Anita mengutuk berkali-kali. Siapa yang tidak kesal? Acara kencannya batal hanya karena pekerjaan dadakan. Ia merutuki nasib sialnya yang harus bertemu kembali dengan pria itu, terlebih dia sekarang menjadi atasannya sendiri.
Sikap diktator Rama memang tak pernah berubah sejak ia muda bahkan sampai sekarang. Seandainya saja Anita tak terlalu membutuhkan pekerjaan, pasti dirinya tak akan keberatan keluar dari perusahaan Rama sejak awal ia tahu kalau pria itu adalah bosnya. Hanya saja, Anita memang sedang terdesak masalah ekonomi sehingga mengharuskan dirinya rela menjadi kacung disana meski di bawah tekanan.
"Sayang, aku minta maaf sekali ya. Aku janji ini tak akan terulang lagi."
Entah sudah berapa kali pula Anita minta maaf pada kekasihnya itu. Pembatalan acara kencan yang mendadak membuat rasa kecewa pada keduanya. Namun Sandi adalah pria sabar yang masih bisa menyembunyikan kekecewaannya.
Dengan pengertian ia hanya menjawab, "Tenanglah, aku tidak apa-apa. Terkadang semua memang tak sesuai dengan yang direncanakan."
Sandi mengelus pucuk rambut Anita yang legam. Perempuan itu hanya tersenyum kecut. Dalam hati ia berjanji tak akan mengecewakan Sandi lagi.
"Jadi, kita tunggu bosmu itu disini?" tanya Sandi ketika mobilnya sudah terparkir di pinggir trotoar, depan parkiran mall.
"Ya, kita tunggu disini saja," jawab Anita putus asa.
Sandi terkekeh kecil melihat tampang kusut kekasihnya.
"Lihatlah wajahmu, jelek seperti kucing mau lahiran."
"Dih, kamu ya." Anita memanyunkan bibir dan memukul ringan lengan pria di sampingnya. Membuat Sandi tergelak tiada habis.
"Emang iya. Kalau lagi cemberut, wajahmu memang kaya gitu." Sandi semakin menggoda membuat Anita bertambah sebal. Menghujaninya dengan pukulan-pukulan ringan tanda sayang.
Aksi keduanya terhenti saat terdengar klakson mobil dari belakang. Anita mendesah halus setelahnya.
"Sepertinya aku harus pergi sekarang," ulas Anita perlahan. Ia menoleh ke belakang sesaat kemudian, memastikan kalau itu adalah mobil Rama.
"Iya, pergilah," kata Sandi dengan lembut.
"Maafkan aku." Keduanya berpelukan dan saling membubuhkan kecupan sebelum berpisah.
"Hati-hati," pesan Sandi yang dibalas lambaian tangan oleh Anita yang sudah keluar dari mobilnya. Pria itu mendesah panjang menatap kepergian Anita dari kaca spion.
~~
Blaaaammm!
Pintu mobil ditutup kasar oleh perempuan itu. Ia sama sekali tak ingin menunjukkan senyum atau ramah-tamahnya pada sang atasan yang sedang menunggunya.
Rama hanya melirik saja melihat sikap Anita yang memendam kejengkelan padanya. Bukan ia tidak tahu. Rama sangat mengerti akan hal itu, tapi ia pun masa bodoh tak mau ambil pusing dengan perasaan dongkol Anita saat ini.
Rama pilih menjalankan mobil, meluncur segera menuju tempat sang relasi. Ia sempat melirik pada mobil Sandi yang masih terparkir di pinggir trotoar seakan menunggu kepergian Anita lebih dulu. Satu sudut bibir Rama terangkat melihat raut kecewa Sandi dari jauh.
Beberapa menit kemudian....
Mata Anita mengedar melihat jauh ke depan. Sebuah rumah mewah yang saat ini disulap menjadi gedung pesta, ramai penuh tamu undangan. Ia meneguk saliva meyakinkan diri sebelum melangkah masuk.
"Ayo!"
Rama yang sudah berdiri di sampingnya memberikan lengannya pada Anita. Perempuan itu hanya mendengus namun tetap mengikuti ajakan bosnya. Mengaitkan tangannya pada lengan pria itu. Keduanya berjalan beriringan seperti pasangan suami istri.
Rama disambut Dewantara, sang pemilik rumah dengan sangat ramah.
"Selamat malam, Pak Rama. Saya senang Anda bisa hadir di pesta kecil ini," basa-basi pria berkumis lebat itu. Menjabat tangan Rama dan dibalas dengan hal serupa.
"Saya juga senang bisa menghadiri pesta Anda. Selamat Pak Dewa, atas ulang tahun pernikahannya."
"Ah, terima kasih."
"Ngomong-ngomong, ini aniversary Anda yang ke berapa?"
