Dev masuk ke ruang kerjanya, lalu menduduki kursi di balik meja yang selama ini menjadi tempatnya menyibukkan diri jika sedang berada di rumah. Dev mengambil ponsel dari saku celana, lalu membuka pesan gambar dari orang suruhannya.
Rahangnya mengetat, saat melihat beberapa foto mobil Darwin masuk ke dalam gedung sebuah apartemen. Dev tidak perlu mencari tahu siapa yang didatangi oleh suami Natasya itu. Dia bahkan sudah mengendus perselingkuhan Darwin dengan kakak tiri Selena sejak tiga bulan yang lalu.Decakan dan gerutuan tak bisa ditahan oleh Dev, yang sangat kesal dengan tingkah Darwin."Anak ini memang bener-bener minta dikasih pelajaran. Harusnya dia di rumah sama istrinya. Ini malah ketemuan sama jalangnya."Dev membuang kasar napasnya, meletakkan asal ponselnya, lalu memijat pelipis. Tiba-tiba dia mengingat sesuatu. Dibukanya laci meja kerja, dan mengambil sebuah dokumen. Kening Dev mengernyit, menatap surat kepemilikan apartemen yang rencananya akan dia berikan sebagai hadiah ulang tahun pernikahan Selena dan Darwin,Sesaat lelaki empat puluh lima tahun itu berpikir, seperti tengah menimbang-nimbang sesuatu. Wajah Selena pun seketika terlintas di pikiran Dev. Lalu, rasa bersalah pun lagi-lagi menyeruak di hatinya. Dia merasa bertanggung jawab atas apa yang dialami gadis polos itu saat ini.'Tolong jaga putriku Selena. Nikahkan dia dengan anak keturunanmu. Jangan sampai dia kekurangan suatu apa pun setelah aku tiada. Aku mempercayaimu, Pak Dev. Aku tidak mau putriku menderita karena ulah istri dan anakku.'Permintaan itu kembali terngiang di telinga Dev, dan lagi-lagi menimbulkan kekesalan pada dirinya sendiri. Nyatanya, apa yang dia lakukan justru berbanding terbalik. Selama ini, Dev sudah berupaya dengan semaksimalnya. Namun, Darwin sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama. Dan malah membuat Selena menderita. CK!"Mungkin, akan lebih baik, kalau apartemen ini atas nama Selena. Ya, untuk berjaga-jaga."☘️☘️☘️Selena terlihat termenung di depan meja rias. Wajahnya pun sembab, lingkaran hitam di matanya nampak mengerikan. Semalaman, dia menunggu sang suami hingga menjelang pagi. Dress yang semalam dia pakai pun masih melekat di tubuh.Darwin benar-benar tidak pulang. Selena merasa gelisah nyaris gila memikirkan nasib pernikahannya. "Mau sampai aku kayak gini? Diacuhin suami. Gak dianggap," keluh Selena, meraup wajahnya yang nampak frustrasi.Daripada merenungi hal yang tak ada habisnya, Selena memutuskan untuk menghibur diri saja. Dia tidak mau terus-terusan seperti ini. "Aku gak boleh cengeng. Kalo aku kepikiran terus, nanti yang ada aku bakalan cepet tua. Mendingan aku nge-mall. Biar gak stress mikirin Mas Darwin."Bergegas menuju ke kamar mandi, Selena membersihkan diri secepat mungkin. Setelah selesai mandi, Selena memilih baju yang paling bagus dan tentunya dengan model sesuai usianya. Wajahnya yang sudah cantik tak perlu dipoles terlalu banyak riasan. Cukup cushion dan lip tint supaya tidak terlihat pucat.Gadis berambut cokelat itu sudah siap berangkat ke Mall paling besar di ibu kota. Keluar dari kamarnya, asisten rumah tangga yang selama ini membantunya menyapa dan mengatakan jika ada Dev di ruang makan. Kedatangan Dev sepagi ini ke rumahnya, tentu