alih takut, Kenzo malah berteriak kegirangan. “Huaaa, anjingnya keren banget! Mama, lihat! Aku boleh pelihara, ya?” “Hah? Tentu saja tidak!” Marvella buru-buru mendekati putranya dengan panik. Ia memang bukan tipe yang nyaman dengan hewan besar. Namun sebelum Marvella bisa menarik Kenzo, bocah itu sudah keburu memeluk leher si husky. Anjing besar itu yang ternyata jinak pun langsung menjilat pipi putranya. Tawa renyah Kenzo sontak meledak. “Hahaha! Mama, dia lucu banget, ya?” Marvella mengernyit heran melihat bagaimana dua makhluk berbeda jenis ini bisa seketika akrab di pertemuan pertama. “Astaga… siapa sih pemilik anjing ini? Masa dilepas begitu saja?” Dan seakan semesta yang langsung menjawab pertanyaannya, tiba-tiba saja sebuah suara berat terdengar dari balik pagar. “OREO!” Marvella bisa mendengar langkah tegas yang mendekat, lalu seseorang membuka potongan pagar samping yang masih setengah jadi itu. Dan di sanalah Marvella terperanjat. Pria tinggi menjulang itu masuk dengan wajah sama terkejutnya dengan Marvella. Dia... Dastan. Dastan Alvaro. Pria itu mengenakan kaus hitam polos dan celana chino yang pas di tubuhnya yang maskulin dan kokoh. Rambut hitamnya sedikit berantakan, tapi gaya santainya itu justru membuat pria itu terlihat semakin menarik. Meskipun mata mereka bertemu hanya untuk sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat dada Marvella terguncang hebat. Lalu rasa familiar itu pun serta-merta datang begitu saja. Seolah waktu tiba-tiba berjalan mundur ke sepuluh tahun yang lalu, ketika ia masih menjadi seorang gadis muda yang sedang mabuk kepayang pada cinta. Namun beberapa saat kemudian, Marvella pun buru-buru menegakkan dagu dan berpura-pura tenang, meskipun sesungguhnya detak jantungnya tengah berpacu. “… Kamu?” Alis lebat Dastan terlihat naik, diiringi oleh senyum tipis yang kemudian muncul di wajahnya. Sayangnya, sorot mata pria itu tetap dingin. “Marvella...," ucapnya. Dengan suara berat yang masih terdengar sama seperti yang Marvella ingat. Udara di sekitar mereka pun seakan ikut menegang. Sementara itu Kenzo yang tidak paham, justru sibuk mengelus bulu Oreo. “Mama kenal sama Om itu? Jadi dia pemilik anjing keren ini, ya?” tanyanya polos. “Ken, jangan tidak sopan,” sahut Marvella cepat. Lalu wanita itu menatap Dastan sebelum berucap, kali ini dengan nada yang ketus. “Anjing kamu menerobos masuk ke halaman rumahku. Tolong jaga baik-baik.” Dastan mengerutkan keningnya, kemudian menyilangkan tangan di dada. “Menerobos? Seingatku, pagar ini yang belum selesai. Jadi salahkan saja kontraktormu, bukan Oreo.” Marvella mendengus. “Excuse me? Anjing kamu yang berkeliaran, jangan nyalahin tukang aku!” Oreo sendiri seolah tak peduli dengan tensi yang semakin panas, malah menggulingkan tubuhnya di rumput minta dielus. Dan Kenzo pun dengan senang hati menuruti. “Dia boleh main sama aku kan, Ma? Pleaseee…” pinta Kenzo dengan tatapan memelas. Marvella mengalihkan tatapannya ke arah putranya seraya mendesah. “Ken, itu bukan anjing kita.” “Kalau kamu mau, dia bisa kok main di sini sesekali.” Dastan tiba-tiba menyahut datar, tapi entah kenapa nada suaranya terdengar seperti sengaja menantang. “Oreo memang suka sama anak kecil. Dan kayaknya dia sudah cocok sama putramu." Kata “putramu” membuat dada Marvella mengeras. Entah kenapa ia tidak suka pada cara Dastan mengatakannya. Yah, memang tidak salah sih. Tapi tetap saja Marvella tidak suka. “Terima kasih, tapi aku bisa