Home / Rumah Tangga / Mantan Jadi Tetangga / 2. Masih Galak Seperti Dulu

Share

2. Masih Galak Seperti Dulu

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2025-11-04 12:25:22

Udara pagi di Green Valley Residence terasa lebih segar dibandingkan siang terik kemarin.

Aroma rumput basah masih menempel di udara, bercampur dengan suara burung gereja yang hinggap di kabel listrik.

Marvella berdiri di dapur mungil rumah barunya, masih mengenakan piyama pink bergambar bunga. Rambut cokelat gelapnya tergerai acak, sementara ia sibuk menyiapkan roti panggang untuk sarapan.

“Kenzo, ayo sarapan dulu sebelum Mama telat antar kamu ke sekolah.”

Tidak ada jawaban.

“Kenzo?” Ia menoleh ke arah ruang tamu yang sepi.

Dengan alis mengernyit, Marvella meletakkan pisau selai lalu berjalan keluar ke halaman.

Dan benar saja dugaannya.

Putra semata wayangnya itu sudah jongkok di rumput bersama Oreo, si anjing husky berbulu putih abu-abu yang terlihat menempel manja di sampingnya.

Bocah itu mengelus leher Oreo sambil tertawa cekikikan ketika anjing itu menjilat tangannya.

“Kenzo!” Marvella setengah berteriak. “Berapa kali Mama bilang jangan main sama anjing tetangga?”

Kenzo menoleh dengan wajah yang dipenuhi protes. “Tapi, Ma… Oreo yang datang sendiri, kok. Dia juga nggak gigit. Malah dia baik banget, tadi aja dia ngajak main lempar tangkap bola.”

Mata Marvella membelalak. “Main bola?”

Seolah ingin membuktikan ucapan Kenzo, Oreo tiba-tiba menggigit bola plastik kecil dengan mulutnya, lalu menjatuhkannya tepat di depan kaki Marvella.

Anjing itu mendongak, menatap Marvella dengan mata biru jernihnya yang bersinar penuh antusias.

“Tidak. Jangan menatapku seperti itu, aku bukan majikanmu,” guman Marvella defensif.

Kenzo langsung bangkit. “Ma, please dong. Aku ingin main sebentaaar saja sama Oreo, boleh ya? Nanti aku janji akan mandi cepat terus langsung sarapan, deh...”

Marvella mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ya Tuhan, cobaan macam apa lagi ini?

Bukannya dia tidak memperbolehkan putranya bermain sebentar, apalagi dengan ekspresi Kenzo yang memelas dan bikin nggak tega begitu.

Hanya saja ia benar-benar tidak ingin bertemu dengan si tetangga sebelah yang...

“OREO!”

Tuh kan. Ketemu lagi deh sama satu orang yang paling tidak ingin Marvella temui di dunia.

Dan sama seperti kemarin, tampak sosok tinggi dengan kaus abu-abu tipis dan celana training hitam muncul dari pagar samping. Rambutnya masih basah entah habis mandi atau lari pagi, membuatnya terlihat makin segar.

Dastan.

Pria itu berdiri di depan pagar yang setengah jadi, seraya menatap ke arah Oreo yang langsung menghampirinya dengan ekor bergoyang heboh.

“Sudah kubilang, jangan kabur seenaknya,” tegur Dastan sambil mengusap sayang kepala anjingnya.

Kenzo tertawa kecil. “Om, Oreo pinter banget, loh! Dia bisa tangkap bola! Nanti Oreo boleh main lempar tangkap bola lagi sama aku, ya?”

Dastan melirik sekilas ke arah Marvella sebelum membalas, “Kapan-kapan ya, kalau Mama kamu izinin.”

Marvella mendecak. “Tidak usah libatkan aku. Tolong kunci saja pintu rumahmu lebih rapat, supaya anjingmu tidak bisa kabur seenaknya terus.”

Dastan hanya mengangkat alis, seolah malas berdebat. Bola mata legamnya mengamati piyama pink motif bunga yang dikenakan Marvella, serta bagaimana rambut coklat gelap wanita itu membingkai wajahnya yang cantik dengan helai-helai acak namun sangat manis.

“Good morning to you too, Marvella.” Nada datar Dastan membuat wanita itu mendengus keras, lalu menarik tangan putranya untuk masuk ke dalam rumah.

Dastan menghela napas pelan mendengar bantingan pintu penuh kekesalan itu, namun senyum tipis muncul di bibirnya, ketika mengingat kembali pada Kenzo yang bermain dan begitu lengket dengan anjingnya.

***

Beberapa jam kemudian setelah mengantar Kenzo ke sekolah, Marvella mampir ke minimarket kecil di dekat gerbang komplek perumahannya.

