Mobil Fortuner berwarna merah itu berhenti di depan kediaman Keluarga Mordie.“Setelah ini istirahatlah. Jika ada apa-apa bisa hubungi aku,” ucap Grace.“Iya, terima kasih banyak, Grace. Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu,” sahut Evora.“Kita ini sahabat! Jadi jika kamu kenapa-kenapa, aku akan maju paling depan.” Grace tersenyum tulus seraya menepuk pundak Evora.Mereka berpelukan lalu Evora turun dari mobil. Ia melambaikan tangannya saat mobil Grace meninggalkan Kediaman Keluarga Mordie. Gadis itu lalu masuk setelah satpam membukakan pagar.“Nona Evora sudah pulang? Anda mau dibuatkan minuman apa?” Lala yang sedang menyiram tanaman di teras menyambut kepulangan Evora.“Buatkan teh hijau saja. Nanti antar ke kamarku.” jawab Evora, ia lalu memasuki ruang tamu.Lala menyadari raut wajah Evora yang berbeda. Nona Evora kenapa, ya? Ia bertanya-tanya dalam hati.Lizi yang sedang minum sambil bersantai di sofa tampak terkejut melihat Evora pulang. Bahkan ia menyemburkan air yang baru saja
Evora menahan napas dan berusaha untuk tidak bersuara. Namun, tiba-tiba Grace kembali bicara lewat telepon. “Evora? Apa kamu mendengarku?”Evora lupa menurunkan volume teleponnya. Alhasil, langkah kaki itu semakin mendekat, dan…“Rupanya kamu di sini.” Max tersenyum karena berhasil menemukan Evora dari balik tong sampah. Jantung Evora seakan jatuh ke bawah dan tubuhnya lemas.“Max, apa aku pernah menyinggungmu? Sepertinya kita tidak memiliki urusan apa-apa,” ucap Evora berusaha tenang.Sementara itu, teleponnya masih tersambung. Grace mendengar percakapan Evora.“Waktu ujian masuk itu. Kamu membuatku gagal diterima,” jawab Max dengan sorot mata tajam.“Hanya itu saja? Tapi itu bukan sepenuhnya salahku! Kamu yang berbuat curang waktu ujian. Apalagi kamu hampir menjebakku, jadi itu salahmu,” lontar Evora.“Bagaimanapun kamu penyebab aku dikeluarkan dari ruang ujian waktu itu! Dan alasan lainnya, lebih baik kamu nggak perlu tahu.” Max menyeringai lalu menjambak rambut Evora.“Akh, lepask
“Silakan tanda tangan di sini, Evora,” ucap Rektor Universitas Astoria seraya menunjuk kolom di pojok dokumen.“Baik, Pak.” Evora membubuhkan tanda tangannya di kolom yang ditunjuk. Kemudian, Rektor memberikan dokumennya kepada Tuan Arco. “Silakan Anda tanda tangan di kolom sebelah.”Setelah selesai, Rektor memberikan salinan dokumennya kepada Evora. “Selamat, kamu telah diterima di Universitas Astoria jurusan bisnis. Seluruh biaya sampai kelulusan sudah ditanggung oleh Tuan Arco selaku sponsor.”“Terima kasih, Pak Rektor, dan Tuan Arco. Saya berjanji akan memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya.” Evora lalu menatap Tuan Arco. “Dan terutama … saya tidak akan mengecewakan Anda.”Setelah urusan administrasi selesai, Evora keluar dari gedung A dengan senyum lebar. Lega dan bahagia bercampur menjadi satu. Udara kampus terasa lebih segar dari sebelumnya. Ia lalu memesan taksi online dari ponselnya. Sembari menunggu, ia menelepon Grace untuk memberitahu kabar bahagia ini. Begitu tele
Di sudut aula, Fasco berdiri seraya menatap kosong gelas cocktail di tangannya. Suara riuh di sekitarnya terasa memekakkan telinga, kontras dengan wajahnya yang tenang namun dingin. Kancing kemejanya terbuka menyisakan bagian bawah, memperlihatkan perut sixpack-nya.“Tuan Fasco! Ternyata kamu di sini, aku mencarimu kemana-mana.” Seorang wanita bergaun pendek menghampiri Fasco dan bergelayut manja di lengannya. Namun, Fasco tak menggubrisnya.“Kamu ingin menikmati waktu dengan Tuan Fasco sendirian, ya? Kami juga ingin tahu!” Seorang wanita lain datang lagi dan berdiri di sisi satunya.Fasco mengencangkan genggaman gelasnya. Telinganya ingin meledak mendengar suara yang terlalu mendayu itu. Wajahnya tetap datar dan tidak menunjukkan ketertarikan.Bertepatan dengan itu, Sonya datang menghampiri Fasco. Ia tersenyum ketika melihat dikelilingi para wanita. Namun, rautnya berubah ketika melihat wajah Fasco yang masam.“Fasco, wajahmu sangat kusut. Apa kamu tidak menikmati acara?” tanya Sony