mengurus anakku sendiri tanpa bantuan tetangga… atau pun anjingnya,” balas Marvella tajam. Dastan menatap wanita bersurai coklat gelap itu dengan waktu yang lama, lalu pada akhirnya mengedikkan bahunya. “Baiklah. Terserah saja.” Ia lalu menepuk pelan pahanya, sebuah kode untuk memanggil Oreo. Anjing itu menurut, meski matanya sempat melirik sekilas seolah enggan meninggalkan Kenzo. Begitu Dastan keluar halaman, Kenzo pun segera berlari mendekati mamanya. “Ma, kenapa sih galak banget sama Om tetangga? Dia sepertinya baik, kok.” Marvella menghela napas panjang, lalu mengelus kepala anaknya. “Ken, dengar ya. Kita pindah ke sini untuk hidup tenang. Jadi jangan terlalu dekat dengan orang lain dulu.” “Tapi… dia kan tetangga kita, Ma?” “Justru itu masalahnya,” guman Marvella pelan, lebih pada dirinya sendiri. Diam-diam hatinya belum bisa berhenti bergetar. Pertemuan itu terlalu mendadak. Ia tidak pernah membayangkan akan bertetangga dengan… mantan. Mantan yang dulu meninggalkan luka paling dalam. Sementara di seberang pagar, Dastan melirik sekilas ke arah halaman rumah Marvella, sebelum akhirnya masuk ke rumahnya sendiri. Wajahnya masih terlihat datar, tapi bayang-bayang di matanya melukiskan kilat emosi yang juga tak kalah rumitnya. *** Ketika malam tiba, Marvella sedang berada di kamar Kenzo untuk menemaninya sebelum tidur. Ibu dan anak itu biasanya saling bercerita atau berdiskusi santai, hingga akhirnya Kenzo pulas. Namun tiba-tiba saja bocah itu berbisik pelan, “Ma, kalau bisa aku mau main lagi sama Oreo besok…” Marvella hanya tersenyum kecil, lalu mengusap kepala Kenzo penuh kasih sayang. “Tidur dulu, Ken.” Lalu saat Kenzo telah lelap dan Marvella duduk sendirian di ruang tamu, rasa lelah fisik itu kalah oleh rasa kalut yang menghantui. Ia pun lalu menatap jendela, ke arah rumah sebelah yang lampunya masih menyala. Dastan Alvaro. Dari delapan milyar orang di dunia, kenapa harus kamu yang jadi tetanggaku?! ***Marvella pun akhirnya tak tahan. Begitu pertunjukan kembang api itu akhirnya selesai, ia segera melangkah keluar rumah dengan tatapan waspada, takut ada tetangga yang keburu mengintip dan mulai bergosip. Saat langkah Marvella memasuki pagar, Oreo yang antusias langsung menghampirinya sembari menggoyangkan ekor penuh semangat. Sementara Dastan yang baru saja meletakkan batang kembang api terakhir di ember berisi air, terlihat tenang saat menoleh ke arahnya. “Kamu gila, ya? Jam segini bikin pertunjukan kayak gitu?? Kalau ada yang lapor ke satpam komplek gimana?” suara Marvella terdengar ketus, matanya menatap Dastan tajam. Dastan mengangkat sebelah alis. “Tapi yang penting Kenzo senang, kan?” Marvella refleks menoleh ke samping. Dari balik jendela, ia bisa melihat Kenzo masih berjingkrak-jingkrak sambil bertepuk tangan riang. Anak itu tampak lebih hidup dari biasanya. “Bukan gitu intinya,” potong Marvella cepat, mencoba menutup perasaan yang mulai sedikit goyah. “Kamu itu
Kenzo duduk di meja makan sambil menatap Marvella dengan wajah kecewa. “Ma, kok Mama usir Om Dastan? Padahal seru banget tadi. Aku suka kalau Om Dastan dan Oreo ada di sini.” Marvella menghela napas panjang, lalu mengelus kepala anaknya. “Ken, dia itu tetangga, bukan bagian dari keluarga kita. Jangan terlalu dekat, ya.” “Tapi Oreo suka sama aku, dan aku juga suka sama Oreo. Lagian… Om Dastan nggak jahat, kok.” Marvella terdiam. Meski hatinya menolak, tapi dengan mata kepalanya sendiri tadi ia melihat dengan jelas bagaimana Oreo bisa membuat anaknya tertawa sepuas itu. Jarang sekali tawa Kenzo begitu lepas sejak perceraiannya. Wanita itu lalu tersenyum kepada putranya. “Sudah, yuk kita makan dulu. Masih ada sisa spageti di panci.” Beberapa saat kemudian, rumah Marvella akhirnya tenang. Kenzo sedang duduk menonton TV sambil mengunyah sisa spageti. Sementara itu, Marvella menatap piring penuh spageti yang tadi sudah ia susun rapi. Porsinya masih terlalu banyak untuk diri
