LOGINUdara pagi di Green Valley Residence terasa lebih segar dibandingkan siang terik kemarin.
Aroma rumput basah masih menempel di udara, bercampur dengan suara burung gereja yang hinggap di kabel listrik. Marvella berdiri di dapur mungil rumah barunya, masih mengenakan piyama pink bergambar bunga. Rambut cokelat gelapnya tergerai acak, sementara ia sibuk menyiapkan roti panggang untuk sarapan. “Kenzo, ayo sarapan dulu sebelum Mama telat antar kamu ke sekolah.” Tidak ada jawaban. “Kenzo?” Ia menoleh ke arah ruang tamu yang sepi. Dengan alis mengernyit, Marvella meletakkan pisau selai lalu berjalan keluar ke halaman. Dan benar saja dugaannya. Putra semata wayangnya itu sudah jongkok di rumput bersama Oreo, si anjing husky berbulu putih abu-abu yang terlihat menempel manja di sampingnya. Bocah itu mengelus leher Oreo sambil tertawa cekikikan ketika anjing itu menjilat tangannya. “Kenzo!” Marvella setengah berteriak. “Berapa kali Mama bilang jangan main sama anjing tetangga?” Kenzo menoleh dengan wajah yang dipenuhi protes. “Tapi, Ma… Oreo yang datang sendiri, kok. Dia juga nggak gigit. Malah dia baik banget, tadi aja dia ngajak main lempar tangkap bola.” Mata Marvella membelalak. “Main bola?” Seolah ingin membuktikan ucapan Kenzo, Oreo tiba-tiba menggigit bola plastik kecil dengan mulutnya, lalu menjatuhkannya tepat di depan kaki Marvella. Anjing itu mendongak, menatap Marvella dengan mata biru jernihnya yang bersinar penuh antusias. “Tidak. Jangan menatapku seperti itu, aku bukan majikanmu,” guman Marvella defensif. Kenzo langsung bangkit. “Ma, please dong. Aku ingin main sebentaaar saja sama Oreo, boleh ya? Nanti aku janji akan mandi cepat terus langsung sarapan, deh...” Marvella mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ya Tuhan, cobaan macam apa lagi ini? Bukannya dia tidak memperbolehkan putranya bermain sebentar, apalagi dengan ekspresi Kenzo yang memelas dan bikin nggak tega begitu. Hanya saja ia benar-benar tidak ingin bertemu dengan si tetangga sebelah yang... “OREO!” Tuh kan. Ketemu lagi deh sama satu orang yang paling tidak ingin Marvella temui di dunia. Dan sama seperti kemarin, tampak sosok tinggi dengan kaus abu-abu tipis dan celana training hitam muncul dari pagar samping. Rambutnya masih basah entah habis mandi atau lari pagi, membuatnya terlihat makin segar. Dastan. Pria itu berdiri di depan pagar yang setengah jadi, seraya menatap ke arah Oreo yang langsung menghampirinya dengan ekor bergoyang heboh. “Sudah kubilang, jangan kabur seenaknya,” tegur Dastan sambil mengusap sayang kepala anjingnya. Kenzo tertawa kecil. “Om, Oreo pinter banget, loh! Dia bisa tangkap bola! Nanti Oreo boleh main lempar tangkap bola lagi sama aku, ya?” Dastan melirik sekilas ke arah Marvella sebelum membalas, “Kapan-kapan ya, kalau Mama kamu izinin.” Marvella mendecak. “Tidak usah libatkan aku. Tolong kunci saja pintu rumahmu lebih rapat, supaya anjingmu tidak bisa kabur seenaknya terus.” Dastan hanya mengangkat alis, seolah malas berdebat. Bola mata legamnya mengamati piyama pink motif bunga yang dikenakan Marvella, serta bagaimana rambut coklat gelap wanita itu membingkai wajahnya yang cantik dengan helai-helai acak namun sangat manis. “Good morning to you too, Marvella.” Nada datar Dastan membuat wanita itu mendengus keras, lalu menarik tangan putranya untuk masuk ke dalam rumah. Dastan menghela