"Dua puluh," jawab Dewantara bangga. "Tidak terasa aku dan istriku sudah menghabiskan waktu bersama selama dua puluh tahun lamanya." Pria itu terlihat sangat bahagia. Senyum lebar yang menghias bibirnya tak pernah memudar. Ia melambai pada seorang perempuan dengan dress panjang warna hitam. Perempuan itu tersenyum lalu berjalan ke arah mereka. "Istriku, perkenalkan. Ini adalah Bapak Rama Ardyatama, direktur perusahaan Ardyatama Corp."
Perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik dan anggun meski keriput tipis sudah menghiasi wajahnya itu tersenyum lembut pada Rama dan Anita. Mengucap selamat datang dan menyalami keduanya.
"Apa ini istri Anda?" tanya istri Dewa memperhatikan Anita dengan takjub.
Pertanyaan itu tak urung membuat Rama dan Anita sedikit terkejut. Hampir saja Anita menjawab dan mengklarifikasi, namun sayangnya Rama sudah bicara mendahuluinya.
"Ini calon istri saya."
Mata Anita membulat kedua kali. Hei, apa-apaan ini? Perempuan itu melotot horor pada Rama yang hanya ditanggapi dengan senyuman olehnya.
"Hei, kenapa wajahmu malu-malu, Sayang," goda istri Dewa, merasa lucu karena sikap Anita yang salah tingkah.
"Dia memang begitu. Malu kalau saya mengatakan soal hubungan kami." Rama mengambil perkataan lagi mendahului Anita.
Perempuan itu menunduk. Namun dalam hatinya ia merutuk, memaki perkataan Rama baru saja. Seandainya saja pria itu bukan bosnya, pasti Anita sudah menendang bokong seksi pria itu biar terjungkal ke tengah pesta menjadi tontonan tamu undangan disana.
"Siapa namanya?" Dewantara bertanya.
"Anita." Masih tetap Rama yang menjawab.
"Jadi berapa lama kalian saling mengenal?" Istri Dewa kali ini menelusur.
"Hmmm, sudah 7 tahun. Sejak kami lulus sekolah."
Anita mengeratkan pegangannya pada Rama. Melampiaskan kekesalannya dengan mencengkeram lengan pria itu dengan kuat. Bibirnya mengatup rapat. Menggetam menahan emosinya yang hampir meledak.
Sabar, sabar. Tunggu sampai aku keluar dari pesta ini.
Terdengar suara tawa pasangan Dewantara di sela-sela pembicaraan. Mereka merasa asik saja dengan pasangan di hadapannya. Mungkin terlihat lucu dan menggemaskan. Skenario yang Rama buat memang sangat sempurna dengan bumbu cerita palsu di dalamnya. Anita harus extra kuat menahan kesabarannya kali ini.
"Baiklah, kalau begitu silahkan nikmati pesta ini. Ku harap kalian berdua nyaman disini. Maaf, kami harus menemui tamu undangan yang lain," pamit Dewantara dan mengajak istrinya pergi.
Tanpa pikir panjang, Anita langsung menyeret tangan Rama memisahkan diri ke sudut ruangan yang tampak sepi. Perempuan itu berkacak pinggang dengan angkuh di hadapan Rama seolah menantangnya.
"Jelaskan padaku, apa maksud perkataanmu tadi," Anita meminta pertanggung jawaban. Mata perempuan itu menatap penuh pada Rama seakan ingin menelan pria itu hidup-hidup.
"Maksudnya? Halo, Nona. Tidak sadarkah kamu kalau kita tadi sedang berakting? Apa kau pikir itu serius?"
"Berakting? Oh ya? Tanpa minta persetujuanku?"
"Semua terjadi begitu singkat. Mana bisa aku minta persetujuanmu? Kau dengar sendiri kalau istri Pak Dewa tiba-tiba bertanya begitu, apa ini istri Anda?"
"Kau bisa mengatakan yang sebenarnya bukan, kalau aku hanya bawahanmu saja. Kenapa harus berbohong? Apa kau pikir aku suka dengan caramu ini?" Anita masih tidak terima. Ia makin berapi-api menyudutkan Rama ke pihak yang salah. "Kau memang masih menyebalkan seperti dulu."
Rama hanya terdiam. Pandangannya kali ini terpusat ke depan. Tak acuh pada protes panjang Anita padanya. Merasa diabaikan, perempuan itu semakin kesal jadinya.
"Kenapa kau diam? Merasa bersalah dengan tindakanmu tadi? Kalau begitu aku ingin kau mengklarifikasi semua pada klienmu itu." Mata Anita masih menatap Rama, nyalang. Tapi pria itu sama sekali tak memperhatikannya. Bahkan Anita tak yakin kalau kata-katanya barusan akan masuk ke telinga pria itu. "Baik, kalau kau tidak mau, biar aku yang bicara dengan mereka."