Ketika malam hari tiba, Marvella mendengar ketukan di pintu depan rumahnya. Dengan ragu ia pun membuka pintu, dan terkejut kala mendapati Dastan berdiri di sana bersama dengan Oreo yang duduk manis di sampingnya. Ya Tuhan. Lagi-lagi dia...?! "Malam, Vel. Ini, mainan bola punya Kenzo ketinggalan di rumahku tadi,” ujar pria itu datar, sambil menyerahkan sebuah bola plastik biru kecil ke tangan Marvella. Baru saja wanita itu hendak menjawab dengan kalimat ketus, tapi tiba-tiba saja Kenzo sudah keburu datang melesat setara kecepatan cahaya dari dalam. “Om Dastan, Oreo!” Bocah itu tersenyum lebar dan langsung mengelus anjing kesayangannya. "Om, masuk yuk! Mama masak spageti yang enak banget, pasti Om Dastan suka, deh." Dengan penuh semangat, Kenzo menarik tangan Dastan agar masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Oreo yang menyalak riang sambil melompat-lompat kecil. Kejadiannya begitu cepat, dan Marvella pun hanya bisa bengong lalu memijit pelipisnya yang mendadak nyeri. 'Astag
Udara pagi di Green Valley Residence terasa lebih segar dibandingkan siang terik kemarin.Aroma rumput basah masih menempel di udara, bercampur dengan suara burung gereja yang hinggap di kabel listrik.Marvella berdiri di dapur mungil rumah barunya, masih mengenakan piyama pink bergambar bunga. Rambut cokelat gelapnya tergerai acak, sementara ia sibuk menyiapkan roti panggang untuk sarapan.“Kenzo, ayo sarapan dulu sebelum Mama telat antar kamu ke sekolah.”Tidak ada jawaban.“Kenzo?” Ia menoleh ke arah ruang tamu yang sepi.Dengan alis mengernyit, Marvella meletakkan pisau selai lalu berjalan keluar ke halaman.Dan benar saja dugaannya.Putra semata wayangnya itu sudah jongkok di rumput bersama Oreo, si anjing husky berbulu putih abu-abu yang terlihat menempel manja di sampingnya.Bocah itu mengelus leher Oreo sambil tertawa cekikikan ketika anjing itu menjilat tangannya.“Kenzo!” Marvella setengah berteriak. “Berapa kali Mama bilang jangan main sama anjing tetangga?”Kenzo menoleh d
Udara siang itu cukup terik, ketika sebuah mobil pickup bak terbuka berhenti di depan rumah nomor 11 di komplek Green Valley Residence. Sopir menurunkan tumpukan kardus, lemari kecil, dan satu kasur lipat yang diikat seadanya. Di balik mobil, seorang wanita berambut cokelat gelap yang digelung asal-asalan sibuk memberi arahan. Dengan kaus putih longgar dan celana jeans yang sudah belel, Marvella Riani terlihat berkeringat. Meski wajahnya masih menyimpan pesona, garis-garis lelah terlihat jelas di bawah matanya. “Kenzo, jangan lari-larian! Itu masih banyak barang pecah belah!” teriaknya pada bocah laki-laki berusia delapan tahun yang melesat ke halaman rumah baru mereka. Kenzo Rafi, anak semata wayangnya itu tampak sumringah. Ia mengenakan kaos bergambar robot penuh noda es krim dari perjalanan tadi, celana pendek gombrang, serta rambut acak-acakan yang membuatnya tampak seperti jelmaan energi tak terbatas. “Yeay, akhirnya punya rumah baru!” serunya sambil menendang bo