napas pelan mendengar bantingan pintu penuh kekesalan itu, namun senyum tipis muncul di bibirnya, ketika mengingat kembali pada Kenzo yang bermain dan begitu lengket dengan anjingnya. *** Beberapa jam kemudian setelah mengantar Kenzo ke sekolah, Marvella mampir ke minimarket kecil di dekat gerbang komplek perumahannya. Ia baru saja mengambil sekotak susu ketika mendengar suara lirih-lirih berbisik di belakang rak camilan. “Eh, itu yang baru pindah ke rumah nomor 11, kan?” “Iya, iya. Cantik banget, ya. Janda katanya.” “Serius? Waduh, pantesan masih seger gitu. Kasihan sih, anaknya baru satu.” “Tapi tahu nggak, rumahnya di sebelah siapa? Itu, Mas Dastan. Yang super ganteng plus jomblo itu, loh!” “Waduhhh… cocok banget dong? Jangan-jangan~~” Marvella sontak menegang. Kotak susu yang ada di tangannya hampir saja terjatuh. Ia pun berdeham keras sambil menoleh. “Permisi. Saya bisa dengar semuanya, lho.” Dua ibu-ibu komplek yang tadinya sibuk bergosip itu langsung saling sikut dengan wajah yang merah padam. “Eh, maaf ya, Mbak. Kami nggak bermaksud~~” “Kan hanya ngobrol biasa kok, jangan baperan gitu juga kali…” Marvella tersenyum tipis tapi dingin. “Kalau ngobrol biasa, sebaiknya tidak usah menyebut-nyebut nama saya dan tetangga saya. Bisa kan?" Ia pun melangkah pergi dengan anggun, meski hatinya mendidih. Baru sehari pindah, malah sudah digosipkan yang tidak-tidak! Huh... bumi dengan segala topping duniawinya ini sungguh lucu. Ia baru saja selesai dengan drama perceraian yang menguras emosi, tenaga, uang, dan pindah ke perumahan ini bermaksud untuk hidup tenang. Eh, malah ketemu mantan! Apa iya dia harus mencari tempat tinggal yang baru lagi?? Yang benar saja. Tidak-tidak. Itu akan butuh waktu dan uang yang tidak sedikit, padahal tabungannya semakin menipis dan Marvella harus benar-benar berhemat untuk hidupnya berdua dengan Kenzo. Ia tidak mau banyak berharap mantan suaminya akan mau memberikan nafkah untuk Kenzo, mengingat perceraian mereka yang tidak berakhir baik-baik. Apa boleh buat, sepertinya ia harus mengalah dan bertahan dulu untuk sementara di sini. *** Siang harinya, Marvella menjemput Kenzo. Bocah itu berlari keluar gerbang sekolah dengan semangat, dan tentu saja kalimat pertamanya adalah: “Ma! Sore ini aku boleh main ke rumah Om Dastan, nggak? Katanya Oreo punya mainan lempar tangkap yang keren banget!” Marvella nyaris tersedak napas sendiri mendegar ucapan putranya. “Tunggu, Ken. Memangnya kapan Om Dastan ngobrol sama kamu?" "Oh, aku kan sudah tukeran nomor W******p sama Om Dastan, Ma. Jadi kita suka ngobrol di chat," sahut anak lelaki itu enteng, tak sadar jika mamanya sudah melotot. "Kenzo, buat apa kamu chat-an sama dia?!" “Kenapa sih, Ma? Om Dastan baik, kok. Dia tadi bilang kalau aku mau, aku juga bisa belajar gimana caranya melatih anjing.” Marvella menutup matanya untuk sesaat, mencoba menahan gejolak emosinya. “Kita sudah bicara soal ini. Mama tidak nyaman kalau kamu terlalu dekat dengan orang lain, Sayang.” Kenzo pun seketika manyun. “Tapi kan dia tetangga kita. Masa nggak boleh? Lagi pula, aku kasihan sama Oreo kalau nggak ada yang ajak main. Kan dari pagi sampai sore Om Dastan sibuk bekerja.” Anak lelaki itu kemudian menunduk dengan wajah yang murung. Dan seperti biasa, setiap kali Kenzo memasang ekspresi itu seketika hati Marvella pun langsung luluh. "Baiklah. Tapi dengan syarat, kerjakan