membuat Selena terkejut.Tak ingin membuat sang ayah mertua menunggu lama, Selena memutuskan untuk segera menemui Dev. "Pagi, Dad," sapa Selena dengan raut riang seperti tidak terjadi apa pun semalam.Fokus Dev pada layar ponsel seketika teralihkan. Dan sekali lagi, penampilan Selena membuatnya terpukau. Gadis yang berdiri di hadapannya ini terlihat sangat manis dengan dress tanpa lengan sebatas paha. Kulitnya yang putih mulus terekspos sangat nyata.Lekas-lekas mengakhiri kekagumannya, Dev lantas berdeham. Kemudian menyesap cangkir kopi buatan asisten rumah sambil melirik Selena yang sibuk mengibas-ngibaskan rok runfell motif bunga-bunga itu."Kamu ... kayaknya mau pergi?" tanya Dev setelah berhasil menguasai diri dari pesona sang menantu.Selena mengangguk."Darwin ... gak pulang?" Dev beranjak dari duduk, lalu mendekati Selena. Dia menatap lekat menantunya itu, lalu memberanikan diri untuk memegang pundaknya.Selena mendongak, menatap sang ayah mertua yang pagi ini hanya memakai kaos berkerah warna cerah dan celana jeans. Dev terlihat lebih muda dari usianya, pikir Selena."Mas Darwin gak pulang semalem," ucap Selena lirih, sorot matanya memancarkan kekecewaan mendalam.Dev menarik napas dalam-dalam, mendengar jawaban Natasya. 'Keterlaluan!' gerutunya dalam hati."Kamu mau pergi ke mana?" tanya Dev, semata-mata hanya untuk mengalihkan topik pembicaraan."Aku mau ... nge-mall, Dad. Boleh 'kan?" Selena meringis, takut apabila Dev tidak mengizinkan. "Aku bosen di rumah terus," keluhnya kemudian.Dev pikir dengan kejadian semalam, Selena akan bersedih. Namun, gadis ini rupanya terlalu pandai menutupi kesedihannya. Pergi ke Mall juga bukan hal yang buruk. Selena memang perlu hiburan agar tidak tertekan dengan sikap Darwin yang seenaknya."Boleh," angguk Dev, menurunkan tangannya dari pundak Selena kemudian memasukkannya ke saku celana. Sementara Selena terlihat bahagia karena diperbolehkan pergi ke Mall."Makasih, Dad." Bibirnya tersenyum tipis, tetapi tak lama senyum itu memudar sesaat mendengar perkataan Dev."Daddy akan menemanimu nge-mall. Gimana? Kebetulan daddy juga jarang pergi ke Mall.""Hah?"Pergi ke Mall bersama ayah mertua tak pernah sekalipun terlintas di pikiran Selena. Jangankan bersama Dev. Dengan Darwin saja Natasya juga jarang pergi. Suaminya selalu pulang larut, dan sibuk dengan urusannya.Akan tetapi, jalan berdua saja dengan Dev, bisa dikatakan sangat aneh. Karena semua mata tak berhenti tertuju pada Selena. Dev tak terpengaruh sama sekali, meski dia saat ini menjadi perhatian orang-orang di Mall.Padahal, hari ini niat Dev hanya ingin memberikan hadiah yang sudah dia persiapkan untuk Selena. Namun, tak disangka, dia justru berminat menemani Natasya nge-mall."Kamu bisa beli apa pun yang kamu suka. Daddy yang akan membayarnya," kata Dev saat mengikuti langkah Selena yang masuk ke sebuah show room pakaian bermerek."Gak usah, Dad. Aku masih ada uang bulanan yang dikasih Mas Darwin, kok." Selena menolaknya halus. Dia lantas melihat-lihat beberapa dress yang digantung berjejeran. Semuanya terlihat sangat cantik.Mengelilingi Mall, berbelanja beberapa pakaian dan membeli apa pun yang disukai, cukup merubah mood Selena dengan baik. Sejenak dia lupa dengan kondisi rumah