Ia baru saja mengambil sekotak susu ketika mendengar suara lirih-lirih berbisik di belakang rak camilan.

“Eh, itu yang baru pindah ke rumah nomor 11, kan?”

“Iya, iya. Cantik banget, ya. Janda katanya.”

“Serius? Waduh, pantesan masih seger gitu. Kasihan sih, anaknya baru satu.”

“Tapi tahu nggak, rumahnya di sebelah siapa? Itu, Mas Dastan. Yang super ganteng plus jomblo itu, loh!”

“Waduhhh… cocok banget dong? Jangan-jangan~~”

Marvella sontak menegang. Kotak susu yang ada di tangannya hampir saja terjatuh.

Ia pun berdeham keras sambil menoleh. “Permisi. Saya bisa dengar semuanya, lho.”

Dua ibu-ibu komplek yang tadinya sibuk bergosip itu langsung saling sikut dengan wajah yang merah padam.

“Eh, maaf ya, Mbak. Kami nggak bermaksud~~”

“Kan hanya ngobrol biasa kok, jangan baperan gitu juga kali…”

Marvella tersenyum tipis tapi dingin. “Kalau ngobrol biasa, sebaiknya tidak usah menyebut-nyebut nama saya dan tetangga saya. Bisa kan?"

Ia pun melangkah pergi dengan anggun, meski hatinya mendidih. Baru sehari pindah, malah sudah digosipkan yang tidak-tidak!

Huh... bumi dengan segala topping duniawinya ini sungguh lucu.

Ia baru saja selesai dengan drama perceraian yang menguras emosi, tenaga, uang, dan pindah ke perumahan ini bermaksud untuk hidup tenang.

Eh, malah ketemu mantan!

Apa iya dia harus mencari tempat tinggal yang baru lagi?? Yang benar saja.

Tidak-tidak. Itu akan butuh waktu dan uang yang tidak sedikit, padahal tabungannya semakin menipis dan Marvella harus benar-benar berhemat untuk hidupnya berdua dengan Kenzo.

Ia tidak mau banyak berharap mantan suaminya akan mau memberikan nafkah untuk Kenzo, mengingat perceraian mereka yang tidak berakhir baik-baik.

Apa boleh buat, sepertinya ia harus mengalah dan bertahan dulu untuk sementara di sini.

***

Siang harinya, Marvella menjemput Kenzo.

Bocah itu berlari keluar gerbang sekolah dengan semangat, dan tentu saja kalimat pertamanya adalah: “Ma! Sore ini aku boleh main ke rumah Om Dastan, nggak? Katanya Oreo punya mainan lempar tangkap yang keren banget!”

Marvella nyaris tersedak napas sendiri mendegar ucapan putranya. “Tunggu, Ken. Memangnya kapan Om Dastan ngobrol sama kamu?"

"Oh, aku kan sudah tukeran nomor Whats*App sama Om Dastan, Ma. Jadi kita suka ngobrol di chat," sahut anak lelaki itu enteng, tak sadar jika mamanya sudah melotot.

"Kenzo, buat apa kamu chat-an sama dia?!"

“Kenapa sih, Ma? Om Dastan baik, kok. Dia tadi bilang kalau aku mau, aku juga bisa belajar gimana caranya melatih anjing.”

Marvella menutup matanya untuk sesaat, mencoba menahan gejolak emosinya. “Kita sudah bicara soal ini. Mama tidak nyaman kalau kamu terlalu dekat dengan orang lain, Sayang.”

Kenzo pun seketika manyun. “Tapi kan dia tetangga kita. Masa nggak boleh? Lagi pula, aku kasihan sama Oreo kalau nggak ada yang ajak main. Kan dari pagi sampai sore Om Dastan sibuk bekerja.” Anak lelaki itu kemudian menunduk dengan wajah yang murung.

Dan seperti biasa, setiap kali Kenzo memasang ekspresi itu seketika hati Marvella pun langsung luluh. "Baiklah. Tapi dengan syarat, kerjakan dulu semua PR-mu, mandi sore, baru boleh main. Dan jangan jauh-jauh, oke?"

Kenzo pun segera berteriak gembira seraya memeluk serta mengecup pipi mamanya. "Oke, mamaku yang paling cantik sedunia! Makasih karena sudah bolehin aku main sama Oreo!"

***

Sore harinya...

Kenzo sedang membantu Marvella yang sedang sibuk mengatur pot tanaman di halamannya, ketika suara familiar itu kembali terdengar.

“Kenzo!”

Mereka lalu menoleh bersamaan dan melihat Dastan yang berdiri di sisi lain pagar, sementara Oreo berada di sampingnya dengan lidah terjulur.