dulu semua PR-mu, mandi sore, baru boleh main. Dan jangan jauh-jauh, oke?" Kenzo pun segera berteriak gembira seraya memeluk serta mengecup pipi mamanya. "Oke, mamaku yang paling cantik sedunia! Makasih karena sudah bolehin aku main sama Oreo!" *** Sore harinya... Kenzo sedang membantu Marvella yang sedang sibuk mengatur pot tanaman di halamannya, ketika suara familiar itu kembali terdengar. “Kenzo!” Mereka lalu menoleh bersamaan dan melihat Dastan yang berdiri di sisi lain pagar, sementara Oreo berada di sampingnya dengan lidah terjulur. Seketika wajah Marvella tampak muram. "Ini sudah lewat dari jam 5, sebentar lagi gelap," tegurnya, tampak keberatan. Ia tahu Dastan baru tiba sekitar dua puluh menit yang lalu, saat mendengar suara mobilnya yang baru masuk garasi. Dastan tersenyum, "Maaf terlambat. Aku janji cuma sepuluh menit. Biarkan Kenzo main sebentar sama Oreo, Vel,” ucap Dastan singkat. Kenzo langsung bersinar matanya dan menatap Marvella. “Please, Ma…” Marvella lalu menatap Dastan tajam. Pria itu balas menatapnya dengan wajah datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang seperti… menantang. Akhirnya Marvella mendesah pelan. “Sepuluh menit, Ken. Setelah itu pulang.” “Yeay!” Kenzo langsung berlari menghampiri Oreo yang menyambutnya dengan gonggongan riang yang heboh. Di depan pagar, Kenzo bermain lempar tangkap dengan Oreo. Sementara Marvella berdiri mengamati mereka dari jauh seraya menyilangkan tangan di dada. Dastan pun memutuskan untuk melangkah mendekatinya. “Kamu masih sama seperti dulu. Galak kalau diganggu.” Marvella hanya melemparkan satu lirikan sinis. “Dan kamu masih sama seperti dulu. Suka bikin masalah.” Dastan hanya terkekeh rendah. “Tapi kalau masalahnya adalah kamu, sepertinya aku nggak bakalan keberatan.” ***Marvella pun akhirnya tak tahan. Begitu pertunjukan kembang api itu akhirnya selesai, ia segera melangkah keluar rumah dengan tatapan waspada, takut ada tetangga yang keburu mengintip dan mulai bergosip. Saat langkah Marvella memasuki pagar, Oreo yang antusias langsung menghampirinya sembari menggoyangkan ekor penuh semangat. Sementara Dastan yang baru saja meletakkan batang kembang api terakhir di ember berisi air, terlihat tenang saat menoleh ke arahnya. “Kamu gila, ya? Jam segini bikin pertunjukan kayak gitu?? Kalau ada yang lapor ke satpam komplek gimana?” suara Marvella terdengar ketus, matanya menatap Dastan tajam. Dastan mengangkat sebelah alis. “Tapi yang penting Kenzo senang, kan?” Marvella refleks menoleh ke samping. Dari balik jendela, ia bisa melihat Kenzo masih berjingkrak-jingkrak sambil bertepuk tangan riang. Anak itu tampak lebih hidup dari biasanya. “Bukan gitu intinya,” potong Marvella cepat, mencoba menutup perasaan yang mulai sedikit goyah. “Kamu itu
Kenzo duduk di meja makan sambil menatap Marvella dengan wajah kecewa. “Ma, kok Mama usir Om Dastan? Padahal seru banget tadi. Aku suka kalau Om Dastan dan Oreo ada di sini.” Marvella menghela napas panjang, lalu mengelus kepala anaknya. “Ken, dia itu tetangga, bukan bagian dari keluarga kita. Jangan terlalu dekat, ya.” “Tapi Oreo suka sama aku, dan aku juga suka sama Oreo. Lagian… Om Dastan nggak jahat, kok.” Marvella terdiam. Meski hatinya menolak, tapi dengan mata kepalanya sendiri tadi ia melihat dengan jelas bagaimana Oreo bisa membuat anaknya tertawa sepuas itu. Jarang sekali tawa Kenzo begitu lepas sejak perceraiannya. Wanita itu lalu tersenyum kepada putranya. “Sudah, yuk kita makan dulu. Masih ada sisa spageti di panci.” Beberapa saat kemudian, rumah Marvella akhirnya tenang. Kenzo sedang duduk menonton TV sambil mengunyah sisa spageti. Sementara itu, Marvella menatap piring penuh spageti yang tadi sudah ia susun rapi. Porsinya masih terlalu banyak untuk diri