Anita hampir saja memutar tubuh ketika tiba-tiba Rama menarik tangannya, menyentak cepat dalam pelukan.
"A-apa yang kau lakukan?"
"Diam!"
Rama justru mengeratkan pelukannya membuat Anita makin jengah dan berusaha berontak.
"Le-lepaskan atau aku akan teri--," Anita tak sempat lagi mengelak ketika tiba-tiba Rama sudah merengkuh tengkuk lehernya, mendekatkan wajah mereka dan berakhir dengan pendaratan di bibir keduanya.
Jantung perempuan itu dibuat melompat tak karuan. Tubuhnya menegang. Mendadak akal sehatnya hilang berganti shock yang menjadi setengah bingung dan berakhir dengan linglung.
Oh...My God! Apa yang Rama lakukan padaku?
(○_○)
Anita belum bisa berfikir jernih ketika Rama masih menempelkan bibir mereka. Rasanya semua logikanya mendadak hangus karena ciuman tiba-tiba itu."Ah, maaf. Rupanya kalian disini."Suara itu menginterupsi aksi keduanya dan seketika Anita pun tersadar lalu mendorong tubuh Rama sehingga pelukan keduanya terlepas.Warna merah kini menghiasi wajah ayunya. Malu. Ia kepergok melakukan aksi mesum oleh sang pemilik pesta."Maaf Nyonya, kami eh--," Rama sengaja ingin menjawab dan diputus segera oleh si Nyonya rumah."Ah, tenanglah. Jangan gugup seperti itu. Aku paham apa yang kalian rasakan. Aku juga pernah muda seperti kalian dulu." Istri Dewantara itu mengulum senyum demi melihat sikap Anita dan Rama yang salah tingkah. "Baiklah, lanjutkan saja. Aku hanya ingin ke belakang sebentar." Dan perempuan itu berlalu dari hadapan keduanya.Kini Rama harus siap-siap menghadapi kemarahan A
Tiga hari sudah, orang tua Anita menginap di rumah putrinya. Hingga saat ini, mereka belum mengetahui kalau Anita bekerja dengan Rama. Dan Anita harus bersyukur selama tiga hari ini pria itu tidak ada di tempat. Tugas luar kota yang mengharuskan dirinya pergi, membuat dunia Anita lebih tenang dari hari sebelum-sebelumnya.Meski demikian, bukan berarti dia terhindar dari problema kehidupan. Sudah Anita tebak sebelumnya kalau orang tuanya datang tidak hanya sekedar berkunjung ke rumahnya yang baru. Tentu ada maksud dan tujuan lain yang mereka rencanakan. Dan memang benar, ketika hari pertama saja, Anita telah ditanyai macam-macam oleh sang mama. Tak hanya masalah pekerjaan yang di interogasi. Bagi Heni, pekerjaan adalah nomor ke sekian setelah jodoh.Inilah yang selalu jadi beban pikiran Anita. Kepalanya akan kembali pening saat ia ditanya mengenai calon suami. Bahkan setelah ia memutuskan pergi dari rumah, ibunya masih saja menekan dirinya
Braaakkk!!Anita menaruh kotak makanan itu dengan kasar di atas dashboard. Ia cuma melirik sekilas pada pria di sampingnya."Bekalmu!" ucapnya sangat dingin tak bersahabat. Setelahnya ia melengos menatap ke sisi kiri keluar jendela kaca mobil. Rama tak merespon sikap Anita barusan. Ia pilih menjalankan mobil dengan segera menuju kantor. "Setelah ini, jangan menjemputku lagi!""Terserah aku mau jemput atau tidak."Anita menatap Rama tajam."Ram, aku tidak tahu apa motifmu melakukan ini padaku. Memperlakukanku spesial seolah aku ini orang yang berarti bagimu.""Apa kau berfikir begitu? Bagiku biasa saja, dan aku juga tidak menganggapmu lebih." Rama hanya melirik sekilas pada perempuan di sebelahnya."Oh....ya? Tapi orang lain tidak berfikir begitu.""Aku tidak perduli pikiran orang lain. Sekarang kau pikir saja, apakah aku makan ikut orang l
Pintu ruangan bersifat privasi itu dibuka tiba-tiba, menampakkan sosok seorang pria tampan dengan sebuah kaca mata yang menghias wajahnya."Hei, Bro, tumben kamu nggak keluar," sapanya saat memasuki ruangan. Berjalan mendekat lalu duduk di kursi, depan meja kerja Rama."Gimana tugas luar kotamu?" tanya Rama balik, mengabaikan pertanyaan pria tersebut."Yahh....lancar-lancar saja. Pak Robby akhirnya mau bekerja sama dengan kita.""Aku tahu kau pasti berusaha keras untuk memenangkan hatinya. Dia bukan klien yang mudah ditakhlukkan. Itulah sebabnya aku mengirimmu, dan bukan yang lain." Rama kembali menyendukkan nasi goreng ke mulutnya.Hal itu mendapat perhatian dari pria di depannya. Ia mengamati dengan teliti isi kotak makanan yang sedang di hadap oleh teman sekaligus bosnya itu."Kau makan nasi goreng?" tanyanya heran. "Tumben?"Rama hanya diam. Sambil men