“Evora!” Mata Fasco membulat melihat Evora yang basah kuyup di dalam kolam. Tanpa ragu, ia melempar jasnya ke tepi kolam dan melompat masuk. Dinginnya air langsung menusuk kulitnya. Ia segera menghampiri Evora dan melingkarkan jasnya di bahu gadis itu yang tampak menggigil.“Ayo kita keluar dari kolam ini!” Fasco merengkuh tubuh Evora dan ia bawa ke atas kolam renang. Tindakan itu mengundang respon yang berbeda-beda dari orang-orang yang melihatnya.“Ya ampun, Evora!” Grace yang baru datang langsung menghampiri Evora dengan panik. Melihat raut wajah Evora yang pucat, Grace lalu beralih menatap Fasco.“Bawa dia ke kamar lantai dua,” ujar Fasco kepada Grace.Akhirnya, Grace pun pergi membawa Evora sesuai perintah Fasco. Sementara itu, Fasco menatap ke sekitarnya dan orang-orang yang menyalakan kamera langsung mematikan ponsel.Namun, beberapa wanita justru tersenyum dan menahan jeritan ketika melihat tubuh Fasco yang gagah tercetak dibalik kemejanya yang basah. Ketika mereka ingin mend
Fasco menoleh ke arah Evora. Lalu, ia langsung beranjak dari tempatnya diiringi desahan kecewa dari para wanita yang mengelilinginya.“Kau mau kemana, Tuan?” seru mereka. Namun, Fasco tidak mempedulikannya.Langkah Fasco menghampiri Evora dan Grace. Evora tampak kikuk saat Fasco terus menatapnya dengan dalam.“Ini pasti ulah Tante Sonya, ya?” Grace mencibir.Fasco mendengus. “Ibu bilang aku harus lebih ramah. Tapi aku yakin maksudnya bukan dikerubungi begitu.”Ia tampak lega bisa menjauh dari para wanita itu.Tak ada satu pun wanita yang berani mendekat ketika Grace berdiri di sebelah Fasco. Grace adalah sahabat Fasco yang terkenal galak. Mereka pasti tahu resikonya.“Acaranya sudah mau dimulai,” bisik Evora ke telinga Grace ketika pembawa acara sudah menaiki panggung.Acara pun telah resmi dibuka oleh pembawa acara. “Untuk mengawali perjamuan malam ini, kami persembahkan pertunjukan musik piano dengan penari balet profesional.”Lampu aula mendadak gelap. Lampu sorot mengarah ke atas
Sepulang dari kantor, Evora pergi ke sebuah kafe bersama Grace.Senyum terus menghiasi bibir Evora. Kabar diterimanya di Universitas Astoria bagai angin segar di tengah badai masalah keluarganya. Ia merasa secercah harapan untuk masa depan yang ia pilih sendiri.Maka, ia pun mentraktir Grace untuk merayakannya.“Selamat, Evora. Kamu berhasil di terima kuliah, menjadi seorang model sampai dikontak banyak agensi model, meskipun itu bukan impianmu sejak awal. Tapi takdir punya rencana lain yang lebih baik, kan?” ujar Grace.“Terima kasih, Grace. Tapi ada yang lebih kusyukuri daripada itu semua….”“Apa?” tanya Grace penasaran.“Dipertemukan dengan teman sebaik dirimu,” jawab Evora. Salah satu tangannya menopang dagu seraya menatap Grace dengan senyum manis.“Aku terharu, tapi jangan menatapku seperti itu!” Grace mendengus, tapi bibirnya ikut tersenyum.Evora tertawa lalu menyendokkan dessert ke mulutnya.“Eh, sebentar … ada telepon masuk!” ucap Grace yang kemudian mengangkatnya. “Halo, Ta
Kotak masuk email Evora dibanjiri oleh pesan-pesan dari beberapa agensi model. Mereka tertarik bekerja sama dengannya.Evora terduduk lemas di sisi ranjangnya, menatap nanar layar ponsel yang dipenuhi notifikasi email dari berbagai agensi model. “Astaga… ini benar-benar di luar dugaan,” bisiknya, nada suaranya bercampur antara kaget dan bimbang.Tepat saat itu juga, ponselnya berdering dan muncul panggilan dari Grace.“Halo, Grace?” sapa Evora dengan lesu."Kenapa kamu tidak bersemangat? Kamu baru saja terkenal lewat iklan TV!""Aku tahu, ini gila ya? Tapi … masalahnya sekarang banyak agensi model yang menghubungiku. Kamu tahu, kan? Menjadi model bukan passionku sebelumnya. Bahkan aku mengira Tuan Felix menawariku karena beliau iseng,” sahut Evora.“Itu justru berita bagus, Evora! Kamu seperti sedang mendapat rezeki yang tak terduga. Kamu tahu nggak? Produk kecantikan yang bekerja sama denganmu telah viral dan diburu banyak wanita! Aku sampai membeli satu kardus karena klaimnya bagus
Suasana semakin tidak kondusif. Beberapa orang mulai melirik ke arah mereka. Tanpa sadar, tautan tangan Evora ke lengan Fasco semakin mengencang.“Ayah, Ibu … kalian sedang apa?” tanya Lizi muncul bersama Vernon. Tampaknya mereka mendengar keributan tadi. Mereka lalu mengalihkan pandangannya ke arah lengan Evora dan Fasco yang bertautan.“Aku mau pulang,” ucap Evora datar. Ia pun melepaskan tangannya dari lengan Fasco.Tanpa di duga, Fasco berkata, “Aku yang akan mengantarmu pulang.”Evora terkejut, tapi ia dengan cepat menetralkan ekspresinya. Ia menatap kedua orang tuanya sejenak lalu beranjak pergi diikuti Fasco.Setelah mereka pergi, Lizi bertanya, “Mereka kenapa?”“Dia hanyalah gadis yang keras kepala, tidak pernah mendengar kami sebagai orang tuanya,” ujar Meyla dengan nada terluka, air mata tampak menggenang di sudut matanya. Ia memegangi dadanya, gestur seorang ibu yang tersakiti.Beberapa orang yang melihat langsung iba. Terdengar beberapa bisik-bisik.“Sudahlah, Bu. Mungkin