Ketika malam hari tiba, Marvella mendengar ketukan di pintu depan rumahnya. Dengan ragu ia pun membuka pintu, dan terkejut kala mendapati Dastan berdiri di sana bersama dengan Oreo yang duduk manis di sampingnya. Ya Tuhan. Lagi-lagi dia...?! "Malam, Vel. Ini, mainan bola punya Kenzo ketinggalan di rumahku tadi,” ujar pria itu datar, sambil menyerahkan sebuah bola plastik biru kecil ke tangan Marvella. Baru saja wanita itu hendak menjawab dengan kalimat ketus, tapi tiba-tiba saja Kenzo sudah keburu datang melesat setara kecepatan cahaya dari dalam. “Om Dastan, Oreo!” Bocah itu tersenyum lebar dan langsung mengelus anjing kesayangannya. "Om, masuk yuk! Mama masak spageti yang enak banget, pasti Om Dastan suka, deh." Dengan penuh semangat, Kenzo menarik tangan Dastan agar masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Oreo yang menyalak riang sambil melompat-lompat kecil. Kejadiannya begitu cepat, dan Marvella pun hanya bisa bengong lalu memijit pelipisnya yang mendadak nyeri. 'Astag
Udara pagi di Green Valley Residence terasa lebih segar dibandingkan siang terik kemarin.Aroma rumput basah masih menempel di udara, bercampur dengan suara burung gereja yang hinggap di kabel listrik.Marvella berdiri di dapur mungil rumah barunya, masih mengenakan piyama pink bergambar bunga. Rambut cokelat gelapnya tergerai acak, sementara ia sibuk menyiapkan roti panggang untuk sarapan.“Kenzo, ayo sarapan dulu sebelum Mama telat antar kamu ke sekolah.”Tidak ada jawaban.“Kenzo?” Ia menoleh ke arah ruang tamu yang sepi.Dengan alis mengernyit, Marvella meletakkan pisau selai lalu berjalan keluar ke halaman.Dan benar saja dugaannya.Putra semata wayangnya itu sudah jongkok di rumput bersama Oreo, si anjing husky berbulu putih abu-abu yang terlihat menempel manja di sampingnya.Bocah itu mengelus leher Oreo sambil tertawa cekikikan ketika anjing itu menjilat tangannya.“Kenzo!” Marvella setengah berteriak. “Berapa kali Mama bilang jangan main sama anjing tetangga?”Kenzo menoleh d
Udara siang itu cukup terik, ketika sebuah mobil pickup bak terbuka berhenti di depan rumah nomor 11 di komplek Green Valley Residence. Sopir menurunkan tumpukan kardus, lemari kecil, dan satu kasur lipat yang diikat seadanya. Di balik mobil, seorang wanita berambut cokelat gelap yang digelung asal-asalan sibuk memberi arahan. Dengan kaus putih longgar dan celana jeans yang sudah belel, Marvella Riani terlihat berkeringat. Meski wajahnya masih menyimpan pesona, garis-garis lelah terlihat jelas di bawah matanya. “Kenzo, jangan lari-larian! Itu masih banyak barang pecah belah!” teriaknya pada bocah laki-laki berusia delapan tahun yang melesat ke halaman rumah baru mereka. Kenzo Rafi, anak semata wayangnya itu tampak sumringah. Ia mengenakan kaos bergambar robot penuh noda es krim dari perjalanan tadi, celana pendek gombrang, serta rambut acak-acakan yang membuatnya tampak seperti jelmaan energi tak terbatas. “Yeay, akhirnya punya rumah baru!” serunya sambil menendang bo