Rama turun setelah membersihkan dirinya. Ada Rio dan Amanda sedang asik pada bacaan di tangan masing-masing."Kau sudah makan malam, Sayang?" tanya Amanda begitu melihat kemunculan putranya."Sudah, Ma. Tadi bersama Arya."Rama lalu mengambil duduk di dekat keduanya."Gimana pekerjaanmu, Ram? Tidak ada masalah?" Rio melipat korannya, fokus pada sang anak."Sejauh ini tidak, Pa. Arya membantuku dengan baik.""Okay. Berhati-hatilah dalam menghadapi klien-klienmu. Mereka bisa saja jadi musuh dalam selimut.""Iya, Pa." Sejenak pembicaraan terhenti dan Rama mulai membuka obrolan lagi ketika Amanda yang baru saja kembali dari dapur, datang dengan sepiring irisan buah apel serta kiwi di tangannya. "Ehm, kalian ingat sama Papa Rangga dan Mama Heni?"Rama terlihat ragu saat bertanya. Ia menggosok ujung hidungnya, sedikit resah kalau tanggapan kedua
Dua manusia lawan jenis itu saling melempar tatapan tajam.Anita seolah lupa kalau yang ada di depannya saat ini adalah atasannya sendiri. Ponsel yang retak dan entah masih bisa dipakai atau tidak, membuatnya meradang. Sementara Rama dengan angkuhnya menunjukkan kewibawaan dan harga dirinya sebagai atasan, tak ingin terintimidasi oleh Anita yang notabenenya hanya seorang karyawan."Anda harus bertanggung jawab atas kerusakan ponsel saya!" Anita mempertegas perkataannya kembali."Kau pikir aku perduli? Kau saja yang jalan tidak hati-hati. Begitulah kalau mata ditaruh di kaki." Rama tak mau kalah dan menekan balik lawan bicaranya."Bagaimana Anda bisa bicara demikian? Jelas-jelas Bapak sendiri yang salah. Ponsel saya jatuh karena Anda.""Kau yang berjalan tidak melihat. Fokusmu hanya pada telpon dan telpon. Apa tidak bisa membedakan waktu berpacaran di rumah atau di kantor, huh?!" Rama semak
Anita masih mengutuk kebodohannya yang dengan gampang mengikuti kemauan pria itu.Sejak masuk dalam mobil, ia hanya diam sambil menggigit tipis bibir dalamnya. Pikirannya masih berkecamuk, apa yang Rama inginkan dengan mengajaknya pergi? Dan kemana pria itu akan membawanya?Untunglah ia sempat menghubungi orang tuanya dengan alasan harus pulang malam karena lembur. Beberapa pesan masuk yang berasal dari Sandi tak ia hiraukan. Anita tak ingin menanggapi isi pesan tersebut yang bisa ia pastikan berupa pertanyaan basa-basi, yang mungkin pada akhirnya akan berujung kebohongan darinya."Kau tidak mau tanya kita kemana?" Rama membuka suara. Ia menoleh sesaat pada Anita dan fokus kembali pada setang kemudinya."Buat apa?" sahut Anita tak acuh."Kau tidak takut aku membawamu ke suatu tempat menakutkan gitu?" Rama memancing."Kan ada kamu yang bakal jagain aku," jawab Anita sekenan
Anita berdiri seketika dari tempatnya."Apa maksud ucapanmu itu?" Ia menatap sengit pada keberadaan Rama yang masih tampak santai, namun tidak dengan orang tua Rama yang semakin was-was."Duduklah, akan kujelaskan sesuatu," kata Rama lembut, masih nampak tenang. Namun itu tak membuat perasaan Anita luluh. Justru hatinya makin bergejolak."Penjelasan apa? Sesuatu yang tak kupahami dan hanya diputuskan sepihak olehmu, begitu? Aku benar-benar kecewa padamu!"Anita menyentak kasar tas kerjanya. Tanpa pamit, ia segera kabur dari tempat itu. Dan inilah yang dicemaskan Rio juga Amanda sejak tadi.Rama yang tak menyangka akan kemarahan Anita, mengejarnya dengan segera. Tubuhnya hampir menyenggol pelayan yang datang membawa nampan makanan."Anita, Anita, tunggu!" Ia mencoba mencegah kepergian Anita. Beberapa pasang mata sudah memperhatikan keduanya sejak tadi. Dan kini mereka berdu