Seketika wajah Marvella tampak muram. "Ini sudah lewat dari jam 5, sebentar lagi gelap," tegurnya, tampak keberatan.

Ia tahu Dastan baru tiba sekitar dua puluh menit yang lalu, saat mendengar suara mobilnya yang baru masuk garasi.

Dastan tersenyum, "Maaf terlambat. Aku janji cuma sepuluh menit. Biarkan Kenzo main sebentar sama Oreo, Vel,” ucap Dastan singkat.

Kenzo langsung bersinar matanya dan menatap Marvella. “Please, Ma…”

Marvella lalu menatap Dastan tajam. Pria itu balas menatapnya dengan wajah datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang seperti… menantang.

Akhirnya Marvella mendesah pelan. “Sepuluh menit, Ken. Setelah itu pulang.”

“Yeay!” Kenzo langsung berlari menghampiri Oreo yang menyambutnya dengan gonggongan riang yang heboh.

Di depan pagar, Kenzo bermain lempar tangkap dengan Oreo. Sementara Marvella berdiri mengamati mereka dari jauh seraya menyilangkan tangan di dada.

Dastan pun memutuskan untuk melangkah mendekatinya. “Kamu masih sama seperti dulu. Galak kalau diganggu.”

Marvella hanya melemparkan satu lirikan sinis. “Dan kamu masih sama seperti dulu. Suka bikin masalah.”

Dastan hanya terkekeh rendah. “Tapi kalau masalahnya adalah kamu, sepertinya aku nggak bakalan keberatan.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Colin
ceritanya seru... sangat menghibur ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mantan Jadi Tetangga    76. Sudah Siap

    BRAAKK!! Marvella membuka pintu ruang kerja Reno dengan keras. Bunyi hentakannya memantul di dinding kaca dan kayu mahal, membuat Reno yang sedang duduk serta sekretaris yang berdiri di dekat meja sama-sama tersentak, dan menoleh. Sekretaris itu membeku selama sesaat. Ia mengenali Marvella. Dulu, wanita itu sering datang dengan wajah lelah atau tersenyum tipis, kadang membawa makan siang, kadang hanya duduk menunggui Reno hingga selesai rapat. Kini yang berdiri di ambang pintu adalah Marvella dengan rahang yang mengeras, mata yang gelap, dan aura yang jelas-jelas ngajak ribut. “Selamat siang, Bu Marvella,” sapa sang sekretaris akhirnya dengan sikap profesional, meski tangannya refleks merapatkan map di dada untuk melindungi diri. Marvella tidak menoleh sedikit pun. Ia melangkah masuk dan menyilangkan kedua tangannya di dada, dengan tatapan tajam tertuju kepada Reno. “Aku mau bicara dengan kamu. Sekarang.” Nada suaranya datar tapi tegas, dan tidak ada ruang untuk menawar. R

  • Mantan Jadi Tetangga    75. Menunda Rapat Demi Seorang Anak

    FLASHBACK – BEBERAPA MENIT SEBELUMNYA Begitu pesan terakhir terkirim, Dastan langsung mengunci ponselnya dan berdiri dari kursinya. “Reyhan,” panggilnya datar. Asistennya yang sejak tadi sibuk membuka laptop dan menyusun slide presentasi refleks menoleh. “Siap, Pak.” “Tolong infokan ke semua kalau rapat pagi ini ditunda ke siang.” Reyhan berkedip pelan dua kali, lalu menegakkan punggungnya. “Ma~maaf, Pak?” suaranya terdengar seperti orang yang baru saja salah dengar. “Ditunda. Ke jam satu,” ulang Dastan tenang sambil melepas dasinya dan meraih jasnya. Reyhan menelan ludah. “Pak… ini rapat dengan Dewan Direksi pusat. Agendanya adalah merger. Semua orang sudah berada di ruang tunggu.” Dastan menyampirkan jas ke bahunya. “Bilang kalau saya ada urusan mendesak yang tidak bisa ditunda.” Reyhan memijat pelipisnya. “Pak, yang biasanya Bapak sebut tidak bisa ditunda itu biasanya cuma… IPO, krisis saham, atau audit pajak.” Dastan berhenti melangkah dan menoleh. “Hari

