LOGINReyhan tidak pernah menyangka bahwa kursi empuk di ruang rapat lantai paling atas, bisa terasa seperti kursi listrik terdakwa hukuman mati. Pagi itu, ia duduk di ujung meja panjang dengan setelan rapi, kopi yang sudah dingin, dan ekspresi yang berusaha terlihat tenang... padahal di dalam kepalanya, alarm stres terus berbunyi tanpa henti. “Baik, Pak Reyhan,” ucap salah satu kepala divisi dengan nada formal yang janggal. “Untuk keputusan merger ini, kami menunggu arahan Bapak.” Reyhan berkedip. 'Pak...' Orang yang dulu memanggilnya Rey, bahkan pernah meremehkannya di rapat kecil, kini menyebutnya Pak dengan nada penuh hormat. Ironisnya, itu tidak membuatnya bangga. Itu justru membuat tengkuknya terasa linu dan kaku. “Ah… iya,” jawabnya sambil berdehem. “Kita bahas pelan-pelan.” Padahal pelan-pelan bukan gaya perusahaan ini. Dan jelas juga bukan gaya Dastan sama sekali. Di layar presentasi, tertera angka-angka berbaris rapi, proposal besar menunggu tanda tangan, dan semua or
Tok. Tok. Ketukan terdengar pelan di pintu kamar Marvella. Marvella yang sedang melipat sweater Kenzo pun sontak menoleh. “Masuk.” Pintu terbuka, dan Miranda muncul dengan langkah ragu-ragu sambil membawa sebuah kotak kado berwarna abu-abu dove, yang dibungkus rapi dengan pita tipis warna biru tua. “Maaf ganggu,” ucap Miranda. “Ini… ada titipan.” Marvella berdiri. “Titipan siapa?” Miranda menghela napas singkat sebelum menjawab, memastikan agar nada suaranya netral. “Reno.” Nama itu membuat udara di ruangan berubah sedikit. Dastan yang sedang duduk di sofa, otomatis menegakkan punggungnya, meskipun ekspresi wajahnya tetap tenang. “Kado pernikahan,” lanjut Miranda cepat. “Dia minta aku yang kasih.” Marvella menerima kotak itu tanpa ekspresi yang berlebihan. Tangannya mantap dan sorot matanya pun tetap jernih. “Terima kasih, Mir. Jadi ngerepotin kamu.” Di atas kotak kado itu, terselip sebuah kartu kecil berwarna krem. Marvella pun membukanya dengan perlahan, dan mem
Keesokan harinya, Reyhan bangun siang hari dengan kondisi badan babak belur. Lehernya pegal, pundaknya berat, dan kepalanya terasa berdenyut. Seolah semalam itu ia tidak hanya menyelenggarakan sebuah pernikahan, tapi juga menyelamatkan seluruh dunia. Ia meraih ponsel tanpa membuka mata sepenuhnya, bermaksud mengecek pesan penting, dan ternyata memang ada notifikasi pesan masuk dari bosnya, Dastan Alvaro. Reyhan membuka pesan itu sambil menguap. Dastan: (Terima kasih, Pak Deputy CEO. Acaranya luar biasa.) Reyhan menatap layar selama beberapa detik. Lalu tanpa berpikir panjang, ia membalas. Reyhan : Sama-sama, Pak. Tapi sejujurnya, saya jadi trauma dengan kata ‘intimate’) Pesan terkirim, lalu Reyhan meletakkan ponselnya di dada sambil tersenyum tipis. Hubungan mereka memang selalu seperti itu. Tidak berlebihan. Tidak penuh basa-basi. Tapi saling mengerti, serta cukup saling percaya. Dan di hari itu, akhirnya Reyhan merasa bisa bernapas dengan normal lagi. *** Marve
Tidak ada yang benar-benar siap dengan keindahan di malam itu. Baik Dastan, Marvella, bahkan Reyhan yang sejak pagi mendapatkan serangan panik, harus mengakui satu hal dengan jujur. “Akhirnya… jadi juga,” guman Reyhan pelan sambil menatap halaman belakang rumah itu. “Dan malah lebih bagus.” Intimate wedding itu terselenggara di halaman belakang sebuah rumah tua bergaya kolonial modern yang tenang dan tersembunyi. Bukan gedung megah, juga bukan ballroom hotel bintang lima yang mewah. Lampu-lampu kecil digantung rendah di antara pepohonan, menciptakan cahaya hangat yang tidak menyilaukan, justru terasa seperti hangatnya pelukan. “Rey,” bisik Miranda yang sedang berdiri di sampingnya. “Kok rasanya kayak masuk halaman rumah sendiri, ya?” Reyhan mengangguk, setuju dengan perkataan adik mempelai wanita. “Memamg itu intinya, Bu Miranda.” Tidak ada panggung tinggi, tidak ada karpet merah. Hanya ada jalur dari batu alam sederhana, dihiasi bunga putih dan dedaunan hijau yang di
Reyhan menatap layar ponselnya lamaa sekali, seolah berharap kalimat “besok malam” itu akan berubah sendiri. Tapi sayangnya, ternyata tidak. “Pak,” ucapnya akhirnya, dengan sangat pelan dan sangat hati-hati. “Mohon maaf. Saya mau memastikan kalau saya tidak salah dengar karena barusan saya makan keripik pedas, dan mungkin gara-gara makanan itu aliran darah ke otak saya sedang terganggu.” “Silakan,” jawab Dastan tenang. “Bapak bilang… BESOK MALAM?” “Iya.” “Acara INTIMATE WEDDING?” “Betul.” Reyhan menutup mata, lalu beberapa detik kemudian membukanya lagi. “Intimate wedding itu definisinya kecil, sakral, personal, penuh makna emosional, dan biasanya... direncanakan minimal tiga bulan sebelumnya.” “Makanya saya menelepon kamu,” kata Dastan ringan. “Supaya tetap terlaksana meskipun lebih cepat dari yang biasanya.” Reyhan pun tertawa pendek. “Dengan segala hormat, Pak… ini Bapak mau menyelenggarakan pernikahan, atau menguji ketahanan mental seseorang terhadap keputusa
Siang di hari libur akhir pekan, adalah waktu sakral bagi Reyhan. Sakral dalam artian, tidak boleh diganggu oleh pekerjaan, klien rese, revisi desain mendadak, atau yang paling parah... telepon dari Dastan Alvaro. Setelah selesai beberes apartemennya yang tidak terlalu luas tapi cukup rapi untuk ukuran pria lajang perfeksionis sekaligus setengah malas, Reyhan pun menyiapkan ritual favoritnya. Sebungkus keripik pedas yang bikin lidah bahagia tapi lambung menderita, segelas minuman dingin, dan sebuah laptop yang sudah siap menyala memutarkan sebuah film horor. Ia duduk di atas karpet sambil menyandarkan punggungnya ke kaki sofa, sebuah posisi setengah rebahan yang menurutnya ergonomis versi orang malas. Di layar laptop, adegan gelap dengan musik mencekam mulai berjalan. “Ya ampun, ini rumah angker atau listriknya nunggak tiga bulan, sih,” komentar Reyhan sambil mengunyah. “Kalau aku jadi hantunya juga males nongol. Gelap, pengap, nggak aesthetic pula.” Sekarang adegan tokoh