tangganya. Apalagi jika semuanya ditraktir sang mertua.Hampir tengah hari Selena baru keluar dari Mall. Rencananya dia ingin langsung pulang ke rumah, karena kakinya pegal luar biasa. Sudut mata Natasya melirik Dev yang fokus mengemudi. Kebiasaan Dev adalah suka menyetir mobil sendiri tanpa memerlukan sopir, meski dia memiliki cukup uang untuk membayar gajinya."Makasih, Dad, udah belanjain segitu banyaknya," ucap Selena sadar diri."Hmm. Itung-itung itu hadiah dari daddy buat hari jadi pernikahan kalian. Mami juga titip salam buat kamu. Dia gak sempet ke rumah karena lagi sibuk sama asosiasinya." Dev berbohong mengenai Monica.Selena mengangguk, lalu kembali fokus ke depan. Pikirannya menerawang. Perlakuan Dev padanya waktu di Mall kembali terlintas.'Daddy perhatian banget, pengertian dan penyayang. Sifatnya .... beda banget sama Mas Darwin. Mami pasti bahagia punya suami kayak Daddy.' Puji Selena dalam hati seraya matanya melirik Dev yang sangat berbeda jauh dari suaminya.***"Daddy gak masuk dulu?" Selena membuka sabuk pengaman, lalu mengambil tiga paper bag di jok belakang. Mobil Dev berhenti di depan pagar."Lain kali. Daddy masih ada urusan," sahut Dev."Ya udah. Selena masuk dulu, Dad. Daddy hati-hati." Selena membuka pintu mobil.Dev hanya mengangguk. Memandang Selena yang turun dari mobilnya. Dia lalu melesat dari rumah itu.Raut Selena semringah, karena berhasil mengobati kesedihan dengan shopping."Mas Darwin udah pulang?" cicitnya saat mendapati mobil Darwin ada di carport.Selena mempercepat langkahnya, dia buru-buru masuk dan ingin segera menemui suaminya. Sepi. Kening Selena mengernyit karena kondisi rumahnya sepi. Dia pun pergi ke dapur, tetapi tidak mendapati asisten rumah."Mas Darwin mungkin ada di kamar."Memutuskan untuk ke kamarnya, Selena melangkah antusias. Namun, langkahnya memelan ketika telinganya tak sengaja mendengar suara-suara aneh dari dalam kamarnya."Itu suara Mas Darwin, tapi ...." Pendengaran Selena masih berfungsi cukup baik jika hanya untuk membedakan suara obrolan dengan suara desahan bersahutan.Kakinya mendadak ragu untuk mendekati pintu yang sedikit terbuka itu. Namun, rasa penasarannya lebih mendominasi akalnya. Selena menelan ludah, dengan debaran di dada yang hampir meledak saat itu juga. Suara yang didengar sungguh menyakitkan hatinya.Tepat di depan pintu, detak jantung Selena seolah-olah berhenti detik itu juga. Sepasang maniknya melebar dan memanas. Pandangannya mengabur tertutup airmata yang siap meluncur."Kamu gak takut ketauan Selena, Babe. Gila, sih! Padahal semalem kita udah lembur habis-habisan, tapi kayaknya kamu gak ada puasnya." Perempuan yang tengah digagahi Darwin berkata seraya mengimbangi ritme pergerakan pinggul suami dari adiknya. Rania mendesah, dan mengerang.deg!"I-itu ... Itu suara Kak Rania." Sekali kedip air mata meluncur ke pipi Selena. Suara perempuan yang sangat dia kenali menyapa pendengarannya.Tak mau dibuat semakin gila dengan pemandangan tak senonoh di depan mata Selena pun nekad membuka lebar-lebar pintu tersebut.bruakk!Tubuh Selena semakin terpaku, ketika pintu kamarnya terbuka. Darwin dan Rania berada di ranjangnya dalam keadaan tanpa busana."Mas Darwin! Kak Rania!"Dua sejoli yang hampir sampai di puncaknya tersebut tentu terkejut setengah hidup. Mereka menatap Selena yang berdiri di depan pintu. Tatapan gadis itu begitu tajam."Selena?" Darwin langsung mencabut miliknya dan meraih selimut untuk menutupi tubuh telanjang Rania.