Share

Bab 7 Surat pengunduran Diri

Nindy pun seketika menoleh ke bangku belakang, di mana Billy berada. Wajah pria itu tampak acuh tak acuh.

"Saya di sini aja, Pak," tolak Nindy seraya tersenyum kaku pada Pak Edwin.

"Kamu di belakang aja. Saya mau ngobrol sama Rudi."

Rudi adalah salah satu karyawan yang berasal dari kantor pusat. Pria itulah yang akan mengemudikan mobil Billy.

“Baik, Pak.”

Terpaksa dia menyetujui permintaan Pak Edwin. Padahal, sejak awal dia sengaja ingin duduk di depan untuk menghindari Billy, nyatanya dia harus duduk bersebelahan dengan mantan kekasihnya itu di belakang. Nasibnya sunggul sial. Semakin dia menghindari Billy, entah mengapa dia justru semakin dekat dengannya.

“Kenapa diam aja?” Billy bertanya dengan dingin pada Nindy setelah menurunkan kaca mobil yang tepat berada di sampingnya. "Mau nunggu sampai jam makan siang habis?”

“Maaf, Pak.”

Nindy segera membuka pintu, lalu bergegas masuk ke dalam mobil. Dia duduk di ujung menempel dengan pintu, sebisa mungkin dia memberikan jarak yang jauh dengan Billy. Bukan apa-apa, dia hanya tidak mau Billy berpikir yang tidak-tidak tentangnya.

Billy yang menyadari Nindy menjaga jarak dengannya pun memilih mengabaikannya. Dia hanya diam sambil berkutat dengan ponselnya.

Hanya butuh waktu 15 menit untuk tiba di restoran yang sudah direservasi oleh Pak Edwin. Mereka sengaja makan di sana karena restoran itu letaknya tidak jauh dari kantor.

Pak Edwin memesan 2 meja, satu meja untuk Billy, Nindy, Pak Edwin, Pak Angga, dan Dewi. Meja lain di tempat tim audit dan tim pusat. Tidak ada satu pun orang yang mengeluarkan suara hingga makan siang berakhir.

"Nin, gimana berkasnya, apa kamu mengalami kesulitan untuk mencarinya?" tanya Pak Edwin disela-sela obrolan santai mereka.

"Iyaa, Pak. Ada beberapa berkas yang tidak ada. Tadi sudah saya tanya sama Denis, katanya kemungkinan itu berkas itu ada di lemari ruangan Pak Hengky. Nanti Denis bantu saya cari sisanya yang belum ketemu," jawab Nindy.

"Cari berkas begitu saja masih perlu bantuan. Kamu seharusnya tahu di mana letak berkas yang ada kaitannya sama pekerjaan kamu," sahut Billy sebelum Pak Edwin sempat membuka mulutnya.

Semua yang ada di meja tersebut seketika melirik pada Billy dan Nindy.

Nindy yang merasa dipojokkan tentu saja merasa tidak senang. "Maaf, Pak. Berkas yang tidak ada itu berkas yang sudah lama. Yang menyimpan bukan saya, jadi saya juga tidak tahu mengenai berkas tersebut."

"Seharusnya kamu cek dengan teliti sebelum kamu serah terima jabatan dengan pengganti kamu sebelumnya. Kamu bukan anak kecil lagi yang harus dituntun, seharusnya kamu tahu itu," sahut Billy tidak mau kalah.

Suasana menjadi hening selama beberapa detik. Pak Edwin yang tidak ingin suasana menjadi panas, langsung membuka suaranya, "Ini bukan sepenuhnya kesalahan Nindy, Pak. Orang yang bekerja sebelum Nindy berhenti tanpa pemberitahuan, jadi tidak sempat serah terima jabatan."

Kententuan dari kantor mereka, harus mengajukan pengunduran diri sebulan sebelumnya, jika ingin berhenti dari pekerjaan mereka.

"Saya tidak mau dengar alasan apa pun. Yang saya tahu semua berkas harus ada yang lengkap dan itu adalah tugas Nindy sekarang."

Merasa terus disalahkan oleh Billy, Nindy pun menjadi kesal. "Kalau Bapak tidak melarang orang lain membantu saya mencari dokumennya, saya tidak mungkin mengalami kesulitan."

Billy melirik melirik sekilas pada Nindy dengan acuh tak acuh. "Itu tanggung jawab kamu, tidak boleh dibebankan pada orang lain. Kamu harus berlajar bertanggung jawab dengan pekerjaan kamu sendiri."

Di bawah meja, tangan Nindy sudah terkepal. Sebelum berbicara, dia menarik napas panjang terlebih dahulu untuk meredam emosinya. "Saya hanya minta bantuan, bukan lari dari tanggung jawab, Pak," ucap Nindy dengan tegas.

Billy masih bersikap santai, meskipun Nindy mulai meninggikan suaranya. "Ini kantor, bukan rumah kamu. Kamu tidak bisa bersikap manja dan membuat aturan sendiri. Jika kamu merasa keberatan dengan aturan dan cara kerja saya, silahkan kamu keluar. "

"Bapak mau pecat saya?" Tangan Nindy semakin terkepal kuat di bawah meja, matanya pun perlahan mulai mengembun.

Pak Edwin dan Dewi nampak kebingungan. Selain itu, mereka juga nampak terkejut dengan keberanian Nindy membalas setiap ucapan Billy. Bagaimanapun, Billy adalah anak dari pemilik perusahaan, semua karyawan pasti berpikir puluhan kali jika ingin berdebat dan meninggikan suara pada Billy.

Di meja lain, Angga tampak menarik senyuman tipis ketika mendengar perdebatan Nindy dan Billy. Tiba-tiba saja dia tertarik pada sosok Nindy. Bagaimana tidak, baru kali ini dia melihat ada yang berani dengan Billy. Bahkan di kantor pusat saja, tidak ada yang berani mengeluarkan suara jika Billy sedang berbicara.

"Saya cuma memberikan saran aja. Kalau memang kamu keberatan, silahkan berikan surat pengunduran diri kamu, tapi jika kau masih mau bertahan, saya harap kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu tanpa mengeluh."

Mata Nindy mulai berkaca-kaca, dia sedikit mendongakkan kepala ke atas, mencegah air matanya keluar. Billy tidak boleh melihat kelemahannya. Meskipun kata-kata Billy sangat menyikiti perasaannya, tapi sebisa mungkin dia tetap bersikap biasa.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Dwi Astuti
Nindy semangat
goodnovel comment avatar
Masniah Masni
Nindi harus kuat dan lanjut Thor
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
Nindy kmu jangan lemah kamu hrs kuat menghadapi dendam nya Billy k kmu kmu tunjukan k Billy bhw kmu mampu dn bertanggung jawab .setelah sdh ketemu semua .kmu diem2 cari kerjaan Baru .kmu tinggalin itu Billy kelusr dr kantor nya ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status