  • Mantan Jadi Tetangga    74. Yang Benar-benar Datang

    Keesokan harinya, pagi itu terasa sedikit lebih tegang dari biasanya. Reno datang tepat waktu untuk menjemput Kenzo. Ia berdiri di depan pagar dengan kemeja rapi dan kunci mobil di tangan, seolah ingin menegaskan bahwa hari ini ia benar-benar berniat menjadi “ayah yang hadir”. Kenzo langsung berlari menghampirinya dengan tas kecil di punggung dan wajah berbinar. Anak itu sudah rapi dengan seragam terbaiknya, rambut disisir rapi oleh Marvella, dan sepatu yang berkali-kali dicek talinya agar tidak terlepas di tengah acara. Semalam Kenzo sudah mengingatkan papanya, bahwa besok adalah hari spesial di sekolahnya. Berbarengan dengan acara pengambilan rapot semester akhir, akan ada pula penampilan anak-anak yang menunjukkan kemampuan mereka di atas panggung. Dan Kenzo, telah ditunjuk sebagai perwakilan dari kelasnya untuk membawakan pidato dalam bahasa Inggris. “Hari ini Papa datang, kan?” tanya Kenzo untuk ketiga kalinya sambil memeluk map rapotnya. Reno tersenyum dan men

  • Mantan Jadi Tetangga    73. Arena Adu Dua Pria

    Malam harinya di hari yang sama, Reno tiba-tiba saja datang lagi dengan membawa mainan baru, dengan alasan, “kebetulan ada rapat di dekat sini.” Kenzo tentu saja senang sekali. Anak itu belum cukup besar untuk membaca ambiguitas orang dewasa. Yang ia tahu, ayahnya hadir. Dan itu cukup. Di sisi lain, Marvella mulai gelisah. Reno terlalu perhatian, tapi bukan jenis perhatian yang hangat. Lebih mirip sebuah klaim. “Besok pagi biar aku saja yang antar Kenzo ke sekolah,” ucap Reno, tanpa bertanya lebih dulu. Marvella mengernyit samar. “Biasanya Kenzo diantar sama Dastan.” Reno menoleh dan alisnya terangkat tipis. “Oh?” Nada satu suku kata itu terdengar ringan, tapi ada sesuatu di baliknya. Seperti sebuah catatan yang akan disimpan rapi. “Oooh...,” ulangnya lagi, kali ini disertai dengan senyum kecil. “OM DASTAN, ya?” Marvella memilih diam tidak menjawab, sementara Dastan yang saat itu sedang menyiapkan minuman di dapur mendengar jelas percakapan mereka. Ia segera keluar d

  • Mantan Jadi Tetangga    72. Selalu Ada

    Saat Marvella hendak meletakkan ponselnya setelah chat dengan Dastan, tiba-tiba saja layarnya kembali menyala, berdenting pelan, pertanda ada pesan baru. Semula Marvella mengira itu pesan yang datang dari Dastan lagi, namun ternyata ia salah. Pesan itu datang dari... Reno, yang awalnya hanya berupa pesan singkat. Reno : (Kenzo sudah di sekolah?) Reno : (Aku kebetulan lewat di daerah rumahmu. Boleh mampir sebentar?) Sambil menghela napas, Marvella akhirnya hanya menjawab seperlunya. Singkat, aman dan netral, meskipun ia ingin marah karena terakhir kalinya mereka bertemu, Reno mengatakan akan membawa Kenzo pergi. Marvella : (Kenzo masih di sekolah) Beberapa detik kemudian, ia pun menambahkan satu pesan lagi. Marvella : (Maaf, sekarang aku lagi ada urusan di rumah. Mungkin lain kali) Tapi Reno tidak berhenti di situ. Beberapa menit setelah percakapan itu berakhir, Marvella yang sedang menyiram tanaman di halaman depan tiba-tiba mendengar suara mobil berhenti tepat d

  • Mantan Jadi Tetangga    71. Salah Fokus

    Sekitar pukul sebelas siang, Dastan akhirnya benar-benar berangkat ke kantornya. Tanpa ada drama, tidak ada ciuman perpisahan yang berlebihan, juga tidak ada kalimat klise. Ia hanya memegang kunci mobil dan menatap Marvella, lalu berkata, “Aku pergi. Jangan lupa makan yang benar.” Sesederhana itu. Dan justru karena itu, Marvella berdiri terlalu lama di dekat pintu setelah suara mesin mobil mewah Dastan menghilang di ujung jalan. Kemudian hanya ada keheningan. Kesunyian yang terasa... aneh. Yang ia inginkan adalah ruang. Ia ingin bernapas. Ia ingin jarak. Tapi ketika Dastan benar-benar memberikannya dengan cara yang dewasa dan tidak menuntut, Marvella malah merasa seperti seseorang yang telah salah mengajukan permintaan. 'Kenapa rasanya jadi begini?' batinnya. Ia menghela napas, lalu menepuk pelan kedua pipinya. “Oke. Fokus, Marvella. Ini justru bagus. Ini yang sehat.” Namun lima menit kemudian, ia masih berdiri di ruang tamu seraya menatap sofa kosong, seolah Dast

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status