-bersambung ...Setelah lama menyandang status duda dari pernikahan sebelumnya. Pada akhirnya, Darwin memantapkan diri—melangsungkan pernikahan untuk yang kedua kali dengan gadis pilihannya. Emma—seorang gadis yang berprofesi sebagai model majalah dan catwalk telah menjerat hati seorang Darwin. Bisa dikatakan, jika Darwin jatuh cinta pada pandangan pertama waktu pertama kali dia bertemu sang calon istri di sebuah acara amal yang diadakan di Singapur. Pada hari itu, Darwin sangat yakin jika Emma adalah jodoh yang dikirim Tuhan untuknya. Bagaimana tidak? Di saat dia bertahun-tahun menyandang status duda serta mencoba memperbaiki diri, takdir dengan segala perannya telah menuntunnya pada sosok Emma. Bak gayung bersambut, tak membutuhkan waktu yang lama Darwin mencoba mendekati Emma kala itu. Perempuan berparas indo itu menerima pinangan Darwin enam bulan yang lalu. Prosesnya pun begitu singkat. Darwin tak ingin berlama-lama menyendiri lagi.Dan, pernikahan yang seharusnya digelar dua pekan lagi, terpa
"Daddy ...." Seorang gadis kecil berusia enam tahun, yang baru saja tiba memanggil sang daddy sambil berlarian di ruangan yang seluruhnya didominasi kaca. Sang ibu yang membuntuti sampai kewalahan. "Naomi, jangan lari-lari, Nak!" Selena menggeleng berkali-kali, merasa gemas dengan gadis kecilnya yang selalu tidak sabaran menemui daddy-nya. Dev yang siang itu baru saja selesai meeting, dan masih mengobrol dengan dua orang kolega bisnisnya seketika menoleh ke arah putrinya. "Naomi ...." Kedua kolega bisnis Dev pun melakukan hal yang sama. Mereka tersenyum melihat tingkah lucu Naomi yang tak malu-malu di hadapan orang asing. "Daddy!" Naomi menghambur memeluk Dev. "Daddy kenapa gak jadi jemput Naomi?" protes gadis kecil itu, dengan raut cemberut. Bibir mungilnya mencebik. Merasa bila sang anak protes, Dev pun lekas meminta maaf. "Maafin daddy, ya? Daddy lagi ada tamu. Tuh!" Dev mengedikkan dagu ke arah kedua tamunya.Bibir mungil Naomi mengatup rapat, seraya menelengkan kepala ke a
Beberapa bulan kemudian...."Mbok ... Mbok Nung." Siang itu Selena terlihat baru saja keluar dari kamar sambil berulang kali mengusap perut yang sudah makin membesar. Dia juga sesekali meringis seperti orang menahan sakit. Yang paling terasa ialah di bagian perut dan pinggang. Mbok Nung muncul dari dapur, kemudian tergopoh-gopoh menghampiri istri Dev itu. "Ya, Non ....""Mbok, perut aku kok kenceng-kenceng terus, ya?" adu Selena, lantas dibantu mbok Nung gadis itu duduk di sofa ruang tamu. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. Mbok Nung duduk di samping Selena, lalu memegang perut gadis itu. Mbok Nung terlihat sedang berpikir sambil meraba perut yang memang mengencang. "Iya, Non. Kenceng-kencengnya timbul hilang gitu, Non? Kayaknya dedeknya mau keluar, Non. Soalnya 'kan udah lewat dari perkiraan lahir." Selena terus mencoba mengatur napasnya, kendati dia begitu gugup saat ini. "Iya-ya, Mbok? Kayaknya gitu. Pas aku cek tadi udah ngeflek di celana." ujarnya."
Setelah menghubungi pihak kepolisian, Marvin juga menghubungi Dev. Sementara Darwin terlihat sedang berjaga-jaga di depan pintu utama. Security rumah yang sempat kecolongan pun diperintahkan untuk mengawasi di bagian halaman belakang. Sedangkan Lexy yang tidak menyadari jika dirinya akan digelandang masih terlihat duduk bersama Monica di ruang tamu rumah itu. Keduanya masih terlibat perdebatan yang tak kunjung selesai. Lexy merasa kecewa sekaligus marah dengan mantan selingkuhannya yang selama bertahun-tahun menyembunyikan kebenaran. Suasana siang itu cukup menegangkan bagi Darwin, yang baru kali pertama akan menyaksikan penangkapan pelaku penembakan sang ayah secara langsung. 'Apa aku sudah melakukan hal yang tepat?' Benak pemuda itu tak berhenti bertanya-tanya sendiri, memikirkan sesuatu yang telah dia putuskan dengan matang. Melaporkan pria yang baru dia ketahui sebagai ayah kandungnya, merupakan hal yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran Darwin. Namun, dia pun tak
"Aku bisa minta tolong, Vin. Tolong kamu ke rumahnya Monica. Tanya keberadaan Darwin sama dia." Dev berbicara dengan Marvin lewat panggilan telepon sejak sepuluh menit yang lalu. Sejak dia tidak bisa menghubungi Darwin, Dev merasa khawatir. Dia hanya ingin mengabarkan jika dia sudah kembali dari rumah sakit. "Baik, Dev. Kebetulan banget aku lagi perjalanan ke rumahnya." Marvin menyahut. Kening Dev mengernyit, "Oh, ada urusan apa?" tanyanya sambil beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan ke arah balkon."Aku mau minta tanda tanda Monica. Ini 'kan mau akhir bulan. Kamu lupa kalau dia juga pemilik saham di perusahaan?" Terdengar kekehan dari Marvin, dan suara-suara bising kendaraan. "Hmm, ya ... ya ... Aku bahkan gak sadar kalau udah mau akhir bulan. Baiklah. Nanti, kalau kamu udah dapet kabar soal Darwin langsung hubungi aku aja. Oh, ya ... Gimana soal asisten rumah yang aku minta kemarin?" Dev hampir lupa menanyakan perihal itu. "Nanti siang orangnya diantar ke tempatmu. Namanya
"Perutku laper banget." Pagi-pagi sekali Selena terlihat sudah memasuki pantry sambil mengusap-usap perut. Sejak subuh tadi Selena merasa sangat lapar, karenanya dia pergi ke pantry untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Pertama-tama yang gadis itu lakukan adalah membuka kulkas, kemudian mengambil satu buah apel merah. Setelah mengambil apel, tak lupa dia turut mengambil susu hamil kemasan siap minum rasa mocca. Selena lantas menduduki kursi meja makan, lalu meminum susu hamil terlebih dahulu, baru setelah itu mengigit apel."Non ..." Mbok Nung muncul di pantry dan agak kaget melihat Selena yang sudah berada di sana. Rupa-rupanya, istri majikannya itu tengah menyantap buah dan minum susu. "Non Selena laper, ya?" "Iya, Mbok. Dari tadi subuh perutku laper banget," cicit Selena sambil mengunyah apel. "Tau-tau kayak gini, padahal kemarin-kemarin enggak, Mbok." Selena merasa aneh, sebab sejak awal-awal hamil dia tidak pernah merasa kelaparan seperti ini."Hormon, Non. Biasanya bawaan